Merwatin: Pilar Abadi Adat, Hukum, dan Identitas Maluku

Merwatin bukanlah sekadar sebutan geografis atau nama komunitas; ia adalah sebuah kerangka filosofis dan sistem hukum adat yang telah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Maluku, khususnya di wilayah Kepulauan Kei (Maluku Tenggara). Sistem ini merepresentasikan inti dari identitas kolektif, menjadi pedoman moral, dan berfungsi sebagai penopang harmoni sosial yang melintasi generasi. Memahami Merwatin berarti menyelami kekayaan peradaban maritim Nusantara yang menjunjung tinggi keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur.

Sebagai sebuah tatanan yang kompleks, Merwatin menyediakan mekanisme bagi penyelesaian sengketa, mengatur kepemilikan sumber daya alam, dan menetapkan standar etika dalam interaksi harian. Prinsip-prinsip Merwatin berdiri tegak sebagai benteng budaya di tengah arus modernisasi dan pengaruh hukum negara. Keberlangsungan Merwatin hingga kini adalah bukti kuatnya komitmen masyarakat adat terhadap warisan yang diwariskan oleh para pendahulu, sebuah warisan yang menekankan keadilan komunal dan penghormatan absolut terhadap tatanan kosmos.


Akar Historis dan Mitologi Merwatin: Perjalanan Sang Leluhur

Sejarah Merwatin terjalin erat dengan kisah migrasi dan pembentukan komunitas awal di Kepulauan Kei. Dalam tradisi lisan, kisah tentang leluhur (dikenal dengan berbagai nama, seperti Raja di Bawah atau Raja di Atas, tergantung variasi lokal) seringkali diceritakan sebagai sebuah narasi heroik tentang pelayaran panjang melintasi samudra, mencari tanah yang dijanjikan. Kisah ini bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga legitimasi bagi hukum dan struktur kekuasaan yang ada saat ini. Setiap marga (soa) atau kelompok keturunan dalam Merwatin memiliki cerita unik tentang bagaimana nenek moyang mereka tiba di pulau-pulau tersebut, menandai batas-batas teritorial, dan membuat perjanjian suci dengan alam.

Mitologi Merwatin menekankan asal-usul yang suci dari hukum adat itu sendiri. Dipercaya bahwa hukum tersebut tidak diciptakan oleh manusia semata, melainkan merupakan wahyu atau kesepakatan abadi yang diturunkan dari dunia spiritual. Konsep ini memberikan otoritas yang tak terbantahkan pada setiap ketentuan adat. Salah satu mitos fundamental yang menopang Merwatin adalah kisah tentang kapal pertama yang membawa hukum dan benih kehidupan. Kapal ini, yang mungkin diinterpretasikan sebagai perahu leluhur, mengandung simbolisme penting: ia membawa kode etik, peralatan hidup, dan pengetahuan tentang cara berinteraksi dengan lingkungan laut dan darat secara berkelanjutan.

Transmisi sejarah ini dilakukan melalui ritual, nyanyian adat (kapata), dan upacara-upacara khusus yang diadakan oleh para pemangku adat. Dalam setiap upacara, narasi tentang Merwatin dibacakan kembali, memastikan bahwa ingatan kolektif masyarakat tetap hidup dan hukum adatnya tidak luntur oleh waktu. Keterikatan pada leluhur ini sangat kuat; leluhur dianggap sebagai pengawas moral yang terus mengawasi pelaksanaan hukum dari alam gaib. Pelanggaran terhadap Merwatin tidak hanya dianggap sebagai kejahatan sosial, tetapi juga dosa spiritual yang dapat mendatangkan bencana alam atau kesialan bagi seluruh komunitas.

Asal Mula Nama dan Terminologi

Meskipun sering dikaitkan secara spesifik dengan Maluku Tenggara, istilah Merwatin dalam konteks yang lebih luas sering dipahami sebagai prinsip hidup dan hukum. Ada interpretasi yang menghubungkan kata ini dengan konsep ‘warisan’ atau ‘harta pusaka’ yang tak ternilai. Intinya, Merwatin adalah representasi dari kedaulatan adat yang utuh, yang tidak dapat dinegosiasikan atau digantikan oleh sistem lain. Di dalamnya terkandung seluruh peraturan yang mengatur kehidupan dari lahir hingga kematian, termasuk sistem kekerabatan yang sangat terstruktur dan kepemilikan komunal atas sumber daya.

