Surah Ar-Rahman, pelita yang menerangi keagungan Rahmat Allah, adalah undangan abadi menuju rasa syukur.
Surah Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) adalah salah satu surah terindah dan paling unik dalam Al-Qur’an. Dinamakan demikian karena ia dibuka dengan Asmaul Husna yang agung, yakni Ar-Rahman, menandaskan bahwa seluruh kandungan surah ini adalah manifestasi konkret dari rahmat Allah yang tak terbatas. Surah ke-55 ini, yang terdiri dari 78 ayat, memiliki ritme, struktur, dan tujuan retoris yang berbeda dari surah-surah lainnya, menjadikannya sebuah mahakarya sastra ilahi yang menantang akal dan hati manusia serta jin.
Inti dari Surah Ar-Rahman adalah penegasan terhadap keesaan Allah, pemaparan berkah-berkah-Nya di alam semesta, dan peringatan akan Hari Pembalasan. Namun, elemen paling mencolok yang memberikan kekuatan retoris luar biasa adalah pengulangan kalimat yang ikonik, sebuah tantangan berulang yang ditempatkan secara strategis di tengah deskripsi setiap nikmat dan setiap ancaman. Untuk memahami kedalaman surah ini, kita harus melampaui terjemahan literal dan menyelami lapisan-lapisan tafsir, balaghah (retorika), dan pesan filosofisnya yang universal.
Ciri khas yang membuat Surah Ar-Rahman tidak tertandingi adalah pengulangan ayat ke-13 sebanyak 31 kali: "Fabi'ayyi 'aalaa'i Rabbikumaa tukadzdzibaan" – “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Pengulangan ini bukan sekadar alat sastra, melainkan fondasi struktural dan argumen teologis utama surah ini. Para ahli balaghah menyebut teknik ini sebagai *tardid* atau repetisi yang terstruktur. Tujuannya melampaui penekanan; ia berfungsi sebagai penopang ritmis yang mengikat bagian-bagian yang berbeda dari alam semesta dan hukum ilahi menjadi satu kesatuan yang koheren.
Angka 31 ini tidak acak, melainkan mengikuti pembagian tematik yang presisi. Pengulangan tersebut terdistribusi berdasarkan kategori nikmat dan peringatan yang disajikan Allah:
Pola 7-8-1-7-8-1 menunjukkan simetri yang mencengangkan, membagi surah menjadi bagian-bagian yang seimbang antara *rahmat* (nikmat) dan *naqmah* (peringatan), memastikan bahwa setiap klaim yang dibuat oleh Allah segera diikuti oleh tuntutan pertanggungjawaban kepada pendengarnya.
Gambar 1: Mizan, Timbangan Kosmik. Melambangkan Keseimbangan dan Keadilan Ilahi.
Surah ini dapat dibagi menjadi empat bagian utama: Sumber Rahmat, Hukum Alam dan Keseimbangan, Kehancuran Dunia, dan Pembalasan.
الرَّحْمَٰنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (2) خَلَقَ الْإِنسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)
Surah dimulai dengan nama 'Ar-Rahman'. Allah tidak memilih nama 'Al-Khaliq' (Pencipta) atau 'Al-Malik' (Raja) untuk memulai surah ini, melainkan yang menunjukkan kasih sayang dan rahmat yang melimpah. Ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang akan disebutkan setelahnya—baik penciptaan, pengajaran, maupun pembalasan—adalah hasil dari Rahmat-Nya yang luas.
Ayat 2, “Telah mengajarkan Al-Qur’an,” menempatkan pengetahuan dan petunjuk di atas segala ciptaan fisik. Ini adalah urutan yang sangat penting: Rahmat tertinggi Allah bukanlah materi, melainkan wahyu. Al-Qur’an adalah rahmat intelektual dan spiritual yang memungkinkan manusia memahami keberadaan mereka. Setelah itu barulah disebutkan penciptaan manusia (Ayat 3) dan pengajaran *Al-Bayan* (kemampuan berbicara dan menjelaskan) (Ayat 4). *Al-Bayan* adalah nikmat yang membedakan manusia dari makhluk lain; ini adalah alat untuk bersyukur dan memahami wahyu.
Bagian ini bergerak dari ranah spiritual (wahyu) ke ranah fisik (kosmos), semuanya diatur oleh *mizan* (keseimbangan) yang ketat.
Setelah deskripsi yang begitu kaya tentang keteraturan kosmik, nikmat pengetahuan, dan sumber daya alam, tantangan pun muncul: "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" – Pertanyaan ini menanyakan: Apakah Anda mendustakan Al-Qur'an? Matahari? Keadilan? Semua itu terbukti ada di sekitar Anda.
Allah kemudian merinci penciptaan dua entitas yang menjadi audiens utama surah ini.
