Bacaan Surat Yasin Arab Lengkap

Kaligrafi Arab Surat Yasin يس Kaligrafi Arab Surat Yasin

Surat Yasin adalah surat ke-36 dalam Al-Qur'an yang terdiri dari 83 ayat. Surat ini tergolong dalam surat Makkiyah, artinya diturunkan di kota Mekkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Surat Yasin seringkali disebut sebagai "Qalbul Qur'an" atau jantungnya Al-Qur'an. Sebutan ini mengisyaratkan betapa pentingnya kedudukan surat ini, yang memuat pokok-pokok keimanan yang paling fundamental dalam ajaran Islam.

Secara garis besar, tema utama Surat Yasin berpusat pada tiga pilar akidah: Tauhid (keesaan Allah), Risalah (kenabian), dan Akhirat (kehidupan setelah kematian, termasuk kebangkitan dan hari pembalasan). Surat ini dibuka dengan sumpah Allah atas Al-Qur'an yang penuh hikmah untuk menegaskan kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kemudian, surat ini menyajikan berbagai argumen dan bukti yang kuat untuk membantah keraguan kaum kafir terhadap hari kebangkitan, yang merupakan salah satu penolakan terbesar mereka pada masa itu.

Untuk memperkuat argumennya, Surat Yasin menampilkan beberapa bukti kekuasaan Allah yang dapat disaksikan langsung oleh manusia. Di antaranya adalah kisah para utusan yang diutus kepada suatu negeri (Ashab al-Qaryah), tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta seperti bumi yang mati lalu dihidupkan, pergantian siang dan malam, peredaran matahari dan bulan pada orbitnya, serta fenomena kapal yang berlayar di lautan. Semua ini dihadirkan untuk mengajak manusia merenung dan menyadari adanya Sang Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.

Puncak dari pembahasan surat ini adalah penegasan mengenai kepastian datangnya hari kiamat dan proses kebangkitan manusia dari kubur. Digambarkan bagaimana tiupan sangkakala akan membangkitkan semua makhluk untuk dihadapkan pada pengadilan Allah. Surat ini melukiskan dengan jelas perbedaan nasib antara para penghuni surga yang merasakan kenikmatan abadi dengan para penghuni neraka yang penuh penyesalan. Di akhir surat, Allah kembali menegaskan kekuasaan-Nya yang absolut melalui frasa "Kun Fayakun" (Jadilah, maka terjadilah), sebagai penutup yang meyakinkan bahwa membangkitkan kembali manusia adalah perkara yang sangat mudah bagi-Nya. Membaca dan merenungi Surat Yasin akan memperkuat iman kepada Allah, kerasulan Nabi Muhammad, dan kepastian adanya kehidupan akhirat.

يسٓ

Yā sīn.

"Yasin."

Ulasan Ayat 1

Ayat pertama ini terdiri dari dua huruf hijaiyah, 'Ya' dan 'Sin'. Ini termasuk dalam kategori 'huruf muqatta'at' atau huruf-huruf terpotong yang terdapat di awal beberapa surat dalam Al-Qur'an. Makna sesungguhnya dari huruf-huruf ini hanya diketahui oleh Allah SWT. Para ulama tafsir memberikan berbagai pandangan, namun semuanya sepakat bahwa ini adalah bagian dari mukjizat Al-Qur'an yang menunjukkan kelemahlembutan manusia di hadapan ilmu Allah. Sebagian berpendapat bahwa huruf-huruf ini berfungsi sebagai penarik perhatian bagi pendengar atau sebagai tantangan bagi orang-orang Arab pada masa itu, bahwa Al-Qur'an yang agung ini tersusun dari huruf-huruf yang mereka gunakan sehari-hari, namun mereka tidak mampu membuat yang serupa dengannya.

وَٱلْقُرْءَانِ ٱلْحَكِيمِ

Wal-qur'ānil-ḥakīm.

"Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah."

