Mendangir, sebuah istilah yang mungkin asing bagi telinga generasi urban, namun merupakan kata kunci fundamental dalam kamus petani tradisional di berbagai penjuru Nusantara. Lebih dari sekadar aktivitas mencangkul atau membalikkan tanah, mendangir adalah ritual purba yang melambangkan dialog abadi antara manusia dengan bumi. Ia adalah proses esensial yang menentukan vitalitas lahan sebelum benih ditanam, memastikan bahwa tanah, sebagai wadah kehidupan, berada dalam kondisi prima untuk menerima dan menopang pertumbuhan tanaman pangan.
Aktivitas mendangir melibatkan serangkaian teknik pengolahan tanah sekunder yang bertujuan untuk memecah bongkahan-bongkahan tanah yang lebih besar, mengendalikan gulma yang mulai tumbuh, dan yang paling krusial, meningkatkan aerasi atau pertukaran udara di dalam matriks tanah. Dalam konteks pertanian Indonesia yang kaya akan variasi iklim dan jenis tanah, dari tanah liat berat di sawah irigasi hingga tanah vulkanik yang subur di dataran tinggi, praktik mendangir menyesuaikan diri, mencerminkan kearifan lokal yang telah teruji lintas zaman.
Artikel ini akan menyelami kedalaman makna mendangir, tidak hanya dari perspektif agronomis murni, tetapi juga dari sisi historis, sosiologis, dan filosofis. Kita akan menelusuri bagaimana teknik sederhana ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan, bagaimana ia diintegrasikan dalam siklus musim tanam, serta bagaimana peran alat tradisional seperti cangkul dan garu tetap relevan di tengah modernisasi pertanian yang gencar.
Mendangir adalah pembersihan dan persiapan lahan yang dilakukan dengan alat sederhana. Proses ini adalah manifestasi langsung dari upaya petani untuk memberikan yang terbaik bagi tanah, memastikan bahwa setiap benih yang ditanam memiliki peluang maksimal untuk menghasilkan panen yang berlimpah dan berkelanjutan. Kualitas dari hasil panen seringkali berkorelasi langsung dengan ketelitian dan semangat yang dicurahkan selama proses mendangir.
Secara etimologi, kata "dangir" merujuk pada kegiatan mengolah atau menggemburkan tanah. Dalam terminologi pertanian, mendangir sering disinonimkan dengan penyiangan (weeding) dan penggemburan (loosening) yang dilakukan setelah pengolahan tanah primer (pembajakan). Jika pembajakan bertujuan untuk membalik tanah secara masif dan membunuh gulma besar, mendangir berfokus pada detail: menciptakan tekstur remah (crumb structure) yang ideal di lapisan atas tanah, tempat akar muda akan mulai berinteraksi dengan nutrisi dan air.
Dalam konteks Jawa, aktivitas ini dikenal dengan berbagai istilah regional, tetapi intinya sama: mempersiapkan bedengan atau alur tanam. Proses ini sangat membedakannya dari membajak berat. Mendangir dilakukan dengan ketelitian yang lebih tinggi, seringkali melibatkan posisi tubuh yang membungkuk atau berjongkok, menunjukkan sifatnya yang personal dan intim dengan tanah. Ini bukan hanya memindahkan tanah, tetapi merapikan dan menata ulang habitat mikroorganisme dan material organik.
Jejak sejarah mendangir dapat ditelusuri kembali ke awal mula pertanian menetap di Nusantara, jauh sebelum kedatangan alat bajak modern yang ditarik hewan. Pada masa-masa awal, alat yang digunakan adalah tongkat penanam dan pacul (cangkul) sederhana yang terbuat dari kayu keras atau batu. Kebutuhan untuk menggemburkan tanah setelah panen sebelumnya, atau sekadar membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman liar, menjadikan mendangir sebagai pekerjaan tahunan yang tak terhindarkan.
Seiring berkembangnya teknologi metalurgi, mata cangkul (caping) menjadi dari besi atau baja. Alat inilah yang mengubah efisiensi mendangir secara drastis, memungkinkan petani menembus tanah liat yang keras tanpa menghabiskan energi yang luar biasa. Bahkan, dalam naskah-naskah kuno Jawa, terdapat referensi tentang siklus pertanian yang mencakup persiapan lahan, menunjuk pada pentingnya fase penggemburan ini sebagai penentu utama keberhasilan panen padi, jagung, dan palawija.
