Surah Ar-Rum Ayat 21 adalah salah satu ayat terpenting dalam Al-Qur'an yang secara spesifik membahas fitrah manusia dalam berpasangan dan mendirikan rumah tangga. Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai landasan hukum atau anjuran, melainkan sebagai sebuah deklarasi teologis tentang tujuan eksistensi pernikahan itu sendiri. Di mata Islam, pernikahan bukanlah sekadar kontrak sosial atau pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi merupakan sebuah Ayatullah—tanda-tanda kebesaran Allah SWT—yang terserak di alam semesta dan dalam diri manusia.
Ayat ini, dengan redaksi yang indah dan padat makna, memberikan tiga pilar utama yang harus dibangun dan dijaga oleh sepasang suami istri: *Sakinah*, *Mawaddah*, dan *Rahmah*. Ketiganya adalah sebuah kesatuan yang utuh, tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan menjadi kunci bagi terwujudnya keluarga yang harmonis, stabil, dan menjadi sumber ketenangan di tengah hiruk pikuk kehidupan dunia.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājal litaskunū ilaihā wa ja‘ala bainakum mawaddataw wa raḥmah. Inna fī żālika la’āyātil liqaumin yatafakkarūn.
Terjemah Makna: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
Untuk mencapai pemahaman yang mendalam terhadap peran ayat ini dalam konstruksi keluarga Muslim, kita perlu mengurai setiap frasa dan kata kunci yang terkandung di dalamnya. Struktur ayat ini mengalir secara logis, mulai dari sumber penciptaan hingga tujuan akhir dari persatuan tersebut.
Pembukaan ini menempatkan pernikahan setara dengan fenomena alam semesta yang menakjubkan—seperti penciptaan langit, pergantian siang dan malam, dan perbedaan bahasa serta warna kulit. Pernikahan adalah sebuah keajaiban yang memerlukan perenungan (*tafakkur*). Ini adalah panggilan untuk melihat hubungan suami istri bukan sebagai sesuatu yang biasa, melainkan sebagai manifestasi langsung dari kekuasaan dan kebijaksanaan Ilahi.
Frasa ini menegaskan kesetaraan hakiki antara suami dan istri. Pasangan diciptakan *min anfusikum* (dari dirimu sendiri), menekankan bahwa pasangan bukan makhluk asing, melainkan memiliki esensi kemanusiaan yang sama. Hal ini menolak segala bentuk diskriminasi atau superioritas mutlak salah satu pihak atas dasar penciptaan. Kesetaraan ini adalah fondasi etika dan moral dalam rumah tangga, memastikan bahwa hubungan dibangun atas dasar penghormatan dan pengakuan timbal balik.
Inilah tujuan primer dari pernikahan. Kata *sakinah* (ketenangan) adalah jantung dari ayat ini. Ketenangan yang dimaksud bukanlah sekadar absennya konflik, melainkan sebuah kedamaian batin yang mendalam, psikologis, dan spiritual. Pasangan adalah tempat berlindung, dermaga tempat berlabuh setelah badai kehidupan, tempat jiwa menemukan istirahat dan perlindungan dari kelelahan dunia.
Jika *Sakinah* adalah tujuan (hasil), maka *Mawaddah* dan *Rahmah* adalah sarana (proses) yang ditanamkan oleh Allah untuk mencapai tujuan tersebut. Allah tidak memerintahkan kita menciptakan cinta, melainkan menyatakan bahwa Dia telah *menjadikannya* di antara kita. Ini menunjukkan bahwa cinta dan kasih sayang adalah anugerah Ilahi, namun anugerah yang harus dipelihara dan diusahakan secara aktif.
Ayat ditutup dengan penekanan pada refleksi. Pernikahan adalah laboratorium spiritual dan sosial. Hanya mereka yang menggunakan akal budi (*yatafakkarūn*) untuk merenungkan keindahan, kompleksitas, dan keajaiban dari persatuan ini yang akan mampu memahami hikmah dan kebesaran di balik sistem pernikahan Ilahi.