Penting untuk dicatat bahwa dalam beberapa konteks studi antropologi, Merwatin dianalisis sebagai sistem yang sangat egaliter namun memiliki struktur hierarki spiritual. Keseimbangan ini memastikan bahwa meskipun ada pemimpin adat, keputusan penting selalu melibatkan musyawarah mufakat (sasi atau sejenisnya, meskipun sasi lebih spesifik pada larangan), menjamin partisipasi kolektif dalam menjaga hukum Merwatin. Hukum ini menciptakan sistem yang adil di mata masyarakat adat, di mana kesalahan sekecil apapun harus ditebus untuk memulihkan keseimbangan kosmik yang terganggu.


Pilar-Pilar Utama Adat Merwatin: Filosofi Keseimbangan

Inti dari Merwatin dapat dirangkum melalui beberapa prinsip utama yang saling terkait, menciptakan jaring pengaman sosial dan ekologis. Prinsip-prinsip ini bukan sekadar norma, tetapi merupakan pondasi filosofis yang membentuk cara pandang masyarakat terhadap kehidupan, kematian, dan alam semesta. Penguasaan dan penghormatan terhadap pilar-pilar ini adalah kunci untuk diakui sebagai anggota masyarakat adat yang bertanggung jawab dan berintegritas.

1. Hubungan Suci dengan Tanah (Ukur Pela dan Du’an/Oho)

Merwatin menempatkan tanah dan laut sebagai entitas hidup yang harus dihormati, bukan hanya sebagai komoditas. Kepemilikan tanah dalam sistem Merwatin bersifat komunal dan dikelola oleh klan (soa atau oho). Individu hanya memiliki hak guna, bukan hak milik mutlak. Prinsip ini sangat bertentangan dengan konsep kepemilikan properti individual dalam hukum modern, dan menjadi salah satu sumber konflik ketika berhadapan dengan investasi atau proyek pembangunan.

Konsep Du’an atau Oho merujuk pada batas wilayah adat yang diwariskan dari leluhur, yang meliputi hutan, kebun, dan teritorial laut. Pengelolaan sumber daya di area ini diatur ketat oleh Dewan Adat. Misalnya, kapan musim panen tertentu dimulai, atau area mana yang dilarang untuk ditangkap ikannya (seringkali melalui mekanisme sasi yang merupakan turunan dari kedaulatan Merwatin), semuanya diputuskan berdasarkan kalender adat dan pertimbangan keberlanjutan. Pelanggaran terhadap Du’an dianggap sangat serius karena merusak keseimbangan ekologis dan mengkhianati amanah leluhur.

Simbol Keseimbangan Laut dan Darat Merwatin

Ilustrasi perahu tradisional dan laut, simbol hubungan Merwatin dengan alam dan pengakuan terhadap batas wilayah adat.

2. Hierarki dan Penghormatan (Lir Adat)

Struktur sosial Merwatin sangat menghargai hierarki berdasarkan usia, garis keturunan, dan fungsi ritual. Konsep Lir Adat (tingkatan adat) memastikan bahwa setiap individu mengetahui tempatnya dalam komunitas. Penghormatan terhadap tetua, yang dianggap paling dekat dengan leluhur dan paling kaya akan pengetahuan Merwatin, adalah mutlak. Mereka berfungsi sebagai hakim, sejarawan, dan pemegang kunci ritual.

Pengambilan keputusan selalu mengalir dari atas ke bawah (dari tetua dan dewan adat) namun harus diimbangi dengan persetujuan kolektif dari masyarakat. Pemimpin adat, yang sering disebut Raja atau Rat, adalah penjaga utama Merwatin. Jabatan ini tidak selalu diwariskan secara patrilineal murni; yang terpenting adalah kemampuan seseorang untuk menginternalisasi dan menjalankan hukum adat dengan integritas tinggi. Kegagalan Raja untuk menegakkan Merwatin dapat menyebabkan bencana sosial atau bahkan penggulingan secara adat.

