Konsep memveto, atau hak tolak, merupakan salah satu instrumen kekuasaan politik dan hukum yang paling signifikan dan kontroversial dalam tata kelola modern. Secara etimologis, kata 'veto' berasal dari bahasa Latin yang berarti "saya melarang". Dalam praktiknya, hak veto adalah kemampuan unilateral suatu entitas, baik itu negara berdaulat, kepala eksekutif, atau badan perwakilan tertentu, untuk menghentikan implementasi keputusan, undang-undang, atau resolusi, meskipun mayoritas pihak lain telah menyetujuinya. Instrumen ini berfungsi sebagai mekanisme pengaman (check) yang kuat, namun seringkali dituding sebagai penghambat kemajuan dan alat dominasi minoritas tertentu atas kehendak mayoritas.
Kajian mengenai hak veto tidak bisa dipisahkan dari dua ranah utama: hukum internasional, khususnya dalam kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan hukum konstitusional domestik, yang mengatur hubungan antara cabang eksekutif dan legislatif. Analisis yang komprehensif memerlukan pemahaman mendalam tentang sejarah, filosofi di balik pembentukannya, dampak praktisnya terhadap geopolitik, dan perdebatan kontemporer mengenai reformasinya.
Ranah yang paling sering diasosiasikan dengan konsep memveto adalah Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Piagam PBB, yang ditandatangani di San Francisco pada tahun 1945, menetapkan lima anggota permanen (P5) DK PBB, yang secara eksklusif memiliki hak veto. Negara-negara P5 tersebut adalah Republik Rakyat Tiongkok, Prancis, Federasi Rusia (menggantikan Uni Soviet), Britania Raya, dan Amerika Serikat. Hak veto ini diatur secara spesifik dalam Pasal 27 Piagam PBB.
Pasal 27 ayat 3 Piagam PBB menyatakan bahwa keputusan Dewan Keamanan mengenai hal-hal prosedural akan dibuat oleh sembilan anggota yang menyetujui, tetapi keputusan mengenai semua masalah lain (substantif) harus dibuat dengan suara afirmatif sembilan anggota, termasuk suara setuju dari kelima anggota permanen. Implikasinya jelas: jika salah satu P5 memberikan suara "tidak" pada rancangan resolusi substantif, resolusi tersebut gagal, terlepas dari dukungan 14 anggota lainnya.
Penting untuk membedakan antara isu prosedural dan isu substantif. Isu prosedural, seperti penentuan agenda rapat atau undangan kepada negara non-anggota untuk berpartisipasi dalam diskusi, tidak dapat diveto. Namun, tindakan yang melibatkan sanksi, penggunaan kekuatan, penempatan penjaga perdamaian, atau rekomendasi keanggotaan baru PBB dianggap substantif dan dapat diveto. Perbedaan ini memunculkan mekanisme yang dikenal sebagai "veto ganda" (double veto).
Veto ganda terjadi ketika ada perselisihan mengenai apakah suatu masalah adalah prosedural atau substantif. Jika salah satu P5 ingin mengklasifikasikan isu tersebut sebagai substantif (agar bisa diveto), pemungutan suara awal harus dilakukan untuk menentukan klasifikasi. Jika salah satu P5 memveto pemungutan suara klasifikasi tersebut (veto pertama), dan kemudian memveto resolusi substantif itu sendiri (veto kedua), maka veto ganda telah terjadi. Praktik ini, meskipun secara teknis diperbolehkan, telah menjadi sumber kritik utama terhadap DK PBB karena memungkinkan P5 mengendalikan tidak hanya hasil, tetapi juga proses pengambilan keputusan.
Sejak pembentukannya, hak veto telah digunakan lebih dari 200 kali. Sebagian besar veto yang terjadi dapat dibagi menjadi beberapa era geopolitik yang berbeda, masing-masing mencerminkan dinamika kekuasaan global:
Gambar 1: Ilustrasi Veto di Dewan Keamanan PBB. Menunjukkan kekuatan unilateral P5 untuk menghentikan resolusi internasional, seringkali mengarah pada kelumpuhan dewan.
