Memaknai Malam Ramadhan: Panduan Lengkap Shalat Tarawih dan Witir
Bulan Ramadhan adalah anugerah terindah dari Allah SWT bagi umat Islam. Bulan yang di dalamnya pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan para setan dibelenggu. Malam-malam Ramadhan memiliki keistimewaan tersendiri, dihiasi dengan lantunan ayat suci Al-Qur'an dan semarak ibadah yang syahdu. Di antara amalan yang paling identik dengan malam Ramadhan adalah Shalat Tarawih dan ditutup dengan Shalat Witir. Keduanya menjadi penanda hidupnya malam-malam bulan suci, sebuah kesempatan emas untuk meraih ampunan dan pahala yang berlipat ganda.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk shalat tarawih dan witir, mulai dari makna, sejarah, keutamaan, tata cara pelaksanaannya, hingga jawaban atas berbagai pertanyaan yang sering muncul di masyarakat. Tujuannya adalah agar kita dapat menjalankan ibadah ini dengan ilmu, pemahaman yang benar, dan kekhusyukan yang mendalam, sehingga Ramadhan kita menjadi lebih bermakna.
Menyelami Makna dan Sejarah Shalat Tarawih
Apa Itu Shalat Tarawih?
Kata "Tarawih" (تراويح) merupakan bentuk jamak dari kata "Tarwihah" (ترويحة) yang dalam bahasa Arab berarti 'istirahat' atau 'santai sejenak'. Penamaan ini sangat relevan dengan praktik pelaksanaannya. Para sahabat dan generasi setelahnya (salafus shalih) ketika melaksanakan shalat malam Ramadhan yang panjang, mereka beristirahat sejenak setiap selesai empat rakaat (dua kali salam). Momen istirahat inilah yang menjadi asal-usul nama "Shalat Tarawih".
Secara istilah, shalat tarawih adalah shalat sunnah yang dikerjakan secara khusus pada malam-malam bulan Ramadhan, setelah shalat Isya. Ibadah ini juga dikenal dengan sebutan Qiyamu Ramadhan, yang berarti "menghidupkan malam Ramadhan" dengan ibadah. Ini menunjukkan esensi dari tarawih itu sendiri, yaitu mengisi malam-malam yang penuh berkah dengan shalat, dzikir, dan doa.
Jejak Sejarah Pelaksanaan Shalat Tarawih
Pelaksanaan shalat tarawih memiliki akar sejarah yang kuat sejak zaman Rasulullah SAW, kemudian dikukuhkan pada masa Khulafaur Rasyidin.
1. Pada Masa Rasulullah SAW
Rasulullah SAW adalah orang pertama yang mencontohkan shalat tarawih. Beliau melaksanakannya di masjid secara berjamaah selama beberapa malam. Namun, pada malam-malam berikutnya, beliau tidak lagi keluar ke masjid dan memilih shalat di rumah. Hal ini menimbulkan tanda tanya di kalangan para sahabat.
Kisah ini terekam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah RA:
"Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam shalat di masjid, lalu shalatlah bersama beliau beberapa orang. Kemudian beliau shalat lagi pada malam berikutnya dan orang-orang yang ikut bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah SAW tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi harinya, beliau bersabda, 'Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian kecuali karena aku khawatir (shalat ini) akan diwajibkan atas kalian.' Dan itu terjadi di bulan Ramadhan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits ini, kita memahami bahwa Rasulullah SAW menghentikan shalat tarawih berjamaah di masjid karena rasa kasih sayang beliau kepada umatnya. Beliau khawatir jika terus-menerus dilakukan secara berjamaah, Allah akan mewajibkannya, sehingga akan memberatkan umatnya di kemudian hari. Setelah itu, para sahabat pun melaksanakan shalat tarawih secara sendiri-sendiri atau dalam kelompok-kelompok kecil di masjid dan di rumah masing-masing.
2. Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab RA
Praktik shalat tarawih secara terpencar-pencar ini berlanjut hingga masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan awal masa kekhalifahan Umar bin Khattab RA. Suatu malam di bulan Ramadhan, Khalifah Umar melihat umat Islam di Masjid Nabawi shalat dalam kelompok-kelompok yang terpisah, dengan imam yang berbeda-beda. Beliau pun memiliki gagasan cemerlang.
Umar bin Khattab RA berinisiatif untuk menyatukan mereka semua dalam satu jamaah di belakang seorang imam qari' (yang hafalannya bagus). Beliau menunjuk Ubay bin Ka'ab RA sebagai imam shalat tarawih dan Tamim Ad-Dari RA sebagai imam cadangan. Ketika melihat kaum muslimin shalat dengan rapi dalam satu jamaah yang besar, Umar RA berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini."
Kata "bid'ah" yang diucapkan Umar di sini merujuk pada makna bahasanya, yaitu 'sesuatu yang baru', bukan bid'ah dalam terminologi syariat yang tercela. Inisiatif beliau ini pada hakikatnya adalah menghidupkan kembali sunnah Rasulullah SAW yang sempat terhenti karena kekhawatiran akan diwajibkan. Para sahabat yang lain, termasuk Ali bin Abi Thalib RA, menyetujui dan memuji langkah Umar ini. Sejak saat itulah, shalat tarawih berjamaah di masjid menjadi syiar yang agung di bulan Ramadhan hingga hari ini.
Hukum Shalat Tarawih
Berdasarkan dalil dan ijma' (kesepakatan) para ulama, hukum melaksanakan shalat tarawih adalah Sunnah Mu'akkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan dan ditekankan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Meninggalkannya tidak berdosa, namun mengerjakannya akan mendatangkan pahala yang sangat besar dan merupakan kerugian jika dilewatkan begitu saja di bulan yang penuh ampunan ini.
Keutamaan dan Fadhilah Shalat Tarawih
Melaksanakan shalat tarawih dengan penuh keimanan dan harapan akan pahala dari Allah SWT memiliki banyak sekali keutamaan. Ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan sebuah madrasah spiritual yang mendidik jiwa.
1. Menjadi Sebab Diampuninya Dosa-Dosa Terdahulu
Ini adalah keutamaan terbesar dari shalat tarawih, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang sangat populer:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang mendirikan (shalat) Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kata "iman" berarti melakukannya karena keyakinan penuh akan perintah Allah dan janji-Nya. Sedangkan "ihtisab" berarti tulus ikhlas mengharapkan pahala hanya dari Allah, bukan karena riya' (pamer) atau tujuan duniawi lainnya. Janji ampunan ini adalah motivasi terbesar bagi setiap muslim untuk tidak menyia-nyiakan malam Ramadhan.
2. Mendapatkan Pahala Shalat Semalam Penuh
Bagi mereka yang melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah bersama imam sampai selesai, Allah menjanjikan pahala seolah-olah ia shalat sepanjang malam.
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya seseorang jika shalat bersama imam hingga ia selesai, maka dituliskan baginya pahala shalat semalam suntuk." (HR. Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Ini adalah kemurahan luar biasa dari Allah. Hanya dengan beberapa waktu shalat bersama imam, kita bisa mendapatkan ganjaran ibadah semalam penuh. Ini adalah kesempatan yang sangat sayang untuk dilewatkan, terutama bagi mereka yang mungkin sulit untuk bangun di sepertiga malam terakhir untuk shalat tahajud.
3. Sarana Mendekatkan Diri (Taqarrub) kepada Allah
Shalat adalah mi'raj (kenaikan) seorang mukmin. Shalat malam, termasuk tarawih, adalah waktu yang sangat mustajab untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Dalam kesunyian malam, hati lebih mudah khusyuk, jiwa lebih tenang, sehingga doa dan munajat yang dipanjatkan akan terasa lebih dekat dan didengar oleh-Nya.
