Menggali Makna Keseimbangan Hakiki dalam Surah Al-Jumu'ah Ayat 10

Al-Qur'an diturunkan sebagai panduan hidup yang komprehensif, tidak hanya mengatur urusan spiritual, tetapi juga memberikan arahan yang jelas mengenai interaksi manusia dengan dunia material. Salah satu ayat yang paling fundamental dalam menetapkan prinsip keseimbangan antara ibadah transendental dan usaha duniawi adalah Surah Al-Jumu'ah Ayat 10. Ayat ini adalah kompas bagi setiap Muslim yang berjuang mencari jalan tengah antara ketaatan mutlak dan tanggung jawab sosial-ekonomi.

Ayat ini muncul sebagai kelanjutan logis dari perintah untuk segera memenuhi panggilan shalat Jumat. Setelah menegaskan pentingnya meninggalkan segala aktivitas jual-beli ketika adzan dikumandangkan, Allah SWT memberikan izin, bahkan dorongan, untuk kembali berinteraksi dengan kehidupan dan mencari karunia-Nya. Ini bukan sekadar izin, melainkan sebuah formula keberhasilan yang mengintegrasikan spiritualitas (dzikir) dan produktivitas (mencari karunia).

Naskah dan Terjemahan Surah Al-Jumu'ah Ayat 10

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (QS. Al-Jumu'ah: 10)

Analisis Linguistik Mendalam: Memahami Setiap Kata Kunci

Untuk memahami kedalaman pesan ayat ini, kita perlu membedah setiap frasa yang terkandung di dalamnya. Struktur ayat ini adalah rangkaian perintah (imperatif) yang menggarisbawahi urgensi dan keharusan, membentuk siklus ibadah dan usaha yang sempurna.

1. فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ (Fa-idzaa Qudhiyatish-Shalaatu): Ketika Shalat Telah Ditunaikan

Frasa ini merupakan titik transisi, jembatan antara dimensi spiritual yang intens (shalat Jumat) dan dimensi material (aktivitas duniawi). Kata "Qudhiyat" berasal dari akar kata qaḍā (قضى) yang berarti memutuskan, menyelesaikan, atau memenuhi. Dalam konteks shalat, ini berarti shalat telah diselesaikan secara sempurna, bukan hanya sekadar berakhir, melainkan telah terpenuhi segala rukun dan syaratnya.

Penyebutan Shalat di sini secara spesifik merujuk pada Shalat Jumat, berdasarkan konteks ayat sebelumnya (ayat 9) yang memerintahkan meninggalkan jual-beli saat panggilan Shalat Jumat. Ini mengajarkan bahwa ibadah harus diprioritaskan dan dilakukan secara tuntas, tanpa diburu-buru oleh urusan duniawi yang menunggu. Setelah ketaatan vertikal (hubungan dengan Allah) terpenuhi, barulah izin untuk kembali pada ketaatan horizontal (hubungan dengan sesama manusia dan alam) diberikan.

2. فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ (Fantasyiruu Fil-Ardhi): Maka Bertebaranlah di Muka Bumi

Kata "Fantasyiruu" adalah bentuk perintah yang berasal dari kata nashara (نشر) yang berarti menyebar, membentang, atau bertebaran. Perintah ini menghilangkan anggapan bahwa agama Islam mengajarkan umatnya untuk berdiam diri dan mengisolasi diri dari kehidupan. Sebaliknya, ayat ini mendorong dinamisme dan mobilitas.

Perintah bertebaran ini adalah metafora untuk kembali pada kesibukan yang produktif. Ini menegaskan bahwa dunia bukanlah tempat yang harus dihindari setelah ibadah; justru, setelah mengisi ulang spiritualitas, Muslim wajib mengisi bumi dengan aktivitas yang bermanfaat. Bumi (al-ardh) adalah panggung tempat amanah kekhalifahan harus diwujudkan. Frasa ini menandakan dimulainya kembali pergerakan, perdagangan, pertanian, pengajaran, dan segala bentuk usaha yang halal.

3. وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ (Wabtaghuu Min Fadhli Allahi): Dan Carilah Karunia Allah

Ini adalah inti dari perintah ekonomi. "Wabtaghuu" (carilah) adalah bentuk perintah yang mengandung makna mencari dengan sungguh-sungguh, berupaya keras, dan menargetkan sesuatu. Ia menuntut inisiatif dan kerja keras, menolak sikap pasif yang hanya menunggu rezeki datang.