Efektivitas mendangir sangat bergantung pada pemilihan dan penggunaan alat yang tepat. Meskipun prinsipnya sama—memecah dan menggemburkan—variasi alat memungkinkan adaptasi terhadap kondisi tanah yang berbeda.
Mendangir harus dilakukan pada waktu yang tepat. Jika tanah terlalu basah, aktivitas ini dapat menyebabkan pemadatan (compaction) dan merusak struktur remah, menghasilkan gumpalan tanah liat yang keras saat kering. Sebaliknya, jika tanah terlalu kering, mendangir menjadi sangat sulit dan menghasilkan debu berlebihan. Waktu ideal adalah saat tanah berada pada kondisi kelembaban lapangan (field capacity), di mana ia terasa lembab namun tidak lengket.
Ketelitian dalam mengukur kedalaman pendangiran sangat penting. Pendangiran yang terlalu dangkal tidak akan efektif mengendalikan gulma, sementara pendangiran yang terlalu dalam dapat merusak jaringan perakaran dangkal tanaman yang sudah mulai tumbuh. Petani yang berpengalaman memiliki intuisi yang tajam mengenai kedalaman optimal berdasarkan jenis tanaman yang akan ditanam.
Mendangir bukanlah sekadar kerja fisik tanpa tujuan ilmiah. Setiap ayunan cangkul memiliki dampak signifikan terhadap sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, yang semuanya berujung pada peningkatan produktivitas dan kesehatan ekosistem pertanian.
Fungsi utama mendangir adalah memecah kepadatan tanah, yang secara langsung meningkatkan porositas. Porositas yang baik memastikan dua hal kritikal: aerasi dan drainase.
Mendangir adalah salah satu metode pengendalian gulma non-kimia yang paling efektif. Dengan memotong atau mencabut gulma pada tahap awal pertumbuhannya, petani secara drastis mengurangi persaingan nutrisi, air, dan cahaya yang dihadapi tanaman utama.
Ketika gulma dibalik dan dikubur, ia berubah menjadi bahan organik yang akan terurai, mengembalikan nutrisi yang sempat diserapnya ke dalam siklus tanah. Pendangiran yang dilakukan sebelum benih gulma sempat matang dan menyebar juga berfungsi sebagai strategi pencegahan jangka panjang untuk musim tanam berikutnya. Teknik ini merupakan pilar penting dalam pertanian organik dan berkelanjutan (sustainable agriculture).
Tanah yang padat menghambat difusi nutrisi. Akar harus mengeluarkan energi ekstra hanya untuk menembus lapisan tanah yang keras, mengurangi energi yang tersedia untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif.
Mendangir memastikan:
Di balik efisiensi teknisnya, mendangir mengandung dimensi sosial dan spiritual yang mendalam, terutama di masyarakat agraris yang masih memegang teguh tradisi. Aktivitas ini sering kali menjadi penanda musim, dan pelaksanaannya bukan sekadar tugas individu, melainkan upaya kolektif.
Karena intensitas tenaga yang diperlukan untuk mengolah tanah secara manual, mendangir sering dilakukan melalui sistem gotong royong atau 'sambatan' di banyak desa. Petani akan saling membantu membersihkan dan menggemburkan ladang tetangga secara bergantian. Fenomena ini memperkuat ikatan sosial dan rasa memiliki komunitas.
Gotong royong dalam mendangir bukan hanya tentang efisiensi kerja, tetapi juga tentang berbagi pengetahuan. Petani senior mengajarkan cara terbaik menggunakan cangkul, cara membaca kelembaban tanah, dan kapan waktu yang paling baik untuk memulai penanaman. Ini adalah transmisi kearifan lokal secara langsung dari generasi ke generasi, memastikan keberlanjutan praktik yang bijaksana terhadap alam.
Bagi petani tradisional, mendangir adalah tindakan merawat. Tanah (Bumi) dipandang bukan hanya sebagai komoditas, melainkan sebagai Ibu Pertiwi, sumber kehidupan yang harus dihormati dan diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Proses menggemburkan tanah secara manual sering diiringi dengan ritual kecil atau doa, memohon izin dan restu agar tanah memberikan hasil yang maksimal.
