Analisis Mendalam tentang Hukum, Konteks, dan Hikmah di Balik Perintah Agung Shalat Jumat
Panggilan Agung (Nida'): Seruan untuk meninggalkan segala kesibukan dunia.
Surah Al Jumu'ah (Hari Jumat) merupakan surah Madaniyah yang fokus pada pentingnya ibadah kolektif dan kritik terhadap sifat materialistik yang mengabaikan panggilan Ilahi. Ayat ke-9 adalah jantung dari surah ini, sebuah perintah langsung yang menetapkan hukum Shalat Jumat.
Terjemahan Kementerian Agama RI:
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah (bersegeralah) mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Memahami kedalaman ayat ini memerlukan pemeriksaan mendalam terhadap beberapa kata kunci Bahasa Arab yang memiliki implikasi hukum dan spiritual yang luas.
Kata nuudiya merujuk pada seruan atau panggilan. Dalam konteks ayat ini, ia secara eksplisit berarti adzan yang dikumandangkan untuk Shalat Jumat. Para ulama tafsir sepakat bahwa seruan yang dimaksud adalah adzan yang dikumandangkan pada waktu zawal (tergelincirnya matahari, menandai masuknya waktu Zuhur), yang merupakan adzan kedua dalam tradisi Utsmaniyah, atau adzan tunggal menurut tradisi masa Nabi Muhammad SAW.
Pentingnya Nida tidak hanya sebagai pemberitahuan waktu, tetapi sebagai penetapan kewajiban (taklif). Begitu seruan ini dikumandangkan, status aktivitas duniawi berubah dari mubah (diperbolehkan) menjadi haram (dilarang) bagi mereka yang wajib melaksanakannya.
Nama surah dan hari itu sendiri, yang berasal dari akar kata *jama’a*, berarti mengumpulkan atau menyatukan. Hari Jumat adalah hari di mana umat Islam berkumpul secara mingguan untuk ibadah, menunjukkan persatuan (wahdah) umat di bawah satu panji keimanan. Penamaan hari ini mengingatkan bahwa tujuan utama hari tersebut adalah kolektivitas ibadah, bukan hanya individu.
Ini adalah kata yang paling banyak diperdebatkan dalam tafsir. Secara harfiah, sa'y berarti berlari, bergegas, atau berjalan cepat. Namun, dalam konteks syariah, kata ini dimaknai secara kiasan (metaforis). Imam At-Tabari, Ibnu Katsir, dan mayoritas ulama menafsirkan *fas'au* bukan sebagai berlari secara fisik (yang justru dilarang dalam hadis karena menimbulkan kegaduhan dan tidak khusyuk), melainkan sebagai:
Makna hukum dari *fas'au* adalah wajibnya meninggalkan aktivitas lain dan memulai perjalanan menuju masjid. Para fukaha (ahli fikih) menekankan bahwa berlari kencang saat menuju shalat adalah makruh (dibenci), karena Nabi SAW bersabda, "Apabila kalian mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dengan tenang dan wibawa, dan janganlah kalian tergesa-gesa." Oleh karena itu, *fas'au* di sini adalah bersegera dalam tindakan (meninggalkan bisnis) dan semangat (fokus pada ibadah).
Dalam konteks Shalat Jumat, Dzikrillah tidak hanya berarti zikir lisan (seperti tasbih), tetapi memiliki makna yang lebih spesifik dan luas:
Ini adalah tujuan akhir dari perintah tersebut: menggeser prioritas dari materi menuju spiritualitas dan ketaatan kolektif.
Ayat 9 secara tegas melarang al-bai' (jual beli) segera setelah seruan (adzan) dikumandangkan. Larangan ini adalah kunci untuk memahami prioritas yang ditetapkan Islam.
Larangan ini, meskipun secara eksplisit menyebutkan jual beli (transaksi), diperluas oleh mayoritas ulama untuk mencakup semua jenis transaksi dan aktivitas duniawi yang dapat menghalangi seseorang untuk menghadiri Shalat Jumat. Ini termasuk:
Hukum asal dari aktivitas jual beli yang dilakukan setelah adzan adalah haram dan maksiat. Mengenai sah atau tidaknya akad jual beli tersebut, terdapat perbedaan pendapat di kalangan mazhab fikih:
Namun, semua sepakat bahwa keuntungan yang didapat dari transaksi pada waktu terlarang tersebut mengandung keraguan (syubhat) dan menghilangkan keberkahan, karena melanggar perintah Allah secara langsung.