Bagian ini memperluas konsep *mizan* ke lautan dan transportasi, menunjukkan bahwa bahkan kekuatan alam yang paling besar pun tunduk pada hukum ilahi. Semua kekayaan dan kemudahan navigasi adalah anugerah langsung dari Ar-Rahman.
Setelah memaparkan kekayaan dunia, Surah Ar-Rahman melakukan transisi tiba-tiba menuju realitas kefanaan. Ini adalah pukulan filosofis yang kuat: jika semua nikmat ini adalah nyata, maka realitas kehancuran juga mutlak.
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (27)
“Semua yang ada di atas bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” Ayat ini adalah jantung dari teologi tauhid: hanya Allah yang Abadi. Setiap makhluk hidup, setiap keajaiban kosmik, setiap peradaban yang berlayar di laut, semuanya akan berakhir. Penggunaan kata "Wajah" (*Wajhu*) dalam ayat ini oleh para ulama ditafsirkan sebagai Dzat Allah yang hakiki, yang kekal dan melampaui waktu.
Di tengah kehancuran ini, Allah bertanya: “Semua yang ada di langit dan di bumi senantiasa meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (Ayat 29). Kesibukan Allah (*Sya’n*) adalah keagungan kekuasaan-Nya—Dia menciptakan, membinasakan, memberi rezeki, mengampuni, dan menghisab secara simultan tanpa lelah. Ini meniadakan pemahaman bahwa Allah terikat oleh waktu atau keterbatasan. Setelah itu, refrain kembali berbunyi, menantang siapapun yang meragukan kekekalan dan kekuasaan-Nya.
Allah mengumumkan kedatangan Hari Penghisaban: “Kami akan segera memperhatikan urusanmu, wahai dua golongan yang berat (manusia dan jin).” (Ayat 31). Frasa "dua golongan yang berat" (*ats-tsaqalan*) adalah istilah unik dalam surah ini yang merujuk pada manusia dan jin, menegaskan bahwa mereka adalah dua entitas yang dimintai pertanggungjawaban karena keduanya memiliki kebebasan memilih dan menerima wahyu.
Ayat 33 memberikan tantangan yang menakutkan, membuktikan keterbatasan mutlak makhluk di hadapan keagungan Pencipta:
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَن تَنفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانفُذُوا ۚ لَا تَنفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ
“Wahai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus melintasi penjuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak dapat melintasinya kecuali dengan kekuatan (kekuasaan dari Allah).” Ayat ini menyindir kesombongan makhluk. Meskipun teknologi modern memungkinkan eksplorasi angkasa, ini tetap terjadi atas izin dan hukum fisika yang diciptakan Allah (*sulthān*). Pada Hari Kiamat, tidak ada tempat berlari dari kekuasaan-Nya.
Bagi mereka yang mendustakan nikmat, balasan yang mengerikan telah disiapkan. Ketika penghalang di alam semesta telah runtuh, langit akan terbelah dan menjadi merah seperti mawar atau kilauan minyak. Ini adalah gambaran kosmik yang mengerikan tentang akhir zaman.
Para pendosa akan dikenali berdasarkan tanda-tanda mereka, dan mereka akan dicengkeram ubun-ubun dan kaki mereka. Deskripsi siksa neraka dalam bagian ini sangat spesifik:
Kisah tentang siksaan neraka ini ditutup dengan penegasan bahwa inilah balasan bagi para pendosa. Meskipun bagian ini berbicara tentang murka, hakikat bahwa Allah memberikan deskripsi yang begitu rinci tentang Neraka adalah bentuk Rahmat; sebuah peringatan eksplisit agar manusia memiliki kesempatan untuk bertaubat dan menghindarinya.
Kontras yang tajam terjadi setelah deskripsi Neraka. Bagi mereka yang takut kepada kedudukan Tuhannya—mereka yang menahan diri dari dosa karena kesadaran akan pengawasan Ilahi—dijanjikan dua buah surga. Surga dalam Surah Ar-Rahman disajikan dalam dua pasang, menunjukkan tingkatan kemuliaan.
Ini adalah surga bagi mereka yang paling dekat dengan Allah (*al-Muqarrabin*).
Setelah setiap deskripsi tentang keindahan lingkungan, makanan, dan pasangan, refrain diucapkan. Hal ini menekankan bahwa setiap detail keindahan tersebut adalah nikmat yang wajib disyukuri.
Gambar 2: Keindahan Jannah. Manifestasi Penuh Rahmat Abadi.
Setelah selesai mendeskripsikan dua surga pertama yang superior, Allah lalu menyebutkan dua surga lain di bawahnya. Ini menunjukkan bahwa rahmat Allah bertingkat, memberikan ganjaran yang sesuai dengan amal dan tingkat ketakwaan seseorang.