Dalam konteks keluarga, Merwatin mengatur hubungan antar anggota keluarga besar (klen) dengan sangat detail. Hukum pernikahan (termasuk maskawin atau belis) dan perceraian diatur secara ketat untuk menjaga kemurnian garis keturunan dan stabilitas sosial. Sistem ini juga mencakup mekanisme adopsi adat yang memastikan bahwa anak yatim atau mereka yang kehilangan garis keturunan tetap memiliki tempat yang sah dan dihormati dalam struktur soa.

3. Keadilan Restoratif (Tutu Ni Wut)

Merwatin sangat menekankan keadilan restoratif, yang dalam berbagai dialek lokal dapat disebut sebagai Tutu Ni Wut atau istilah sejenis yang berarti 'mengembalikan yang utuh'. Tujuannya bukan untuk menghukum pelaku secara fisik (meskipun hukuman fisik ada untuk pelanggaran berat), tetapi untuk memulihkan keseimbangan yang telah dirusak oleh kejahatan tersebut. Ketika sebuah konflik terjadi, Merwatin berupaya memperbaiki hubungan antara pihak yang bersalah, korban, dan seluruh komunitas.

Proses penyelesaian sengketa biasanya melibatkan dewan adat, yang bertemu di tempat suci (sao). Hukuman seringkali berbentuk denda adat yang harus dibayarkan dalam bentuk barang berharga (misalnya gading, piring antik, atau hewan ternak) yang melambangkan penebusan dosa dan pembersihan. Pembayaran ini tidak hanya diberikan kepada korban, tetapi juga digunakan dalam ritual pemulihan komunitas untuk 'mencuci' kesalahan. Jika pelanggaran tersebut melibatkan tumpahan darah atau penghinaan serius terhadap adat, hukuman adat bisa sangat berat, termasuk pengucilan atau bahkan hukuman mati simbolis.

Prinsip restoratif ini sangat efektif dalam masyarakat yang intim. Karena setiap orang terikat oleh ikatan kekerabatan yang kuat, menjaga harmoni lebih diutamakan daripada penegakan hukum pidana formal. Merwatin mengajarkan bahwa kejahatan adalah masalah komunitas, dan pemulihan harus melibatkan seluruh komunitas untuk memastikan tidak ada dendam yang berlarut-larut.


Struktur Sosial dan Kelembagaan Adat Merwatin

Pelaksanaan Merwatin di lapangan ditopang oleh sistem kelembagaan yang terstruktur dan berlapis, mencerminkan kompleksitas organisasi masyarakat Maluku Tenggara. Institusi-institusi ini berfungsi sebagai tangan hukum Merwatin, memastikan bahwa semua regulasi dipatuhi dan dihormati.

Dewan Adat dan Fungsi Raja Adat (Rat)

Di puncak struktur kelembagaan adat Merwatin berdiri Raja Adat, atau yang sering disebut Rat, yang merupakan simbol persatuan dan pemegang otoritas adat tertinggi dalam suatu wilayah. Meskipun di era modern ia berinteraksi dengan struktur pemerintahan desa formal, kekuasaan spiritual dan hukumnya dalam konteks Merwatin tetap dominan. Rat dibantu oleh Dewan Adat (biasanya terdiri dari kepala-kepala klen utama dan pemuka agama adat), yang bertindak sebagai badan legislatif dan yudikatif.

Fungsi utama Dewan Adat adalah menafsirkan Merwatin sesuai dengan situasi kontemporer tanpa mengubah esensi fundamentalnya, serta bertindak sebagai pengadilan adat tertinggi. Mereka mengawasi pelaksanaan ritual-ritual besar, mengelola aset komunal (termasuk hutan dan laut), dan memastikan bahwa batas-batas wilayah Du’an tidak dilanggar oleh pihak luar maupun internal.

Sistem Klen (Soa) dan Pembagian Tugas

Masyarakat Merwatin dibagi menjadi klen-klen besar yang dikenal sebagai Soa atau Marga. Setiap Soa memiliki sejarah migrasi dan peran spesifik dalam tatanan sosial Merwatin. Misalnya, ada Soa yang secara tradisional bertanggung jawab atas ritual keagamaan (imam adat), Soa yang bertanggung jawab atas keamanan dan pertahanan, dan Soa yang bertanggung jawab atas administrasi dan hubungan dengan dunia luar.