Yang paling penting adalah objek pencarian: "Min Fadhli Allahi" (dari Karunia Allah). Para ulama tafsir sepakat bahwa makna utama dari 'Karunia Allah' (Fadhlullah) di sini adalah rezeki yang bersifat materi (duniawi) yang diperoleh melalui cara yang halal, seperti perdagangan, pertanian, atau profesi lainnya. Namun, tafsir yang lebih luas mencakup karunia non-materi, seperti ilmu pengetahuan, kesehatan, kedamaian, dan kesempatan berdakwah.

Penyebutan rezeki sebagai "Fadhlullah" (Karunia Allah) memiliki makna spiritual yang sangat mendalam. Hal ini mengajarkan bahwa hasil dari usaha keras manusia, seberapapun besarnya, bukanlah semata-mata produk keahlian atau kekuatan individu, melainkan anugerah dan rahmat yang diturunkan oleh Allah. Perspektif ini mencegah kesombongan dan materialisme yang berlebihan, karena sumber utama dari segala kekayaan adalah Dzat Yang Maha Pemberi Karunia.

Ibadah Usaha/Rizq

Ilustrasi Keseimbangan: Dari Ketaatan Vertikal menuju Produktivitas Horizontal.

4. وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا (Wadz-kuruullaha Katsiiran): Dan Ingatlah Allah Banyak-Banyak

Frasa ini adalah penyeimbang spiritual yang krusial. Setelah perintah untuk bekerja dan mencari rezeki, muncullah perintah untuk "Dzikir" (mengingat Allah) secara "Katsiiran" (banyak-banyak/terus menerus). Ini adalah inti dari tauhid dalam kehidupan sehari-hari.

Dzikir di sini bukan hanya terbatas pada lisan (mengucapkan tasbih atau tahmid), tetapi mencakup dzikir qalb (hati) dan dzikir amal (perbuatan). Artinya, ketika seorang Muslim bekerja, berdagang, atau berinteraksi secara ekonomi, ia harus senantiasa mengingat hukum-hukum Allah. Dzikir yang banyak-banyak berarti:

Perintah ini memastikan bahwa pengejaran rezeki tidak pernah berubah menjadi penyembahan materi. Dzikir adalah jangkar yang menahan hati agar tidak tercerabut oleh hiruk pikuk dunia, menjaga agar tujuan akhir dari setiap usaha adalah keridhaan Allah, bukan sekadar akumulasi kekayaan.

5. لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (La’allakum Tuflihuun): Supaya Kamu Beruntung (Berjaya)

Ayat ini ditutup dengan tujuan akhir dari seluruh rangkaian perintah di atas: "Tuflihuun" (kalian meraih keberuntungan atau kesuksesan). Kata Falah (فلاح) dalam bahasa Arab memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar sukses di dunia (seperti kaya raya atau memiliki jabatan tinggi).

Al-Falah adalah kesuksesan total dan komprehensif, mencakup keberuntungan di dunia (rezeki yang berkah dan halal, kehidupan yang tenang) dan puncaknya, keberuntungan abadi di akhirat (masuk surga dan terhindar dari api neraka). Ayat ini mengajarkan bahwa kunci untuk mencapai *Falah* bukanlah memilih salah satu—ibadah saja atau kerja saja—tetapi adalah melaksanakan ketiga unsur secara simultan dan seimbang: Ibadah yang tuntas, usaha yang gigih, dan dzikir yang berkelanjutan.

Tafsir Tematik: Keseimbangan Antara Masjid dan Pasar

Surah Al-Jumu'ah Ayat 10 secara tegas menolak pemisahan (sekularisasi) antara kehidupan spiritual dan kehidupan ekonomi. Ayat ini memberikan kerangka kerja teologis yang mendasari etika kerja Islam. Keseimbangan yang diajarkan oleh ayat ini meliputi beberapa dimensi kunci.

1. Penolakan terhadap Monastisisme

Islam bukanlah agama yang mendorong monastisisme (kependetaan) atau asketisme ekstrem. Berdiam diri di masjid setelah shalat Jumat, dengan alasan ingin terus beribadah sambil mengabaikan tanggung jawab keluarga dan sosial, bertentangan dengan semangat ayat ini. Rasulullah ﷺ sendiri bersabda bahwa tangan yang bekerja keras untuk mencari nafkah yang halal adalah tangan yang dicintai Allah. Perintah "Fantasyiruu fil-ardhi" adalah antitesis terhadap kemalasan dan keterasingan dari masyarakat.

