يس

Bacaan Surat Yasin Latin Lengkap dengan Terjemahan dan Tafsirnya

Surat Yasin adalah surat ke-36 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 83 ayat, dan tergolong sebagai surat Makkiyah karena diturunkan di kota Mekkah. Surat ini memiliki kedudukan yang sangat istimewa di hati umat Muslim, bahkan sering disebut sebagai "Qalbul Qur'an" atau jantungnya Al-Qur'an. Sebutan ini bukan tanpa alasan; Surat Yasin merangkum pilar-pilar utama akidah Islam, yaitu keesaan Allah SWT (Tauhid), kenabian (Risalah), dan keyakinan akan hari kebangkitan (Akhirat). Membaca dan merenungi maknanya membawa ketenangan jiwa serta memperkuat iman.

Kandungan surat ini begitu kaya, dimulai dengan penegasan atas kebenaran Al-Qur'an dan kerasulan Nabi Muhammad SAW, dilanjutkan dengan kisah para utusan yang didustakan oleh kaumnya sebagai pelajaran bagi umat manusia. Kemudian, Allah SWT mengajak kita untuk memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta—bumi yang mati dihidupkan kembali, malam dan siang yang silih berganti, serta matahari dan bulan yang beredar pada porosnya. Semua ini adalah bukti nyata akan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Puncaknya, surat ini menggambarkan dengan jelas peristiwa hari kiamat, kebangkitan manusia dari kubur, serta pemisahan antara penghuni surga yang penuh kenikmatan dan penghuni neraka yang penuh penyesalan. Artikel ini akan menyajikan bacaan Surat Yasin dalam teks Latin untuk memudahkan pembacaan, disertai terjemahan dan penjelasan makna yang terkandung di setiap ayatnya.

Bacaan Lengkap Surat Yasin: Teks Latin, Terjemahan, dan Penjelasan

Ayat 1

Yā Sīn. "Yasin."

Surat ini dibuka dengan "Yaa Siin," yang termasuk dalam kategori huruf muqatta'at atau huruf-huruf terpotong yang misterius. Hanya Allah SWT yang mengetahui makna sejatinya. Para ulama tafsir berpendapat bahwa huruf-huruf ini berfungsi sebagai penegasan atas kemukjizatan Al-Qur'an, sekaligus untuk menarik perhatian pendengarnya. Ada juga yang menafsirkannya sebagai panggilan atau nama lain bagi Nabi Muhammad SAW, yang berarti "Wahai manusia sempurna." Namun, hikmah utamanya adalah untuk menunjukkan bahwa Al-Qur'an, yang tersusun dari huruf-huruf yang biasa digunakan bangsa Arab, adalah firman Allah yang tak tertandingi.

Ayat 2

Wal-Qur'ānil-ḥakīm. "Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah."

Setelah huruf misterius, Allah SWT bersumpah dengan Al-Qur'an. Sumpah ini menunjukkan betapa agung dan mulianya kedudukan Al-Qur'an. Kata "al-hakim" berarti yang penuh hikmah, kokoh, dan bijaksana. Ini menegaskan bahwa setiap ayat, hukum, dan kisah di dalamnya mengandung kebijakan yang sempurna, tidak ada keraguan, dan membawa manusia kepada jalan yang lurus. Al-Qur'an adalah sumber petunjuk yang kokoh, yang ayat-ayatnya tersusun dengan rapi dan maknanya mendalam, serta terjaga dari segala bentuk perubahan dan kesalahan.

Ayat 3

Innaka laminal-mursalīn. "Sungguh, engkau (Muhammad) adalah salah seorang dari rasul-rasul."

Ayat ini adalah jawaban dari sumpah sebelumnya. Allah SWT menegaskan secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW bahwa beliau benar-benar seorang utusan Allah. Penegasan ini sangat penting sebagai bantahan terhadap kaum kafir Quraisy yang meragukan dan menolak kenabian beliau. Dengan sumpah menggunakan Al-Qur'an, Allah memberikan jaminan yang paling kuat atas status kerasulan Nabi Muhammad SAW, sekaligus sebagai penghiburan dan penguat hati beliau dalam menghadapi penolakan kaumnya.

Ayat 4

'Alā ṣirāṭim mustaqīm. "(yang berada) di atas jalan yang lurus."

Kerasulan Nabi Muhammad SAW ditegaskan berada di atas "jalan yang lurus" (shirathal mustaqim). Ini berarti ajaran yang beliau bawa—yaitu Islam—adalah satu-satunya jalan kebenaran yang mengantarkan manusia kepada keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi. Jalan ini lurus, jelas, tanpa kebengkokan, dan konsisten. Siapa pun yang mengikutinya tidak akan tersesat. Ini juga menegaskan bahwa syariat dan akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah panduan hidup yang sempurna dan seimbang.

Ayat 5

Tanzīlal-'azīzir-raḥīm. "(sebagai wahyu) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang."

Ayat ini menjelaskan sumber dari Al-Qur'an dan risalah kenabian, yaitu dari Allah SWT. Allah menyifati diri-Nya dengan dua nama yang agung: "Al-'Aziz" (Yang Mahaperkasa) dan "Ar-Rahim" (Maha Penyayang). "Al-'Aziz" menunjukkan kekuasaan dan keagungan-Nya, yang berarti wahyu ini tidak dapat dihalangi oleh siapa pun. "Ar-Rahim" menunjukkan bahwa penurunan Al-Qur'an adalah bentuk kasih sayang Allah yang tak terhingga kepada hamba-Nya, agar mereka mendapatkan petunjuk dan selamat dari kesesatan.

Ayat 6

Litunżira qaumam mā unżira ābā'uhum fahum gāfilūn. "Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai."

Tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah untuk memberi peringatan (inzar) kepada kaumnya, yaitu bangsa Arab pada masa itu. Mereka digambarkan sebagai kaum yang telah lama tidak menerima kehadiran seorang rasul atau kitab suci, sehingga mereka hidup dalam kelalaian (ghaflah), menyembah berhala, dan jauh dari ajaran tauhid. Peringatan ini bertujuan untuk menyadarkan mereka dari kelalaian tersebut dan mengajak mereka kembali ke jalan yang benar sebelum datangnya azab.

Ayat 7

Laqad ḥaqqal-qaulu 'alā akṡarihim fahum lā yu'minūn. "Sungguh, pasti berlaku perkataan (hukuman) terhadap kebanyakan dari mereka, karena mereka tidak beriman."

Ayat ini menggambarkan kenyataan pahit bahwa meskipun peringatan telah disampaikan, kebanyakan dari mereka tetap memilih jalan kekafiran. "Telah berlaku perkataan" merujuk pada ketetapan Allah atas mereka yang secara sadar menolak kebenaran setelah bukti-bukti datang. Karena kesombongan dan penolakan yang terus-menerus, hati mereka tertutup dari hidayah, sehingga mereka tidak akan beriman. Ini adalah konsekuensi dari pilihan mereka sendiri, bukan paksaan dari Allah.

Ayat 8

Innā ja'alnā fī a'nāqihim aglālan fa hiya ilal-ażqāni fahum muqmaḥūn. "Sungguh, Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, karena itu mereka tertengadah."

Allah menggambarkan kondisi orang-orang kafir yang hatinya tertutup dengan sebuah perumpamaan yang sangat kuat. Leher mereka dibelenggu sehingga kepala mereka tertengadah dan tidak bisa menunduk untuk melihat kebenaran di hadapan mereka. Ini adalah gambaran metaforis tentang kesombongan dan keangkuhan mereka. Mereka begitu angkuh sehingga tidak mau merendahkan diri untuk menerima petunjuk, seolah-olah fisik mereka dipaksa untuk terus menatap ke atas dengan congkak, buta terhadap jalan yang benar di bawahnya.