Pembagian tugas berdasarkan Soa ini adalah mekanisme untuk memastikan bahwa semua aspek kehidupan komunitas tertangani dan tidak ada satu klen pun yang mendominasi sepenuhnya. Prinsip kerja sama ini sangat ditekankan; setiap klen saling melengkapi, menciptakan jaring pengaman sosial yang kuat. Konflik antar-Soa, jika terjadi, harus segera diselesaikan melalui mediasi oleh Rat, karena perpecahan internal dianggap sebagai kelemahan serius yang dapat dieksploitasi oleh pihak luar.

Peran Wanita dalam Merwatin

Meskipun kepemimpinan formal (Rat) sering didominasi oleh laki-laki, peran wanita dalam mempertahankan dan meneruskan Merwatin sangat krusial. Wanita adalah penjaga utama tradisi lisan, ritual domestik, dan transmisi nilai-nilai moral kepada generasi muda. Mereka juga memegang peran penting dalam upacara perkawinan dan kematian, serta dalam pengelolaan pangan dan ekonomi rumah tangga yang berkelanjutan.

Dalam beberapa kasus di Maluku, wanita tua yang memiliki pengetahuan adat mendalam bahkan dapat bertindak sebagai penasihat spiritual bagi Dewan Adat. Kekuatan mereka terletak pada peran sebagai mediator tidak resmi yang seringkali berhasil meredakan konflik sebelum mencapai tahap formal di pengadilan adat. Penghormatan terhadap ibu dan figur wanita adalah bagian integral dari etika Merwatin.


Merwatin di Era Kontemporer: Adaptasi dan Resistensi

Merwatin menghadapi tantangan yang luar biasa di abad ke-21. Tekanan dari hukum nasional Indonesia, globalisasi, industrialisasi, dan pergeseran nilai generasi muda menguji ketahanan sistem hukum adat ini. Namun, sistem ini menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa, seringkali berfungsi sebagai hukum paralel yang jauh lebih efektif dalam konteks lokal daripada hukum formal negara.

Interaksi dengan Hukum Nasional

Konstitusi Indonesia mengakui keberadaan masyarakat hukum adat (termasuk Merwatin), namun implementasinya di lapangan seringkali ambigu. Sering terjadi tumpang tindih yurisdiksi, terutama dalam kasus kepemilikan tanah dan sumber daya alam. Ketika perusahaan besar masuk untuk pertambangan atau perkebunan, Merwatin sering digunakan oleh masyarakat adat sebagai dasar legal untuk menentang perampasan tanah. Dokumen dan batas-batas Du’an, yang secara tradisional hanya dihafal dan ditandai secara simbolis, kini harus diformalkan dalam peta dan dokumen hukum untuk diakui oleh pengadilan nasional.

Dalam banyak kasus pidana ringan atau sengketa perdata, pemerintah daerah sering mendelegasikan penyelesaian masalah kembali ke Dewan Adat berdasarkan prinsip Merwatin. Hal ini diakui karena penyelesaian adat seringkali lebih cepat, lebih murah, dan menghasilkan solusi yang lebih diterima secara sosial. Keadilan restoratif Merwatin, yang berfokus pada pemulihan hubungan, seringkali dianggap lebih manusiawi daripada sistem hukum pidana negara yang fokus pada pembalasan.

Perlindungan Lingkungan dan Konsep Sasi

Salah satu aspek Merwatin yang paling relevan saat ini adalah regulasi lingkungan melalui mekanisme Sasi. Meskipun Sasi adalah praktik yang lebih luas di Maluku, penggunaannya dalam wilayah Merwatin adalah penegasan kedaulatan adat atas sumber daya. Sasi adalah larangan sementara untuk mengambil hasil alam (ikan, hasil hutan, buah-buahan) dari area tertentu. Tujuannya adalah konservasi, memberikan waktu bagi alam untuk beregenerasi.

Pelaksanaan Sasi diawasi secara ketat oleh penjaga adat. Pelanggaran Sasi dikenakan denda berat sesuai Merwatin dan, yang lebih penting, dianggap sebagai pelanggaran terhadap alam, yang dipercaya akan membalas dengan bencana. Dalam konteks krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, Merwatin melalui Sasi telah diakui oleh para pegiat lingkungan sebagai model kearifan lokal yang efektif dalam pengelolaan sumber daya berbasis komunitas.