Seorang Muslim diwajibkan untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif, yang memberikan nilai tambah, bukan menjadi beban. Keterlibatan dalam aktivitas ekonomi yang halal adalah bagian dari ibadah, asalkan dilakukan dengan niat yang benar dan sesuai syariat. Dengan kata lain, ayat ini mengilhami gerakan, bukan stagnansi; partisipasi, bukan pengunduran diri.

2. Hakikat Mencari Rezeki (Ibtighaul Fadhl)

Pencarian rezeki diletakkan dalam kerangka "Fadhlillah" (Karunia Allah). Ini memiliki implikasi besar dalam etika bisnis. Ketika seorang Muslim memahami bahwa rezekinya adalah karunia, bukan hasil mutlak kecerdasannya sendiri, ia cenderung lebih bersyukur dan lebih dermawan. Konsep ini menumbuhkan tanggung jawab sosial:

Ayat ini memuliakan setiap profesi halal, baik sebagai petani yang menanam pangan, pedagang yang memfasilitasi kebutuhan, maupun ilmuwan yang mengembangkan pengetahuan, selama tujuan utamanya adalah meraih keridhaan Sang Pemberi Karunia.

3. Integrasi Dzikir dalam Produktivitas

Perintah "Wadz-kuruullaha Katsiiran" menjadi kunci pembeda antara aktivitas ekonomi Muslim dan non-Muslim. Seorang Muslim bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk memenuhi tanggung jawab ilahiah. Bagaimana dzikir yang banyak bisa diterapkan di tengah kesibukan?

Dzikir dalam kerja adalah kesadaran konstan bahwa Allah mengawasi setiap transaksi dan keputusan. Misalnya, dalam menghadapi godaan untuk memotong jalur legal demi keuntungan instan, dzikir berperan sebagai rem moral. Kesadaran akan Allah menghasilkan ihsan (berbuat baik seolah-olah melihat Allah, atau sadar bahwa Allah melihat kita) dalam kualitas kerja dan pelayanan kepada pelanggan. Dzikir adalah etos kerja yang jujur, disiplin, dan bertanggung jawab.

DZIKIR RIZQ FALAH (Keberuntungan)

Keseimbangan Dzikir dan Rizq sebagai Jalan Menuju Falah.

Implikasi Fiqh (Hukum Islam) dari Ayat 10

Surah Al-Jumu'ah ayat 10, bersamaan dengan ayat 9, membentuk dasar hukum (fiqh) mengenai waktu dan etika kerja, terutama seputar Shalat Jumat. Para ulama dari berbagai mazhab telah merumuskan implikasi praktis dari perintah "bertebaranlah" dan "carilah karunia Allah".

1. Batasan Waktu Haram Bekerja

Ayat 9 menetapkan kewajiban meninggalkan segala bentuk transaksi (terutama jual-beli) ketika panggilan Shalat Jumat dikumandangkan. Kapan larangan ini dicabut? Ayat 10 memberikan jawabannya: "Fa-idzaa Qudhiyatish-Shalaatu" (Apabila shalat telah ditunaikan).

Mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan bekerja, berdagang, atau melakukan kontrak yang mengalihkan perhatian dari shalat, berlaku sejak adzan kedua (saat khutbah dimulai) hingga selesainya shalat dan salam. Begitu shalat usai, maka hukumnya kembali mubah (diperbolehkan), bahkan dianjurkan (mustahab) untuk segera melanjutkan aktivitas produktif. Ini menunjukkan penghargaan Islam terhadap waktu dan produktivitas umatnya.

2. Keutamaan Mencari Karunia Setelah Shalat Jumat

Apakah perintah "Wabtaghuu min Fadhli Allahi" sekadar izin (ibahah) ataukah anjuran (nadb/istihbab)? Sebagian besar ulama cenderung melihatnya sebagai anjuran yang kuat (mustahab), mengingat perintah tersebut datang setelah ketaatan wajib yang besar. Mencari rezeki setelah Shalat Jumat dianggap memiliki keutamaan tersendiri, sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah eksplisit dalam Al-Qur'an.