Ayat 9

Wa ja'alnā mim baini aidīhim saddaw wa min khalfihim saddan fa agsyaināhum fahum lā yubṣirūn. "Dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat."

Perumpamaan ini dilanjutkan. Selain belenggu di leher, Allah juga meletakkan dinding penghalang di depan dan di belakang mereka. Mereka terkepung sepenuhnya oleh dinding kebodohan dan kesesatan. Mata mereka pun ditutup, sehingga mereka sama sekali tidak bisa melihat jalan keluar atau cahaya petunjuk. Ini adalah gambaran sempurna tentang bagaimana dosa dan penolakan yang terus-menerus dapat mengunci seseorang dalam kegelapan, membuatnya tidak mampu lagi membedakan antara yang hak dan yang batil.

Ayat 10

Wa sawā'un 'alaihim a anżartahum am lam tunżirhum lā yu'minūn. "Dan sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan kepada mereka atau engkau tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman."

Karena hati mereka telah tertutup rapat akibat pilihan mereka sendiri, maka peringatan dari Nabi Muhammad SAW tidak lagi bermanfaat bagi mereka. Sama saja hasilnya, baik diberi peringatan maupun tidak, mereka akan tetap berada dalam kekafiran. Ini bukan berarti tugas dakwah berhenti, tetapi ini adalah penegasan tentang betapa dalamnya kesesatan orang-orang yang telah Allah tetapkan celaka karena penolakan mereka yang keras kepala.

Ayat 11

Innamā tunżiru manittaba'aż-żikra wa khasyiyar-raḥmāna bil-gaīb, fa basysyirhu bimagfiratiw wa ajrin karīm. "Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia."

Ayat ini menjelaskan siapa yang akan mendapatkan manfaat dari dakwah. Peringatan hanya akan berguna bagi mereka yang memiliki dua sifat: pertama, mau mengikuti "Adz-Dzikr" (Al-Qur'an atau peringatan itu sendiri), artinya mereka memiliki kemauan dan keterbukaan hati untuk menerima kebenaran. Kedua, mereka "takut kepada Ar-Rahman (Allah) meskipun tidak melihat-Nya," yang menunjukkan keimanan yang tulus pada hal gaib. Bagi orang-orang seperti inilah Nabi diperintahkan untuk memberikan kabar gembira berupa ampunan (maghfirah) dari segala dosa dan pahala yang mulia (ajrin karim), yaitu surga.

Ayat 12

Innā naḥnu nuḥyil-mautā wa naktubu mā qaddamū wa āṡārahum, wa kulla syai'in aḥṣaināhu fī imāmim mubīn. "Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang jelas (Lauh Mahfuzh)."

Ini adalah penegasan pilar akidah ketiga: hari kebangkitan. Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa Dialah yang akan membangkitkan orang mati. Untuk membuktikan keadilan-Nya, Allah mencatat semua perbuatan manusia ("ma qaddamu") dan juga "bekas-bekas" perbuatan mereka ("atsarahum"). "Atsar" bisa berarti jejak langkah mereka menuju kebaikan atau keburukan, maupun dampak dari perbuatan mereka yang terus berlanjut setelah mereka wafat (amal jariyah). Semua catatan ini terkumpul dengan sangat rinci dalam "Imamim Mubin" (Kitab Induk yang Jelas atau Lauh Mahfuzh), sehingga tidak ada satu pun yang terlewatkan pada hari perhitungan.

Kisah Penduduk Suatu Negeri (Ashabul Qaryah)

Ayat 13

Waḍrib lahum maṡalan aṣ-ḥābal-qaryah, iż jā'ahal-mursalūn. "Dan buatlah suatu perumpamaan bagi mereka, yaitu penduduk suatu negeri, ketika para utusan datang kepada mereka."

Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan sebuah kisah sebagai perumpamaan atau pelajaran bagi kaumnya. Kisah ini adalah tentang penduduk sebuah negeri (para ahli tafsir menyebutnya Anthakiyah) yang didatangi oleh para utusan Allah. Perumpamaan ini bertujuan untuk menunjukkan pola yang sama antara penolakan kaum-kaum terdahulu terhadap utusan mereka dan penolakan kaum Quraisy terhadap Nabi Muhammad SAW.

Ayat 14

Iż arsalnā ilaihimuṡnaini fa każżabūhumā fa 'azzaznā biṡāliṡin fa qālū innā ilaikum mursalūn. "(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga (utusan itu) berkata, “Sungguh, kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.”"

Kisah dimulai dengan diutusnya dua orang rasul. Namun, penduduk negeri itu langsung mendustakan mereka. Sebagai bentuk kasih sayang dan untuk memperkuat argumen, Allah kemudian mengutus rasul yang ketiga untuk mendukung dua rasul sebelumnya. Ketiganya serempak menyampaikan misi utama mereka: "Sungguh, kami diutus kepadamu." Ini menunjukkan betapa Allah memberikan bukti yang cukup kepada suatu kaum sebelum menimpakan azab.

Ayat 15

Qālū mā antum illā basyarum miṡlunā wa mā anzalar-raḥmānu min syai'in in antum illā takżibūn. "Mereka menjawab, “Kamu ini tidak lain hanyalah manusia seperti kami, dan (Allah) Yang Maha Pengasih tidak menurunkan sesuatu apa pun; kamu ini hanyalah pendusta.”"

Penduduk negeri itu menggunakan argumen klasik yang selalu dipakai oleh kaum penentang rasul. Pertama, mereka merendahkan para utusan dengan berkata, "Kamu hanyalah manusia biasa seperti kami," seolah-olah seorang rasul haruslah malaikat atau makhluk super. Kedua, mereka menolak konsep wahyu secara keseluruhan dengan mengatakan bahwa Allah tidak pernah menurunkan apa pun. Akhirnya, mereka langsung menuduh para utusan itu sebagai pendusta. Argumen ini menunjukkan penolakan yang didasari oleh kesombongan dan keengganan untuk berpikir.

Ayat 16

Qālū rabbunā ya'lamu innā ilaikum lamursalūn. "Mereka (para utusan) berkata, “Tuhan kami mengetahui bahwa kami benar-benar utusan(-Nya) kepadamu.”"

Para utusan tidak membalas tuduhan dengan kemarahan. Mereka menjawab dengan tenang dan penuh keyakinan, menyerahkan kesaksian kebenaran mereka kepada Allah. "Tuhan kami mengetahui," adalah sebuah pernyataan yang sangat kuat, menunjukkan bahwa mereka tidak butuh pengakuan dari manusia karena kesaksian Allah sudah lebih dari cukup. Ini adalah pelajaran tentang keteguhan iman di hadapan cemoohan.

Ayat 17

Wa mā 'alainā illal-balāgul-mubīn. "Dan kewajiban kami hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.”"

Para utusan menegaskan batas tugas mereka. Kewajiban mereka hanyalah "al-balaghul mubin," yaitu menyampaikan risalah dengan cara yang jelas, terang, dan tidak meninggalkan keraguan. Mereka tidak memiliki kuasa untuk memaksa orang lain beriman atau memberi hidayah, karena itu adalah hak prerogatif Allah. Ini adalah prinsip dasar dalam berdakwah: sampaikan kebenaran dengan jelas, dan serahkan hasilnya kepada Allah.

Ayat 18

Qālū innā taṭayyarnā bikum, la'il lam tantahū lanarjumannakum wa layamassannakum minnā 'ażābun alīm. "Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan merasakan siksaan yang pedih dari kami.”"