وَمِن دُونِهِمَا جَنَّتَانِ
“Dan selain dari dua surga itu ada dua surga lagi.” (Ayat 62). Para ulama tafsir umumnya berpendapat bahwa ini adalah ganjaran bagi *Ashabul Yamin* (Golongan Kanan), yang tingkatnya lebih rendah daripada *Muqarrabin*, namun tetap merupakan kebahagiaan abadi.
Perbedaan antara dua pasangan surga ini disajikan melalui detail deskriptif yang subtil:
| Kriteria | Dua Surga Pertama (Muqarrabin) | Dua Surga Kedua (Ashabul Yamin) |
|---|---|---|
| Sumber Air | Dua mata air yang mengalir deras (*Jariyatani*). | Dua mata air yang memancar (*Nadhdakhātāni*). |
| Buah-buahan | Dua jenis buah-buahan (*Min kulli fākihah*). | Buah-buahan, kurma, dan delima. |
| Bidadari | Wanita-wanita suci yang menundukkan pandangan (*qāṣirāt aṭ-ṭarf*). | Wanita-wanita baik lagi cantik (*khairātun ḥisān*). |
Meskipun ada perbedaan dalam intensitas nikmat (misalnya, air yang mengalir deras vs. memancar), pesan dasarnya sama: bagi mereka yang beriman dan beramal saleh, ganjaran yang disiapkan oleh Ar-Rahman adalah luar biasa dan tak terbandingkan dengan nikmat duniawi apapun.
Surah Ar-Rahman adalah surah yang berbicara langsung kepada kesadaran dan nurani. Pesan-pesan yang dibawa surah ini melampaui batas waktu dan budaya, berfokus pada hubungan makhluk dengan Penciptanya.
Mizan adalah kata kunci teologis dan etis dalam surah ini. Ia tidak hanya merujuk pada keadilan Allah dalam menghitung amal, tetapi juga hukum fundamental yang mengatur kosmos. Ketika Allah berfirman: “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu.” (Ayat 9), ini adalah perintah untuk menjalankan moralitas dan keadilan dalam interaksi sosial dan ekonomi, karena ketidakadilan manusia merusak *mizan* yang telah sempurna Allah ciptakan di alam semesta.
Secara spiritual, *mizan* adalah keseimbangan antara hak Allah (ibadah) dan hak makhluk (berbuat baik). Kekuatan surah ini terletak pada cara ia menghubungkan dosa di bumi (kecurangan, kedustaan) dengan kekacauan kosmik, menegaskan bahwa keadilan adalah prinsip utama yang harus dianut oleh manusia.
Penggunaan kata ganti orang kedua jamak, ‘Rabbikumaa’ (Tuhan kamu berdua), menegaskan bahwa surah ini ditujukan secara spesifik kepada manusia dan jin. Ini unik karena sebagian besar surah Al-Qur'an secara eksplisit hanya berdialog dengan manusia. Pesan ini memiliki implikasi penting:
Tujuan utama dari pengulangan refrain adalah menuntut *syukur* (rasa terima kasih). Setiap nikmat disajikan, dan kemudian pertanyaan retoris itu memaksa pendengar untuk mengakui: bisakah Anda, dengan akal sehat dan penglihatan Anda, berani mendustakan kebenaran ini? Kufur (ingkar) dalam konteks ini bukan hanya tidak percaya pada Allah, tetapi *kufur nikmat*—penolakan untuk mengakui bahwa nikmat yang dinikmati berasal dari sumber Ilahi.
Surah ini mengajarkan bahwa kesadaran akan nikmat Allah adalah jalan menuju ketakwaan. Jika seseorang secara sadar mengakui bahwa matahari, air, dan bahkan kemampuan berbicara berasal dari Ar-Rahman, mustahil baginya untuk berlaku sombong atau tidak adil.
Dari sisi balaghah, Surah Ar-Rahman sering disebut sebagai “Pengantin Al-Qur’an” karena keindahan sastranya. Hampir semua ayat pendek diakhiri dengan rima yang harmonis (saj' mutarraf), seperti rima yang berakhiran ‘aan’ (contoh: *al-Bayan, al-Afnan, al-Mizan*). Ritme yang cepat dan pola rima yang konsisten menciptakan melodi yang mudah diingat dan sangat menghipnotis, menjadikan surah ini sangat populer dalam pembacaan. Rima yang manis ini memfasilitasi penyerapan pesan dan memastikan bahwa pendengar, baik manusia maupun jin, akan terus mengingat pertanyaan yang menusuk hati tersebut.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman Surah Ar-Rahman, kita harus melihat bagaimana rahmat yang disajikan dalam ayat-ayat kosmik dan eskatologis diterapkan dalam konteks kehidupan nyata.