Larangan ini berlaku ketat bagi mereka yang wajib shalat Jumat (laki-laki, baligh, mukim). Transaksi yang dilakukan oleh wanita, musafir, atau orang yang sakit (yang tidak wajib Jumat) tidak termasuk dalam larangan haram ini, meskipun bagi mereka yang bertransaksi dengan orang yang wajib Jumat, hukumnya bisa menjadi makruh atau haram jika itu membantu orang lain melanggar kewajibannya.
Pengecualian lain adalah aktivitas yang bersifat darurat atau mendesak, seperti menyelamatkan nyawa, memadamkan kebakaran, atau transaksi yang sangat vital yang jika ditunda akan menimbulkan mudharat besar yang tidak tertahankan. Namun, kasus-kasus ini sangat jarang dan memerlukan justifikasi syar'i yang kuat.
Ayat ditutup dengan kalimat penegas, "Dzaalikum khairul lakum in kuntum ta'lamuun" (Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui). Frasa ini adalah janji dan jaminan Ilahi bahwa mengutamakan akhirat—meskipun dengan mengorbankan keuntungan materi sesaat—akan membawa kebaikan yang lebih besar.
Shalat Jumat adalah sarana penebus dosa dan peningkatan derajat. Hadis Nabi SAW menyebutkan bahwa siapa pun yang mandi, berwangi-wangian, datang lebih awal, mendengarkan khutbah, dan tidak melakukan hal sia-sia, akan diampuni dosa-dosanya antara Jumat itu hingga Jumat berikutnya, ditambah tiga hari.
Kebaikan ini jauh melampaui keuntungan finansial yang bisa didapatkan dalam beberapa jam perdagangan. Menggantikan waktu mencari rezeki dengan dzikrullah adalah investasi abadi.
Kewajiban berkumpul mingguan ini membentuk identitas kolektif. Ketika ribuan orang dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan etnis berkumpul di satu tempat, mendengarkan khutbah yang sama, dan berdiri dalam saf yang sejajar, maka:
Ironisnya, meninggalkan jual beli sejenak justru membawa kebaikan ekonomi jangka panjang. Kebaikan yang dimaksud bukanlah akumulasi kekayaan sesaat, melainkan keberkahan (barakah) dalam rezeki.
Ulama tafsir menekankan bahwa rezeki yang ditunda karena ketaatan tidak akan hilang, melainkan diganti dengan keberkahan yang membuat rezeki yang sedikit menjadi mencukupi dan rezeki yang banyak menjadi bermanfaat. Jika seseorang meninggalkan keuntungan Rp1.000.000 demi shalat, Allah dapat memberikan keberkahan yang mencegah pengeluaran tak terduga sebesar Rp5.000.000 di kemudian hari.
Interpretasi ayat 9 tetap konsisten sepanjang sejarah Islam, namun penekanannya berubah seiring tantangan zaman, terutama terkait dengan ekonomi modern dan globalisasi.
Tafsir klasik sangat fokus pada konteks masyarakat Madinah, di mana pasar (suq) dan perdagangan adalah denyut nadi kehidupan. Mereka menekankan bahwa larangan jual beli adalah ujian keimanan yang eksplisit, membandingkannya dengan kaum Yahudi yang melanggar perintah Sabat (Hari Sabtu) dengan melakukan penangkapan ikan secara curang. Bagi mereka, ketaatan Jumat adalah pembeda yang jelas dari umat terdahulu.
Al-Qurtubi dalam tafsirnya mencatat bahwa kepatuhan terhadap perintah ini adalah penentu apakah seseorang benar-benar mencintai apa yang di sisi Allah (akhirat) lebih dari apa yang ada di tangannya (dunia).
Dalam konteks masyarakat industri dan jasa, larangan jual beli diperluas menjadi larangan bekerja secara umum. Isu kontemporer yang relevan meliputi:
Tafsir modern menekankan bahwa frasa "tinggalkanlah jual beli" adalah simbol untuk meninggalkan semua obsesi materialistik yang menghambat ketaatan vertikal (kepada Allah) dan horizontal (kewajiban sosial).
Ayat 9 adalah landasan hukum (dalil syar'i) utama yang menetapkan Shalat Jumat sebagai fardhu 'ain (kewajiban individual) yang tidak bisa digantikan oleh Shalat Zuhur, kecuali dalam keadaan darurat yang dibenarkan syariat.