Kritik terhadap hak veto P5 bersifat fundamental, berargumen bahwa hak tersebut melanggar prinsip kesetaraan kedaulatan negara dan menempatkan kepentingan geopolitik lima negara di atas kebutuhan keamanan dan kemanusiaan global. Beberapa poin kritik utama meliputi:
Dalam menghadapi kritik ini, berbagai proposal reformasi telah diajukan. Proposal-proposal ini umumnya terbagi menjadi tiga kategori utama:
Namun, reformasi DK PBB terhambat oleh ironi prosedural: setiap amandemen Piagam PBB harus diratifikasi oleh dua pertiga anggota Majelis Umum, termasuk semua anggota permanen DK PBB. Artinya, P5 secara efektif memiliki hak veto atas reformasi hak veto itu sendiri, menjadikan perubahan struktural yang substansial hampir mustahil tanpa persetujuan mereka.
Di luar ranah internasional, mekanisme memveto merupakan pilar penting dalam sistem konstitusional yang menganut prinsip pembagian kekuasaan (separation of powers) dan keseimbangan kekuasaan (checks and balances). Fungsi utama veto domestik adalah memberi cabang eksekutif (presiden atau perdana menteri) kemampuan untuk mengkaji ulang dan, jika perlu, menolak rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh badan legislatif (parlemen atau kongres).
Secara filosofis, hak veto domestik melayani beberapa tujuan vital dalam sebuah negara demokratis:
Meskipun konsep dasarnya sama—penolakan undang-undang—mekanisme veto sangat bervariasi antar negara. Tipe-tipe utama veto eksekutif meliputi:
Ini adalah bentuk veto yang paling umum, di mana kepala eksekutif secara eksplisit menolak seluruh rancangan undang-undang dan mengirimkannya kembali ke legislatif, disertai alasan penolakan. Legislatif biasanya memiliki kesempatan untuk mengesampingkan (override) veto ini, tetapi hal ini memerlukan mayoritas super (biasanya dua pertiga) di kedua kamar. Karena mayoritas super sulit dicapai, ancaman veto saja seringkali cukup untuk memengaruhi isi RUU sebelum disahkan.
Veto saku adalah mekanisme pasif yang ditemukan dalam beberapa sistem, seperti Amerika Serikat. Ini terjadi ketika kepala eksekutif menahan RUU tanpa menandatanganinya atau memvetonya secara eksplisit, dan Kongres melakukan penundaan (adjourns) dalam periode yang ditentukan (biasanya 10 hari). Karena Kongres tidak bersidang, RUU tersebut dianggap mati dan tidak dapat dikembalikan untuk proses penolakan veto, menjadikannya veto yang absolut. Ini merupakan alat yang sangat kuat, meskipun penggunaannya terbatas pada akhir sesi legislatif.
Veto butir adalah hak untuk menolak bagian-bagian spesifik dari RUU pengeluaran tanpa menolak keseluruhan RUU tersebut. Instrumen ini dirancang untuk memerangi pengeluaran yang tidak perlu atau 'pork barrel' yang sering dimasukkan ke dalam RUU anggaran besar. Meskipun dianggap efisien untuk menjaga disiplin fiskal, banyak negara (termasuk AS, setelah keputusan Mahkamah Agung) menganggapnya tidak konstitusional karena dianggap melanggar prinsip pembagian kekuasaan. Negara lain, seperti Filipina dan Argentina, mengizinkan veto butir.
Gambar 2: Ilustrasi Veto Eksekutif. Menunjukkan RUU yang ditolak secara eksplisit oleh Kepala Negara, mencerminkan mekanisme checks and balances dalam sistem domestik.
Sistem pemerintahan Indonesia, yang menganut sistem presidensial, memberikan wewenang kepada Presiden untuk memveto RUU, meskipun terminologi yang digunakan dalam UUD 1945 adalah "tidak mengesahkan".
Menurut Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, jika RUU yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak persetujuan, RUU tersebut akan secara otomatis menjadi undang-undang. Ini berarti Presiden tidak memiliki 'Veto Saku' yang absolut seperti di AS; penolakan Presiden harus dilakukan secara eksplisit, atau RUU tersebut akan menjadi undang-undang dengan sendirinya setelah 30 hari. Jika Presiden menolak RUU, RUU tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama. Dengan demikian, mekanisme veto di Indonesia bersifat penundaan dan penolakan eksplisit, yang memaksa DPR untuk memulai proses legislasi yang baru.