Sakinah adalah konsep yang jauh melampaui kenyamanan fisik. Ia adalah ketenangan yang berakar pada keyakinan dan rasa aman. Dalam konteks Ar-Rum 21, Sakinah merujuk pada tiga dimensi utama yang harus diwujudkan dalam rumah tangga.
Secara psikologis, Sakinah adalah rasa aman mutlak. Dunia luar penuh tekanan, kompetisi, dan ketidakpastian. Rumah tangga harus menjadi 'safe haven' di mana individu dapat melepaskan topeng sosialnya, menjadi dirinya sendiri, dan mendapatkan dukungan tanpa syarat. Ketika salah satu pasangan merasa tertekan oleh pekerjaan atau masalah eksternal, kehadiran pasangannya seharusnya membawa penyembuhan, bukan menambah beban.
Ketenangan emosional meliputi kemampuan pasangan untuk saling memahami bahasa tubuh, nada bicara, dan kebutuhan emosional yang tak terucapkan. Sakinah hadir ketika:
Gagal membangun Sakinah psikologis akan mengubah rumah menjadi medan perang dingin, di mana keintiman digantikan oleh kehati-hatian, dan dukungan digantikan oleh kritik. Ini adalah antitesis dari tujuan penciptaan pasangan yang disebutkan dalam ayat ini.
Dalam Islam, ketenangan hakiki hanya dapat dicapai melalui kedekatan dengan Allah. Oleh karena itu, Sakinah dalam pernikahan juga berarti kemitraan spiritual. Suami dan istri seharusnya saling membantu dalam ketaatan, saling mengingatkan dalam kealpaan, dan bersama-sama merencanakan perjalanan menuju Akhirat.
Ketika pasangan shalat berjamaah, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling mendukung dalam puasa sunnah, mereka sedang memperkuat fondasi Sakinah spiritual. Ketenangan ini bersifat abadi karena ia tidak bergantung pada harta, kedudukan, atau kondisi fisik, melainkan pada koneksi tak terputus dengan Sang Pencipta.
Sakinah spiritual menuntut pasangan memiliki visi hidup yang sama: mencari ridha Allah. Ketika visi ini ditetapkan, tantangan duniawi—seperti kemiskinan atau sakit—tidak akan mampu menggoyahkan pondasi rumah tangga, karena keduanya berpegangan pada tali yang sama kuatnya, yaitu iman.
Sakinah juga membutuhkan keteraturan fungsional. Ini terkait dengan pembagian peran yang adil dan dimengerti bersama. Meskipun peran bisa fleksibel sesuai kebutuhan zaman dan keluarga, yang penting adalah kedua belah pihak merasa bahwa beban dibagi secara proporsional dan bahwa kontribusi masing-masing dihargai. Ketenangan terganggu ketika terjadi ketidakjelasan peran atau eksploitasi salah satu pihak.
Realitas Sakinah dalam kehidupan sehari-hari terlihat dari efisiensi pengelolaan konflik dan kejelasan harapan. Ketika terjadi masalah, rumah tangga yang bersakinah akan fokus pada solusi dan bukan pada pencarian kesalahan, karena tujuan utamanya adalah mengembalikan harmoni secepat mungkin.
Mawaddah sering diterjemahkan sebagai cinta, namun dalam konteks tafsir, Mawaddah memiliki makna yang lebih spesifik daripada cinta romantis biasa. Mawaddah adalah kasih sayang yang terwujud secara aktif, hangat, dan seringkali bersifat fisik serta emosional yang eksplisit. Mawaddah adalah energi penggerak dalam hubungan.
Mawaddah diibaratkan seperti api yang harus terus dijaga agar tetap menyala. Ia adalah cinta yang bersemangat, yang melibatkan daya tarik, gairah, dan keinginan untuk berkorban demi menyenangkan pasangan. Para mufasir membedakan Mawaddah sebagai cinta yang muncul pada fase awal pernikahan, yang didominasi oleh ketertarikan dan romansa.