Sentuhan langsung antara tangan petani dengan tanah selama mendangir menciptakan koneksi personal. Petani dapat merasakan tekstur, kelembaban, dan suhu tanah. Ini memungkinkan diagnosis dini terhadap masalah tanah (misalnya, terlalu banyak kapur, terlalu liat, atau terlalu berpasir) yang tidak mungkin dilakukan oleh mesin. Filosofi ini menekankan bahwa hasil panen yang baik adalah buah dari hubungan harmonis, bukan eksploitasi. Setiap ayunan cangkul adalah doa yang diwujudkan dalam kerja keras.
Anak-anak petani sering dilibatkan dalam kegiatan mendangir, mulai dari membersihkan sisa akar hingga memecah bongkahan kecil. Keterlibatan ini berfungsi sebagai sekolah ekologi praktis. Mereka belajar tentang siklus hidup gulma, pentingnya bahan organik, dan peran cacing tanah. Mereka memahami bahwa struktur tanah adalah kunci, dan struktur tersebut harus diciptakan melalui upaya fisik yang terukur.
Pengetahuan ini, yang diwariskan melalui praktik mendangir, mencakup pemahaman tentang mikroklimat lahan, perbedaan antara tanah di lembah dan di lereng, serta bagaimana mengelola erosi. Ini adalah ilmu terapan yang relevan secara lokal, jauh melampaui kurikulum pertanian formal.
Meskipun istilah "mendangir" dikenal secara luas, praktik ini memiliki nama dan nuansa teknis yang berbeda di berbagai wilayah Indonesia, mencerminkan adaptasi terhadap kondisi geografis dan jenis komoditas lokal.
Di Jawa, mendangir untuk sawah sering dikenal sebagai bagian dari *nggaru* atau *nglaru*, yang dilakukan setelah *ngglawo* (pembajakan kasar). *Ngaru* adalah proses penghalusan tanah lumpur sawah menggunakan garu yang ditarik kerbau atau sapi, bertujuan untuk menciptakan lapisan lumpur yang rata sempurna untuk menanam bibit padi. Sementara itu, untuk lahan tegalan (lahan kering), mendangir murni menggunakan cangkul untuk membuat guludan tanaman palawija seperti jagung atau singkong.
Di Jawa Barat (Sunda), proses pengolahan tanah yang mendetail dikenal sebagai *ngoret*, yang fokus pada pembersihan gulma di antara tanaman padi yang sudah mulai meninggi, memastikan tidak ada kompetisi nutrisi pada fase pengisian biji.
Di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan, terutama dalam sistem ladang berpindah tradisional yang kini mulai beralih ke pertanian menetap, mendangir dilakukan dengan lebih intensif setelah proses pembakaran lahan (jika masih dipraktikkan secara terkontrol) untuk mencampurkan abu ke dalam tanah dan menggemburkan lapisan atas yang keras. Alat yang digunakan di sini seringkali lebih tajam dan ramping untuk menghadapi perakaran hutan yang lebih kuat.
Istilah lokal sering merujuk pada alat yang digunakan, misalnya, aktivitas menggunakan *tajak* (sejenis cangkul kecil) di Kalimantan untuk penyiangan. Perbedaan mendasar di sini adalah penekanan pada peningkatan pH tanah yang cenderung asam di luar Jawa, sehingga mendangir juga berfungsi sebagai tahap pencampuran kapur atau dolomit.
Dalam sistem Subak di Bali, mendangir menjadi bagian integral dari manajemen air dan terasering. Pendangiran harus dilakukan dengan presisi tinggi agar tidak merusak struktur terasering yang telah dibangun dengan susah payah. Di sini, mendangir bukan hanya soal kesuburan, tetapi juga soal hidrologi—memastikan air mengalir dengan tepat dari satu petak sawah ke petak di bawahnya, sambil mempertahankan struktur tanah yang stabil.
Proses ini sangat dikoordinasikan oleh Pimpinan Subak (Pekaseh), memastikan bahwa semua anggota komunitas melakukan pendangiran secara serentak, selaras dengan jadwal irigasi dari Pura Tirta (Pura Air). Ini adalah contoh luar biasa bagaimana teknik pertanian (mendangir) terintegrasi sepenuhnya dengan sistem sosial dan keagamaan yang kompleks.