Perbandingan dengan sistem lain menunjukkan variasi signifikan:
Kekuatan dan frekuensi penggunaan hak memveto dalam sistem domestik sangat bergantung pada tiga faktor utama: besaran mayoritas yang diperlukan untuk mengesampingkan veto (semakin tinggi, semakin kuat veto), periode waktu yang diberikan untuk implementasi (veto saku adalah yang terkuat), dan tingkat kohesi antara eksekutif dan legislatif (jika presiden dan mayoritas legislatif berasal dari partai yang sama, veto jarang terjadi).
Konsep hak tolak bukanlah penemuan modern. Fungsinya sebagai mekanisme proteksi minoritas atau keseimbangan kekuasaan memiliki akar yang sangat dalam, kembali ke era Republik Romawi.
Sejarah tertua dan paling murni dari konsep memveto berasal dari Roma Kuno, dengan jabatan Tribuni Plebis (Tribun Rakyat). Jabatan ini diciptakan untuk melindungi hak-hak plebeian (rakyat jelata) dari kekuasaan sewenang-wenang kaum patrician (bangsawan) dan Senat. Seorang Tribun memiliki hak suci yang disebut intercessio, yang merupakan hak untuk memveto (melarang) setiap tindakan magistrat, Senat, atau majelis yang dianggap merugikan kepentingan plebeian.
Veto Tribun adalah alat yang murni defensif. Filosofi di baliknya adalah bahwa kekuasaan absolut dapat berbahaya, dan minoritas yang rentan harus memiliki perisai untuk melindungi diri dari keputusan mayoritas yang menindas. Veto Romawi kuno ini menekankan fungsi 'menghentikan' (stopping power) daripada 'membuat' keputusan, yang menjadi cetak biru bagi konsep keseimbangan kekuasaan modern.
Pada Abad Pertengahan hingga awal periode modern, banyak monarki Eropa memegang hak veto absolut atas legislasi. Contoh paling jelas adalah Raja Inggris yang memegang hak veto (Royal Veto). Penggunaan veto ini, yang sering kali menentang kehendak Parlemen yang baru muncul, menjadi salah satu pemicu utama revolusi konstitusional di Inggris.
Penggunaan terakhir Royal Veto di Inggris terjadi pada tahun 1708 oleh Ratu Anne. Setelah itu, praktik veto raja di Inggris mati, mencerminkan transisi kedaulatan dari Monarki kepada Parlemen. Namun, para pendiri Amerika Serikat, yang khawatir akan tirani legislatif, memasukkan kembali konsep veto eksekutif dalam Konstitusi mereka, tetapi dalam bentuk yang dibatasi (dapat di-override). Mereka mengambil pelajaran dari Roma dan Inggris: veto harus ada, tetapi harus diimbangi agar tidak menjadi absolut.
Para pemikir politik seperti Montesquieu dan James Madison meyakini bahwa kebebasan politik hanya dapat terjamin jika kekuasaan membatasi kekuasaan. Hak memveto adalah manifestasi langsung dari prinsip ini. Dalam The Federalist Papers (terutama No. 73), Alexander Hamilton berargumen bahwa veto presiden adalah pertahanan penting terhadap "kejahatan dari legislasi yang tergesa-gesa," yang dapat didorong oleh faksi atau demagogi. Veto dilihat sebagai alat:
Meskipun dalam sistem internasional, hak veto P5 sering dipandang sebagai pengecualian terhadap kesetaraan, landasan filosofis awalnya tetap sama: menjamin bahwa tindakan kolektif tidak diambil jika berpotensi membahayakan kepentingan vital dari kekuatan yang paling penting dalam sistem tersebut. Bagi P5, hak veto adalah pengakuan pragmatis bahwa perdamaian global tidak dapat dipertahankan tanpa persetujuan (atau minimal non-penolakan) dari kekuatan militer terbesar di dunia saat itu.
Implikasi hak memveto, khususnya dalam konteks internasional, melampaui sekadar politik kekuasaan; ia memiliki dampak nyata terhadap keamanan, hukum internasional, dan respons kemanusiaan.