Kewajiban Shalat Jumat gugur bagi beberapa kelompok, meskipun jika mereka melaksanakannya, shalatnya sah. Syarat wajib meliputi:
Kewajiban untuk *fas'au* (bersegera) dimulai sejak adzan pertama (atau adzan kedua, tergantung tradisi di suatu wilayah). Namun, larangan jual beli secara hukum berlaku setelah adzan yang dikumandangkan pada saat masuk waktu Zuhur.
Para fukaha menggariskan bahwa waktu yang harus dikhususkan untuk Jumat setidaknya mencakup masa perjalanan pergi, khutbah, dua rakaat shalat, dan waktu perjalanan pulang. Setiap penundaan tanpa alasan yang sah setelah adzan dianggap melanggar perintah Ilahi.
Melalaikan Shalat Jumat tanpa udzur syar'i yang sah merupakan dosa besar. Dalam hadis, Nabi SAW memberikan peringatan keras bahwa Allah dapat menutup hati orang yang meninggalkan Jumat hingga tiga kali berturut-turut karena meremehkannya.
Terkait dengan larangan jual beli, beberapa ulama (khususnya Mazhab Hanbali) berpendapat bahwa selain dosa, transaksi yang dilakukan pada waktu tersebut harus dibatalkan, menekankan aspek pencegahan (sadd al-dzara'i) agar tidak ada yang tergoda keuntungan duniawi di atas panggilan Allah.
Pemahaman luas tentang Dzikrillah di sini sangat vital. Perintah untuk 'bersegera kepada Dzikrillah' menuntut perubahan total dalam fokus mental dan spiritual saat adzan berkumandang. Ini bukan hanya tentang melaksanakan shalat, tetapi juga menyerap esensi dari pertemuan tersebut.
Khutbah Jumat adalah elemen Dzikrillah yang paling substansial. Ini adalah pelajaran mingguan yang menyentuh isu-isu keimanan, moralitas, dan tatanan sosial. Khatib (orang yang menyampaikan khutbah) berfungsi sebagai pewaris para Nabi, menyampaikan risalah yang memperbaharui komitmen umat kepada Tuhan.
Penting untuk dicatat, ulama fikih Mazhab Syafi'i dan Hanbali menegaskan bahwa khutbah adalah syarat sah Shalat Jumat. Tanpa khutbah, shalat dua rakaat tersebut tidak dianggap Shalat Jumat, melainkan hanya shalat sunah dua rakaat, karena khutbah adalah pengganti dua rakaat Zuhur yang dihilangkan dalam Shalat Jumat (dari empat menjadi dua rakaat).
Bersegera menuju Dzikrillah juga mencakup adab-adab yang dianjurkan (sunnah) sebelum dan selama shalat. Adab ini berfungsi memaksimalkan penerimaan spiritual dari Dzikrillah:
Semua persiapan ini adalah bagian dari ‘bersegera’ menuju Dzikrillah, bukan sekadar kecepatan fisik, tetapi kecepatan spiritual dalam mempersiapkan hati.
Ayat ini menawarkan model ekonomi alternatif yang menyeimbangkan antara kebutuhan materi dan kewajiban spiritual, sebuah model yang sangat relevan di era kapitalisme global yang menuntut kerja tanpa henti.
Perintah 'tinggalkanlah jual beli' menekankan konsep Barakah. Keuntungan material yang didapat dengan melanggar perintah Tuhan adalah keuntungan yang dicabut keberkahannya. Sebaliknya, waktu yang dikorbankan demi ketaatan akan diganti dengan Barakah, yang merupakan rezeki yang berlipat ganda manfaatnya, bukan sekadar jumlahnya.
Dalam konteks modern, hal ini mengajarkan bahwa produktivitas sejati bukanlah tentang total jam kerja yang dihabiskan, melainkan tentang kualitas dan keberkahan dari hasil kerja tersebut. Istirahat dan fokus spiritual yang didapatkan di hari Jumat berfungsi sebagai 'reset' mental yang meningkatkan kinerja dan etos kerja sepanjang sisa pekan.
Di banyak masyarakat, Shalat Jumat sering kali dianggap sebagai gangguan terhadap jam kerja. Ayat 9 berfungsi sebagai konstitusi yang menentang pandangan ini. Ayat ini memberikan hak ilahi kepada pekerja untuk menghentikan aktivitas, dan menetapkan batasan moral dan hukum bagi para pengusaha untuk tidak menghalangi kewajiban agama.
