Merajam: Sejarah, Hukum, dan Kontroversi Global Hukuman Mati

Sebuah Tinjauan Komprehensif Mengenai Sanksi Paling Kontroversial dalam Jurisprudensi Dunia.

Pendahuluan: Definisi dan Makna Merajam

Kata "merajam" atau "rajam" (sering diterjemahkan sebagai stoning) merujuk pada bentuk hukuman mati yang dilaksanakan dengan cara melempar batu kepada terpidana hingga meninggal dunia. Praktik ini merupakan salah satu sanksi tertua yang tercatat dalam sejarah peradaban manusia, melintasi batas-batas geografis, budaya, dan tradisi hukum kuno. Meskipun keberadaannya telah berabad-abad, hukuman merajam tetap menjadi topik yang sangat panas dan diperdebatkan di tingkat internasional, sering kali menjadi titik fokus persinggungan antara hukum agama, hukum positif negara, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia universal.

Dalam konteks teologis dan yurisprudensi, merajam umumnya dikaitkan dengan kejahatan moral yang dianggap sangat berat, terutama perzinaan (zina) yang dilakukan oleh individu yang sudah menikah (muhshan). Namun, kompleksitas penerapan hukuman ini jauh melampaui definisi sederhana tersebut. Pelaksanaannya diatur oleh serangkaian prasyarat pembuktian yang ketat, sering kali sangat sulit dipenuhi, mencerminkan sifatnya sebagai sanksi yang ekstrem dan final.

Tinjauan ini bertujuan untuk menyelami kedalaman historis dan teologis dari praktik merajam, membedah perbedaan interpretasi antar mazhab hukum, menganalisis prosedur pelaksanaan yang diatur, serta mendiskusikan kritik keras yang dilontarkan oleh komunitas internasional terkait etika dan kemanusiaan sanksi tersebut. Pemahaman yang komprehensif atas dinamika ini penting untuk menempatkan hukuman merajam dalam kerangka diskursus hukum dan kemanusiaan global.

Ilustrasi Timbangan Kuno
Gambar 1: Representasi keadilan kuno yang mengukur beratnya sanksi hukum.

Akar Sejarah dan Praktik Kuno

Merajam bukanlah praktik yang eksklusif bagi satu agama atau budaya tertentu; melainkan, ia muncul sebagai mekanisme pembersihan sosial dan penegakan tatanan di berbagai masyarakat kuno. Fungsi utamanya adalah untuk menyingkirkan elemen yang dianggap mengancam kohesi komunal, sering kali melibatkan kejahatan yang merusak moralitas publik atau menimbulkan kemarahan ilahi.

Merajam dalam Peradaban Mesopotamia dan Yunani Kuno

Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa bentuk hukuman kolektif serupa telah ada sejak zaman Mesopotamia. Meskipun Kode Hammurabi (sekitar abad ke-18 SM) lebih fokus pada hukuman berbasis talion ("mata ganti mata"), praktik pengusiran atau penghancuran kolektif terhadap pelanggar berat sudah dikenal. Di Yunani kuno, meskipun metode hukuman mati yang paling terkenal adalah racun (seperti kasus Socrates) atau pelemparan dari tebing, hukuman lemparan batu kadang digunakan untuk kejahatan serius terhadap negara atau agama, mencerminkan pembalasan kolektif dari masyarakat.

Tradisi Yahudi dan Perjanjian Lama

Hukuman merajam secara eksplisit ditetapkan dalam Taurat (Lima Kitab Musa) sebagai sanksi untuk berbagai pelanggaran berat. Ayat-ayat dalam Keluaran, Imamat, dan Ulangan menyebutkan hukuman ini untuk dosa-dosa seperti penghujatan, sihir, penyembahan berhala, dan perzinaan. Misalnya, Ulangan 22:23–24 menetapkan bahwa jika seorang gadis yang bertunangan berzina di kota, ia dan pasangannya harus dibawa ke gerbang kota dan dirajam hingga mati oleh seluruh rakyat.

Namun, dalam perkembangan Yudaisme rabbinik, khususnya setelah periode Bait Suci Kedua, pelaksanaan hukuman mati secara umum menjadi semakin jarang. Para rabi menerapkan aturan pembuktian yang sangat ketat—membutuhkan kesaksian dua saksi mata yang telah diperingatkan sebelumnya tentang konsekuensi perbuatannya—sehingga praktik merajam hampir mustahil untuk dilaksanakan. Pembatasan ini menunjukkan pergeseran dari literalitas hukum menuju interpretasi yang memprioritaskan rahmat dan kehidupan, sebuah strategi yang dikenal sebagai ‘memagari’ hukum agar pelaksanaannya seminimal mungkin.