Keberadaan hak veto telah menciptakan ketegangan abadi antara hukum kedaulatan negara (yang diwakili oleh P5) dan prinsip-prinsip jus cogens (norma hukum internasional yang mendasar dan tidak dapat diganggu gugat, seperti larangan genosida). Ketika P5 memveto resolusi yang bertujuan menghentikan kekejaman massal, DK PBB gagal menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi (R2P – Responsibility to Protect).
Kegagalan ini secara tidak langsung merusak kredibilitas institusi PBB. Negara-negara, merasa frustrasi dengan kelumpuhan DK PBB, semakin cenderung mencari mekanisme alternatif, seperti koalisi yang dibentuk di luar payung PBB (misalnya, intervensi NATO di Kosovo) atau membenarkan tindakan unilateral. Ini, pada gilirannya, mengikis otoritas hukum internasional dan mengancam tatanan berbasis aturan yang coba dibangun oleh PBB.
Sejumlah besar konflik dan krisis kemanusiaan telah menjadi medan pertempuran penggunaan veto. Kasus Suriah adalah contoh modern yang paling menonjol. Sejak 2011, Rusia dan Tiongkok telah memveto belasan resolusi yang bertujuan untuk:
Penggunaan veto ini secara efektif memblokir respons kolektif global terhadap krisis kemanusiaan terburuk di abad ini, memungkinkan konflik berlarut-larut dan menyebabkan jutaan pengungsi. Para pendukung veto berpendapat bahwa intervensi yang didorong oleh resolusi tersebut akan memperburuk situasi atau melanggar kedaulatan Suriah, tetapi dampaknya adalah kelumpuhan dalam menghadapi penderitaan massal.
Selain penggunaan aktual, ancaman untuk memveto (shadow of the veto) adalah alat diplomasi yang sangat kuat. Pengetahuan bahwa salah satu P5 akan memveto resolusi tertentu seringkali membuat para perumus resolusi (penholders) mengurangi tuntutan mereka, menangguhkan, atau bahkan membatalkan rancangan resolusi sama sekali. Proses ini memastikan bahwa teks resolusi yang akhirnya disetujui seringkali sudah sangat diencerkan (watered down) sehingga tidak efektif, hanya demi memastikan bahwa tidak ada P5 yang merasa perlu memveto.
Ancaman veto mempengaruhi negosiasi, mengurangi ambisi tindakan kolektif, dan memperkuat posisi tawar P5, bahkan ketika mereka tidak menggunakan hak tolak secara formal. Ini menunjukkan bahwa kekuatan memveto bukan hanya tentang hasil akhir pemungutan suara, tetapi juga tentang pembentukan agenda dan pengendalian narasi diplomatik.
Pada dekade terakhir, perdebatan seputar hak memveto telah diperbarui, didorong oleh perubahan dinamika kekuasaan dan meningkatnya ketidakpercayaan multilateralisme.
Sementara Rusia mewarisi tradisi veto masif Uni Soviet, Tiongkok awalnya menggunakan hak veto dengan sangat hemat, seringkali memilih untuk abstain. Namun, sejak sekitar tahun 2009, Tiongkok mulai bersekutu lebih erat dengan Rusia dalam memveto resolusi, terutama yang berkaitan dengan intervensi atau sanksi terhadap negara berdaulat (seperti Suriah, Zimbabwe, dan Venezuela). Perubahan ini mencerminkan kebijakan luar negeri Tiongkok yang lebih asertif dan penekanannya yang kuat pada non-intervensi dan kedaulatan absolut, memperkuat blok Eurasia di dalam DK PBB.
Meskipun Pasal 27(3) Piagam PBB mensyaratkan "suara setuju" dari P5 untuk resolusi substantif, praktik PBB telah berevolusi untuk memungkinkan resolusi disahkan meskipun ada abstain dari anggota permanen. Mahkamah Internasional (ICJ) telah membenarkan bahwa abstain tidak dianggap sebagai veto. Ini menjadi katup pengaman penting. Misalnya, resolusi otorisasi intervensi di Libya pada tahun 2011 dapat disahkan karena Rusia dan Tiongkok memilih untuk abstain, bukan memveto.
Namun, jika P5 abstain, ini sering kali menunjukkan ketidaksetujuan pasif yang dapat merusak legitimasi tindakan tersebut di mata dunia. Keputusan untuk abstain atau memveto adalah pilihan strategis yang menunjukkan tingkat oposisi P5 terhadap tindakan tersebut.