Di era ketika traktor dan mesin pembajak mendominasi, peran mendangir tradisional sering dipertanyakan. Namun, perbandingan antara pengolahan tanah manual dengan mekanisasi mengungkapkan keunggulan krusial yang dimiliki oleh praktik mendangir, khususnya dalam konteks pertanian berkelanjutan.
Pembajakan mekanis, meskipun cepat, seringkali menghasilkan lapisan keras di bawah kedalaman bajak (hardpan atau plow pan). Lapisan ini terbentuk karena tekanan roda traktor dan mata bajak yang berulang, menghambat penetrasi akar dan drainase di lapisan bawah tanah. Mendangir manual, karena sifatnya yang ringan dan fokus pada lapisan atas, cenderung tidak menciptakan hardpan, sehingga menjaga kesehatan tanah dalam jangka panjang.
Selain itu, mendangir manual memungkinkan petani untuk memilih dan memilah secara selektif. Petani dapat membiarkan sisa-sisa tanaman di permukaan (mulsa) untuk mencegah erosi dan mempertahankan kelembaban, sebuah praktik yang sulit dilakukan oleh mesin pembajak yang cenderung membalik semua material secara total.
Tantangan terbesar yang dihadapi praktik mendangir tradisional adalah tingginya kebutuhan tenaga kerja dan waktu. Migrasi tenaga kerja muda ke kota membuat desa-desa kehilangan generasi penerus yang mahir dalam teknik ini. Oleh karena itu, terjadi kecenderungan untuk beralih ke metode yang lebih cepat, meskipun merusak struktur tanah.
Namun, di tengah kesadaran global akan perubahan iklim dan degradasi tanah, mendangir kini menemukan tempat baru dalam gerakan "Pertanian Konservasi" (Conservation Agriculture). Praktik seperti *Minimum Tillage* (pengolahan tanah minimum) secara esensial menyerupai prinsip mendangir: hanya mengolah bagian yang benar-benar diperlukan untuk menanam, menjaga struktur tanah alami, dan mempertahankan residu tanaman di permukaan.
Masa depan mendangir bukan berarti penolakan total terhadap teknologi, melainkan integrasi cerdas. Beberapa inovasi telah muncul, seperti mini-tiller atau rotavator kecil, yang dapat meniru efek penggemburan dan penyiangan mendangir manual tanpa tekanan berat dari traktor besar. Alat-alat ini dirancang untuk bekerja di antara barisan tanaman, menggabungkan kecepatan mesin dengan ketelitian yang mendekati kerja tangan manusia.
Penggunaan teknik pendangiran tradisional, terutama dalam pertanian organik untuk komoditas bernilai tinggi (seperti sayuran daun dan rempah-rempah), terus dipertahankan karena kemampuannya menghasilkan struktur tanah yang superior dan produk yang bebas herbisida. Kualitas tanah yang diciptakan oleh sentuhan tangan manusia seringkali tidak tertandingi oleh mekanisasi masif.
Mendangir adalah investasi jangka panjang terhadap kesehatan lahan. Di tengah tekanan untuk memproduksi secara massal, praktik ini mengingatkan kita bahwa kecepatan tidak boleh mengorbankan kualitas dan keberlanjutan ekosistem tanah.
Secara ekonomi, mendangir manual memiliki biaya variabel yang tinggi, terutama yang berkaitan dengan upah tenaga kerja. Di lahan yang luas, biaya ini bisa menjadi penghalang utama. Namun, jika dianalisis dari perspektif biaya eksternal, mendangir manual menawarkan keunggulan signifikan:
Dalam skala pertanian subsisten dan pertanian keluarga, mendangir adalah investasi waktu dan tenaga kerja internal yang jika dihitung dengan benar, memberikan hasil yang lebih stabil dan risiko kerugian yang lebih rendah dibandingkan dengan ketergantungan penuh pada peralatan berat dan input kimia.
Di daerah kering atau semi-kering, efisiensi air adalah penentu kelangsungan hidup pertanian. Mendangir menciptakan lapisan tanah gembur di permukaan (disebut mulsa tanah atau *soil mulch*). Lapisan ini sangat penting karena berfungsi memutus kapilaritas air dari lapisan bawah ke permukaan. Ketika kapilaritas terputus, laju penguapan air dari permukaan tanah berkurang drastis.