Analisis Teologis dalam Jurisprudensi Islam

Dalam Islam, hukuman merajam (disebut *hadd ar-rajm*) ditetapkan sebagai sanksi bagi perzinaan (zina) yang dilakukan oleh individu yang sudah menikah (muhshan). Meskipun sanksi ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, landasan hukumnya berasal dari tradisi kenabian (Sunnah), Ijma' (konsensus ulama klasik), dan praktik yang tercatat pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin.

Dalil dan Perdebatan Al-Qur'an versus Hadits

Ayat Al-Qur'an yang membahas hukuman bagi pezina yang belum menikah (ghayr muhshan) adalah Surah An-Nur ayat 2, yang menetapkan hukuman cambuk 100 kali. Namun, untuk pezina muhshan, dasar hukum rajam terutama ditemukan dalam Hadits mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh banyak jalur perawi, sehingga diyakini otentisitasnya). Beberapa riwayat penting mencakup kisah Ma'iz bin Malik dan al-Ghamidiyyah, dua orang yang datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengakui perzinaan mereka dan kemudian dirajam.

Perdebatan teologis muncul karena ketidakjelasan sanksi rajam dalam teks Al-Qur'an yang ada. Sebagian ulama, khususnya dari kalangan modernis dan liberal, berpendapat bahwa karena Al-Qur'an hanya menyebutkan cambuk, rajam seharusnya tidak menjadi bagian dari hukum pidana Islam modern. Namun, mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama'ah dan mazhab fikih tradisional (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) menegaskan bahwa Hadits yang kuat dan praktik historis menetapkan rajam sebagai sanksi hadd yang sah untuk muhshan.

Syarat Pelaksanaan yang Ketat (Syuruth al-Muhshan)

Hukuman merajam tidak dapat diterapkan pada sembarang kasus zina. Jurisprudensi Islam menetapkan serangkaian prasyarat yang sangat ketat yang harus dipenuhi oleh terpidana untuk dianggap sebagai ‘muhshan’ (individu yang layak dirajam):

  1. **Akad Nikah yang Sah:** Terpidana harus pernah melakukan hubungan seksual dalam pernikahan yang sah (dakhul).
  2. **Baligh dan Berakal:** Terpidana harus sudah dewasa dan tidak gila.
  3. **Kebebasan:** Terpidana harus orang merdeka (bukan budak).
  4. **Kesadaran Penuh:** Perbuatan zina dilakukan tanpa paksaan atau keraguan (syubhat).

Prosedur Pembuktian: Saksi dan Pengakuan

Untuk menghindari kesalahan fatal, hukum Islam menetapkan dua metode pembuktian yang hampir mustahil untuk dipenuhi, sebuah mekanisme yang secara inheren mendorong penghindaran sanksi rajam:

A. Kesaksian Empat Saksi Mata (Syuhud Arba'ah)

Pembuktian melalui saksi memerlukan empat saksi mata laki-laki dewasa yang adil (*'adil*) dan terpercaya. Syarat yang paling ekstrem adalah bahwa keempatnya harus melihat secara bersamaan dan jelas—tanpa keraguan sedikit pun—bahwa hubungan seksual (penetrasi) benar-benar terjadi. Jika salah satu saksi gagal memenuhi kriteria ini, atau jika kesaksian mereka bertentangan, bukan hanya hukuman rajam dibatalkan, tetapi keempat saksi tersebut dikenakan hukuman cambuk 80 kali (qadzf) karena tuduhan palsu, menjatuhkan kredibilitas mereka seumur hidup.

Persyaratan yang luar biasa sulit ini—yang mengharuskan saksi melihat "seperti celak masuk ke tempat celak"—diinterpretasikan oleh banyak ahli hukum sebagai penghalang yang hampir mutlak. Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa hadd ar-rajm hanya diterapkan pada kasus di mana kejahatan tersebut dilakukan secara terang-terangan (jarimah mutazahharah), menantang tatanan publik, dan tidak mungkin disembunyikan.