Ketika argumen mereka habis, penduduk negeri itu beralih ke takhayul dan ancaman. Mereka menuduh para rasul sebagai pembawa sial ("tathayyarna bikum"), menyalahkan mereka atas musibah apa pun yang terjadi. Ini adalah bentuk pengalihan tanggung jawab yang irasional. Kemudian, mereka mengeluarkan ancaman fisik yang brutal: akan merajam (melempar dengan batu sampai mati) dan menyiksa para utusan jika mereka tidak menghentikan dakwahnya. Ini menunjukkan eskalasi dari penolakan intelektual menjadi agresi fisik.

Ayat 19

Qālū ṭā'irukum ma'akum, a in żukkirtum, bal antum qaumum musrifūn. "Mereka (utusan-utusan) itu berkata, “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.”"

Para utusan dengan berani membantah tuduhan itu. Mereka menegaskan bahwa sumber kesialan dan kemalangan penduduk negeri itu adalah perbuatan syirik dan kekafiran mereka sendiri ("tha'irukum ma'akum"). Kemalangan itu muncul bukan karena peringatan yang datang, melainkan karena penolakan mereka terhadap peringatan itu. Para utusan kemudian menyimpulkan akar masalahnya: "kamu adalah kaum yang melampaui batas" (musrifun), yaitu melampaui batas dalam kekafiran, kemaksiatan, dan kezaliman.

Ayat 20

Wa jā'a min aqṣal-madīnati rajuluy yas'ā qāla yā qaumittabi'ul-mursalīn. "Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, “Wahai kaumku! Ikutilah para utusan itu.”"

Di tengah kebuntuan dan ancaman, muncullah seorang pahlawan iman. Ia datang dari "ujung kota," yang mengisyaratkan bahwa ia mungkin bukan dari kalangan elit atau pusat kekuasaan. Ia datang dengan "bergegas," menunjukkan semangat dan kepeduliannya yang besar untuk menyelamatkan kaumnya. Dengan tulus, ia menyeru kaumnya untuk mengikuti para utusan, mendukung dakwah tauhid secara terbuka meskipun tahu risikonya.

Ayat 21

Ittabi'ū mal lā yas'alukum ajraw wa hum muhtadūn. "Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk."

Laki-laki saleh ini memberikan dua argumen logis yang kuat. Pertama, para utusan ini tidak meminta imbalan apa pun (ajran). Dakwah mereka murni karena Allah, tidak ada motif duniawi seperti harta atau kekuasaan. Ini adalah bukti ketulusan mereka. Kedua, mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk ("muhtadun"). Ajaran mereka lurus, logis, dan membawa kebaikan. Kombinasi antara ketulusan niat dan kebenaran ajaran seharusnya sudah cukup untuk meyakinkan siapa pun yang mau berpikir jernih.

Ayat 22

Wa mā liya lā a'budul-lażī faṭaranī wa ilaihi turja'ūn. "Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan."

Setelah mengajak kaumnya, ia menjelaskan alasannya sendiri beriman. Ia menggunakan logika fitrah yang sederhana: "Mengapa aku tidak menyembah Tuhan yang telah menciptakanku?" Ini adalah pengakuan bahwa ibadah adalah konsekuensi logis dari penciptaan. Ia kemudian mengingatkan mereka semua pada tujuan akhir: "dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan." Ia mengaitkan ibadah di dunia dengan pertanggungjawaban di akhirat, sebuah argumen yang komprehensif.

Ayat 23

A attakhiżu min dūnihī ālihatan iy yuridnir-raḥmānu biḍurril lā tugni 'annī syafā'atuhum syai'aw wa lā yunqiżūn. "Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya? Jika (Allah) Yang Maha Pengasih menghendaki bencana terhadapku, niscaya pertolongan mereka tidak berguna sama sekali bagiku dan mereka tidak dapat menyelamatkanku."

Ia melanjutkan dengan menunjukkan kelemahan tuhan-tuhan selain Allah yang disembah kaumnya. Ia mengajukan pertanyaan retoris yang mematahkan logika syirik. Jika Allah menimpakan musibah, mampukah berhala-berhala itu memberikan syafaat (pertolongan) atau menyelamatkannya? Jawabannya tentu tidak. Sembahan-sembahan selain Allah itu tidak memiliki kekuatan sama sekali. Ini adalah cara yang efektif untuk menunjukkan betapa sia-sianya peribadatan kepada selain Sang Pencipta.

Ayat 24

Innī iżal lafī ḍalālim mubīn. "Sesungguhnya jika aku (berbuat) begitu, pasti aku berada dalam kesesatan yang nyata."

Ia menutup argumennya dengan kesimpulan yang tegas. Jika ia tetap menyembah berhala yang lemah dan tidak berdaya itu, maka ia pasti berada dalam "kesesatan yang nyata" (dhalalin mubin). Ia mengakui bahwa syirik adalah kebodohan dan penyimpangan yang paling jelas, tidak memerlukan bukti rumit untuk membantahnya.

Ayat 25

Innī āmantum birabbikum fasma'ūn. "Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)-ku."

Di puncak keberaniannya, di hadapan kaumnya yang beringas, ia mendeklarasikan imannya dengan lantang: "Aku telah beriman kepada Tuhanmu (Tuhan yang juga menciptakan kalian), maka dengarkanlah aku!" Ini adalah syahadat di saat genting, sebuah kesaksian yang siap ia pertaruhkan dengan nyawanya. Ia ingin kesaksiannya ini didengar dan menjadi bukti di hadapan Allah dan manusia.

Ayat 26

Qīladkhulil-jannah, qāla yā laita qaumī ya'lamūn. "Dikatakan (kepadanya), “Masuklah ke surga.” Dia berkata, “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,"

Menurut riwayat tafsir, setelah deklarasi imannya, kaumnya mengeroyok dan membunuhnya. Seketika itu juga, Allah SWT langsung menyambut ruhnya dengan firman: "Masuklah ke surga." Namun, bahkan setelah merasakan kenikmatan surga, hal pertama yang terlintas di benaknya adalah kaumnya. Ia berandai-andai, "Alangkah baiknya jika kaumku tahu," menunjukkan betapa tulus keinginannya agar mereka juga mendapatkan hidayah dan kebahagiaan yang sama. Rasa cintanya pada kaumnya tidak hilang bahkan setelah mereka membunuhnya.

Ayat 27

Bimā gafara lī rabbī wa ja'alanī minal-mukramīn. "apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampunan kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.”"

Ia ingin kaumnya tahu dua hal: bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya dan telah menempatkannya di antara orang-orang yang dimuliakan (mukramin). Ia ingin mereka sadar bahwa jalan iman yang ia tempuh, meskipun berakhir dengan kematian di dunia, sesungguhnya adalah jalan menuju ampunan dan kemuliaan abadi di sisi Allah. Kisah ini adalah contoh luar biasa tentang pengorbanan, ketulusan, dan dakwah hingga akhir hayat.

Ayat 28

Wa mā anzalnā 'alā qaumihī mim ba'dihī min jundim minas-samā'i wa mā kunnā munzilīn. "Dan setelah dia (meninggal), Kami tidak menurunkan suatu pasukan pun dari langit kepada kaumnya, dan Kami tidak perlu menurunkannya."

Setelah kezaliman mereka memuncak dengan membunuh seorang hamba yang saleh, azab Allah pun tiba. Namun, Allah menegaskan bahwa untuk membinasakan mereka, Dia tidak perlu menurunkan pasukan malaikat dari langit. Mereka adalah kaum yang begitu hina dan lemah di hadapan kekuasaan Allah, sehingga tidak pantas untuk dihancurkan dengan "pasukan besar."

