Di antara ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung kekayaan makna tauhid dan hakikat ketuhanan, Surah Al-Hadid ayat 3 berdiri sebagai mercusuar yang memandu hati menuju makrifatullah—pengenalan sejati terhadap Allah SWT. Ayat yang ringkas namun mendalam ini, menyajikan empat Nama Agung yang menjadi pilar utama pemahaman eksistensi Ilahi, menyingkap dimensi waktu, ruang, dan realitas yang melampaui batas pemikiran manusia.
هُوَ ٱلْأَوَّلُ وَٱلْءَاخِرُ وَٱلظَّاهِرُ وَٱلْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Analisis terhadap Al-Hadid ayat 3 bukan sekadar penelusuran leksikal, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang mengaitkan ontologi (hakikat wujud) dengan epistemologi (cara kita mengetahui). Empat nama ini, yang sering disebut sebagai empat sifat dasar Allah dalam konteks Surah Al-Hadid, berfungsi sebagai peta jalan menuju pemahaman transendensi (Tanzih) dan immanensi (Tasybih) Ilahi secara seimbang.
Nama Agung 'Al-Awwal' (Yang Pertama) mengandung makna prioritas yang mutlak dan tak terhingga. Dalam terminologi filsafat dan teologi Islam (Kalam), Al-Awwal adalah Dzat yang keberadaan-Nya tidak didahului oleh ketiadaan (Laisa qablahu syai’un). Ini adalah titik nol ontologis, sumber tunggal dari mana segala sesuatu memancar.
Konsep Al-Awwal melampaui pemahaman kronologis kita tentang waktu. Bukan berarti Dia ada pada waktu yang paling awal, melainkan Dia adalah pencipta waktu itu sendiri. Keberadaan-Nya adalah esensial, sedangkan keberadaan makhluk adalah aksidental. Jika waktu diibaratkan sebagai garis, Allah sebagai Al-Awwal berada di luar garis itu, sekaligus menjadi sebab munculnya garis tersebut.
Pemahaman ini menguatkan tauhid uluhiyyah, bahwa tiada yang dapat mendahului-Nya dalam penciptaan, pengaturan, maupun penyembahan. Setiap upaya untuk menetapkan permulaan bagi Allah adalah bentuk penyekutuan tersembunyi, karena itu menyiratkan kebutuhan-Nya akan waktu dan ruang.
Dalam pandangan tasawuf, menyaksikan ke-Awwal-an Allah berarti melihat bahwa setiap sebab yang kita kenal di dunia ini, pada akhirnya, hanyalah manifestasi perantara dari Sebab Yang Pertama. Ketika seorang sufi menyaksikan bahwa segala sesuatu bermuara pada Dzat Yang Awal, ia mencapai kemurnian tauhid dalam tindakan (Tauhid al-Af’al).
Al-Awwal menegaskan bahwa tiada ada satupun yang dapat menjadi 'pendiri' atau 'pencetus' selain Dia. Seluruh eksistensi adalah akibat yang terus-menerus bergantung (muhtaj) kepada Wujud Yang Mutlak Primer ini. Inilah yang mendorong hamba untuk berserah diri sepenuhnya, menyadari bahwa sumber segala keberkahan dan ketentuan adalah tunggal dan tak terbagi.
Sebanding dengan Al-Awwal, nama 'Al-Akhir' (Yang Akhir) menyatakan bahwa Dia tidak didahului ketiadaan, dan tidak akan diakhiri oleh ketiadaan (Laisa ba'dahu syai’un). Al-Akhir adalah tujuan akhir dari segala perjalanan, batas akhir dari semua batas, dan eksistensi yang kekal setelah segala yang fana musnah.
Jika Al-Awwal berkaitan dengan permulaan, Al-Akhir berkaitan dengan keabadian (Baqa'). Alam semesta, sekuat apapun kelihatannya, akan mengalami kehancuran. Manusia, sehebat apapun usahanya, akan menghadapi kematian. Namun, Allah sebagai Al-Akhir adalah satu-satunya realitas yang melestarikan diri-Nya sendiri tanpa memerlukan sandaran. Semua yang lain menuju kepada-Nya, tetapi Dia tidak menuju kepada siapapun.