B. Pengakuan (Iqrar)

Metode kedua adalah pengakuan sukarela oleh pelaku. Dalam kasus Ma'iz dan Al-Ghamidiyyah, mereka datang dan mengakui dosa mereka. Namun, bahkan pengakuan pun harus memenuhi syarat berat. Menurut beberapa mazhab (terutama Hanafi dan Hanbali), pengakuan harus diulang sebanyak empat kali dalam empat sesi terpisah, dan hakim (qadhi) dianjurkan untuk mencari alasan logis untuk menolak atau meragukan pengakuan tersebut. Hakim didorong untuk menyarankan pelaku agar bertobat, atau mempertimbangkan kemungkinan adanya paksaan atau ketidaksadaran penuh (syubhat).

Prinsip yudisial yang mendasar dalam fikih adalah "menghindarkan hukuman hadd karena adanya syubhat (keraguan)." Keraguan sekecil apa pun wajib dimanfaatkan oleh hakim untuk menggugurkan sanksi hadd, menggantinya dengan hukuman *ta'zir* (hukuman yang ditentukan oleh hakim) yang lebih ringan.

Perbedaan Mazhab dalam Prosedur Merajam

Meskipun semua mazhab sunni menerima rajam sebagai hukuman, terdapat perbedaan dalam prosedur dan detail pelaksanaannya:

Mazhab Hanafi: Prioritas Repentance (Taubah)

Mazhab Hanafi cenderung paling ketat dalam pembuktian dan menekankan pentingnya *tawbah* (pertobatan). Mereka menuntut agar pelaku tidak hanya berakal saat melakukan perbuatan, tetapi juga berakal saat membuat pengakuan. Jika pelaku menarik pengakuannya saat pelaksanaan, hukuman harus segera dihentikan.

Mazhab Maliki: Status Pengakuan

Mazhab Maliki, yang mendominasi Afrika Utara, juga menerima rajam berdasarkan pengakuan, tetapi tidak selalu menuntut pengulangan empat kali seperti Hanafi, meskipun mereka tetap menekankan hak hakim untuk menolak pengakuan jika ada keraguan.

Mazhab Syafi'i: Implementasi Hukuman

Mazhab Syafi'i menetapkan bahwa jika pelaku wanita hamil dirajam, hukuman ditunda sampai anak yang dikandung lahir dan disusui atau disapih (sekitar dua tahun), menunjukkan pertimbangan terhadap kehidupan yang tidak bersalah.

Mazhab Hanbali: Batu dan Ukuran Lubang

Mazhab Hanbali memberikan detail spesifik mengenai pelaksanaan, termasuk ukuran batu (tidak terlalu besar sehingga membunuh seketika, tetapi tidak terlalu kecil sehingga memperpanjang penderitaan) dan kedalaman lubang bagi terpidana wanita (sampai dada) dan pria (sampai pinggang), memastikan mereka tidak dapat melarikan diri.

Ilustrasi Teks Hukum dan Interpretasi
Gambar 2: Kompleksitas penafsiran hukum agama yang melibatkan teks, tradisi, dan akal.

Perbandingan Teologis: Tradisi Kristen

Meskipun merajam adalah bagian dari hukum Yahudi yang termuat dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dalam tradisi Kristen secara substansial mengubah penerapannya. Momen paling signifikan yang menandai pergeseran ini adalah kisah yang diceritakan dalam Injil Yohanes 8:1–11, yang dikenal sebagai kisah wanita yang tertangkap basah berzina.

Kasus Wanita Pezina (Yohanes 8)

Ketika para ahli Taurat dan orang Farisi membawa seorang wanita yang tertangkap basah berzina kepada Yesus, mereka menuntut pelaksanaan hukuman rajam sesuai hukum Musa. Yesus merespons dengan kalimat terkenal, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepadanya." Akibatnya, semua orang yang ingin merajam wanita itu pergi satu per satu, meninggalkan Yesus dan wanita tersebut.

Peristiwa ini, yang sering diinterpretasikan sebagai penekanan Yesus pada rahmat, pengampunan, dan kritik terhadap kemunafikan dalam penghakiman, secara efektif mengakhiri dukungan Kristen terhadap pelaksanaan hukuman rajam. Sejak saat itu, meskipun hukum rajam tetap diakui sebagai bagian dari sejarah Taurat, ia tidak pernah dimasukkan ke dalam hukum kanonik atau pidana di bawah kekuasaan Kristen. Doktrin Kristen modern menekankan bahwa tugas untuk menghakimi jiwa diserahkan kepada Tuhan, sementara hukuman duniawi harus fokus pada rehabilitasi atau hukuman yang lebih humanis, sejalan dengan ajaran kasih.