Ulasan Ayat 2

Allah SWT bersumpah dengan Al-Qur'an. Sumpah ini menunjukkan betapa tinggi dan mulianya kedudukan Al-Qur'an. Kata 'Al-Hakim' memiliki makna yang sangat luas, yaitu penuh dengan hikmah, bijaksana, kokoh, dan tersusun dengan sempurna. Ini berarti bahwa setiap ayat, kata, dan hukum di dalam Al-Qur'an mengandung kebijaksanaan yang mendalam, tidak ada sedikit pun cacat atau keraguan di dalamnya. Al-Qur'an adalah sumber petunjuk yang kokoh, yang membedakan antara yang benar dan yang salah, serta memberikan solusi bagi setiap persoalan hidup manusia.

إِنَّكَ لَمِنَ ٱلْمُرْسَلِينَ

Innaka laminal-mursalīn.

"Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar salah seorang dari rasul-rasul."

Ulasan Ayat 3

Setelah bersumpah dengan Al-Qur'an, Allah SWT menegaskan status kenabian Muhammad SAW. Ayat ini adalah jawaban dari sumpah tersebut. Penegasan ini sangat penting karena ditujukan kepada kaum kafir Quraisy yang senantiasa meragukan dan menolak kerasulan Nabi Muhammad. Dengan menggunakan kata 'inna' (sesungguhnya) dan 'la' (benar-benar), Allah memberikan penekanan yang sangat kuat untuk menghilangkan segala keraguan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya yang sah, yang membawa risalah kebenaran.

عَلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ

'Alā ṣirāṭim mustaqīm.

"(yang berada) di atas jalan yang lurus."

Ulasan Ayat 4

Ayat ini menjelaskan lebih lanjut tentang risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak hanya seorang rasul, tetapi juga berada di atas 'Shirathal Mustaqim', yaitu jalan yang lurus, benar, dan tidak ada kebengkokan di dalamnya. Jalan ini adalah ajaran tauhid, syariat Islam yang sempurna, yang akan mengantarkan siapa saja yang mengikutinya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ini adalah jaminan bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad adalah petunjuk yang murni dari Allah SWT.

تَنزِيلَ ٱلْعَزِيزِ ٱلرَّحِيمِ

Tanzīlal-'azīzir-raḥīm.

"(sebagai wahyu) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Maha Perkasa, Maha Penyayang."

Ulasan Ayat 5

Ayat ini menegaskan sumber dari Al-Qur'an dan risalah kenabian. Al-Qur'an bukanlah karangan Nabi Muhammad, melainkan wahyu yang diturunkan langsung oleh Allah SWT. Allah menyifati Diri-Nya dengan dua nama yang agung: 'Al-Aziz' (Yang Maha Perkasa) dan 'Ar-Rahim' (Yang Maha Penyayang). 'Al-Aziz' menunjukkan bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak untuk melindungi wahyu-Nya dan memenangkan utusan-Nya atas musuh-musuh mereka. Sementara 'Ar-Rahim' menunjukkan bahwa penurunan Al-Qur'an adalah bentuk kasih sayang Allah yang tak terhingga kepada hamba-Nya, agar mereka mendapatkan petunjuk dan tidak tersesat.

لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّآ أُنذِرَ ءَابَآؤُهُمْ فَهُمْ غَٰفِلُونَ

Litunżira qaumam mā unżira ābā'uhum fa hum gāfilūn.

"Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyang mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai."

Ulasan Ayat 6

Ayat ini menjelaskan tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk memberikan peringatan ('indzar'). Peringatan ini secara khusus ditujukan kepada bangsa Arab pada saat itu, yang telah lama hidup dalam periode kekosongan nabi ('fatrah') sejak masa Nabi Isa AS. Akibat tidak adanya petunjuk, mereka tenggelam dalam kelalaian, menyembah berhala, dan melakukan berbagai kemaksiatan. Peringatan ini bertujuan untuk menyadarkan mereka dari kelalaian tersebut dan membawa mereka kembali ke jalan yang benar.

لَقَدْ حَقَّ ٱلْقَوْلُ عَلَىٰٓ أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Laqad ḥaqqal-qaulu 'alā akṡarihim fa hum lā yu'minūn.

"Sungguh, pasti berlaku perkataan (hukuman) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman."