Keimanan terhadap Al-Akhir memberikan perspektif etis yang mendalam: karena segala sesuatu akan kembali kepada-Nya, maka fokus kehidupan seharusnya adalah persiapan untuk pertemuan tersebut. Semua harta, kedudukan, dan ilmu akan sirna, kecuali amalan yang tulus yang ditujukan kepada Al-Akhir.
Kedua nama ini, Al-Awwal dan Al-Akhir, adalah pasangan yang tak terpisahkan, mencerminkan siklus lengkap eksistensi. Allah adalah permulaan dari segala penciptaan, dan Dia pulalah tujuan akhir (Ma'ad) dari segala pengembalian. Dalam tasawuf, ini disebut sebagai perjalanan lingkaran: dari Dia kita berasal (Al-Awwal), dan kepada Dia kita kembali (Al-Akhir).
Diagram yang melambangkan hubungan Al-Awwal dan Al-Akhir dalam siklus waktu dan eksistensi.
Pemahaman yang utuh terhadap pasangan nama ini menghasilkan kemerdekaan batin. Jika Dia adalah Al-Awwal, maka tidak ada gunanya terikat pada masa lalu atau menyalahkan sebab-sebab awal. Jika Dia adalah Al-Akhir, maka tidak ada gunanya takut pada masa depan atau terikat pada hasil duniawi. Fokus beralih sepenuhnya kepada Dzat yang melingkupi awal dan akhir.
'Az-Zhahir' (Yang Zahir/Manifest/Jelas) berarti Allah adalah Dzat yang keberadaan-Nya sangat nyata dan terbukti melalui tanda-tanda (ayat) dalam alam semesta (Ayat Kauniyyah) dan dalam wahyu (Ayat Tanziliyyah). Dia adalah Yang Paling Nyata, jauh lebih nyata daripada materi yang kita sentuh.
Az-Zhahir menegaskan bahwa Allah tidak tersembunyi bagi mereka yang mencari. Keberadaan-Nya terukir dalam setiap atom, dalam harmoni kosmos, dan dalam desain kehidupan yang kompleks. Setiap makhluk adalah 'Kitab Terbuka' yang menceritakan tentang Kebesaran Sang Pencipta. Matahari, bintang, hujan, pertumbuhan biji—semua adalah manifestasi yang Zahir.
Para ahli tafsir sering menghubungkan Az-Zhahir dengan ketinggian dan keunggulan (Al-'Uluw). Dia Zahir karena Dia menguasai segala sesuatu dari atas, mengatur dan mengurus tanpa terhalang. Ke-Zhahir-an ini adalah undangan bagi akal untuk merenung dan mengakui kebenaran-Nya.
Dimensi ke-Zhahir-an juga mencakup syari'ah (hukum agama) yang diwahyukan. Syari'ah adalah manifestasi eksternal dari kehendak Ilahi yang bertujuan menuntun manusia. Ibadah lahiriah, seperti salat, puasa, dan haji, adalah bentuk interaksi Zahir kita dengan Dzat Yang Zahir, sebuah penyerahan diri yang tampak nyata dan terukur.
Mengabaikan Syari'ah berarti mengabaikan manifestasi Zhahir Allah. Namun, terlalu fokus pada yang Zahir tanpa menyelami yang Bathin dapat menyebabkan legalisme yang kering (tanpa ruh).
'Al-Bathin' (Yang Batin/Tersembunyi/Immanen) adalah Dzat yang tersembunyi dari indra dan pemahaman fisik manusia. Dia begitu dekat, namun tak terjangkau oleh persepsi indrawi. Al-Bathin melambangkan transcendensi mutlak (Tanzih) Allah, yang berbeda dari segala ciptaan.