Implementasi dan Prosedur Eksekusi Kontemporer

Di negara-negara yang masih menerapkan atau memperdebatkan hukum rajam—seperti Iran, Sudan, Nigeria (beberapa negara bagian utara), Somalia, dan Pakistan (meskipun sangat jarang)—prosedur eksekusi diatur dengan detail yang spesifik, meskipun seringkali menyimpang dari standar pembuktian yang sangat tinggi yang ditetapkan oleh fikih klasik.

Tata Cara Pelaksanaan

Pelaksanaan rajam biasanya dilakukan di hadapan publik. Detail prosedur, seperti yang diatur dalam beberapa kode pidana modern yang berdasarkan Syariah, seringkali mencoba meniru praktik abad pertengahan, termasuk:

  1. **Penggalian Lubang:** Untuk memastikan terpidana tidak melarikan diri, wanita biasanya dikubur hingga dada, dan pria hingga pinggang. Lubang ini harus cukup kuat untuk menahan mereka selama pelemparan batu.
  2. **Ukuran Batu:** Batu yang digunakan tidak boleh terlalu besar (untuk menghindari kematian seketika, yang dianggap mengurangi rasa sakit dan hukuman) dan tidak boleh terlalu kecil (agar hukuman tidak terlalu lama dan tidak manusiawi). Tujuannya adalah memastikan bahwa kematian terjadi secara bertahap dan menyakitkan.
  3. **Pihak yang Melempar:** Sesuai tradisi, eksekusi dimulai oleh para saksi mata (jika ada) yang bersaksi, diikuti oleh hakim, dan kemudian kerumunan publik. Keterlibatan publik ini menekankan aspek hukuman sebagai pembersihan komunal.

Isu Penarikan Pengakuan

Salah satu aspek yang paling kontroversial dalam pelaksanaan modern adalah masalah penarikan pengakuan. Dalam fikih klasik, jika pelaku yang mengakui dosanya kemudian menarik kembali pengakuannya, eksekusi harus segera dihentikan. Namun, di beberapa yurisdiksi kontemporer, penarikan pengakuan setelah keputusan hukuman final dijatuhkan seringkali diabaikan, yang dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip perlindungan hak terpidana dalam Syariah itu sendiri.

Faktor Keraguan (Syubhat) dalam Hukum Modern

Banyak ulama kontemporer menekankan bahwa kesulitan ekstrem dalam pembuktian rajam (empat saksi mata) menunjukkan bahwa niat hukum Islam adalah untuk menjadikan rajam sebagai pencegah teoretis, bukan sebagai praktik yang diterapkan secara rutin. Mereka berpendapat bahwa dalam kondisi sosial dan politik modern, hampir selalu ada syubhat (keraguan) yang cukup untuk membatalkan hukuman rajam, menggantinya dengan hukuman ta'zir yang lebih fleksibel, seperti hukuman penjara jangka panjang.

Pendekatan ini berpegangan pada asas yudisial, "Daftar al-hudud bi al-shubuhat" (Hukuman hadd dibatalkan karena adanya keraguan). Namun, pendekatan yang lebih puritan dan konservatif di beberapa negara menolak interpretasi ini, berpegang pada implementasi literal Hadits dan Fikih tanpa mengakui konteks sosial modern atau sulitnya memenuhi standar empat saksi yang praktis mustahil.

Kontroversi dan Perspektif Hak Asasi Manusia Global

Hukuman merajam telah menarik kecaman internasional yang meluas dan hampir universal dari organisasi hak asasi manusia, PBB, dan banyak negara. Kritik ini berakar pada beberapa prinsip fundamental hukum internasional.

Kekejaman, Inhumanitas, dan Merendahkan Martabat

Kritik utama terhadap merajam adalah sifatnya yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat (Cruel, Inhuman, and Degrading Punishment). Komite Hak Asasi Manusia PBB (badan yang mengawasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik—ICCPR) telah berulang kali menyatakan bahwa hukuman yang melibatkan rasa sakit fisik yang ekstrem dan berkepanjangan melanggar Pasal 7 ICCPR, yang melarang penyiksaan dan perlakuan kejam.