Ulasan Ayat 7

Ayat ini memberikan gambaran tentang realitas dakwah. Meskipun peringatan telah disampaikan dengan jelas, kebanyakan dari mereka tetap memilih jalan kekafiran. 'Haqqal-qaul' berarti ketetapan atau azab Allah telah pasti akan menimpa mereka. Ini bukan berarti Allah memaksa mereka untuk kafir, tetapi karena mereka sendiri yang menutup hati, telinga, dan mata dari kebenaran. Pilihan mereka untuk menolak iman telah mengunci takdir mereka dalam kesengsaraan, sesuai dengan ilmu Allah yang Maha Mengetahui.

إِنَّا جَعَلْنَا فِىٓ أَعْنَٰقِهِمْ أَغْلَٰلًا فَهِىَ إِلَى ٱلْأَذْقَانِ فَهُم مُّقْمَحُونَ

Innā ja'alnā fī a'nāqihim aglālan fa hiya ilal-ażqāni fa hum muqmaḥūn.

"Sungguh, Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, karena itu mereka tertengadah."

Ulasan Ayat 8

Ayat ini menggunakan gaya bahasa kiasan yang sangat kuat untuk menggambarkan kondisi orang-orang kafir yang keras kepala. Belenggu di leher yang membuat mereka tertengadah adalah metafora untuk kesombongan dan keangkuhan mereka yang menghalangi mereka untuk menundukkan kepala dan menerima kebenaran. Mereka terkunci dalam arogansi, tidak mampu melihat petunjuk yang ada di hadapan mereka. Hati mereka terbelenggu oleh hawa nafsu dan tradisi jahiliyah, sehingga mereka tidak bisa bergerak menuju iman.

وَجَعَلْنَا مِنۢ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ

Wa ja'alnā mim baini aidīhim saddaw wa min khalfihim saddan fa agsyaināhum fa hum lā yubṣirūn.

"Dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat."

Ulasan Ayat 9

Ini adalah lanjutan dari gambaran keterkuncian hati kaum kafir. Allah menjelaskan bahwa mereka dikepung oleh dinding penghalang dari depan dan belakang. Dinding di depan menghalangi mereka melihat masa depan yang cerah bersama iman (surga), sementara dinding di belakang menghalangi mereka untuk mengambil pelajaran dari sejarah umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan. Mata batin mereka telah ditutup total ('agsyainahum'), sehingga mereka buta terhadap tanda-tanda kebesaran Allah yang terhampar di alam semesta. Mereka hidup dalam kegelapan total, terisolasi dari cahaya petunjuk.

وَسَوَآءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Wa sawā'un 'alaihim a'anżartahum am lam tunżir-hum lā yu'minūn.

"Dan sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan kepada mereka atau engkau tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman."

Ulasan Ayat 10

Akibat dari hati yang telah terbelenggu dan terkunci, peringatan apapun tidak akan lagi berguna bagi mereka. Ayat ini ditujukan untuk menghibur Nabi Muhammad SAW agar tidak terlalu bersedih atas penolakan kaumnya. Tugas seorang rasul hanyalah menyampaikan risalah. Adapun hidayah adalah mutlak di tangan Allah. Bagi mereka yang telah memilih untuk menutup diri dari kebenaran, baik diberi peringatan maupun tidak, hasilnya akan sama saja: mereka akan tetap dalam kekafiran.

إِنَّمَا تُنذِرُ مَنِ ٱتَّبَعَ ٱلذِّكْرَ وَخَشِىَ ٱلرَّحْمَٰنَ بِٱلْغَيْبِ ۖ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ

Innamā tunżiru manittaba'aż-żikra wa khasyiyar-raḥmāna bil-gaīb, fa basysyir-hu bimagfiratiw wa ajrin karīm.

"Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, sekalipun mereka tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia."