4. Mempererat Ukhuwah Islamiyah
Shalat tarawih yang dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau mushala menjadi ajang silaturahmi yang efektif. Umat Islam dari berbagai latar belakang berkumpul di satu tempat, dalam satu barisan shaf, menghadap kiblat yang sama, dan menyembah Tuhan yang sama. Ini memupuk rasa persaudaraan, kebersamaan, dan cinta sesama muslim.
5. Melatih Kesabaran, Disiplin, dan Keistiqamahan
Melaksanakan shalat tarawih setiap malam selama sebulan penuh membutuhkan komitmen dan kedisiplinan. Ibadah ini melatih fisik untuk berdiri lebih lama dan melatih jiwa untuk sabar dalam ketaatan. Konsistensi (istiqamah) dalam menjalankan tarawih akan membentuk karakter muslim yang tangguh dan tidak mudah menyerah dalam beribadah, bahkan setelah Ramadhan berlalu.
Panduan Lengkap Tata Cara Shalat Tarawih
Agar ibadah tarawih kita sempurna dan diterima di sisi Allah, penting untuk memahami tata cara pelaksanaannya dengan benar, mulai dari niat hingga salam.
1. Niat Shalat Tarawih
Niat adalah pondasi setiap amal. Niat shalat tarawih dilafalkan di dalam hati bersamaan dengan takbiratul ihram. Berikut adalah contoh lafal niat untuk memantapkan hati.
أُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلهِ تَعَالَى
Ushalli sunnatat tarāwīhi rak'ataini mustaqbilal qiblati ma'mūman lillāhi ta'ālā.
"Aku niat shalat sunnah Tarawih dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah Ta'ala."
أُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلهِ تَعَالَى
Ushalli sunnatat tarāwīhi rak'ataini mustaqbilal qiblati lillāhi ta'ālā.
"Aku niat shalat sunnah Tarawih dua rakaat menghadap kiblat karena Allah Ta'ala."
2. Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Masalah jumlah rakaat shalat tarawih adalah salah satu topik yang sering menjadi bahan diskusi di kalangan umat Islam. Penting untuk diketahui bahwa perbedaan ini berada dalam ranah khilafiyah (perbedaan pendapat yang dapat ditoleransi) dan keduanya memiliki landasan yang kuat. Sikap yang bijak adalah saling menghormati dan tidak menjadikan perbedaan ini sebagai sumber perpecahan.
a. Pendapat 11 Rakaat (8 Tarawih + 3 Witir)
Pendapat ini berlandaskan pada hadits dari 'Aisyah RA ketika ditanya tentang shalat malam Rasulullah SAW di bulan Ramadhan. Beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
"Beliau (Nabi Muhammad SAW) tidak pernah menambah (shalat malam) di bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjadi dalil utama bagi kalangan yang melaksanakan shalat tarawih sebanyak 8 rakaat, yang kemudian ditutup dengan shalat witir 3 rakaat, sehingga totalnya menjadi 11 rakaat. Formasi yang umum dilakukan adalah 2 rakaat salam, 2 rakaat salam, 2 rakaat salam, 2 rakaat salam (total 8 rakaat tarawih), kemudian dilanjutkan dengan witir.
b. Pendapat 23 Rakaat (20 Tarawih + 3 Witir)
Pendapat ini didasarkan pada praktik yang dilembagakan oleh Khalifah Umar bin Khattab RA dan disetujui oleh para sahabat lainnya (ijma' sukuti). Pada masanya, beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat tarawih sebanyak 20 rakaat, ditambah 3 rakaat witir. Praktik ini kemudian terus berlanjut di masa Khalifah Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA, serta diikuti oleh mayoritas ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali).
Para ulama yang berpegang pada pendapat ini berargumen bahwa hadits 'Aisyah RA di atas menjelaskan kebiasaan umum Nabi SAW di rumah, sementara praktik 20 rakaat adalah ijtihad yang disepakati para sahabat untuk syiar di masjid. Keduanya dianggap sebagai sunnah (sunnah Nabi dan sunnah Khulafaur Rasyidin).