Sanksi rajam secara inheren dirancang untuk menyebabkan kematian yang lambat melalui trauma tumpul berulang kali. Ini kontras dengan metode hukuman mati modern (seperti suntik mati atau kursi listrik, meskipun juga kontroversial) yang tujuannya adalah kematian instan dan, idealnya, tanpa rasa sakit. Para ahli medis dan hak asasi manusia berpendapat bahwa proses rajam merupakan bentuk penyiksaan yang dilegalkan.

Diskriminasi Gender dan Persyaratan Pembuktian

Meskipun secara teori hukuman merajam berlaku setara bagi pria dan wanita, implementasinya secara de facto seringkali diskriminatif terhadap wanita. Ada beberapa faktor yang menyebabkan bias ini:

  • **Visibilitas Kehamilan:** Seorang wanita yang hamil di luar nikah adalah bukti nyata zina, yang dapat digunakan sebagai pengakuan tersirat tanpa memerlukan empat saksi mata. Pria tidak memiliki penanda fisik yang setara.
  • **Lingkungan Sosial:** Wanita yang dituduh zina lebih rentan terhadap pengakuan di bawah tekanan atau kekerasan, sementara sistem hukum gagal memberikan perlindungan yang memadai.
  • **Syarat Saksi:** Meskipun empat saksi mata diperlukan untuk rajam, dalam kasus-kasus kontemporer, hukuman sering dijatuhkan berdasarkan pengakuan yang ditarik kembali atau bukti tak langsung yang lemah, terutama jika terpidana adalah wanita yang rentan.

Situasi ini menempatkan rajam sebagai pelanggaran terhadap hak atas kesetaraan dan non-diskriminasi, yang diabadikan dalam berbagai perjanjian internasional, termasuk Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW).

Pelanggaran Hak Atas Kehidupan

Meskipun hukuman mati diizinkan di bawah hukum internasional untuk kejahatan paling serius, PBB mendorong semua negara untuk menghapusnya. Dalam kasus merajam, penerapan hukuman mati untuk kejahatan non-kekerasan seperti perzinaan (yang dianggap sebagai pelanggaran moral, bukan kejahatan terhadap korban) dilihat sebagai pelanggaran proporsionalitas dan prinsip bahwa hukuman mati harus dicadangkan hanya untuk kejahatan yang paling ekstrem, seperti pembunuhan atau genosida.

Perzinaan, dalam banyak kasus, melibatkan hubungan konsensual antar orang dewasa, menjadikannya masalah privasi dan moral, bukan kejahatan yang memerlukan sanksi negara yang ekstrem. Oleh karena itu, penerapan rajam untuk zina dianggap melanggar hak asasi fundamental atas kehidupan dan kebebasan pribadi.

Studi Kasus Kontemporer dan Dinamika Hukum

Di berbagai negara, keberadaan hukuman rajam dalam undang-undang seringkali menimbulkan ketegangan domestik dan krisis diplomatik. Kasus-kasus yang menjadi sorotan internasional berfungsi sebagai tolok ukur perlawanan global terhadap praktik ini.

Iran: Penerapan dan Penangguhan

Republik Islam Iran adalah salah satu negara yang secara historis paling sering melaksanakan hukuman rajam. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Iran, rajam ditetapkan untuk perzinaan yang dilakukan oleh muhshan. Namun, karena tekanan internasional yang masif dan kritik dari kalangan ulama Iran sendiri, Mahkamah Agung Iran telah mengeluarkan arahan yang mendorong hakim untuk tidak menerapkan rajam dan, jika memungkinkan, menggunakan metode hukuman mati alternatif (seperti gantung) jika diperlukan untuk menenangkan opini publik atau menghindari reaksi global.

Kasus-kasus ikonik seperti Sakineh Mohammadi Ashtiani, seorang wanita yang divonis rajam pada akhir tahun 2000-an, memicu kampanye global yang sukses dalam menangguhkan eksekusinya. Kasus ini menyoroti bahwa bahkan di negara yang secara resmi menerapkan Syariah, interpretasi dan penangguhan dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan politik dan kemanusiaan.

Nigeria: Krisis Yudisial di Negara Bagian Utara

Sejak beberapa negara bagian di Nigeria Utara mengadopsi kembali versi Syariah yang komprehensif pada awal tahun 2000-an, beberapa vonis rajam telah dijatuhkan, meskipun sebagian besar dibatalkan di tingkat banding karena kegagalan memenuhi persyaratan pembuktian yang ketat. Kasus Amina Lawal (2002), yang divonis rajam setelah melahirkan anak di luar nikah, menjadi titik fokus kritik global. Kasus tersebut akhirnya dibatalkan oleh Pengadilan Banding Syariah, yang menemukan bahwa pengakuan Amina tidak memenuhi standar empat kali pengakuan yang diperlukan oleh fikih Maliki.