Ayat 29

In kānat illā ṣaiḥataw wāḥidatan fa iżā hum khāmidūn. "Tidak ada siksaan terhadap mereka melainkan dengan satu teriakan saja; maka seketika itu mereka semua mati."

Azab yang menimpa mereka sangatlah mudah bagi Allah. Cukup dengan satu suara teriakan yang mengguntur (shaihatan wahidah), yang dikirim melalui Malaikat Jibril, seketika itu juga mereka semua binasa ("khamidun"), seperti api yang padam total, tanpa sisa kehidupan. Ini menunjukkan betapa absolutnya kekuasaan Allah dan betapa rapuhnya kekuatan manusia di hadapan-Nya.

Ayat 30

Yā ḥasratan 'alal-'ibād, mā ya'tīhim mir rasūlin illā kānū bihī yastahzi'ūn. "Alangkah besar penyesalan terhadap hamba-hamba itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya."

Ayat ini adalah ungkapan penyesalan yang mendalam atas nasib para hamba yang menolak petunjuk. "Ya hasratan" adalah seruan yang menunjukkan betapa meruginya mereka. Penyebab utama kebinasaan mereka adalah pola yang selalu berulang: setiap kali seorang rasul datang dengan membawa kebenaran, mereka justru menanggapinya dengan cemoohan dan olok-olok (istihza'). Penyesalan ini akan mereka rasakan dengan sebenar-benarnya di akhirat kelak.

Ayat 31

Alam yarau kam ahlaknā qablahum minal-qurūni annahum ilaihim lā yarji'ūn. "Tidakkah mereka mengetahui berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, (umat-umat itu) tidak dapat kembali kepada mereka."

Allah mengajak kaum kafir Quraisy (dan kita semua) untuk belajar dari sejarah. Tidakkah mereka melihat jejak-jejak kebinasaan umat-umat terdahulu yang durhaka? Generasi-generasi (qurun) yang telah dihancurkan itu tidak pernah kembali lagi ke dunia. Ini adalah bukti nyata bahwa ancaman azab Allah bukanlah isapan jempol, dan seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi generasi setelahnya.

Ayat 32

Wa in kullul lammā jamī'ul ladainā muḥḍarūn. "Dan setiap (umat), semuanya akan dihadapkan kepada Kami."

Meskipun mereka tidak kembali ke dunia, akhir dari segalanya bukanlah kebinasaan. Allah menegaskan bahwa semua makhluk, dari generasi pertama hingga terakhir, tanpa terkecuali ("kullun lamma jami'un"), akan dikumpulkan dan dihadapkan di hadapan-Nya ("muhdharun") pada hari kiamat untuk dimintai pertanggungjawaban. Ayat ini menghubungkan kebinasaan di dunia dengan pengadilan di akhirat.

Tanda-tanda Kekuasaan Allah di Alam Semesta

Ayat 33

Wa āyatul lahumul-arḍul-maitatu aḥyaināhā wa akhrajnā minhā ḥabban fa minhu ya'kulūn. "Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati (tandus). Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari (biji-bijian) itu mereka makan."

Setelah membahas kisah umat terdahulu, Allah beralih menunjukkan bukti kekuasaan-Nya melalui alam semesta. Tanda pertama adalah bumi yang mati (kering dan tandus). Dengan menurunkan hujan, Allah "menghidupkannya" kembali sehingga menjadi subur. Dari bumi yang tadinya mati itu, keluarlah biji-bijian (seperti gandum, padi) yang menjadi makanan pokok manusia. Proses ini adalah analogi yang sangat jelas tentang bagaimana Allah mampu membangkitkan manusia yang telah mati pada hari kiamat.

Ayat 34

Wa ja'alnā fīhā jannātim min nakhīliw wa a'nābiw wa fajjarnā fīhā minal-'uyūn. "Dan Kami jadikan padanya di bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air."

Selain biji-bijian, Allah juga menumbuhkan kebun-kebun yang indah berisi pohon kurma dan anggur, dua jenis buah yang sangat dikenal dan berharga bagi masyarakat Arab saat itu. Untuk menopang kehidupan kebun-kebun ini, Allah memancarkan mata air dari dalam bumi. Ini semua adalah anugerah yang menunjukkan betapa pemurahnya Allah dalam menyediakan rezeki bagi makhluk-Nya.

Ayat 35

Liya'kulū min ṡamarihī wa mā 'amilathu aidīhim, afalā yasykurūn. "Agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?"

Tujuan dari semua anugerah ini adalah agar manusia dapat menikmatinya sebagai rezeki. Frasa "dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka" bisa berarti bahwa buah-buahan ini bukanlah hasil ciptaan tangan manusia, atau bisa juga berarti mereka menikmati hasil olahan dari buah-buahan tersebut. Setelah memaparkan nikmat yang begitu jelas, Allah bertanya dengan lembut namun tajam: "Maka mengapa mereka tidak bersyukur?" Pertanyaan ini mengajak manusia untuk merenung dan mengakui Sang Pemberi Nikmat.

Ayat 36

Subḥānal-lażī khalaqal-azwāja kullahā mimmā tumbitul-arḍu wa min anfusihim wa mimmā lā ya'lamūn. "Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui."

Ayat ini adalah pujian (tasbih) kepada Allah atas keagungan ciptaan-Nya. Allah menyatakan bahwa Dia telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan (azwaj). Ini mencakup tiga kategori: (1) Apa yang ditumbuhkan bumi (tumbuhan jantan dan betina); (2) Diri mereka sendiri (manusia, laki-laki dan perempuan); dan (3) Makhluk atau hal lain yang manusia tidak ketahui, seperti partikel sub-atomik atau galaksi yang jauh. Konsep pasangan ini adalah tanda keteraturan dan kebesaran Sang Pencipta yang Tunggal.

Ayat 37

Wa āyatul lahumul-lailu naslakhu minhun-nahāra fa iżā hum muẓlimūn. "Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka berada dalam kegelapan."

Tanda kebesaran berikutnya adalah pergantian siang dan malam. Allah menggunakan kata "naslakhu" yang secara harfiah berarti "menguliti" atau "menanggalkan." Siang diibaratkan seperti kulit tipis yang menyelimuti malam. Ketika "kulit" siang itu ditanggalkan, maka muncullah kegelapan malam yang asli. Ini adalah gambaran puitis yang sangat indah untuk menunjukkan betapa mudahnya bagi Allah mengatur fenomena alam yang luar biasa ini.

Ayat 38

Wasy-syamsu tajrī limustaqarril lahā, żālika taqdīrul-'azīzil-'alīm. "Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui."

Selanjutnya, matahari. Ia terus-menerus bergerak ("tajri") menuju tempat peredarannya yang telah ditetapkan ("limustaqarrin laha"). Ini adalah deskripsi yang sangat akurat secara ilmiah, di mana matahari dan seluruh tata surya bergerak dalam orbitnya di galaksi Bima Sakti. Pergerakan yang sangat teratur dan presisi ini bukanlah kebetulan, melainkan "taqdir" (ketetapan) dari Allah Yang "Al-'Aziz" (Mahaperkasa dalam mengatur) dan "Al-'Alim" (Maha Mengetahui segala perhitungan dan ilmunya).

Ayat 39

Wal-qamara qaddarnāhu manāzila ḥattā 'āda kal-'urjūnil-qadīm. "Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan kurma yang tua."