Meskipun segala sesuatu adalah bukti ke-Zhahir-an-Nya, Dzat Allah sendiri tetaplah Al-Bathin. Dia tersembunyi bukan karena Dia kecil atau tidak ada, melainkan karena keagungan-Nya melampaui kemampuan akal kita untuk memahami-Nya secara keseluruhan. Ia lebih dekat dari urat nadi kita, tetapi sifat hakiki-Nya adalah misteri (ghayb) yang hanya dapat didekati melalui hati yang disucikan.
Al-Bathin mengharuskan adanya kerendahan hati intelektual. Sains dan filsafat dapat mendekati ke-Zhahir-an, tetapi hanya pengalaman spiritual (Dhawq) dan pembersihan hati (Tazkiyatun Nafs) yang dapat merasakan kedekatan Al-Bathin.
Dalam tasawuf, jalan menuju Al-Bathin adalah melalui dimensi spiritualitas internal (Haqiqah). Ketika seorang hamba berhasil membersihkan jiwanya dari syahwat dan keterikatan duniawi, ia mulai merasakan manifestasi Al-Bathin dalam hatinya (sirr). Seluruh ritual ibadah Zahir (Syari’ah) berfungsi sebagai alat untuk menembus ke dimensi Bathin ini.
Misalnya, salat secara Zhahir adalah gerakan dan bacaan, tetapi secara Bathin, ia adalah mi’raj (kenaikan spiritual) jiwa, tempat hamba berdialog dengan Al-Bathin.
Visualisasi dualitas Az-Zhahir dan Al-Bathin.
Kekuatan utama Al-Hadid ayat 3 terletak pada penyatuan keempat nama ini. Mereka bukan sifat yang terpisah, melainkan empat dimensi yang menggambarkan Wujud Ilahi yang tunggal dari sudut pandang yang berbeda. Dua pasang nama ini saling melengkapi dan mewakili prinsip universalitas Allah.
Pasangan Az-Zhahir dan Al-Bathin adalah representasi teologis dari Tasybih (kemiripan, keterlibatan, manifestasi) dan Tanzih (kemahabersihan, keterpisahan, transendensi). Jika kita hanya fokus pada Az-Zhahir, kita berisiko mematerialisasikan Tuhan (antropomorfisme). Jika kita hanya fokus pada Al-Bathin, kita berisiko menafikan eksistensi-Nya di dunia (negativisme). Makrifat yang benar adalah menerima keduanya secara simultan: Dia nyata (Zhahir) di alam ciptaan, namun inti Dzat-Nya tetap tak terjangkau (Bathin).
Demikian pula, pasangan Al-Awwal dan Al-Akhir melingkupi dimensi waktu (Zaman). Allah melingkupi seluruh garis waktu, menciptakan waktu itu sendiri, memastikan bahwa Dia adalah satu-satunya realitas yang melampaui dan menopang segala sesuatu yang memiliki permulaan dan akhir.
Bagi para ahli tasawuf, empat nama ini menjadi empat tahapan pengenalan:
Ayat mulia ini ditutup dengan frasa yang mengikat semua dimensi ketuhanan di atas: وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ (dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu). Atribut 'Al-’Aliim' (Maha Mengetahui) berfungsi sebagai jembatan yang menyatukan keempat nama tersebut, menunjukkan bahwa pengetahuan Allah adalah prasyarat untuk ke-Awwal-an, ke-Akhir-an, ke-Zhahir-an, dan ke-Bathin-an-Nya.
Ilmu Allah adalah pengetahuan yang mutlak sempurna, tidak didahului oleh ketidaktahuan, tidak bertambah, dan tidak berkurang. Dia mengetahui:
Pengetahuan ini memastikan bahwa tidak ada satu pun dari ciptaan-Nya yang luput dari pengawasan dan cakupan-Nya, baik di masa lalu, sekarang, maupun masa depan.
Frasa penutup ini menegaskan bahwa kebesaran Asmaul Husna tidak akan lengkap tanpa Ilmu yang meliputi. Bagaimana mungkin Dia menjadi Al-Awwal jika Dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah permulaan? Bagaimana mungkin Dia menjadi Az-Zhahir jika Dia tidak mengetahui detail-detail manifestasi-Nya? Dan bagaimana mungkin Dia menjadi Al-Bathin jika Dia tidak mengetahui rahasia yang tersembunyi?