Tantangannya muncul di negara-negara non-Muslim di mana Jumat adalah hari kerja penuh. Muslim di sana harus secara aktif menegosiasikan hak mereka untuk ibadah, menegaskan bahwa ketaatan ini adalah bagian integral dari identitas mereka dan merupakan prioritas yang tidak dapat dinegosiasikan.
Larangan jual beli dan bekerja saat adzan adalah demonstrasi nyata bahwa ketaatan kepada Allah lebih tinggi dari semua nilai pasar yang diciptakan manusia. Ini adalah momen pengakuan bahwa rezeki berasal dari Allah (Ar-Razzaq), bukan dari keuletan diri sendiri semata.
Kata 'idza nuudiya lish-shalaah' (apabila diseru untuk shalat) merujuk pada adzan. Namun, sejarah Shalat Jumat menunjukkan adanya perkembangan dalam jumlah adzan:
Pada masa Nabi SAW, hanya ada satu adzan. Adzan ini dikumandangkan ketika khatib sudah duduk di mimbar, menandakan masuknya waktu Zuhur dan dimulainya khutbah.
Ketika jumlah penduduk Madinah semakin banyak dan tempat tinggal mereka semakin jauh dari Masjid Nabawi, Khalifah Utsman menambahkan adzan kedua (yang kini sering disebut adzan pertama). Adzan ini dikumandangkan di tempat yang disebut Az-Zaura’ (sebuah tempat tinggi di pasar Madinah) untuk memberitahu orang-orang bahwa waktu Jumat akan segera tiba, memberi mereka waktu untuk bersiap dan datang ke masjid.
Para ulama fikih menyepakati bahwa larangan jual beli (haram) dan kewajiban *fas'au* (bersegera) dalam ayat 9 merujuk pada adzan yang menandakan dimulainya khutbah dan shalat (adzan tunggal pada masa Nabi, atau adzan kedua pada masa Utsman). Adzan pertama (masa Utsman) berfungsi sebagai pemberitahuan dan anjuran untuk bersiap, tetapi belum secara mutlak mengharamkan transaksi.
Penerimaan praktik adzan Utsman ini oleh para sahabat dan ulama sesudahnya menunjukkan ijma’ (konsensus) atas keabsahan dan kebaikan praktik tersebut, sehingga saat ini, di banyak negara, adzan Utsman-lah yang menjadi penanda dimulainya persiapan wajib Shalat Jumat.
Surah Al Jumu'ah Ayat 9 adalah salah satu perintah Al-Quran yang paling jelas dan eksplisit mengenai prioritas spiritual atas materi. Ayat ini bukan sekadar ajakan, tetapi sebuah perintah wajib yang disertai ancaman (jika dilanggar) dan janji (kebaikan yang lebih besar, Barakah, dan ampunan dosa).
Perintah "fas'au ilaa dzikrillaah" (bersegeralah kepada Dzikrillah) mengajarkan kepada kita pentingnya manajemen waktu yang diatur oleh wahyu, bukan oleh tekanan pasar. Ia menuntut kejujuran dari setiap Muslim untuk mengevaluasi, setiap hari Jumat, apakah mereka benar-benar menempatkan Allah di atas segala hal. Kehidupan seorang mukmin diukur bukan dari seberapa banyak ia berhasil kumpulkan, tetapi seberapa taat ia mengorbankan apa yang ia cintai (harta dan waktu) demi meraih keridhaan Rabb-nya.
Kebaikan yang dijanjikan dalam ayat ini, "dzaalikum khairul lakum", adalah jaminan bagi orang-orang yang beriman: bahwa ketaatan selalu menjadi investasi terbaik, baik di dunia maupun di akhirat.
Selain aspek hukum dan ekonomi, ayat 9 juga memiliki dimensi psikologis dan moral yang mendalam terkait dengan perilaku dan mentalitas seorang Muslim di hari Jumat.
Perintah untuk meninggalkan jual beli adalah latihan spiritual untuk mengendalikan nafsu serakah (hubb al-maal). Setiap Muslim yang mendengar adzan harus secara sadar mengalahkan dorongan untuk mendapatkan keuntungan tambahan. Proses ini, yang terjadi setiap minggu, memperkuat iradah (kemauan) dan taqwa (ketakwaan) dalam menghadapi godaan materi. Jika seseorang mampu menahan diri dari transaksi yang menguntungkan demi panggilan Allah, maka ia telah memenangkan pertempuran batin melawan materialisme.