Pembatalan ini menunjukkan bahwa bahkan di dalam kerangka Syariah, mekanisme banding yang kuat, jika berpegang teguh pada prinsip-prinsip klasik mengenai keraguan (*syubhat*), dapat secara efektif mencegah eksekusi rajam.

Indonesia dan Aceh: Perdebatan Lokal

Meskipun Indonesia secara nasional tidak menerapkan rajam, Provinsi Aceh, yang memiliki otonomi khusus untuk menerapkan Qanun Syariah, sempat memasukkan hukuman rajam dalam draf Qanun Jinayat pada tahun 2009. Namun, setelah perdebatan sengit dari berbagai pihak, termasuk ulama moderat dan aktivis hak asasi, sanksi rajam akhirnya dikeluarkan dari Qanun Jinayat yang disahkan, yang hanya menyisakan hukuman cambuk sebagai sanksi terberat untuk perzinaan.

Keputusan Aceh untuk menghapus rajam dari Qanun Syariahnya sering dikutip sebagai contoh bagaimana hukum Islam dapat direformasi dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan tanpa meninggalkan dasar-dasar teologis, dengan berpegang pada pendapat ulama yang menafsirkan bahwa cambuk (hukuman yang jelas dalam Al-Qur'an) sudah cukup sebagai sanksi hadd.

Filosofi Abolisi dan Reformasi Hukum

Gerakan untuk menghapuskan hukuman merajam didorong oleh argumen filosofis, etika, dan interpretasi ulang hukum agama. Para reformis Syariah berpendapat bahwa mempertahankan hukuman ini adalah kesalahan historis yang tidak sejalan dengan tujuan utama (maqasid) Syariah, yaitu perlindungan kehidupan, akal, dan martabat.

Maqasid Syariah dan Keadilan

Salah satu argumen reformasi yang paling kuat datang dari kerangka *Maqasid al-Syariah* (Tujuan Hukum Islam). Tujuan utama Syariah adalah mencapai keadilan, kemaslahatan (kebaikan publik), dan menghindari kemudaratan. Para sarjana reformis berpendapat bahwa pelaksanaan rajam di zaman modern, yang menimbulkan citra negatif tentang Islam, melanggar kemaslahatan umum (*istislah*) dan tidak sesuai dengan tujuan hukum untuk melindungi kehidupan (*hifz al-nafs*).

Mereka juga menyoroti bahwa fokus utama Syariah dalam masalah perzinaan adalah menutup pintu keburukan dan mempromosikan pertobatan (*tawbah*). Karena syarat pembuktian yang hampir mustahil, rajam seharusnya dilihat sebagai "hukuman yang dibatalkan oleh Tuhan" melalui kesulitan persyaratannya.

Hukuman Mati dan Deterensi

Pendukung rajam sering mengklaim bahwa sanksi yang keras berfungsi sebagai deterensi yang efektif. Namun, penelitian menunjukkan bahwa tidak ada korelasi signifikan antara penerapan hukuman mati (termasuk rajam) dan penurunan tingkat kejahatan secara keseluruhan. Kebanyakan kejahatan, terutama yang bersifat emosional seperti perzinaan, tidak dipikirkan secara rasional di bawah bayangan hukuman mati.

Abolisionis berpendapat bahwa hukuman yang berfokus pada rehabilitasi dan pemulihan tatanan sosial (restorative justice) jauh lebih efektif dan etis daripada hukuman yang hanya didasarkan pada retribusi yang kejam.

Peran Masyarakat Sipil dan Internasional

Tekanan internasional memainkan peran krusial dalam menangguhkan atau menghapus hukuman rajam. PBB, melalui instrumen hukum dan mekanisme pelaporan, terus menekan negara-negara anggota untuk mematuhi standar minimum internasional mengenai hukuman mati, termasuk melarang metode yang kejam seperti rajam. Kampanye oleh organisasi non-pemerintah seperti Amnesty International dan Human Rights Watch sering berhasil memobilisasi opini publik dan mempengaruhi keputusan pengadilan di tingkat banding.