Setelah matahari, kini giliran bulan. Allah telah menetapkan fase-fase atau manzilah-manzilah bagi bulan, dari bulan sabit tipis, menjadi purnama, lalu mengecil lagi hingga kembali seperti "urjunil qadim" (tandan kurma yang tua, kering, dan melengkung). Perumpamaan ini sangat akrab bagi bangsa Arab dan dengan indah menggambarkan bentuk bulan sabit di akhir bulan. Keteraturan fase bulan ini menjadi dasar penanggalan dan menunjukkan presisi ciptaan Allah.

Ayat 40

Lasy-syamsu yambagī lahā an tudrikal-qamara wa lal-lailu sābiqun-nahār, wa kullun fī falakiy yasbaḥūn. "Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya."

Ayat ini menegaskan keteraturan kosmik yang sempurna. Matahari tidak mungkin "mengejar" atau bertabrakan dengan bulan karena masing-masing memiliki orbitnya sendiri. Malam tidak akan mendahului siang, menunjukkan siklus yang tetap dan tidak pernah kacau. Kalimat penutup "wa kullun fi falakin yasbahun" ("dan masing-masing beredar pada garis edarnya") menggunakan kata "yasbahun" yang berarti "berenang," memberikan gambaran indah seolah benda-benda langit itu berenang dengan mulus di lautan angkasa yang luas, semuanya dalam harmoni yang sempurna.

Ayat 41

Wa āyatul lahum annā ḥamalnā żurriyyatahum fil-fulkil-masyḥūn. "Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penuh muatan."

Tanda kebesaran lainnya adalah kemampuan manusia melintasi lautan. Ayat ini bisa merujuk kepada dua makna. Pertama, secara historis, merujuk pada diselamatkannya nenek moyang manusia (kaum Nabi Nuh) di dalam bahtera ("fulkil masyhun") yang penuh muatan. Kedua, secara umum, ini adalah tanda kekuasaan Allah yang mengilhamkan manusia untuk membuat kapal dan memberinya hukum-hukum fisika (seperti hukum apung) yang memungkinkan kapal itu berlayar dengan aman di lautan luas.

Ayat 42

Wa khalaqnā lahum mim miṡlihī mā yarkabūn. "Dan Kami ciptakan untuk mereka dari jenis itu apa yang mereka kendarai."

Selain kapal, Allah juga menciptakan kendaraan-kendaraan lain yang serupa fungsinya. "Mim mitslihi" (dari jenis itu) bisa diartikan sebagai kendaraan lain di darat seperti unta, kuda, dan keledai pada masa itu. Dalam konteks modern, ayat ini juga bisa mencakup segala jenis transportasi yang diciptakan manusia berdasarkan ilham dan hukum alam dari Allah, seperti mobil, kereta api, hingga pesawat terbang. Semua itu adalah nikmat yang memungkinkan manusia bergerak dan menjelajahi bumi.

Ayat 43

Wa in nasya' nugriq-hum falā ṣarīkha lahum wa lā hum yunqażūn. "Dan jika Kami menghendaki, niscaya Kami tenggelamkan mereka; maka tidak ada penolong bagi mereka dan tidak (pula) mereka diselamatkan."

Di tengah lautan, sehebat apa pun kapal yang dibuat manusia, mereka tetap berada dalam genggaman kekuasaan Allah. Jika Allah berkehendak, Dia bisa menenggelamkan mereka dengan mudah, misalnya dengan menciptakan badai besar. Saat itu terjadi, tidak akan ada yang bisa menolong mereka ("fala sharikha lahum"), dan mereka tidak akan bisa menyelamatkan diri. Ini adalah pengingat keras tentang ketergantungan mutlak manusia kepada Allah.

Ayat 44

Illā raḥmatam minnā wa matā'an ilā ḥīn. "Tetapi (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai waktu tertentu."

Keselamatan manusia di lautan (dan dalam hidup secara umum) bukanlah karena kehebatan mereka, melainkan murni karena rahmat (kasih sayang) dari Allah. Allah membiarkan mereka menikmati kesenangan dunia ("mata'an") sampai batas waktu yang telah ditentukan ("ila hin"), yaitu ajal mereka. Ayat ini menekankan bahwa setiap detik kehidupan dan keselamatan adalah anugerah yang patut disyukuri.

Penolakan Kaum Kafir dan Datangnya Hari Kiamat

Ayat 45

Wa iżā qīla lahumuttaqū mā baina aidīkum wa mā khalfakum la'allakum turḥamūn. "Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Takutlah kamu akan siksa yang di hadapanmu (di dunia) dan azab yang akan datang (di akhirat) agar kamu mendapat rahmat.”"

Setelah pemaparan tanda-tanda kebesaran Allah, ayat ini kembali menggambarkan sikap kaum kafir. Ketika mereka dinasihati untuk bertakwa—yaitu waspada terhadap azab di dunia (seperti yang menimpa umat terdahulu) dan azab di akhirat—dengan harapan mereka akan mendapatkan rahmat Allah, mereka justru berpaling dan tidak peduli.

Ayat 46

Wa mā ta'tīhim min āyatim min āyāti rabbihim illā kānū 'anhā mu'riḍīn. "Dan setiap kali suatu tanda dari tanda-tanda (kebesaran) Tuhan datang kepada mereka, mereka selalu berpaling darinya."

Sikap berpaling (i'radh) ini sudah menjadi karakter mereka. Tidak peduli berapa banyak pun ayat atau tanda kekuasaan Allah yang datang, baik berupa ayat Al-Qur'an maupun fenomena alam, mereka selalu menolaknya. Hati mereka telah tertutup dari kebenaran, sehingga bukti apa pun tidak akan berpengaruh lagi.

Ayat 47

Wa iżā qīla lahum anfiqū mimmā razaqakumullāhu qālal-lażīna kafarū lillāżīna āmanū anuṭ'imu mal lau yasyā'ullāhu aṭ'amahū in antum illā fī ḍalālim mubīn. "Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, “Apakah kami akan memberi makan kepada orang yang jika Allah menghendaki, niscaya Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”"

Selain menolak ayat-ayat Allah, mereka juga menolak perintah untuk berbagi rezeki. Ketika diajak berinfak, mereka menjawab dengan logika yang sesat dan arogan. Mereka berkata, "Kalau Allah mau, Dia bisa saja memberi makan orang miskin itu. Kenapa kami yang harus melakukannya?" Mereka seolah-olah menyalahkan takdir Allah untuk membenarkan kekikiran mereka. Ironisnya, mereka justru menuduh orang-orang beriman yang mengajak berinfak berada dalam kesesatan yang nyata.

Ayat 48

Wa yaqūlūna matā hāżal-wa'du in kuntum ṣādiqīn. "Dan mereka berkata, “Kapankah janji (hari berbangkit) itu (akan datang), jika kamu orang yang benar?”"

Karena mengingkari akhirat, mereka sering menantang dan mengejek janji hari kiamat. Pertanyaan "Kapan?" ini bukanlah pertanyaan untuk mencari tahu, melainkan untuk meremehkan dan menunjukkan ketidakpercayaan mereka. Ini adalah puncak dari pembangkangan mereka terhadap peringatan yang telah diberikan.

Ayat 49

Mā yanẓurūna illā ṣaiḥataw wāḥidatan ta'khużuhum wa hum yakhiṣṣimūn. "Mereka hanya menunggu satu teriakan saja, yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar."

Allah menjawab tantangan mereka. Kiamat yang mereka tunggu-tunggu itu akan datang secara tiba-tiba, hanya dengan satu tiupan sangkakala pertama (teriakan). Peristiwa dahsyat itu akan menimpa mereka saat mereka sedang sibuk dengan urusan duniawi, bahkan saat sedang bertengkar ("yakhishshimun") memperebutkan hal-hal sepele. Kedatangannya yang mendadak tidak memberi mereka kesempatan untuk bertaubat atau bersiap.