Oleh karena itu, Al-Hadid ayat 3 adalah definisi singkat tentang tauhid yang sempurna, yang mewajibkan hamba untuk tidak hanya meyakini keberadaan Allah (wujud), tetapi juga mengakui kemutlakan-Nya dalam waktu (Awwal/Akhir), ruang (Zhahir/Bathin), dan kearifan (Al-’Aliim).
Untuk mencapai kedalaman makna yang terkandung dalam ayat ini, perlu dikaji bagaimana keempat nama ini berfungsi dalam sistem ontologi Islam, khususnya dalam menghadapi dualitas wujud: Wajib al-Wujud (Eksistensi yang Wajib) dan Mumkin al-Wujud (Eksistensi yang Mungkin).
Allah, sebagai Wajib al-Wujud, adalah entitas yang keberadaannya inheren dan esensial. Al-Awwal menekankan bahwa Dia tidak bergantung pada 'sebab' dari luar. Segala sesuatu yang lain adalah Mumkin al-Wujud, yang memerlukan Allah sebagai sebab utama (Al-Awwal) agar dapat muncul dari ketiadaan.
Al-Akhir menjamin ke-Wajib-an wujud-Nya di masa depan. Meskipun semua Mumkin al-Wujud akan hancur dan kembali ke ketiadaan asalnya, Allah tetap eksis. Ketiadaan makhluk adalah ujian, karena hanya dengan musnahnya yang Mumkin, keabadian Al-Akhir akan tampak jelas tanpa keraguan.
Pemahaman ini menuntut penghayatan bahwa setiap realitas duniawi adalah bayangan (dzill) yang sirna, dan hanya Dzat Yang Awwal dan Akhir yang merupakan Sumber Realitas Hakiki. Ini merupakan inti dari ajaran Sufi yang menyerukan pelepasan dari ilusi dunia.
Dalam terminologi filosofis, Az-Zhahir berhubungan dengan dunia fenomena—apa yang dapat kita tangkap, ukur, dan saksikan. Ini adalah Alam Syahadah (Alam Kesaksian). Sebaliknya, Al-Bathin berhubungan dengan noumena, hakikat yang tersembunyi di balik fenomena, yang merupakan Alam Ghayb (Alam Gaib).
Namun, dalam pandangan Islam, hubungan antara keduanya tidak bersifat dualistik, melainkan integral. Fenomena (Zhahir) adalah cermin tempat hakikat (Bathin) memancarkan dirinya. Gunung yang menjulang (Zhahir) adalah manifestasi kekuasaan tak terbatas (Bathin). Hujan yang menyuburkan (Zhahir) adalah manifestasi rahmat dan kasih sayang (Bathin).
Orang yang ber-makrifat tidak hanya melihat gunung, tetapi juga melihat Keagungan yang menciptakan gunung itu. Dengan demikian, Az-Zhahir adalah jembatan menuju Al-Bathin. Jalan menuju kedekatan batin tidak pernah boleh mengabaikan bukti-bukti luar yang telah Dia sediakan.
Kajian linguistik terhadap empat kata ini mengungkap kekayaan semantik yang digunakan Al-Qur'an untuk menggambarkan sifat-sifat Tuhan yang tak terbayangkan.
Akar kata 'Awwal' (أول) menyiratkan makna mendahului. Ia adalah yang paling utama, yang di depan. Lawannya, 'Akhir' (أخر), berarti yang tertinggal, yang datang belakangan, atau yang paling ujung. Penggunaan kedua kata ini pada Allah adalah penggunaan metaforis untuk menolak konsep batasan waktu pada Wujud Ilahi.
Menurut beberapa mufassir, seperti Imam Al-Ghazali, makna Al-Awwal bagi hamba adalah menyadari bahwa Allah adalah yang paling berhak untuk dicintai, ditakuti, dan disembah dari awal kesadaran kita. Sedangkan Al-Akhir berarti menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam segala amal dan harapan kita hingga akhir hayat.