Praktik ini, yang sering diulang setelah hujan atau irigasi, dikenal sebagai teknik konservasi air purba. Dengan demikian, petani yang tekun mendangir dapat menunda irigasi berikutnya, menghemat air, dan mengurangi biaya pemompaan air.
Kesehatan tanah diukur tidak hanya dari kandungan nutrisinya, tetapi juga dari keanekaragaman hayati mikroorganisme di dalamnya. Mendangir, dengan cara yang lembut dan tidak merusak, mendukung ekosistem tanah yang seimbang. Berbeda dengan traktor rotari yang dapat membalik tanah terlalu cepat dan merusak hifa jamur mikoriza serta populasi cacing tanah, pendangiran manual lebih terukur dan ramah terhadap makhluk hidup di bawah permukaan. Cacing tanah, sebagai "insinyur ekosistem," berkembang biak di tanah yang gembur, dan aktivitas mereka selanjutnya meningkatkan aerasi dan kesuburan secara alami, menciptakan siklus positif.
Penerapan mendangir disesuaikan secara spesifik tergantung pada jenis tanaman yang dibudidayakan. Kebutuhan tanah untuk padi jelas berbeda dengan kebutuhan ubi jalar atau tebu.
Dalam sistem sawah irigasi, mendangir dilakukan di air. Tujuannya adalah menciptakan lapisan lumpur yang homogen (puddle effect). Lapisan ini sangat penting karena membantu mengurangi perkolasi air ke lapisan tanah yang lebih dalam, sehingga sawah dapat mempertahankan genangan air. Meskipun dilakukan dengan garu yang ditarik kerbau, proses ini adalah bentuk pendangiran masif yang disesuaikan untuk kebutuhan hidrologi padi.
Tanaman umbi memerlukan tanah yang sangat gembur agar umbi dapat berkembang tanpa hambatan fisik. Oleh karena itu, mendangir untuk komoditas ini harus dilakukan sangat dalam (hingga 30-40 cm) dan biasanya melibatkan pembuatan guludan tinggi. Semakin remah tanahnya, semakin besar dan mulus umbi yang dihasilkan, yang secara langsung meningkatkan nilai jual dan hasil panen per satuan luas.
Jika tanah diolah terlalu padat, umbi akan tumbuh tidak beraturan atau kecil-kecil, sebuah fenomena yang dihindari oleh petani melalui pendangiran yang teliti. Kedalaman dan kehalusan tanah adalah kunci utama dalam budidaya umbi-umbian.
Tanaman hortikultura seringkali memiliki siklus panen yang pendek dan perakaran yang dangkal. Mendangir di sini berfokus pada lapisan 10-20 cm teratas. Penyiangan gulma sangat intensif (pendangiran susulan) karena persaingan nutrisi sangat cepat mempengaruhi kualitas dan kuantitas daun atau buah. Petani sayuran sering menggunakan koret atau cangkul kecil untuk mendangir setiap minggu atau dua minggu sekali, memastikan gulma tidak memiliki kesempatan untuk berakar kuat.
Mendangir adalah refleksi nyata dari pemahaman petani tradisional bahwa tanah adalah makhluk hidup yang membutuhkan perlakuan hati-hati. Ia mengajarkan tentang kesabaran, ritme alam, dan pentingnya kerja keras kolektif. Meskipun laju modernisasi terus menekan, teknik mendangir, baik dalam bentuk manual maupun adaptasi mekanis, akan tetap menjadi fundamental dalam upaya menuju pertanian yang benar-benar berkelanjutan.
Keberhasilan praktik ini selama ribuan tahun di Nusantara membuktikan bahwa solusi untuk ketahanan pangan tidak selalu terletak pada teknologi yang paling canggih, melainkan pada kearifan dalam mengelola sumber daya dasar: tanah dan air. Dengan memahami dan menghargai filosofi di balik setiap ayunan cangkul, kita tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga mengamankan fondasi ekologi untuk generasi mendatang.
Mendangir adalah inti dari budaya bertani—pengakuan bahwa hanya dengan merawat bumi secara telaten, ia akan memberikan hasil terbaiknya kepada umat manusia. Praktik ini adalah jembatan antara masa lalu yang kaya kearifan dengan masa depan yang menuntut tanggung jawab ekologis. Penerapannya secara bijaksana memastikan bahwa kita akan selalu memiliki tanah yang subur, siap untuk menerima kehidupan baru di setiap musim tanam.