Mawaddah menuntut tindakan, bukan sekadar perasaan pasif. Manifestasi Mawaddah termasuk:
Mawaddah memastikan bahwa dalam masa-masa sulit, pasangan memiliki alasan yang kuat untuk tetap bersama. Cinta yang aktif ini membantu melunakkan perbedaan pendapat dan mempermudah proses kompromi. Mawaddah adalah daya lekat yang kuat; ia adalah alasan mengapa pasangan masih ingin duduk bersama, berbicara, dan menghabiskan waktu, meskipun tanggung jawab hidup semakin membebani.
Namun, para ulama memperingatkan bahwa Mawaddah, karena sifatnya yang bersemangat dan bergejolak, dapat memudar seiring waktu atau melalui ujian berat. Inilah mengapa Mawaddah harus disandingkan dengan pilar ketiga, yaitu Rahmah, untuk menjamin kelangsungan rumah tangga.
Jika Mawaddah adalah api yang hangat, maka Rahmah adalah air yang menyejukkan. Rahmah adalah kasih sayang berbasis belas kasihan, empati, dan pengampunan. Rahmah mengambil alih ketika Mawaddah mulai redup akibat rutinitas, usia, atau masalah besar yang dihadapi bersama.
Rahmah adalah sifat Ilahi yang paling mendasar (*Ar-Rahman, Ar-Rahim*). Ketika diaplikasikan dalam pernikahan, Rahmah berarti: melihat kekurangan pasangan dengan mata belas kasihan, memahami kelemahan manusiawi mereka, dan tetap memberikan kebaikan meskipun balasan yang diterima mungkin tidak setimpal atau menyenangkan.
Rahmah menjadi sangat krusial ketika pasangan memasuki usia senja, di mana daya tarik fisik Mawaddah telah berkurang, dan mungkin salah satu pasangan menjadi sakit, lemah, atau membutuhkan perawatan intensif. Pada fase ini, hubungan ditopang bukan lagi oleh gairah, melainkan oleh tanggung jawab, pengorbanan tanpa pamrih, dan memori kebaikan yang telah dibangun bersama.
Rahmah adalah kasih sayang yang dewasa, yang berpegangan pada janji dan komitmen, bukan sekadar perasaan. Ini adalah sifat yang memastikan bahwa kita tetap berbuat baik kepada pasangan meskipun ia sedang melakukan kesalahan atau sedang berada pada titik terendah dalam hidupnya.
Mawaddah dan Rahmah adalah dua sayap yang harus dikepakkan bersama.
Ayat 21 menggabungkan keduanya (*Mawaddataw wa Raḥmah*) untuk menunjukkan bahwa pernikahan yang sehat membutuhkan keduanya: dorongan cinta yang aktif, dan jaringan pengaman dari belas kasihan yang tak terbatas.
Mawaddah, Sakinah, dan Rahmah bukanlah hasil instan dari akad nikah, melainkan sebuah proses pembangunan yang berkelanjutan. Ayat ini menantang pasangan untuk secara sadar berinvestasi dalam tiga aspek ini setiap hari.
Menciptakan Sakinah memerlukan pengelolaan lingkungan, baik fisik maupun non-fisik. Secara fisik, rumah harus menjadi tempat yang bersih, rapi, dan nyaman. Secara non-fisik, ini melibatkan komitmen terhadap manajemen konflik yang sehat.
Para ahli keluarga Islam menyarankan fokus pada:
Mawaddah membutuhkan revitalisasi dan inovasi. Setelah tahun-tahun pernikahan, Mawaddah dapat menjadi tumpul. Pasangan harus secara proaktif mencari cara baru untuk menunjukkan cinta mereka.