Beberapa ulama bahkan berpendapat bahwa bekerja pada hari Jumat, setelah shalat, adalah lebih utama daripada bekerja di hari lain, asalkan seseorang tidak melalaikan ibadah wajib lainnya. Dorongan ini menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi Muslim untuk bermalas-malasan; transisi dari ibadah spiritual ke ibadah ekonomi haruslah cepat dan penuh semangat.

3. Makna Keluasan Rezeki dalam Perspektif Fiqh

Para ahli fiqh menekankan bahwa pencarian rezeki haruslah dalam batas-batas yang disyariatkan. Ayat ini secara implisit melarang pencarian karunia melalui cara-cara yang haram (seperti judi, riba, atau penjualan barang haram). Pencarian rezeki yang diperintahkan haruslah sejalan dengan dzikir yang menyertainya. Fiqh mengatur instrumen ekonomi (muamalah) untuk memastikan bahwa seluruh aktivitas mencari karunia Allah tetap berada dalam kerangka keadilan dan ketauhidan.

Dimensi Spiritual dan Tazkiyatun Nafs

Ayat 10 Surah Al-Jumu'ah adalah alat fundamental dalam proses Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa). Ia mengajarkan cara menyelaraskan hati dengan tuntutan kehidupan sehari-hari tanpa terjebak dalam jebakan dunia.

1. Mengubah Pekerjaan Menjadi Ibadah

Perintah "Wadz-kuruullaha Katsiiran" berfungsi sebagai katalis yang mengubah pekerjaan biasa menjadi ibadah. Niat memainkan peran sentral. Jika seseorang mencari rezeki dengan niat untuk memenuhi kebutuhan keluarga (kewajiban), menjauhi meminta-minta, dan memiliki modal untuk berderma, maka seluruh kegiatannya terhitung sebagai ibadah yang pahalanya terus mengalir.

Seorang Muslim yang bekerja sambil mengingat Allah (berdzikir) akan merasakan ketenangan batin, meskipun di tengah tekanan pekerjaan. Ia tidak akan mudah stres karena ia sadar bahwa hasil akhirnya berada di tangan Allah, dan tugasnya hanyalah berusaha dengan optimal dan jujur.

2. Peran Dzikir dalam Menghadapi Kegalauan Ekonomi

Di era modern, tekanan ekonomi, persaingan, dan ketidakpastian sering kali menimbulkan kecemasan yang berlebihan. Ayat ini menawarkan solusi spiritual: dzikir yang banyak. Ketika kekayaan dicari sebagai Fadhlullah, maka kegagalan materi tidak berarti kegagalan total, karena rezeki hanya alat, bukan tujuan. Jika pintu rezeki tertutup di satu arah, dzikir menjadi pengingat bahwa Allah memiliki 99 pintu rezeki lainnya.

Dzikir yang berkelanjutan menjaga hati dari sifat tamak (rakus) dan putus asa. Tamak muncul ketika seseorang lupa bahwa rezeki sudah dijamin oleh Allah, sementara putus asa muncul ketika seseorang lupa bahwa Karunia Allah itu tak terbatas dan dapat datang dari arah yang tidak terduga.

Relevansi Kontemporer: Ayat 10 di Era Modern

Meskipun diturunkan pada abad ke-7, prinsip-prinsip dalam Surah Al-Jumu'ah Ayat 10 sangat relevan dengan tantangan hidup modern, terutama terkait isu keseimbangan kerja-hidup (work-life balance) dan etika pasar global.

1. Mengatasi Krisis Keseimbangan Kerja-Hidup

Masyarakat kontemporer sering terjebak dalam budaya kerja yang berlebihan (hustle culture), mengorbankan spiritualitas, keluarga, dan kesehatan demi akumulasi kekayaan. Ayat 10 memberikan cetak biru yang jelas: ada waktu yang harus didedikasikan sepenuhnya untuk ibadah (saat Shalat Jumat), dan ada waktu yang didedikasikan untuk kerja (setelah shalat), tetapi keduanya harus diikat oleh dzikir.

Keseimbangan dalam Islam berarti bahwa bekerja 10 jam sehari tanpa mengingat Allah, sama buruknya dengan beribadah 10 jam sehari tanpa memenuhi kebutuhan keluarga. Keberhasilan hakiki (falah) mensyaratkan kedua elemen ini harus berjalan beriringan. Shalat adalah pengingat bahwa kehidupan duniawi memiliki batasan waktu, dan tujuan utamanya adalah akhirat.