Islam memberikan struktur waktu yang ketat melalui shalat lima waktu, dan secara mingguan melalui Shalat Jumat. Ayat 9 mengajarkan disiplin temporal—bahwa waktu ibadah adalah suci (muqaddas) dan harus dipisahkan dari waktu mencari penghidupan. Disiplin ini menciptakan ritme kehidupan yang sehat, yang mencegah kelelahan spiritual (burnout) yang sering terjadi karena siklus kerja non-stop.
Bagi Muslim yang hidup di tengah dominasi sekuler, ayat ini berfungsi sebagai pengingat kuat bahwa otoritas tertinggi atas waktu mereka adalah Allah SWT.
Penggunaan kata kerja imperatif (perintah) dalam "fas'au" (bersegeralah) dan "wa dzarul-bai'a" (dan tinggalkanlah jual beli) menunjukkan bahwa hukum yang ditetapkan adalah wajib (fardhu) dan larangan tersebut bersifat haram. Bahasa Al-Quran di sini sangat tegas, tidak menawarkan pilihan atau kelonggaran kecuali dengan udzur syar’i yang jelas. Dalam ushul fikih, perintah mutlak tanpa indikasi pembolehan (qarinah) harus dipahami sebagai kewajiban.
Ayat 9 tidak berdiri sendiri, melainkan diikuti oleh Ayat 10: "Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."
Ayat 10 menyempurnakan makna Ayat 9. Setelah ketaatan selesai, Islam tidak melarang mencari rezeki, bahkan memerintahkannya. Ini menunjukkan keseimbangan sempurna: dedikasi penuh saat ibadah, dan usaha keras saat bekerja. Larangan pada Ayat 9 adalah temporal (sementara), bukan permanen. Ini memastikan bahwa dunia dan akhirat mendapatkan haknya masing-masing, sebuah prinsip yang dikenal sebagai "wa laa tansa nasiibaka minad-dunya" (jangan lupakan bagianmu dari dunia).
Oleh karena itu, seluruh ajaran Surah Al Jumu'ah adalah tentang navigasi yang bijaksana antara tanggung jawab spiritual dan tanggung jawab materi.
Untuk memahami sepenuhnya implikasi hukum Ayat 9, perlu diperhatikan beberapa detail fikih yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari:
Wanita dan anak-anak tidak diwajibkan Shalat Jumat. Oleh karena itu, larangan jual beli tidak berlaku bagi mereka. Namun, jika seorang pria yang wajib Jumat bertransaksi dengan seorang wanita atau anak-anak setelah adzan, maka pria tersebut tetap berdosa karena melanggar perintah ‘meninggalkan jual beli’.
Musafir yang memenuhi syarat qashar (jarak minimal perjalanan yang ditetapkan syariat) tidak wajib Jumat. Mereka melaksanakan Shalat Zuhur. Namun, jika seorang musafir berada di kota (mukim) saat adzan Jumat dikumandangkan dan dia memiliki waktu dan kemampuan untuk hadir, sebagian ulama menganjurkan agar ia tetap menghadirinya untuk mendapatkan keutamaannya.
Apakah membayar atau menagih hutang termasuk dalam larangan jual beli? Umumnya, ulama membedakan antara transaksi baru (jual beli, sewa) yang diharamkan, dengan memenuhi kewajiban yang sudah ada (membayar hutang). Membayar hutang yang sudah jatuh tempo dan bersifat mendesak tidak masuk dalam kategori yang diharamkan, meskipun idealnya semua urusan non-ibadah ditangguhkan.
Kewajiban Shalat Jumat hanya berlaku jika masjid tempat pelaksanaan dapat dicapai tanpa kesulitan yang ekstrem. Mazhab Hanafi, misalnya, menetapkan jarak maksimal yang masuk akal bagi seseorang untuk berjalan. Namun, dengan kemudahan transportasi modern, kriteria ini menjadi lebih fleksibel. Selama seseorang masih berada dalam batas wilayah kota (mukim) dan mampu mencapai masjid, kewajiban itu tetap berlaku.
Inti dari hukum ini adalah bahwa setiap hal yang secara substansial dapat menghambat atau menunda keberangkatan ke masjid setelah adzan, termasuk namun tidak terbatas pada jual beli, harus dihentikan sepenuhnya. Prioritas tunggal adalah Dzikrillah.