Ini bisa berarti kencan rutin, menulis surat cinta, memberikan pujian yang tulus, atau meluangkan waktu berkualitas. Dalam konteks modern, menjaga Mawaddah juga berarti menghormati privasi dan batasan pasangan, sehingga mereka merasa dihargai sebagai individu yang utuh, bukan hanya sebagai peran dalam rumah tangga (ayah/ibu).
Rahmah adalah hasil dari empati yang mendalam. Untuk memupuk Rahmah, pasangan harus sering-sering menempatkan diri pada posisi pasangannya. Ketika pasangan sedang marah, sakit, atau stres, Rahmah menuntut kita untuk bertanya: "Apa yang mereka rasakan saat ini?" daripada: "Mengapa mereka menyulitkan saya?"
Rahmah adalah keberanian untuk menanggung beban emosional pasangan tanpa menghitung untung rugi. Hal ini paling terlihat ketika salah satu pasangan mengalami kegagalan besar dalam hidup—Rahmah memastikan bahwa pasangan yang lain berdiri tegak mendampingi, tanpa rasa menghakimi atau mengungkit kekurangan masa lalu.
Penutup ayat ini, "Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir," mengangkat diskusi dari ranah interpersonal ke ranah kosmologis. Mengapa pernikahan dianggap sebagai tanda sebesar penciptaan alam semesta?
Seluruh ciptaan Allah berfungsi berdasarkan prinsip pasangan atau dualitas (seperti atom yang memiliki proton dan elektron, atau alam semesta yang memiliki materi dan anti-materi). Pernikahan manusia mencerminkan dualitas fundamental ini—laki-laki dan perempuan—yang ketika dipersatukan, menciptakan sebuah kesatuan baru yang stabil dan produktif.
Kesatuan dalam pernikahan adalah model mikro bagi keharmonisan makro. Ketika sebuah keluarga beroperasi dengan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah, ia memberikan bukti hidup bahwa keteraturan dan kedamaian dapat dicapai bahkan di tengah keragaman dan perbedaan yang ekstrem.
Melalui pengalaman hidup berumah tangga, manusia belajar tentang sifat-sifat Allah yang Maha Kasih (Rahmah). Ketika seseorang mampu memberikan belas kasihan dan pengampunan yang tak terbatas kepada pasangannya, ia sesungguhnya sedang meneladani salah satu sifat Tuhan. Kesabaran dalam pernikahan adalah pintu menuju kesabaran yang lebih besar dalam menghadapi ujian hidup secara keseluruhan.
Mereka yang berpikir (*Yatafakkarūn*) adalah mereka yang melihat konflik dan kesulitan dalam rumah tangga bukan sebagai akhir, tetapi sebagai materi pelajaran yang dirancang oleh Tuhan. Setiap ketidaksepakatan adalah peluang untuk memperkuat Rahmah; setiap kebahagiaan adalah pengingat akan nikmat Sakinah. Tanpa perenungan ini, pernikahan hanya akan menjadi serangkaian kejadian, bukan sebuah perjalanan spiritual yang bermakna.
Berbagai ulama tafsir sepanjang sejarah telah memberikan bobot yang berbeda terhadap ketiga pilar ini, namun semuanya sepakat tentang sifat integralitas ketiganya. Analisis mendalam dari ulama klasik memberikan kekayaan pemahaman yang harus dipertimbangkan.
Ulama seperti Imam At-Thabari dan Ibnu Katsir menekankan bahwa penciptaan *min anfusikum* (dari jenis kita sendiri) memudahkan pencapaian Sakinah. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Mawaddah adalah cinta yang biasanya datang lebih dulu, sedangkan Rahmah adalah kasih sayang yang melengkapi dan bertahan hingga usia tua. Mereka menekankan bahwa tiga hal ini adalah anugerah murni dari Allah, menunjukkan bahwa upaya manusia harus disertai dengan doa dan rasa syukur.