Ulasan Ayat 11

Ayat ini menjelaskan siapa sesungguhnya yang dapat mengambil manfaat dari peringatan. Peringatan hanya akan efektif bagi mereka yang memiliki dua sifat: pertama, mau mengikuti 'Adz-Dzikr' (Al-Qur'an), yaitu orang yang membuka hati dan pikirannya untuk mendengarkan dan merenungkan kebenaran. Kedua, 'khasyiyar-rahman bil-ghaib', yaitu memiliki rasa takut kepada Allah meskipun tidak dapat melihat-Nya. Rasa takut ini lahir dari keyakinan dan kesadaran akan keagungan Allah. Bagi orang-orang seperti inilah, Allah menjanjikan kabar gembira berupa 'maghfirah' (ampunan atas dosa-dosa) dan 'ajrin karim' (pahala yang mulia, yaitu surga).

إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ

Innā naḥnu nuḥyil-mautā wa naktubu mā qaddamụ wa āṡārahum, wa kulla syai'in aḥṣaināhu fī imāmim mubīn.

"Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang jelas (Lauh Mahfuzh)."

Ulasan Ayat 12

Ini adalah penegasan kembali tentang kekuasaan Allah atas hari kebangkitan, yang menjadi tema sentral surat ini. Allah menyatakan dengan tegas bahwa Dialah yang akan menghidupkan kembali semua yang telah mati. Lebih dari itu, Allah mencatat dengan sangat teliti semua amal perbuatan manusia ('ma qaddamu') serta jejak-jejak atau dampak dari perbuatan tersebut yang terus berlanjut setelah mereka meninggal ('atsarahum'). Ini mencakup amal jariyah seperti ilmu yang bermanfaat, sedekah, atau sebaliknya, dosa jariyah seperti perbuatan buruk yang terus ditiru orang lain. Semuanya tercatat rapi dalam 'Imam Mubin' (Lauh Mahfuzh), sebuah kitab catatan yang sangat jelas dan terperinci, sehingga tidak ada satu pun amal yang akan luput dari perhitungan di hari kiamat.

Kisah Penduduk Negeri (Ashab al-Qaryah)

Bagian selanjutnya dari Surat Yasin menyajikan sebuah perumpamaan atau kisah nyata tentang penduduk sebuah negeri yang menolak para utusan Allah. Kisah ini berfungsi sebagai pelajaran nyata tentang akibat dari penolakan terhadap kebenaran.

وَٱضْرِبْ لَهُم مَّثَلًا أَصْحَٰبَ ٱلْقَرْيَةِ إِذْ جَآءَهَا ٱلْمُرْسَلُونَ

Waḍrib lahum maṡalan aṣ-ḥābal-qaryah, iż jā'ahal-mursalūn.

"Dan buatlah suatu perumpamaan bagi mereka, yaitu penduduk suatu negeri, ketika utusan-utusan datang kepada mereka."

Ulasan Ayat 13

Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyampaikan sebuah 'matsal' (perumpamaan atau contoh kisah) kepada kaumnya. Kisah ini adalah tentang penduduk sebuah negeri (para ahli tafsir menyebutnya Antiokia) ketika didatangi oleh para utusan. Tujuannya adalah agar kaum Quraisy dapat bercermin dan mengambil pelajaran dari nasib umat terdahulu yang memiliki sikap serupa dengan mereka.

إِذْ أَرْسَلْنَآ إِلَيْهِمُ ٱثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوٓا۟ إِنَّآ إِلَيْكُم مُّرْسَلُونَ

Iż arsalnā ilaihimuṡnaini fa każżabụhumā fa 'azzaznā biṡāliṡin fa qālū innā ilaikum mursalūn.

"(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga (utusan itu) berkata, 'Sungguh, kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu'."

Ulasan Ayat 14

Kisah dimulai dengan diutusnya dua orang rasul. Namun, penduduk negeri itu langsung mendustakan mereka. Sebagai bentuk kasih sayang dan untuk memperkuat hujjah, Allah tidak langsung menimpakan azab, melainkan mengutus rasul ketiga untuk mendukung dan memperkuat dakwah kedua rasul sebelumnya. Ketiga utusan ini bersama-sama menyampaikan pesan yang sama: "Sungguh, kami adalah utusan Allah untuk kalian."

قَالُوا۟ مَآ أَنتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَا وَمَآ أَنزَلَ ٱلرَّحْمَٰنُ مِن شَىْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ

Qālụ mā antum illā basyarum miṡlunā wa mā anzalar-raḥmānu min syai'in in antum illā takżibụn.