Ketahanan Merwatin terletak pada kemampuannya untuk bernegosiasi antara masa lalu dan masa kini. Hukum adat berfungsi sebagai identitas yang tak terpisahkan: jika Merwatin hilang, maka identitas kolektif masyarakat adat Maluku juga akan terkikis. Oleh karena itu, perjuangan untuk mempertahankan Merwatin adalah perjuangan eksistensial.


Ritual dan Ekspresi Kultural Merwatin

Merwatin diekspresikan dan diperkuat melalui serangkaian ritual dan praktik kultural yang mendalam. Ritual ini bukan sekadar pameran budaya; mereka adalah mekanisme hukum dan spiritual yang mengikat masyarakat pada janji-janji leluhur.

Ritual Inisiasi dan Peralihan Hidup

Setiap tahap kehidupan—kelahiran, kedewasaan, pernikahan, dan kematian—diatur oleh upacara Merwatin. Upacara inisiasi kedewasaan (seringkali melibatkan pengasingan singkat dan pembelajaran intensif tentang Merwatin) memastikan bahwa generasi muda memahami dan menerima tanggung jawab mereka sebagai pewaris hukum adat. Ritual ini menanamkan etika gotong royong dan kewajiban moral untuk melayani komunitas.

Ritual perkawinan (seringkali sangat rumit dan melibatkan negosiasi panjang tentang belis atau mas kawin) adalah momen penting Merwatin. Belis bukan hanya pembayaran, tetapi perjanjian suci yang mengikat dua Soa menjadi satu aliansi kekerabatan yang lebih besar. Ketentuan Merwatin memastikan bahwa pernikahan adalah sah secara adat dan bahwa kedua belah pihak dihormati, mencegah perselisihan garis keturunan di masa depan.

Pengaruh Merwatin dalam Seni dan Bahasa

Bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat adat adalah media utama untuk Merwatin. Banyak istilah dan frasa hukum adat yang tidak memiliki terjemahan harfiah dalam Bahasa Indonesia. Puisi, nyanyian, dan tarian tradisional seringkali mengandung kode-kode Merwatin tersembunyi, yang hanya dapat dipahami sepenuhnya oleh mereka yang telah menjalani inisiasi adat.

Kesenian visual, seperti ukiran pada rumah adat (sao) atau motif pada kain tradisional, seringkali menggambarkan kisah-kisah leluhur yang merupakan fondasi dari hukum Merwatin. Setiap motif memiliki makna protektif, mengingatkan penghuni rumah tentang kewajiban moral mereka. Seni menjadi sarana pendidikan adat yang hidup dan visual.


Dampak Merwatin terhadap Etika Ekonomi

Merwatin bukan hanya mengatur kehidupan sosial dan spiritual; ia juga memberikan kerangka etika yang mengatur kegiatan ekonomi. Sistem ini menolak kapitalisme murni yang eksploitatif dan sebaliknya mendukung ekonomi subsisten berbasis kebersamaan dan keberlanjutan.

Prinsip Berbagi dan Keadilan Distribusi

Dalam Merwatin, kekayaan individu harus selalu diimbangi dengan kewajiban untuk berkontribusi pada kesejahteraan komunal. Prinsip berbagi hasil panen atau tangkapan ikan (terutama setelah upacara besar) adalah mutlak. Ini memastikan bahwa tidak ada anggota komunitas yang menderita kelaparan atau kekurangan, memperkuat ikatan sosial dan mencegah kesenjangan ekonomi yang ekstrem.

Pengambilan keputusan tentang proyek ekonomi, seperti pembukaan lahan baru untuk pertanian, harus melalui musyawarah adat. Keputusan ini mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan (sesuai Merwatin tentang konservasi tanah dan air) dan dampaknya pada generasi mendatang. Keuntungan ekonomi individu harus selaras dengan keuntungan ekologis dan sosial komunal.

Larangan Eksploitasi Sumber Daya

Hukum Merwatin secara tegas melarang praktik eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan atau merusak. Misalnya, penggunaan metode penangkapan ikan yang merusak terumbu karang (seperti bom ikan atau sianida) adalah pelanggaran berat yang setara dengan kejahatan besar karena merusak aset komunal yang diamanatkan oleh leluhur. Denda adat untuk pelanggaran semacam ini dirancang untuk mencegah pengulangan dan memaksa pelaku untuk berinvestasi dalam restorasi lingkungan.