Dalam pandangan mereka, kerangka Mawaddah wa Rahmah ini adalah pembeda utama antara hubungan manusia dengan hubungan hewan. Hewan berpasangan berdasarkan insting semata; manusia berpasangan berdasarkan ikatan spiritual dan komitmen etika yang dimediasi oleh Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah.
Ulama kontemporer sering melihat Ar-Rum 21 melalui lensa psikologi dan sosiologi modern. Mereka menegaskan bahwa Sakinah membutuhkan keterampilan komunikasi dan negosiasi yang diajarkan, bukan hanya ditunggu. Mawaddah dilihat sebagai bentuk investasi emosional, dan Rahmah sebagai mekanisme pertahanan terhadap perceraian.
Dalam masyarakat modern yang serba cepat dan individualistis, ayat ini menjadi pengingat yang kuat bahwa meskipun masyarakat mungkin mempromosikan kemandirian total, fitrah manusia membutuhkan pasangan untuk mencapai ketenangan sejati. Kebutuhan akan *sukun* (ketenangan) adalah kebutuhan fundamental yang hanya dapat dipenuhi melalui ikatan yang diberkati ini.
Keluarga adalah unit terkecil masyarakat. Stabilitas keluarga yang dijamin oleh Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah memiliki dampak berantai pada seluruh peradaban.
Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang dipenuhi Sakinah akan tumbuh dengan rasa aman dan harga diri yang kuat. Lingkungan yang kaya Rahmah mengajarkan empati dan pengampunan. Lingkungan yang kaya Mawaddah mengajarkan bagaimana mencintai dan dicintai secara sehat. Ini adalah fondasi psikologis bagi generasi penerus yang stabil, produktif, dan mampu berkontribusi positif kepada masyarakat.
Ketiadaan Sakinah dalam rumah tangga seringkali menghasilkan individu yang mudah cemas, agresif, atau sulit membentuk hubungan yang sehat di masa depan. Oleh karena itu, investasi pada tiga pilar ini adalah investasi sosial jangka panjang.
Keluarga yang stabil cenderung lebih resilien terhadap tekanan ekonomi dan sosial. Ketika pasangan bekerja sebagai tim yang dilandasi Rahmah (saling membantu) dan Sakinah (berkomunikasi efektif), mereka lebih mampu menghadapi tantangan finansial atau krisis lainnya tanpa kehancuran internal. Keluarga adalah penyangga ekonomi dan psikologis utama dalam masyarakat Islam.
Pernikahan bukanlah perjalanan tanpa badai. Konflik adalah keniscayaan karena pasangan adalah dua individu berbeda. Ayat 21 tidak menjanjikan bahwa tidak akan ada konflik, tetapi ia memberikan mekanisme untuk mengelola dan menyembuhkan luka konflik tersebut.
Ketika perbedaan muncul, Mawaddah berfungsi sebagai pengingat akan ikatan cinta yang mendalam. Pertimbangan Mawaddah menuntut agar kita memilih kata-kata dengan hati-hati, memastikan bahwa argumen tidak diarahkan untuk menyakiti pasangan, melainkan untuk menyelesaikan masalah. Mawaddah menjaga agar proses konflik tetap berada dalam batas-batas penghormatan.
Rahmah menjadi benteng terakhir ketika salah satu pasangan melakukan kesalahan yang serius—bisa berupa kelalaian, kegagalan finansial, atau kesalahan moral. Rahmah adalah kemampuan untuk memisahkan perbuatan dari pelaku. Ia memungkinkan pengampunan yang tulus, selama ada pertobatan, dan mempertahankan komitmen pernikahan meskipun rasa sakit hadir.
Rahmah mengajarkan bahwa nilai pasangan tidak ditentukan oleh kesempurnaan mereka, melainkan oleh status mereka sebagai titipan Allah yang harus diperlakukan dengan belas kasihan, sama seperti kita berharap Allah memperlakukan kelemahan kita dengan Rahmah-Nya yang tak terbatas.