"Mereka (penduduk negeri) menjawab, 'Kamu ini tidak lain hanyalah manusia seperti kami, dan (Allah) Yang Maha Pengasih tidak menurunkan sesuatu apa pun; kamu ini hanyalah pendusta belaka'."

Ulasan Ayat 15

Ini adalah argumen klasik kaum kafir dari zaman ke zaman. Mereka menolak para utusan dengan dua alasan utama. Pertama, mereka menganggap para utusan itu hanyalah manusia biasa seperti mereka, sehingga tidak pantas menerima wahyu. Kedua, mereka mengingkari konsep wahyu itu sendiri, dengan menyatakan bahwa Allah tidak pernah menurunkan apapun. Mereka pun menuduh para utusan itu sebagai pembohong.

وَءَايَةٌ لَّهُمُ ٱلْأَرْضُ ٱلْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَٰهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ

Wa āyatul lahumul-arḍul-maitatu aḥyaināhā wa akhrajnā min-hā ḥabban fa min-hu ya'kulụn.

"Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati (tandus). Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari (biji-bijian) itu mereka makan."

Ulasan Ayat 33

Setelah kisah Ashab al-Qaryah, Allah beralih ke argumen dari alam semesta untuk membuktikan kekuasaan-Nya, khususnya terkait kemampuan-Nya untuk membangkitkan yang mati. Tanda pertama adalah bumi yang kering dan tandus, yang seolah-olah 'mati'. Lalu dengan kuasa-Nya, Allah menurunkan hujan dan menghidupkannya kembali, menumbuhkan berbagai tanaman yang menghasilkan biji-bijian sebagai sumber makanan. Proses ini adalah analogi yang sangat jelas dan mudah dipahami tentang bagaimana Allah akan membangkitkan manusia dari kematian pada hari kiamat. Jika Allah mampu menghidupkan tanah yang mati, maka tentu lebih mudah bagi-Nya untuk menghidupkan kembali jasad manusia.

إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

Innamā amruhū iżā arāda syai'an ay yaqụla lahụ kun fa yakụn.

"Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, 'Jadilah!' Maka jadilah sesuatu itu."

Ulasan Ayat 82

Ayat ini adalah salah satu ayat paling agung yang menggambarkan kemahakuasaan Allah SWT. Ayat ini menepis segala keraguan tentang bagaimana Allah menciptakan atau membangkitkan. Proses penciptaan bagi Allah tidak memerlukan usaha, waktu, proses, atau materi. Cukup dengan kehendak ('iradah') dan firman-Nya, "Kun" (Jadilah!), maka apa yang dikehendaki-Nya itu langsung terwujud seketika. Ini adalah puncak argumen untuk membantah mereka yang meragukan hari kebangkitan. Jika menciptakan langit dan bumi dari ketiadaan begitu mudah bagi-Nya, apalagi hanya mengembalikan ciptaan yang sudah ada ke bentuk semula.

فَسُبْحَٰنَ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ مَلَكُوتُ كُلِّ شَىْءٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Fa sub-ḥānal-lażī biyadihī malakụtu kulli syai'iw wa ilaihi turja'ụn.

"Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan."

Ulasan Ayat 83

Surat Yasin ditutup dengan sebuah kalimat tasbih yang mengagungkan Allah SWT. 'Subhanallah' berarti menyucikan Allah dari segala sifat kekurangan, kelemahan, atau sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Ayat ini menegaskan bahwa 'malakut' (kerajaan atau kekuasaan mutlak) atas segala sesuatu berada di genggaman tangan-Nya. Tidak ada satu pun di alam semesta ini yang keluar dari kendali dan kekuasaan-Nya. Kalimat penutup 'wa ilaihi turja'un' (dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan) adalah kesimpulan final dan pengingat terakhir yang menghubungkan kembali ke tema utama surat ini: kepastian adanya hari kebangkitan dan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT, Pemilik segala kekuasaan.

قَالُوا۟ رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّآ إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ

Qālụ rabbunā ya'lamu innā ilaikum lamursalụn.