Abolisi hukuman rajam tidak hanya membutuhkan perubahan undang-undang, tetapi juga reformasi interpretasi di tingkat pendidikan hukum dan pengadilan, memastikan bahwa para hakim memahami dan menerapkan prinsip *syubhat* secara maksimal untuk melindungi hak-hak terpidana.

Ilustrasi Harapan dan Reformasi
Gambar 3: Harapan untuk penghapusan hukuman yang kejam demi perlindungan hak asasi manusia.

Kontemplasi Etika dan Kesimpulan

Hukuman merajam berdiri sebagai pengingat kompleksitas hubungan antara warisan sejarah, teks suci, dan etika modern. Meskipun dipegang teguh oleh segelintir yurisdiksi, praktik ini berada di persimpangan jalan antara penafsiran hukum yang kaku dan tuntutan universal akan martabat kemanusiaan.

Secara etika, hukuman yang secara eksplisit dirancang untuk memperpanjang penderitaan fisik dan psikologis, yang dilakukan di depan umum sebagai pertunjukan kekerasan kolektif, sulit dipertahankan dalam kerangka masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanis. Para penentang berpendapat bahwa, terlepas dari sumber hukumnya, metode pelaksanaan itu sendiri sudah cukup untuk menjadikannya dilarang di bawah prinsip-prinsip etika universal.

Perdebatan mengenai merajam pada dasarnya adalah perdebatan tentang bagaimana hukum agama harus berinteraksi dengan realitas dunia kontemporer. Apakah interpretasi harus statis dan literal, ataukah harus dinamis, mempertimbangkan tujuan hukum yang lebih tinggi dan perubahan kondisi sosial? Mayoritas konsensus global, bahkan di kalangan cendekiawan Muslim modern, cenderung memilih interpretasi yang memprioritaskan rahmat, keadilan prosedural, dan penghindaran dari sanksi yang kejam, sebagaimana tercermin dari syarat pembuktian klasik yang ketat.

Meskipun rajam mungkin tetap ada dalam buku hukum beberapa negara, tekanan untuk menghapusnya terus meningkat. Masa depan hukuman ini kemungkinan besar adalah abolisi total, didorong oleh pergeseran paradigma global menuju perlindungan hak-hak individu dan penolakan terhadap semua bentuk hukuman yang tidak manusiawi.

***

[Tambahan Mendalam: Elaborasi Teologis Lanjutan Mengenai Keraguan Hukum]

Studi Mendalam: Prinsip Syubhat (Keraguan) dan Batasan Rajam

Untuk memahami mengapa rajam jarang terjadi pada masa keemasan Islam klasik dan mengapa ia harus dihindari di masa modern, kita harus kembali pada prinsip Syubhat (keraguan) dalam Fikih. Prinsip ini menyatakan bahwa sanksi Had (hukuman yang ditentukan secara ilahi, termasuk rajam) harus dibatalkan jika ada keraguan, sekecil apa pun, mengenai fakta, proses, atau kesadaran terpidana.

1. Syubhat dalam Pembuktian

Syubhat dalam pembuktian terjadi jika ada ketidaksesuaian dalam kesaksian. Jika empat saksi memberikan detail yang berbeda mengenai waktu atau lokasi perbuatan, keraguan telah muncul, dan Had dibatalkan. Lebih jauh lagi, jika ada kemungkinan bahwa saksi mungkin memiliki motif tersembunyi, atau jika mereka tidak secara harfiah melihat penetrasi (hanya melihat berdua di ruangan tertutup), hukuman rajam tidak dapat diterapkan, dan saksi dapat dihukum qadzf.

2. Syubhat dalam Pelaku (Syubhat al-Fa'il)

Jika pelaku mengklaim bahwa ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya haram, atau ia mengklaim bahwa ia menikah dengan pasangan barunya setelah perceraian tanpa menyadari bahwa masa iddah (masa tunggu) mantan suaminya belum selesai, maka Syubhat muncul. Bahkan jika pengakuan dilakukan, keraguan ini wajib diselidiki oleh hakim. Jika ada kemungkinan pelaku bertindak dalam ketidaktahuan atau salah tafsir hukum, sanksi Had dibatalkan dan diganti Ta'zir.