2. Etika Kewirausahaan dan Inovasi

Perintah "Fantasyiruu fil-ardhi" dan "Wabtaghuu min Fadhli Allahi" juga dapat diinterpretasikan sebagai dorongan untuk inovasi dan kewirausahaan. Bertebaran di muka bumi berarti mencari peluang baru, menemukan solusi untuk masalah masyarakat, dan mengembangkan sumber daya. Ini adalah izin ilahi bagi umat Islam untuk menjadi pemimpin pasar, inovator teknologi, dan penemu baru, bukan hanya sebagai pengikut.

Asalkan inovasi dan usaha tersebut dilakukan dengan dzikir yang banyak—artinya, beroperasi secara etis, transparan, dan bermanfaat bagi kemanusiaan—maka ia adalah ibadah yang mulia. Ayat ini memberikan fondasi bagi Ekonomi Islam yang beretika, yang menempatkan keadilan sosial di atas keuntungan semata.

Penghayatan Filosofis Ayat: Keterbatasan Usaha Manusia

Filosofi yang terkandung dalam Surah Al-Jumu'ah Ayat 10 terletak pada pengakuan keterbatasan manusia dalam mengendalikan hasil. Manusia diperintahkan untuk berusaha ('Wabtaghuu'), tetapi hasilnya berasal 'Min Fadhli Allahi'. Hal ini menciptakan paradigma yang unik:

Seorang Muslim harus berusaha sekeras mungkin, seolah-olah seluruh rezeki bergantung pada usahanya. Namun, pada saat yang sama, ia harus bertawakal dan mengingat Allah (berdzikir) seolah-olah usahanya tidak berarti apa-apa tanpa izin dan karunia-Nya. Paradoks ini adalah kunci ketenangan hati.

Jika ia sukses, ia bersyukur dan menyadari bahwa itu adalah karunia (Fadhl). Jika ia gagal, ia tetap bersabar dan menyadari bahwa karunia Allah mungkin datang dalam bentuk lain (kesabaran, penghapusan dosa), bukan hanya dalam bentuk materi. Keberuntungan (Falah) tidak bisa diukur hanya dengan saldo bank, melainkan dengan kualitas hubungan hamba dengan Tuhannya di tengah-tengah kesibukan duniawi.

Mencari Karunia yang Tidak Terbatas

Ketika kita merenungkan frasa 'Fadhlillah' (Karunia Allah), kita menyadari bahwa rezeki tidak terbatas pada uang. Rezeki adalah setiap hal yang mendukung kelangsungan hidup dan ketaatan kita. Sebuah lingkungan kerja yang harmonis adalah rezeki. Anak-anak yang sholeh adalah rezeki. Waktu luang yang bisa digunakan untuk belajar adalah rezeki. Kesehatan adalah rezeki yang tak ternilai harganya.

Perintah untuk mencari karunia Allah adalah perintah untuk mencari segala bentuk kebaikan yang memperkuat kehidupan dunia dan akhirat kita. Ini adalah pandangan hidup yang holistik, di mana spiritualitas meresap ke dalam setiap aspek material.

Pengembangan Prinsip Dzikir yang Berkelanjutan

Bagaimana praktisnya menjaga dzikir saat tangan sibuk mengolah tanah, mata sibuk menatap layar komputer, atau lidah sibuk bernegosiasi dagang? Dzikir yang banyak (Katsiiran) adalah pengaktifan "kesadaran ilahiah" di seluruh lini aktivitas. Hal ini dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan yang harus dicapai:

Dzikir Lisan dan Awal Pekerjaan

Dzikir paling dasar adalah memulai setiap pekerjaan dengan Basmalah (Bismillahirrohmanirrohim) dan menutupnya dengan Hamdalah (Alhamdulillah). Ini adalah pengakuan formal bahwa pekerjaan dimulai dan diakhiri atas nama dan dengan pertolongan Allah. Mengucapkan dzikir-dzikir ringan seperti istighfar atau shalawat saat bepergian menuju tempat kerja juga termasuk dzikir katsiiran.