'Zhahir' (ظهر) berasal dari akar kata yang berarti menampakkan, jelas, atau berada di atas. Ia menunjukkan kejelasan dan keunggulan. 'Bathin' (بطن) berasal dari akar kata yang berarti perut, tersembunyi, atau bagian dalam. Ini menunjukkan kedalaman dan ketersembunyian.
Dalam konteks teologi, Al-Zhahir menunjukkan 'keatas-an' dan 'kejelasan' wujud-Nya, sementara Al-Bathin menunjukkan 'kedalaman' dan 'kedekatan-Nya' yang tak terjangkau. Subhani (Maha Suci) dan Al-A’la (Maha Tinggi) adalah nama-nama yang sangat dekat maknanya dengan Az-Zhahir wal Bathin. Dia adalah Dzat yang begitu tinggi sehingga Dia tersembunyi (Bathin), namun keagungan-Nya begitu jelas terlihat di alam (Zhahir).
Pengenalan terhadap keempat nama ini harus berdampak transformatif pada perilaku dan spiritualitas seorang Muslim. Ini bukan hanya doktrin untuk dihafal, tetapi hakikat yang harus dihayati (tahqiq).
Menghayati Al-Awwal wal Akhir membebaskan kita dari kecemasan terhadap masa lalu (penyesalan yang berlebihan) dan ketakutan terhadap masa depan (kekhawatiran yang melumpuhkan). Jika Allah adalah Al-Awwal, kita harus yakin bahwa Dia telah mengatur segala sesuatu sejak permulaan dengan hikmah. Jika Dia adalah Al-Akhir, maka segala upaya kita harus bermuara pada kesenangan-Nya, bukan pada hasil yang fana.
Pada tingkat praktis, ini berarti:
a. Mendahulukan perintah-Nya di atas segala prioritas (Al-Awwal).
b. Menutup hari dengan muhasabah dan tauhid, menjadikan-Nya tujuan akhir dari setiap tindakan (Al-Akhir).
Seorang mukmin yang menghayati Az-Zhahir wal Bathin akan menjadi individu yang utuh: memiliki keindahan lahiriah (Zhahir) melalui akhlak yang baik dan ketaatan syari'ah, serta kekayaan batiniah (Bathin) melalui keikhlasan dan kejernihan hati.
Keseimbangan ini menolak ekstremisme. Ia menolak kelompok yang hanya berfokus pada ritual luar (Zhahiriyyah) tanpa menyentuh ruh ibadah, dan menolak kelompok yang mengklaim mencapai hakikat batin (Bathiniyyah) sambil mengabaikan Syari'ah yang jelas. Makrifat yang sejati berada di titik temu, di mana batin memvalidasi lahir, dan lahir melindungi batin.
Surah Al-Hadid ayat 3 adalah ringkasan yang sempurna tentang Hakikat Ketuhanan, yang mencakup dimensi waktu dan ruang. Keempat nama ini mengajarkan kita bahwa Allah adalah:
Dengan pengetahuan yang meliputi segala sesuatu (Al-'Aliim), Dia memastikan bahwa meskipun Dia melampaui waktu dan ruang, Dia tetap terlibat secara intim dalam setiap detail ciptaan-Nya. Pencarian makrifat melalui ayat ini adalah perjalanan seumur hidup, sebuah upaya terus-menerus untuk merangkul kejelasan manifestasi-Nya di dunia luar, sambil tenggelam dalam keagungan rahasia-Nya di dalam hati. Keutamaan ayat ini terletak pada penegasannya: di mana pun kita berada, kapan pun kita ada, Allah meliputi kita, baik di awal maupun di akhir, baik di luar maupun di dalam.
Menyelami ayat ini adalah puncak tauhid, mengakui bahwa wujud sejati hanyalah milik-Nya, dan semua selain-Nya adalah fana dan membutuhkan Dzat yang Maha Awal, Maha Akhir, Maha Zahir, dan Maha Batin. Pengetahuan ini adalah bekal terpenting bagi hamba yang merindukan pertemuan dengan Penciptanya.