Filosofi mendangir menggarisbawahi pentingnya detail. Sebuah bongkahan tanah yang terpecah menjadi remah-remah halus bukan hanya sekadar perubahan fisik, melainkan penciptaan kondisi ideal di tingkat mikroskopis. Ruang pori yang tercipta adalah rumah bagi mikroba, jalan bagi akar, dan wadah bagi air. Ini adalah bukti bahwa kemajuan sejati dalam pertanian seringkali terletak pada kemampuan kita untuk menghormati dan meniru proses alam, bukan melawannya.
Masyarakat yang menghargai mendangir adalah masyarakat yang menghargai sumber daya alamnya. Dalam narasi modern tentang krisis pangan, krisis air, dan krisis iklim, pelajaran dari mendangir menjadi semakin relevan. Ia mengajarkan kita untuk kembali ke dasar, ke interaksi langsung dengan bumi, dan mengakui bahwa kedaulatan pangan dimulai dari segenggam tanah yang telah digemburkan dengan penuh ketekunan.
Setiap daerah di Indonesia memiliki interpretasi uniknya terhadap proses ini, dari pemilihan jenis mata cangkul hingga lagu-lagu atau mantra yang mungkin diucapkan saat memulai pekerjaan. Ini adalah kekayaan kultural yang harus dipertahankan, karena di dalamnya tersimpan solusi lokal yang paling efektif untuk tantangan pertanian global.
Kesinambungan mendangir dalam sistem pertanian Indonesia bukan hanya masalah tradisi, tetapi sebuah strategi adaptasi iklim yang cerdas. Praktik ini menjaga bio-agregasi tanah, memperkuat daya tahan lahan terhadap kekeringan ekstrem maupun banjir mendadak. Dengan demikian, mendangir merupakan pertahanan alami pertama petani terhadap ketidakpastian cuaca yang semakin meningkat.
Pekerjaan mendangir yang berat secara fisik kini perlu diganjar dengan penghargaan yang setara. Pengakuan terhadap nilai ekologis dari praktik tradisional ini akan membantu memastikan bahwa generasi muda melihat mendangir bukan sebagai pekerjaan kuno yang melelahkan, melainkan sebagai keahlian konservasi tanah yang vital dan berharga di abad ke-21. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa tanah Nusantara akan terus subur, diolah dengan kebijaksanaan warisan leluhur.
Oleh karena itu, ketika kita melihat sebuah lahan yang baru didangir, kita tidak hanya melihat tanah yang bersih dan rapi. Kita melihat sejarah yang terpelihara, ilmu pengetahuan yang diterapkan secara instingtif, dan janji masa depan yang diukir dari kerja keras tangan manusia dan kesuburan bumi.
Di masa depan, kombinasi antara pemetaan tanah berbasis satelit dengan praktik mendangir minimal akan menjadi model pertanian presisi yang berkelanjutan. Teknologi dapat membantu menentukan kapan dan di mana harus mendangir, tetapi keputusan akhir tentang cara mendangir dan kedalamannya akan tetap berada di tangan petani yang telah menguasai seni dan filosofi pengolahan tanah ini.
Mendangir adalah komitmen untuk hidup berdampingan dengan alam, bukan menguasainya. Ini adalah warisan yang harus terus dijaga, dipelajari, dan disempurnakan. Proses ini merupakan inti kearifan ekologi yang tak ternilai, sebuah pelajaran bahwa kualitas selalu mengalahkan kuantitas, terutama ketika menyangkut fondasi kehidupan kita.
Keberadaan mendangir memastikan bahwa siklus kehidupan di ladang terus berputar secara harmonis. Tanpa penggemburan yang tepat, tanah akan mati. Dengan mendangir, kita memberikan napas baru, energi baru, dan harapan baru untuk setiap musim tanam yang akan datang. Ini adalah tugas suci seorang petani, sebuah tugas yang layak untuk dihormati dan dipahami secara mendalam.
Ritme kerja, suara cangkul yang beradu dengan tanah, dan bau bumi yang baru dibalik adalah simfoni abadi pertanian tradisional. Simfoni inilah yang menjamin bahwa di tengah perubahan global yang cepat, fondasi pangan kita tetap kokoh, berakar kuat pada bumi yang sehat, yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta melalui proses mendangir.