Dzikir Qalbi (Hati) dan Etos Kerja

Ini adalah tingkat yang lebih tinggi, di mana hati selalu terikat pada Allah. Saat melakukan perhitungan bisnis, hati sadar bahwa setiap angka dicatat oleh malaikat. Saat berinteraksi dengan pelanggan, hati menyadari bahwa berlaku jujur adalah bagian dari perintah Allah. Dzikir hati adalah benteng dari hasrat curang, penipuan, dan ketamakan. Jika hati berdzikir, anggota tubuh akan mengikuti dalam ketaatan.

Dzikir Amali (Perbuatan)

Dzikir amal adalah praktik tertinggi. Ini terjadi ketika tindakan fisik seseorang menjadi refleksi dari kesadaran akan Allah. Memberikan layanan terbaik, memastikan kualitas produk, membayar gaji karyawan tepat waktu, dan memenuhi janji adalah bentuk dzikir amal. Ketika perbuatan kita mencerminkan etika yang berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah, kita telah mencapai dzikir yang banyak dalam pengertian yang paling transformatif.

Seorang pedagang yang menahan diri dari menaikkan harga secara tidak wajar saat terjadi kelangkaan, sejatinya sedang berdzikir dengan amalnya. Seorang pekerja yang menyelesaikan tugasnya dengan kesempurnaan, meskipun tidak ada pengawasan manusia, sedang berdzikir dengan kualitas kerjanya. Inilah yang menjadikan ekonomi Islam berbeda: ia adalah ibadah yang merangkul seluruh kehidupan.

Penutup: Janji Falah yang Abadi

Surah Al-Jumu'ah Ayat 10 bukanlah sekadar rangkaian perintah temporal yang berlaku setelah Shalat Jumat, melainkan sebuah filosofi hidup yang mendefinisikan seorang Muslim sejati. Ayat ini mengajarkan bahwa spiritualitas dan materialisme harus diikat bersama melalui benang dzikir. Keberhasilan, sebagaimana didefinisikan oleh Islam (Al-Falah), bukanlah tentang jumlah yang dikumpulkan, tetapi tentang cara mendapatkannya dan tujuan penggunaannya.

Dengan menunaikan shalat secara tuntas, bertebaran di bumi untuk mencari karunia-Nya dengan gigih, dan senantiasa mengingat Allah dalam setiap gerak dan diam, seorang Muslim menapaki jalan yang dijanjikan menuju keberuntungan. Inilah peta jalan menuju kehidupan yang seimbang, produktif, dan berkah, yang puncaknya adalah keridhaan abadi di sisi Allah SWT.

Setiap langkah yang diambil setelah shalat, setiap transaksi yang dilakukan, setiap hasil yang diterima, dan setiap ujian yang dihadapi, semuanya harus dikembalikan pada poros sentral tauhid yang dijamin oleh dzikir yang katsiiran. Hanya dengan memenuhi ketiga pilar ini – Ibadah, Usaha, dan Dzikir – umat Islam dapat benar-benar mewujudkan misi kekhalifahan di muka bumi, dan meraih kesuksesan sejati yang melampaui batas waktu dan tempat.

Pesan penutup dari ayat ini, "La’allakum Tuflihuun," adalah harapan, motivasi, dan janji. Keberuntungan itu bukanlah kebetulan, melainkan hasil langsung dari kepatuhan terhadap formula ilahi ini. Ini adalah seruan untuk hidup yang dinamis, penuh makna, dan sepenuhnya terintegrasi antara dimensi duniawi dan ukhrawi.

Ekspansi Detail: Pentingnya Shalat Jumat Sebagai Titik Tolak

Mengapa Allah memilih Shalat Jumat sebagai titik sentral untuk transisi ini? Shalat Jumat memiliki posisi unik dalam syariat Islam. Ia adalah pertemuan mingguan yang wajib, berfungsi sebagai 'reset' spiritual dan sosial bagi komunitas Muslim. Dalam khutbah, jamaah diingatkan tentang nilai-nilai moral, sosial, dan teologis. Ketika Shalat Jumat selesai, akumulasi spiritual dan intelektual yang diperoleh harus segera diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Jika seorang Muslim tetap berdiam diri setelah Shalat Jumat, seolah-olah spiritualitasnya terperangkap di dalam dinding masjid, tidak mampu merembes keluar ke pasar atau ke ladang. Ayat 10 mematahkan isolasi ini. Setelah hati diperbaiki dan iman diperkuat, energi positif itu harus segera disalurkan ke dalam aktivitas ekonomi dan sosial yang konstruktif. Keberkahan yang diperoleh di masjid tidak boleh berhenti di ambang pintu; ia harus dibawa serta ke tempat kerja.