Bahkan ketika masyarakat adat berinteraksi dengan pasar luar, Merwatin menetapkan batas-batas etis. Komoditas yang dianggap suci atau memiliki nilai ritual (misalnya, jenis kayu tertentu atau kerang tertentu) tidak boleh diperjualbelikan secara bebas atau diekspor tanpa persetujuan ketat dari Dewan Adat dan ritual pembersihan.


Tantangan dan Prospek Pelestarian Merwatin

Meskipun Merwatin telah menunjukkan daya tahan yang luar biasa selama berabad-abad, tekanan modern menimbulkan ancaman nyata terhadap kelangsungan hidupnya sebagai sistem hukum yang berfungsi penuh. Masa depan Merwatin sangat bergantung pada kemampuan masyarakat adat untuk menyeimbangkan tradisi dengan kebutuhan kontemporer.

Ancaman dari Luar: Pembangunan dan Globalisasi

Salah satu ancaman terbesar adalah masuknya proyek infrastruktur dan investasi berskala besar yang seringkali mengabaikan batas-batas wilayah adat (Du’an/Oho). Konflik tanah antara masyarakat adat dan perusahaan seringkali berakhir dengan kerugian bagi masyarakat karena lemahnya pengakuan hukum formal terhadap Merwatin dibandingkan dengan sertifikat hak milik negara.

Selain itu, globalisasi dan media massa membawa nilai-nilai individualisme dan konsumerisme yang bertentangan langsung dengan etika komunal dan restoratif Merwatin. Generasi muda yang terpapar budaya luar seringkali kehilangan minat untuk mempelajari bahasa adat dan hukum Merwatin yang rumit, menciptakan risiko kepunahan pengetahuan adat.

Lambang Kedaulatan dan Hukum Adat

Lambang Adat Merwatin, melambangkan perlindungan hukum, kedaulatan leluhur, dan struktur sosial yang kokoh.

Strategi Pelestarian dan Revitalisasi

Untuk memastikan Merwatin tetap relevan, diperlukan upaya revitalisasi yang dilakukan oleh komunitas itu sendiri, seringkali bekerja sama dengan akademisi dan organisasi non-pemerintah. Strategi ini meliputi:

Kodifikasi Merwatin

Proses mendokumentasikan Merwatin secara tertulis adalah langkah kritis. Meskipun Merwatin secara tradisional adalah hukum lisan, kodifikasi membantu para pemangku adat untuk mengajukan klaim hukum yang lebih kuat di hadapan pengadilan negara dan memastikan keseragaman penerapan di berbagai wilayah. Namun, proses ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menghilangkan fleksibilitas dan konteks spiritual hukum adat.

Pendidikan Adat Inklusif

Memasukkan pengajaran Merwatin ke dalam kurikulum lokal, baik formal maupun non-formal. Program ini harus diajarkan oleh tetua adat (guru adat) dan menggunakan bahasa ibu. Tujuannya adalah menanamkan rasa hormat dan pemahaman mendalam tentang kewajiban adat sebelum anak-anak terpapar sepenuhnya oleh nilai-nilai luar.

Penguatan Lembaga Adat

Mendukung Dewan Adat secara finansial dan struktural agar mereka dapat menjalankan fungsi yudikatif dan administratif mereka secara efektif. Ini termasuk memfasilitasi pertemuan rutin, pelatihan dalam mediasi, dan pengakuan formal oleh pemerintah daerah.

Merwatin, sebagai jantung budaya dan hukum Maluku, adalah warisan yang tak ternilai. Keberlangsungannya adalah cerminan dari kekuatan sebuah komunitas yang teguh mempertahankan kedaulatan moral dan spiritual mereka di tengah tantangan zaman. Ia adalah panduan menuju harmoni abadi antara manusia dan semesta, sebuah filosofi yang terus memberikan pelajaran penting bagi dunia modern tentang keadilan, keberlanjutan, dan identitas sejati.

Melalui Merwatin, masyarakat adat Maluku menegaskan bahwa meskipun dunia terus berubah, nilai-nilai inti tentang penghormatan terhadap leluhur, tanah, dan keadilan komunal akan selalu menjadi jangkar yang tak tergantikan. Usaha pelestarian Merwatin adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mengakui dan menghargai pluralitas hukum dan budaya yang membentuk mozaik nasional.

🏠 Kembali ke Homepage