Ayat 50

Falā yastaṭī'ūna tauṣiyataw wa lā ilā ahlihim yarji'ūn. "Sehingga mereka tidak mampu membuat suatu wasiat pun dan tidak (pula) dapat kembali kepada keluarganya."

Saking cepat dan dahsyatnya peristiwa itu, mereka tidak akan sempat lagi berwasiat tentang harta atau urusan mereka. Mereka juga tidak akan bisa kembali ke rumah atau keluarga mereka. Semua aktivitas duniawi akan terhenti seketika, menunjukkan betapa kiamat akan memutus segala hubungan dan urusan dunia secara total.

Ayat 51

Wa nufikha fiṣ-ṣūri fa iżā hum minal-ajdāṡi ilā rabbihim yansilūn. "Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup) menuju kepada Tuhannya."

Setelah tiupan pertama yang mematikan, datanglah tiupan sangkakala kedua, yaitu tiupan kebangkitan. Seketika itu, semua manusia akan bangkit dari kubur mereka ("al-ajdats") dan bergegas ("yansilun") menuju Tuhan mereka untuk menghadapi pengadilan. Peristiwa yang dulu mereka dustakan kini terjadi di depan mata mereka.

Ayat 52

Qālū yā wailanā mam ba'aṡanā mim marqadinā, hāżā mā wa'adar-raḥmānu wa ṣadaqal-mursalūn. "Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur (kubur) kami?” (Lalu dikatakan kepada mereka), “Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya).”"

Dalam keadaan kaget dan panik, orang-orang kafir itu berteriak, "Celakalah kami! Siapa yang membangunkan kami dari tempat tidur kami?" Mereka menganggap kubur sebagai tempat tidur ("marqad"), yang menunjukkan bahwa azab kubur yang mereka rasakan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kengerian hari kebangkitan. Lalu datanglah jawaban, entah dari malaikat atau dari orang-orang beriman, "Inilah janji Ar-Rahman (Allah) yang dulu kalian dustakan, dan benarlah apa yang dikatakan oleh para rasul." Saat itulah mereka menyadari kebenaran yang selama ini mereka ingkari.

Ayat 53

In kānat illā ṣaiḥataw wāḥidatan fa iżā hum jamī'ul ladainā muḥḍarūn. "Teriakan itu hanya sekali saja, maka seketika itu mereka semua dihadapkan kepada Kami."

Proses kebangkitan dan pengumpulan ini pun terjadi dengan sangat cepat, hanya dengan satu teriakan atau perintah. Dalam sekejap, seluruh umat manusia dari awal hingga akhir zaman sudah terkumpul di hadapan Allah untuk diadili. Tidak ada satu pun yang bisa melarikan diri atau bersembunyi.

Ayat 54

Fal-yauma lā tuẓlamu nafsun syai'aw wa lā tujzauna illā mā kuntum ta'malūn. "Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak akan diberi balasan, kecuali sesuai dengan apa yang telah kamu kerjakan."

Pada hari pengadilan itu, keadilan Allah akan ditegakkan secara mutlak. Tidak ada satu jiwa pun yang akan dizalimi atau dirugikan sedikit pun. Balasan yang diterima, baik surga maupun neraka, adalah cerminan yang adil dari perbuatan yang telah mereka lakukan di dunia. Prinsip ini menjamin bahwa setiap orang akan bertanggung jawab penuh atas pilihannya.

Keadaan Penghuni Surga dan Penghuni Neraka

Ayat 55

Inna aṣ-ḥābal-jannatil-yauma fī syugulin fākihūn. "Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka)."

Setelah menjelaskan tentang hari pengadilan, Allah menggambarkan keadaan para pemenang, yaitu penghuni surga. Pada hari itu, mereka berada dalam "syughulin fakihun," yaitu kesibukan yang penuh dengan kesenangan dan kegembiraan. Berbeda dengan kesibukan di dunia yang seringkali melelahkan, kesibukan di surga adalah menikmati berbagai macam kenikmatan yang tiada henti, seperti menikmati hidangan, mendengarkan musik surgawi, atau bersenda gurau dengan pasangan.

Ayat 56

Hum wa azwājuhum fī ẓilālin 'alal-arā'iki muttaki'ūn. "Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan."

Kenikmatan ini mereka rasakan bersama pasangan mereka ("azwajuhum"), dalam suasana yang sangat nyaman dan santai. Mereka berada di tempat yang teduh ("zhilal"), terlindung dari panas, dan bersandar ("muttaki'un") di atas dipan-dipan yang indah ("ara'ik"). Ini adalah gambaran ketenangan dan kemewahan yang sempurna.

Ayat 57

Lahum fīhā fākihatuw wa lahum mā yadda'ūn. "Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa saja yang mereka minta."

Di surga, mereka akan mendapatkan segala jenis buah-buahan ("fakihah") yang lezat. Lebih dari itu, mereka akan mendapatkan apa pun yang mereka inginkan atau minta ("ma yadda'un"). Tidak ada satu pun keinginan mereka yang tidak terpenuhi. Ini menunjukkan tingkat pemuliaan yang luar biasa dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang taat.

Ayat 58

Salāmun qaulam mir rabbir raḥīm. " (Kepada mereka dikatakan), “Salam,” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang."

Inilah puncak dari segala kenikmatan surga. Mereka menerima ucapan "Salam" (damai, sejahtera) secara langsung dari Allah, Tuhan Yang Maha Penyayang ("Rabbir Rahim"). Ucapan salam dari Sang Pencipta adalah bentuk penghormatan dan keridhaan tertinggi yang membuat semua kenikmatan lain terasa kecil. Ini adalah kedamaian sejati yang tidak akan pernah bisa dirasakan di dunia.

Ayat 59

Wamtāzul-yauma ayyuhal-mujrimūn. "Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), “Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, wahai orang-orang yang berdosa!”"

Setelah menggambarkan nikmat surga, suasana beralih secara drastis. Allah memerintahkan orang-orang yang berdosa ("al-mujrimun") untuk memisahkan diri dari barisan orang-orang beriman. "Wamtazu" adalah perintah untuk berpisah, menandakan dimulainya pemisahan abadi antara penghuni surga dan penghuni neraka.

Ayat 60

Alam a'had ilaikum yā banī ādama al lā ta'budusy-syaiṭān, innahū lakum 'aduwwum mubīn. "Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu."

Allah kemudian mengingatkan mereka akan perjanjian ("'ahd") yang telah Dia ambil dari seluruh anak cucu Adam. Perjanjian mendasar itu adalah untuk tidak menyembah atau menaati setan, karena setan adalah musuh yang paling nyata ("'aduwwun mubin"). Menyembah setan di sini tidak selalu berarti sujud kepadanya, tetapi mencakup mengikuti bisikan, ajakan, dan jalan hidup yang ditawarkannya, yang bertentangan dengan perintah Allah.

Ayat 61

Wa ani'budūnī, hāżā ṣirāṭum mustaqīm. "Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus."

Sebagai lawan dari mengikuti setan, perintah Allah sangatlah jelas: "Sembahlah Aku." Hanya dengan menyembah Allah semata, manusia akan berada di atas jalan yang lurus ("shirathum mustaqim"), yaitu jalan yang akan mengantarkan kepada keselamatan dan kebahagiaan sejati. Perjanjian ini telah disampaikan melalui para rasul dan kitab suci.

Ayat 62

Wa laqad aḍalla minkum jibillan kaṡīrā, afalam takūnū ta'qilūn. "Dan sungguh, ia (setan) telah menyesatkan sebagian besar di antara kamu. Maka apakah kamu tidak mengerti?"