Inilah yang disebut dengan korelasi vertikal-horizontal. Kualitas ibadah vertikal (shalat) secara langsung menentukan kualitas interaksi horizontal (bekerja dan bermasyarakat). Semakin khusyuk shalatnya, semakin jujur kerjanya. Semakin fokus ia mengingat Allah di masjid, semakin mudah ia mengingat Allah (berdzikir katsiiran) di pasar yang penuh godaan.

Elaborasi Filosofis tentang Fadhlullah dan Rizq

Penting untuk membedakan antara konsep rezeki (yang dijamin Allah untuk setiap makhluk) dan karunia Allah (Fadhlullah) yang diperintahkan untuk dicari. Rezeki adalah kebutuhan dasar yang akan diterima. Fadhlullah adalah kelebihan, keberkahan, dan peluang yang terbuka bagi mereka yang berjuang dan taat.

Ketika ayat mengatakan "Wabtaghuu min Fadhli Allahi," ini menunjukkan bahwa usaha mencari kekayaan harus dilandasi keyakinan bahwa kekayaan itu bersifat *transenden*. Ini menuntut upaya pencarian yang luar biasa (makna dari Ibtighaa’), tetapi dengan rendah hati, karena hasilnya sepenuhnya bergantung pada kehendak ilahi.

Paradigma ini mencegah dua ekstrem: Pertama, fatalisme, di mana seseorang duduk diam menunggu rezeki datang karena "sudah dijamin." Kedua, materialisme ateistik, di mana seseorang percaya bahwa kekayaan murni dihasilkan oleh kekuatan dan kecerdasannya sendiri. Ayat 10 mengajarkan bahwa kerja keras adalah kewajiban, namun hasil terbaik adalah hadiah, bukan hak mutlak.

Seseorang mungkin berusaha 100% dan hanya mendapatkan 50%, sementara yang lain berusaha 50% dan mendapatkan 100%. Perbedaan ini dijelaskan oleh Fadhlullah. Kesadaran ini membebaskan Muslim dari obsesi angka dan persaingan tidak sehat, mengalihkan fokus dari "mencapai" menjadi "berjuang dalam ketaatan."

Memperluas Definisi Dzikir Katsiiran dalam Konteks Profesional

Dalam dunia bisnis modern, dzikir katsiiran dapat diterjemahkan menjadi implementasi nilai-nilai Islam dalam tata kelola perusahaan (Islamic Corporate Governance). Jika seorang CEO atau karyawan mengingat Allah banyak-banyak, keputusannya akan terhindar dari:

  1. Insider Trading: Menggunakan informasi rahasia untuk keuntungan pribadi melanggar kejujuran yang dituntut dzikir.
  2. Korupsi dan Suap: Merupakan perbuatan curang yang secara total melalaikan pengawasan Allah.
  3. Penundaan Pembayaran Hak Pekerja: Bertentangan dengan perintah keadilan dan ihsan, yang merupakan inti dari dzikir amal.
  4. Produksi Barang Haram: Bisnis yang berbasis pada kerusakan spiritual atau fisik tidak akan pernah termasuk dalam pencarian Fadhlullah, meskipun menghasilkan keuntungan besar.

Dzikir yang banyak adalah standar kualitas. Standar kualitas ini diterapkan pada produk yang dihasilkan, pelayanan yang diberikan, dan janji yang ditepati. Di tengah pasar yang serakah, seorang Muslim yang menerapkan dzikir katsiiran akan menjadi mercusuar etika, menunjukkan bahwa kesuksesan sejati (Falah) dapat dicapai tanpa mengorbankan integritas moral.

Akhir kata, Surah Al-Jumu'ah Ayat 10 adalah panduan abadi untuk menjadi hamba yang utuh: fokus pada tugas ilahi (ibadah), bertanggung jawab atas kehidupan (kerja), dan terikat pada sumber kekuatan sejati (dzikir), demi mencapai kejayaan yang menyeluruh di dunia dan di akhirat. Ayat ini adalah seruan untuk bergerak maju dengan iman yang kokoh dan perbuatan yang jujur.

🏠 Kembali ke Homepage