Kesimpulan: Kedua jumlah rakaat tersebut memiliki dasar yang kuat dan sah untuk diamalkan. Yang terpenting bukanlah perdebatan jumlahnya, melainkan kualitas shalat, kekhusyukan (thuma'ninah), dan keikhlasan dalam menjalankannya.
3. Tata Cara Pelaksanaan
Shalat tarawih dilaksanakan sama seperti shalat sunnah lainnya, yaitu dengan formasi dua rakaat diakhiri satu salam. Berikut urutannya:
- Berdiri tegak menghadap kiblat dan berniat dalam hati.
- Takbiratul Ihram (mengucapkan "Allahu Akbar").
- Membaca doa iftitah.
- Membaca Surat Al-Fatihah.
- Membaca surat atau beberapa ayat dari Al-Qur'an. Dianjurkan membaca surat-surat pendek atau panjang sesuai kemampuan.
- Ruku' dengan thuma'ninah.
- I'tidal dengan thuma'ninah.
- Sujud pertama dengan thuma'ninah.
- Duduk di antara dua sujud dengan thuma'ninah.
- Sujud kedua dengan thuma'ninah.
- Berdiri untuk rakaat kedua, mengulang urutan dari membaca Al-Fatihah hingga sujud kedua.
- Duduk tasyahud akhir.
- Mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri.
Urutan di atas diulang terus-menerus hingga mencapai jumlah rakaat yang diinginkan (8 atau 20 rakaat).
4. Dzikir dan Doa di Antara Tarawih
Istirahat sejenak (tarwihah) setiap selesai empat rakaat (atau terkadang setiap dua rakaat di beberapa tempat) biasanya diisi dengan dzikir dan shalawat. Tidak ada bacaan khusus yang baku dari Nabi SAW, sehingga bacaannya bisa bervariasi. Namun, di Indonesia, populer dibaca dzikir dan shalawat tertentu, serta doa yang dikenal dengan "Doa Kamilin". Mengamalkannya adalah baik sebagai pengisi waktu istirahat dengan hal yang bermanfaat, selama tidak diyakini sebagai bagian wajib dari shalat tarawih.
Shalat Witir: Penutup Malam yang Sempurna
Setelah selesai menunaikan shalat tarawih, rangkaian ibadah malam Ramadhan ditutup dengan shalat witir. Shalat ini memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam.
Makna, Hukum, dan Waktu Shalat Witir
Kata "Witir" (وتر) berarti ganjil. Shalat ini disebut demikian karena jumlah rakaatnya selalu ganjil: satu, tiga, lima, tujuh, dan seterusnya. Shalat witir berfungsi sebagai penutup bagi seluruh shalat malam yang dikerjakan pada hari itu.
Hukum shalat witir adalah Sunnah Mu'akkadah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW, bahkan sebagian ulama (seperti Mazhab Hanafi) menghukuminya wajib. Beliau tidak pernah meninggalkannya, baik saat sedang di rumah maupun dalam perjalanan (safar).
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah itu witir (ganjil) dan menyukai yang ganjil. Maka kerjakanlah shalat witir, wahai ahlul Qur'an." (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)
Waktu pelaksanaan shalat witir terbentang luas, yaitu setelah shalat Isya hingga terbit fajar (masuk waktu Subuh). Waktu terbaik adalah di akhir malam bagi mereka yang yakin bisa bangun. Namun, bagi yang khawatir tidak bisa bangun, lebih baik mengerjakannya di awal malam setelah shalat tarawih.
Rasulullah SAW bersabda: "Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir." (HR. Bukhari dan Muslim)
Jumlah dan Formasi Rakaat Witir
Jumlah rakaat witir minimal adalah satu rakaat dan maksimal sebelas rakaat. Yang paling umum dikerjakan oleh kaum muslimin, terutama setelah shalat tarawih, adalah tiga rakaat.
Ada dua cara utama untuk melaksanakan witir tiga rakaat:
- Dua rakaat lalu salam, kemudian ditambah satu rakaat lalu salam. Ini adalah cara yang paling umum dan dianggap paling utama oleh banyak ulama.