Allah menunjukkan bukti nyata dari permusuhan setan. Ia telah berhasil menyesatkan "jibillan katsira" (golongan atau generasi yang sangat banyak) dari umat manusia. Sejarah telah membuktikan betapa banyak manusia yang terjerumus oleh tipu dayanya. Allah lalu bertanya, "Apakah kamu tidak menggunakan akalmu?" untuk melihat jejak penyesatan ini dan mengambil pelajaran darinya?

Ayat 63

Hāżihī jahannamul-latī kuntum tū'adūn. "Inilah (neraka) Jahanam yang dahulu telah diperingatkan kepadamu."

Setelah pengingkaran mereka terbukti, neraka Jahanam pun ditampakkan di hadapan mereka. Dikatakan kepada mereka, "Inilah neraka yang dulu para rasul telah memperingatkannya kepadamu, tetapi kamu selalu mendustakannya." Ancaman yang dulu mereka anggap dongeng kini menjadi kenyataan yang mengerikan.

Ayat 64

Iṣlauhal-yauma bimā kuntum takfurūn. "Masuklah ke dalamnya pada hari ini karena dahulu kamu mengingkarinya."

Mereka kemudian diperintahkan untuk masuk dan merasakan siksa neraka ("Ishlauha"). Azab ini adalah balasan yang setimpal atas kekafiran dan penolakan mereka di dunia ("bima kuntum takfurun"). Ini adalah hari pembalasan atas pilihan-pilihan yang mereka ambil sendiri.

Ayat 65

Al-yauma nakhtimu 'alā afwāhihim wa tukallimunā aidīhim wa tasyhadu arjuluhum bimā kānū yaksibūn. "Pada hari ini Kami kunci mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan menjadi saksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan."

Di pengadilan akhirat, mulut manusia akan dikunci. Mereka tidak bisa lagi berbohong atau membela diri dengan kata-kata dusta. Sebaliknya, anggota tubuh mereka sendiri yang akan menjadi saksi. Tangan akan berbicara tentang apa yang telah diperbuatnya, dan kaki akan bersaksi ke mana ia telah melangkah. Semua perbuatan, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, akan terungkap tanpa bisa disangkal.

Ayat 66

Wa lau nasyā'u laṭamasnā 'alā a'yunihim fastabaquṣ-ṣirāṭa fa annā yubṣirūn. "Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka; lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan. Maka bagaimana mungkin mereka dapat melihat?"

Allah menunjukkan betapa mudahnya bagi-Nya untuk mengazab mereka bahkan di dunia. Jika Allah mau, Dia bisa saja membutakan mata mereka ("lathamasna 'ala a'yunihim"). Dalam keadaan buta, mereka akan berusaha mencari jalan, tetapi tentu saja mereka tidak akan bisa melihat. Ini adalah gambaran bahwa nikmat penglihatan yang mereka gunakan untuk maksiat bisa dicabut kapan saja.

Ayat 67

Wa lau nasyā'u lamasakhnāhum 'alā makānatihim famastaṭā'ū muḍiyyaw wa lā yarji'ūn. "Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami ubah bentuk mereka di tempat mereka berada; sehingga mereka tidak sanggup berjalan lagi dan tidak (pula) sanggup kembali."

Bahkan lebih dari itu, jika Allah berkehendak, Dia bisa mengubah wujud mereka menjadi sesuatu yang hina (misalnya batu atau patung) di tempat mereka berada ("'ala makanatihim"). Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak akan bisa maju ataupun mundur. Ini menunjukkan bahwa kemampuan manusia untuk bergerak dan beraktivitas sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Allah, namun Allah menangguhkan azab-Nya sebagai ujian.

Ayat 68

Wa man nu'ammirhu nunakkishu fil-khalqi afalā ya'qilūn. "Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadiannya (semula). Maka mengapa mereka tidak mengerti?"

Allah memberikan contoh nyata dari kekuasaan-Nya yang bisa dilihat setiap hari: proses penuaan. Siapa pun yang dipanjangkan umurnya, fisiknya akan dikembalikan ke kondisi lemah seperti bayi ("nunakkishu fil-khalq"). Kekuatannya menurun, ingatannya melemah, dan ia kembali menjadi tidak berdaya. Proses ini seharusnya menjadi pelajaran bagi manusia tentang betapa fana kekuatan mereka dan betapa mutlaknya kekuasaan Allah. "Maka mengapa mereka tidak menggunakan akal?"

Penegasan atas Kenabian dan Al-Qur'an

Ayat 69

Wa mā 'allamnāhusy-syi'ra wa mā yambagī lah, in huwa illā żikruw wa qur'ānum mubīn. "Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur'an itu tidak lain adalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan."

Ayat ini adalah bantahan tegas terhadap tuduhan kaum kafir bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang penyair dan Al-Qur'an adalah syair. Allah menegaskan bahwa Dia tidak pernah mengajarkan syair kepada Nabi, dan memang tidak pantas seorang nabi menjadi penyair. Al-Qur'an bukanlah syair yang didasarkan pada imajinasi dan emosi, melainkan "Dzikrun" (pelajaran dan peringatan) dan "Qur'anum Mubin" (bacaan yang jelas dan memberi penerangan), yang isinya adalah kebenaran mutlak dari Allah.

Ayat 70

Liyunżira man kāna ḥayyaw wa yaḥiqqal-qaulu 'alal-kāfirīn. "Agar dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan agar pasti ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir."

Tujuan Al-Qur'an diturunkan adalah untuk memberi peringatan kepada "orang yang hidup" ("man kana hayyan"). "Hidup" di sini bukan sekadar hidup secara biologis, tetapi hidup hatinya, yaitu orang yang mau menggunakan akal dan nuraninya untuk menerima kebenaran. Sebaliknya, bagi mereka yang hatinya mati (orang-orang kafir), Al-Qur'an akan menjadi hujjah atau bukti yang menetapkan hukuman azab atas mereka.

Ayat 71

Awalam yarau annā khalaqnā lahum mimmā 'amilat aidīnā an'āman fa hum lahā mālikūn. "Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan untuk mereka hewan ternak dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami, lalu mereka menguasainya?"

Allah kembali mengajak manusia untuk memperhatikan nikmat-Nya. Dia menciptakan hewan ternak ("an'am") seperti unta, sapi, dan kambing. Frasa "dari apa yang diciptakan tangan-tangan Kami" adalah ungkapan kiasan yang menunjukkan bahwa penciptaan ini adalah karya langsung dari kekuasaan Allah, tanpa perantara. Ajaibnya, meskipun hewan-hewan ini lebih besar dan kuat, manusia diberi kemampuan untuk menguasai dan memilikinya.

Ayat 72

Wa żallalnāhā lahum fa minhā rakūbuhum wa minhā ya'kulūn. "Dan Kami menundukkannya untuk mereka; lalu sebagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebagian (yang lain) mereka makan."

Allah telah menundukkan ("dzallalnaha") hewan-hewan ternak itu untuk kepentingan manusia. Mereka begitu jinak dan patuh sehingga bisa dijadikan tunggangan ("rakubuhum") dan dagingnya bisa dimakan. Ini adalah sebuah anugerah luar biasa yang seringkali dianggap remeh oleh manusia.

Ayat 73

Wa lahum fīhā manāfi'u wa masyarib, afalā yasykurūn. "Dan mereka memperoleh padanya banyak manfaat dan minuman. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?"

Selain sebagai tunggangan dan makanan, hewan ternak juga memberikan banyak manfaat lain ("manafi'"), seperti kulitnya untuk pakaian dan perabotan, serta tenaganya untuk membajak. Susunya juga menjadi minuman ("masyarib") yang bergizi. Setelah memaparkan semua manfaat ini, Allah kembali bertanya: "Maka mengapa mereka tidak bersyukur?"