Ayat 2, “Telah mengajarkan Al-Qur’an,” dan Ayat 4, “Mengajarkan Al-Bayan,” menekankan bahwa rahmat terbesar adalah kemampuan kognitif. Ilmu pengetahuan, bahasa, dan komunikasi adalah fondasi peradaban. Tanpa *Al-Bayan*, manusia tidak dapat bertukar pikiran, menegakkan hukum, atau bahkan memahami wahyu. Setiap penemuan ilmiah, setiap karya sastra, setiap komunikasi yang efektif adalah perwujudan rahmat *Al-Bayan*. Pendustaan terbesar terhadap nikmat ini adalah menyalahgunakan ilmu untuk kezaliman atau menyebarkan kebohongan.
Surah Ar-Rahman adalah salah satu surah paling ekologis dalam Al-Qur’an. Rahmat ditunjukkan melalui penetapan hukum kosmik: matahari dan bulan berjalan dengan perhitungan, bumi dihamparkan dengan keseimbangan, dan laut memiliki penghalang agar tidak saling merusak. Pelanggaran manusia terhadap lingkungan, polusi, dan eksploitasi berlebihan adalah bentuk mendustakan nikmat *Mizan* Allah. Ketika Allah melarang kita melanggar timbangan, itu termasuk menjaga keharmonisan ekosistem global yang telah Dia ciptakan secara seimbang.
Dalam konteks sosial, *Mizan* menuntut keadilan mutlak. Jika surah ini memaparkan keadilan sempurna di kosmos, maka manusia diwajibkan merefleksikannya dalam masyarakat. Keadilan dalam bersaksi, berdagang, dan mengambil keputusan adalah bagian dari ibadah. Mendustakan nikmat Allah berarti hidup dalam ketidakadilan, karena hanya dengan keadilanlah masyarakat dapat mencapai ketenangan yang merupakan cerminan dari Rahmat Ilahi.
Perbedaan antara dua pasang surga yang disebutkan di akhir surah telah menjadi fokus utama para mufassir karena ia memberikan wawasan mendalam tentang hierarki spiritual dan ganjaran di akhirat.
Golongan *Muqarrabin* (yang didekatkan) adalah mereka yang tidak hanya melaksanakan kewajiban (*fardhu*) tetapi juga memperbanyak amalan sunnah dan menjauhi makruh. Mereka hidup dalam kesadaran spiritual yang konstan. Ciri surga mereka mencerminkan kedekatan ini:
Golongan *Ashabul Yamin* (Golongan Kanan) adalah mereka yang menunaikan kewajiban dan menjauhi dosa besar, namun mungkin tidak mencapai tingkat ibadah sunnah yang intensif seperti *Muqarrabin*. Mereka tetap disayangi Allah, tetapi ganjaran mereka berbeda detailnya:
Pengajaran di balik perincian ini adalah bahwa Allah, Ar-Rahman, memberikan ganjaran kepada semua hamba-Nya yang saleh, namun Dia menghargai usaha dan pengorbanan ekstra. Rahmat-Nya mencakup semua tingkatan, tetapi pintu untuk mencapai tingkatan tertinggi selalu terbuka bagi mereka yang paling gigih.
Surah Ar-Rahman adalah sebuah deklarasi, sebuah proklamasi ilahi yang menyusun keindahan alam semesta dan hukum etika di bawah naungan Rahmat Allah. Dari pengajaran Al-Qur'an yang agung hingga detail terkecil dalam buah-buahan surga, semuanya adalah bukti kasih sayang Allah yang tak terhingga.
Setiap pengulangan "Fabi'ayyi 'aalaa'i Rabbikumaa tukadzdzibaan" bukanlah sekadar pertanyaan, melainkan cermin refleksi yang dilemparkan kembali kepada pendengar. Ia memaksa kita untuk menghitung berkah yang tak terhitung, dari oksigen yang kita hirup (tanpa perhitungan) hingga janji abadi di akhirat. Surah ini menyerukan kita untuk menyelaraskan diri kita dengan *mizan* kosmik dan hidup dalam rasa syukur yang abadi.
Surah Ar-Rahman ditutup dengan Ayat 78:
تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Mahasuci nama Tuhanmu Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” Penutup ini mengikat Surah kembali pada intinya: Allah adalah sumber dari semua rahmat (*Ikrām*) dan kekuasaan (*Jalāl*). Kebesaran-Nya melingkupi segala sesuatu yang telah dijelaskan, dan kemuliaan-Nya menjamin janji-janji yang telah Dia berikan, baik berupa peringatan maupun ganjaran. Surah Ar-Rahman adalah undangan untuk merenung, bersyukur, dan pada akhirnya, tunduk pada Rahmat yang Maha Mendominasi.