Surah Ar-Rum Ayat 21 pada hakikatnya adalah kurikulum kehidupan. Ia menyajikan peta jalan yang lengkap untuk membangun kebahagiaan sejati. Ayat ini menekankan bahwa ikatan suami istri adalah anugerah yang unik dan harus dijaga dengan usaha sungguh-sungguh.
Bagi setiap individu yang merenungkan ayat ini, pesannya jelas: Pernikahan yang sukses bukanlah masalah keberuntungan, melainkan hasil dari kerja keras spiritual dan emosional dalam memelihara tiga pondasi yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Sakinah adalah fondasi kedamaian, Mawaddah adalah bahan bakarnya, dan Rahmah adalah perekat yang tak terpisahkan.
Semua keindahan dan kompleksitas dalam pernikahan ini, dari tarik-menarik Mawaddah hingga kedewasaan Rahmah, hanyalah salah satu dari sekian banyak tanda (*Ayat*) yang Allah sebarkan di bumi untuk membuktikan eksistensi dan kasih sayang-Nya. Oleh karena itu, tugas setiap pasangan Muslim adalah hidup dan berinteraksi sedemikian rupa sehingga pernikahan mereka menjadi bukti nyata, bagi diri mereka dan bagi dunia, akan kebenaran dari Surah Ar-Rum Ayat 21.
Mereka yang menggunakan akal (*yatafakkarūn*) akan melihat bahwa setiap senyum, setiap pelukan, setiap pengorbanan kecil dalam rumah tangga adalah sebuah ibadah yang menghubungkan mereka kembali kepada Sumber Ketenangan yang hakiki, yaitu Allah SWT. Dan inilah puncak dari tujuan pernikahan Islam, menciptakan surga kecil di dunia, yang menjadi bekal menuju surga abadi di akhirat.
Telaah mendalam terhadap setiap kata dalam ayat ini mengantar kita pada kesimpulan bahwa pernikahan adalah sebuah perjalanan menuju kematangan spiritual dan emosional. Ia adalah sekolah kesabaran, universitas pengampunan, dan laboratorium cinta yang tiada akhir. Dengan menghidupkan Mawaddah, Rahmah, dan Sakinah, kita tidak hanya menyelamatkan rumah tangga kita, tetapi juga turut serta dalam menyempurnakan peradaban umat manusia yang berlandaskan pada fitrah ilahi.
Kebutuhan manusia akan pasangan, yang ditegaskan oleh frasa *'litaskunu ilaiha'*, bukanlah kelemahan, melainkan bagian dari desain agung. Ketenangan yang dicari di luar diri, pada akhirnya, harus berlabuh di dalam diri pasangan, melalui rahmat yang ditanamkan Allah di antara mereka. Proses ini berulang, meluas, dan mendalam. Setiap hari adalah peluang baru untuk mempraktikkan Rahmah, setiap kebahagiaan adalah perwujudan Mawaddah, dan seluruh proses tersebut mengukuhkan Sakinah di dalam jiwa dan rumah.
Oleh karena itu, bagi setiap orang yang ingin mencari makna sejati dan kebahagiaan abadi, Surah Ar-Rum Ayat 21 menjadi pedoman tak ternilai. Ayat ini adalah cerminan dari kesempurnaan perencanaan Ilahi bagi makhluk-Nya, menekankan bahwa cinta yang suci dan ketenangan yang hakiki adalah mungkin untuk dicapai ketika landasan hubungan dibangun di atas petunjuk-Nya.
Semua pembahasan ini, mulai dari tafsir leksikal hingga implikasi sosial dan spiritual, menegaskan kembali bahwa inti dari Surah Ar-Rum 21 adalah ajakan untuk melihat pernikahan sebagai ibadah paling mulia, sebuah ibadah yang memiliki janji kembar: ketenangan di dunia dan pahala di sisi-Nya. Dan janji ini adalah tanda yang cukup bagi siapa saja yang mau merenung dan berpikir secara mendalam tentang hakikat kehidupan.