"Mereka (para utusan) berkata, 'Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu'."

Ulasan Ayat 16

Menghadapi tuduhan dusta, para utusan tidak membalas dengan kemarahan. Mereka menjawab dengan tenang dan penuh keyakinan, menjadikan Allah sebagai saksi. Ungkapan "Tuhan kami mengetahui" adalah bentuk sumpah yang paling tinggi dan menunjukkan kepasrahan total serta keyakinan mutlak atas kebenaran misi yang mereka emban. Mereka tidak perlu berdebat panjang lebar, karena kesaksian Allah sudah lebih dari cukup bagi mereka.

وَمَا عَلَيْنَآ إِلَّا ٱلْبَلَٰغُ ٱلْمُبِينُ

Wa mā 'alainā illal-balāgul-mubīn.

"Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas."

Ulasan Ayat 17

Para utusan menegaskan batas tugas mereka. Kewajiban mereka adalah 'al-balaghul mubin', yaitu menyampaikan risalah dengan cara yang sejelas-jelasnya, tanpa paksaan, dan tanpa menambah atau mengurangi. Mereka tidak bertanggung jawab atas hidayah atau penolakan kaumnya. Ini adalah prinsip dasar dakwah dalam Islam: tugas dai adalah menyampaikan, sedangkan hidayah adalah hak prerogatif Allah SWT.

قَالُوٓا۟ إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ ۖ لَئِن لَّمْ تَنتَهُوا۟ لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُم مِّنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ

Qālū innā taṭayyarnā bikum, la'il lam tantahụ lanarjumannakum wa layamassannakum minnā 'ażābun alīm.

"Mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan merasakan siksaan yang pedih dari kami'."

Ulasan Ayat 18

Ketika argumen logis mereka terpatahkan, penduduk negeri itu beralih ke takhayul dan ancaman fisik. Mereka menuduh para utusan sebagai pembawa sial ('tathayyur'), sebuah kepercayaan jahiliyah yang mengaitkan nasib buruk dengan kehadiran seseorang atau sesuatu. Ini adalah cara untuk melempar tanggung jawab atas masalah yang mereka hadapi. Mereka kemudian mengancam dengan kekerasan: akan merajam (melempar dengan batu hingga mati) dan menyiksa para utusan jika tidak menghentikan dakwahnya.

قَالُوا۟ طَٰٓئِرُكُم مَّعَكُمْ ۚ أَئِن ذُكِّرْتُم ۚ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ

Qālụ ṭā'irukum ma'akum, a'in żukkirtum, bal antum qaumum musrifụn.

"Para utusan itu berkata, 'Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas'."

Ulasan Ayat 19

Para utusan kembali menjawab dengan bijaksana. Mereka meluruskan konsep yang salah tentang nasib sial. Mereka menjelaskan bahwa sebab kemalangan yang menimpa penduduk negeri itu adalah perbuatan syirik dan maksiat mereka sendiri, bukan karena kehadiran para utusan. Justru para utusan datang untuk memberi peringatan agar mereka terhindar dari malapetaka. Para utusan kemudian menyimpulkan akar masalahnya: mereka adalah 'qaumun musrifun', kaum yang melampaui batas dalam kekafiran dan kedurhakaan.

وَجَآءَ مِنْ أَقْصَا ٱلْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَىٰ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱتَّبِعُوا۟ ٱلْمُرْسَلِينَ

Wa jā'a min aqṣal-madīnati rajuluy yas'ā qāla yā qaumittabi'ul-mursalīn.

"Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, 'Wahai kaumku! Ikutilah para utusan itu'."

Ulasan Ayat 20

Di tengah ketegangan, muncul seorang pahlawan iman. Ia datang dari 'ujung kota', yang mengindikasikan bahwa ia mungkin bukan dari kalangan elit atau pusat kekuasaan, melainkan rakyat biasa. Ia datang dengan bergegas ('yas'a'), menunjukkan semangat dan kepeduliannya yang tinggi untuk menyelamatkan kaumnya. Seruannya sangat tulus dan langsung ke pokok persoalan: "Wahai kaumku! Ikutilah para utusan itu."

🏠 Kembali ke Homepage