Sebagai respons terhadap kelumpuhan DK PBB, Majelis Umum PBB (MU PBB) pada tahun 2022 mengesahkan Resolusi Veto Inisiatif (Resolusi 76/262). Resolusi ini tidak menghapus hak veto, tetapi menambahkan lapisan akuntabilitas. Resolusi tersebut mensyaratkan bahwa setiap kali hak veto digunakan di DK PBB, Majelis Umum (yang terdiri dari 193 negara) harus mengadakan sidang formal dalam waktu 10 hari untuk memperdebatkan dan mengomentari penggunaan veto tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan tekanan moral dan politik pada P5 yang menggunakan haknya, memaksa mereka menjelaskan pembenaran mereka kepada seluruh komunitas internasional.
Meskipun resolusi MU PBB ini tidak memiliki kekuatan untuk membatalkan veto DK PBB, ia berhasil meningkatkan transparansi dan menciptakan arena publik untuk mengkritik penyalahgunaan hak tersebut. Ini adalah contoh bagaimana negara-negara non-P5 berusaha mengimbangi kekuasaan hak memveto melalui instrumen normatif dan politis.
Tantangan terbesar yang melekat pada konsep memveto adalah pertentangan antara efektivitas dan legitimasi. Di satu sisi, hak veto di DK PBB menjamin bahwa lima kekuatan militer utama tetap berkomitmen pada tatanan multilateral—jika mereka tidak memiliki hak veto, mereka mungkin akan keluar dari PBB dan bertindak sepihak, yang berpotensi menyebabkan bencana global. Di sisi lain, penggunaan veto yang sewenang-wenang merusak legitimasi PBB sebagai badan yang adil dan representatif.
Dalam teori politik, kekuasaan mutlak cenderung korup. Hak veto di DK PBB mendekati kekuasaan mutlak dalam konteks internasional, memungkinkan P5 untuk bertindak di luar kerangka hukum tanpa takut adanya peninjauan. Etika mendikte bahwa kekuasaan yang sedemikian besar harus disertai dengan tanggung jawab yang setara. Namun, karena tidak ada sanksi atas penyalahgunaan veto, tanggung jawab tersebut sering kali diabaikan demi keuntungan geopolitik.
Perdebatan etis ini memunculkan pertanyaan kritis: Apakah adil jika kepentingan suatu negara mengalahkan kepentingan seluruh komunitas global, terutama dalam isu-isu eksistensial seperti perubahan iklim, pandemi, atau genosida?
Di ranah domestik, veto juga menimbulkan tantangan etis dan praktis. Penggunaan veto yang berlebihan oleh eksekutif yang berasal dari partai yang berbeda dengan mayoritas legislatif dapat menyebabkan gridlock—kebuntuan politik. Ketika legislatif dan eksekutif terus menerus saling memveto dan menolak, proses pemerintahan menjadi lambat atau terhenti sama sekali, menghambat pembuatan kebijakan yang mendesak.
Sebaliknya, jika kepala eksekutif memiliki hak veto yang terlalu lemah (mudah di-override), cabang legislatif mungkin menjadi terlalu dominan (legislative supremacy), yang dapat menyebabkan legislasi yang terfragmentasi atau terlalu reaktif. Kunci sukses implementasi hak memveto dalam sistem domestik adalah menjaga keseimbangan yang tepat, memastikan bahwa veto berfungsi sebagai rem darurat, bukan sebagai senjata rutin.
Meskipun reformasi Piagam PBB yang akan menghapus hak veto secara total tampak mustahil dalam waktu dekat, tekanan untuk membatasi penggunaannya terus meningkat. Beberapa skenario masa depan meliputi:
Secara keseluruhan, kekuatan untuk memveto adalah manifestasi kekuasaan yang esensial, baik sebagai perlindungan kedaulatan di tingkat global maupun sebagai mekanisme keseimbangan kekuasaan di tingkat nasional. Keefektifan hak tolak bergantung pada kematangan politik para penggunanya—sebagai alat untuk memastikan deliberasi dan pencegahan tirani, atau sebagai senjata yang membungkam kehendak mayoritas dan menghambat kemajuan kolektif.