3. Syubhat Kontemporer (Syubhat al-Zaman)

Para reformis kontemporer berpendapat bahwa adanya tekanan sosial, kemiskinan ekstrem, atau kurangnya pendidikan dapat menciptakan syubhat yang luas. Dalam masyarakat di mana standar hidup sangat rendah atau hak-hak wanita terbatasi, seorang wanita mungkin terpaksa mengakui dosa di bawah tekanan. Kondisi ini sendiri menciptakan lingkungan syubhat yang, menurut semangat fikih klasik, seharusnya cukup untuk membatalkan semua hukuman Had yang ekstrem.

Pendekatan ini—mengangkat *syubhat* menjadi standar tertinggi—memungkinkan yurisdiksi berbasis Syariah untuk secara etis dan sah menghapus rajam dari praktik tanpa secara eksplisit menolak teks Hadits, melainkan dengan mengakui bahwa dalam praktik duniawi, prasyarat teologis untuk pelaksanaan hukuman yang adil hampir tidak pernah terpenuhi.

***

[Detail Ekstra: Peran Rajam dalam Sejarah Hukum Pidana]

Merajam dan Konsep Hukuman Kolektif

Merajam berbeda dari hukuman mati lainnya karena melibatkan seluruh komunitas dalam tindakan eksekusi. Dalam masyarakat kuno, hukuman ini tidak hanya berfungsi sebagai retribusi (pembalasan) tetapi juga sebagai mekanisme ritualistik. Tindakan melempar batu oleh setiap anggota masyarakat melambangkan pembersihan dosa kolektif. Setiap orang yang berpartisipasi menyatakan dirinya 'tidak berdosa' dibandingkan terpidana, sekaligus memperkuat batas moral komunitas.

Dalam konteks modern, keterlibatan publik ini justru menjadi sumber utama kritik. Eksekusi publik yang melibatkan partisipasi massa dianggap merusak moralitas publik, mengikis kepekaan terhadap kekerasan, dan melanggar prinsip bahwa eksekusi, jika harus terjadi, harus dilakukan oleh aparatur negara secara profesional dan dengan upaya minimum rasa sakit.

Implikasi Psikologis Bagi Korban dan Pelaksana

Dampak psikologis dari hukuman rajam sangat mendalam. Bagi terpidana, proses kematian yang lambat akibat trauma tumpul berulang merupakan penderitaan fisik dan mental yang tak terbayangkan. Bagi para pelaksana, terutama anggota masyarakat yang terpaksa berpartisipasi, tindakan ini dapat menimbulkan trauma kolektif. Ilmu psikologi modern menunjukkan bahwa partisipasi dalam kekerasan ekstrem, bahkan yang dilegalkan, dapat memiliki efek destabilisasi pada individu dan masyarakat.

Oleh karena itu, penolakan global terhadap rajam tidak hanya didasarkan pada kekejamannya terhadap korban, tetapi juga pada pengakuan bahwa praktik tersebut mengikis nilai-nilai kemanusiaan dalam diri para pelakunya, sebuah paradoks dalam upaya mencapai 'keadilan'.

***

[Penyelidikan Lanjutan: Posisi Organisasi Internasional]

Resolusi PBB dan Moratorium

Majelis Umum PBB telah berulang kali mengeluarkan resolusi yang menyerukan moratorium (penghentian sementara) terhadap semua bentuk hukuman mati, dengan tujuan akhir penghapusan total. Meskipun resolusi ini tidak mengikat secara hukum, ia menunjukkan bobot moral komunitas internasional.

Ketika membahas kasus-kasus rajam, PBB dan pelapor khusus Hak Asasi Manusia sering kali mengklasifikasikan praktik ini sebagai "penyiksaan" dan "perlakuan yang tidak manusiawi." Tekanan ini diwujudkan melalui Universal Periodic Review (UPR), di mana catatan hak asasi manusia setiap negara ditinjau secara berkala. Negara-negara yang menerapkan rajam secara rutin menghadapi kecaman keras dan rekomendasi internasional untuk segera menghapus hukuman tersebut dan mereformasi KUHP mereka agar sejalan dengan standar hak asasi manusia.

Secara keseluruhan, merajam adalah sanksi yang berakar dalam sejarah kuno, dibenarkan oleh interpretasi teologis yang konservatif, namun ditolak hampir seluruhnya oleh etika dan hukum modern. Perjuangan untuk menghapusnya adalah perjuangan untuk mendamaikan tradisi hukum kuno dengan prinsip universal kemanusiaan dan martabat.

🏠 Kembali ke Homepage