Ayat 74

Wattakhażū min dūnillāhi ālihatal la'allahum yunṣarūn. "Dan mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan."

Sangat ironis, bukannya bersyukur kepada Allah Sang Pemberi Nikmat, mereka justru mengambil tuhan-tuhan lain selain Dia. Mereka menyembah berhala, dewa, atau makhluk lain dengan harapan sembahan-sembahan itu bisa menolong mereka ("yansharun") dari marabahaya atau memberikan mereka keuntungan.

Ayat 75

Lā yastaṭī'ūna naṣrahum wa hum lahum jundum muḥḍarūn. "Mereka (sesembahan) itu tidak dapat menolong mereka; padahal mereka itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga (sesembahan) itu."

Allah membantah harapan kosong mereka. Sembahan-sembahan itu sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menolong para penyembahnya. Kenyataannya justru terbalik. Para penyembah itulah yang menjadi "tentara" ("jundun") yang menjaga dan membela berhala-berhala mereka. Pada hari kiamat, berhala-berhala itu justru akan dihadirkan untuk menjadi saksi yang memberatkan para penyembahnya.

Ayat 76

Falā yaḥzunka qauluhum, innā na'lamu mā yusirrūna wa mā yu'linūn. "Maka janganlah ucapan mereka menyedihkanmu (Muhammad). Sungguh, Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan."

Ayat ini ditujukan sebagai penghiburan bagi Nabi Muhammad SAW. Allah memerintahkan beliau untuk tidak bersedih hati atas perkataan, cemoohan, dan tuduhan dusta dari kaum kafir. Allah meyakinkan Nabi bahwa Dia Maha Mengetahui segalanya, baik yang mereka sembunyikan dalam hati ("yusirrun") maupun yang mereka ucapkan secara terang-terangan ("yu'linun"). Pengetahuan Allah ini mengandung janji bahwa semua perbuatan mereka akan mendapat balasan yang adil.

Puncak Argumentasi: Kekuasaan untuk Membangkitkan

Ayat 77

Awalam yaral-insānu annā khalaqnāhu min nuṭfatin fa iżā huwa khaṣīmum mubīn. "Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, lalu tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata."

Allah mengajak manusia untuk merenungkan asal-usulnya sendiri yang hina. Manusia diciptakan dari "nuthfah," setetes air mani yang tidak berarti. Namun, setelah ia tumbuh menjadi manusia yang kuat dan mampu berpikir, ia justru menjadi "khashimun mubin," penantang yang nyata. Ia dengan sombongnya mendebat dan menentang Tuhannya yang telah menciptakannya, terutama dalam hal hari kebangkitan.

Ayat 78

Wa ḍaraba lanā maṡalaw wa nasiya khalqah, qāla may yuḥyil-'iẓāma wa hiya ramīm. "Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan dia lupa akan kejadiannya; ia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?”"

Orang kafir itu (dalam riwayat, adalah Ubay bin Khalaf yang datang membawa tulang busuk) membuat perumpamaan untuk melemahkan kuasa Allah. Sambil meremukkan tulang yang telah lapuk ("ramim"), ia bertanya dengan nada mengejek, "Siapa yang bisa menghidupkan tulang yang sudah hancur ini?" Dalam kesombongannya, ia lupa pada penciptaannya sendiri ("nasiya khalqah") yang jauh lebih menakjubkan, yaitu diciptakan dari ketiadaan.

Ayat 79

Qul yuḥyīhal-lażī ansya'ahā awwala marrah, wa huwa bikulli khalqin 'alīm. "Katakanlah (Muhammad), “Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.”"

Allah memerintahkan Nabi untuk menjawab dengan argumen yang sangat logis dan kuat. "Katakanlah, Dia yang akan menghidupkannya adalah Dzat yang telah menciptakannya pada kali pertama." Secara logika, menciptakan sesuatu dari ketiadaan (penciptaan pertama) jauh lebih sulit daripada mengembalikan sesuatu yang sudah pernah ada (pembangkitan). Jika Allah mampu melakukan yang "lebih sulit," tentu Dia lebih mampu melakukan yang "lebih mudah." Di akhir ayat, Allah menegaskan, "Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala ciptaan," yang berarti Dia tahu persis setiap detail dari makhluk-Nya, bahkan setelah hancur menjadi debu.

Ayat 80

Allażī ja'ala lakum minasy-syajaril-akhḍari nāran fa iżā antum minhu tūqidūn. "Yaitu (Allah) yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu nyalakan (api) dari kayu itu."

Allah memberikan contoh lain dari kekuasaan-Nya yang luar biasa, yaitu mengeluarkan sesuatu dari kebalikannya. Dia menciptakan api yang panas dan kering dari kayu yang hijau ("syajaril akhdhar"), yang mengandung air dan bersifat dingin. Bangsa Arab biasa menggunakan kayu jenis Markh dan 'Afar yang hijau untuk menyalakan api. Jika Allah mampu mengeluarkan api yang kering dari kayu yang basah, maka Dia juga mampu membangkitkan kehidupan dari tulang-belulang yang mati.

Ayat 81

Awalaisal-lażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa biqādirin 'alā ay yakhluqa miṡlahum, balā wa huwal-khallāqul-'alīm. "Dan bukankah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi, mampu menciptakan kembali yang serupa itu (jasad mereka yang telah hancur)? Benar. Dan Dialah Maha Pencipta, Maha Mengetahui."

Ini adalah argumen pamungkas. Allah bertanya, bukankah Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi yang begitu besar dan kompleks, lebih mampu untuk menciptakan kembali manusia yang jauh lebih kecil? Jawabannya adalah "Bala" (Tentu saja benar). Penciptaan langit dan bumi adalah bukti kekuasaan yang jauh lebih besar. Ayat ini ditutup dengan dua nama Allah: "Al-Khallaq" (Maha Pencipta, yang terus-menerus menciptakan) dan "Al-'Alim" (Maha Mengetahui), yang menguatkan argumen tersebut.

Ayat 82

Innamā amruhū iżā arāda syai'an ay yaqūla lahū kun fa yakūn. "Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu."

Ayat ini menjelaskan mekanisme kekuasaan Allah. Untuk menciptakan atau melakukan apa pun, Allah tidak memerlukan proses, waktu, atau usaha. Jika Dia menghendaki sesuatu, perintah-Nya ("amruhu") sangatlah sederhana: Dia hanya berfirman "Kun" (Jadilah!), maka seketika itu juga terjadilah ("fayakun"). Ini menunjukkan betapa absolut dan mudahnya segala urusan bagi Allah SWT, termasuk membangkitkan seluruh umat manusia.

Ayat 83

Fa subḥānal-lażī biyadihī malakūtu kulli syai'iw wa ilaihi turja'ūn. "Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan."

Surat Yasin ditutup dengan sebuah tasbih yang agung, menyucikan Allah dari segala kelemahan dan kekurangan yang dituduhkan oleh kaum kafir. "Fa Subhanallah," Mahasuci Allah yang "di tangan-Nya kekuasaan mutlak atas segala sesuatu" ("biyadihi malakutu kulli syai'"). Kata "malakut" menunjukkan bentuk kekuasaan yang paling tinggi dan absolut. Ayat ini merangkum seluruh tema surat ini dan ditutup dengan pengingat akhir yang paling penting: "dan hanya kepada-Nyalah kamu semua akan dikembalikan." Ini adalah kesimpulan yang tak terhindarkan bagi setiap jiwa.

🏠 Kembali ke Homepage