- Tiga rakaat langsung dengan satu kali salam di akhir. Pelaksanaannya bisa dengan satu kali tasyahud di rakaat terakhir (mirip shalat Maghrib tapi tanpa tasyahud awal), atau tanpa tasyahud awal sama sekali.
Di Indonesia, formasi 2+1 adalah yang paling banyak dipraktikkan saat shalat tarawih berjamaah.
Tata Cara Shalat Witir Tiga Rakaat (Formasi 2+1)
Shalat 2 Rakaat Pertama:
أُصَلِّى سُنَّةً مِنَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ لِلهِ تَعَالَى
Ushalli sunnatan minal witri rak'ataini lillāhi ta'ālā.
"Aku niat shalat sunnah bagian dari Witir dua rakaat karena Allah Ta'ala."
Tata caranya sama seperti shalat sunnah dua rakaat biasa. Setelah Al-Fatihah, disunnahkan membaca:
- Rakaat pertama: Surat Al-A'la (Sabbihisma rabbikal a'laa).
- Rakaat kedua: Surat Al-Kafirun (Qul yaa ayyuhal kaafirun).
Setelah tasyahud akhir, ucapkan salam.
Shalat 1 Rakaat Terakhir:
أُصَلِّى سُنَّةَ الْوِتْرِ رَكْعَةً لِلهِ تَعَالَى
Ushalli sunnatal witri rak'atan lillāhi ta'ālā.
"Aku niat shalat sunnah Witir satu rakaat karena Allah Ta'ala."
Setelah Al-Fatihah, disunnahkan membaca tiga surat sekaligus: Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. Setelah itu ruku', i'tidal, sujud, dan seterusnya hingga salam.
Doa Qunut pada Shalat Witir
Membaca doa qunut pada rakaat terakhir shalat witir adalah sunnah menurut sebagian ulama, terutama Mazhab Syafi'i. Biasanya, ini dilakukan pada pertengahan kedua bulan Ramadhan (mulai malam ke-16). Doa qunut dibaca setelah bangkit dari ruku' (saat i'tidal) di rakaat terakhir.
Bacaan doa qunut yang masyhur adalah sebagai berikut:
اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ فَاِ نَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَاِ نَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ وَاَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Allahummahdinii fiiman hadaiit, wa 'aafinii fiiman 'aafaiit, wa tawallanii fiiman tawallaiit, wa baarik lii fiimaa a'thaiit, wa qinii syarra maa qadhaiit, fa innaka taqdhii wa laa yuqdhaa 'alaiik, wa innahuu laa yadzillu man waalaiit, wa laa ya'izzu man 'aadaiit, tabaarakta rabbanaa wa ta'aalait, fa lakal hamdu 'alaa maa qadhaiit, wa astaghfiruka wa atuubu ilaiik, wa shallallaahu 'alaa sayyidinaa muhammadin nabiyyil ummiyyi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
"Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah aku kesehatan sebagaimana orang yang telah Engkau beri kesehatan. Pimpinlah aku bersama orang yang telah Engkau pimpin. Berkahilah rezeki yang telah Engkau berikan kepadaku. Lindungilah aku dari keburukan yang telah Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkaulah yang memberi keputusan dan tidak ada yang dapat menghalangi keputusan-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau bela. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau. Segala puji bagi-Mu atas apa yang telah Engkau tetapkan. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya."
Dzikir Setelah Shalat Witir
Setelah selesai salam dari shalat witir, disunnahkan untuk membaca dzikir berikut:
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
Subhaanal malikil qudduus. (Dibaca 3 kali)
"Maha Suci Raja Yang Maha Suci."
Pada bacaan yang ketiga, dianjurkan untuk memanjangkan dan mengeraskan suara sedikit, lalu dilanjutkan dengan bacaan: رَبِّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ (Rabbil malaa-ikati war ruuh) - "Tuhan para malaikat dan ruh (Jibril)."
Tanya Jawab Seputar Tarawih dan Witir
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan terkait pelaksanaan shalat tarawih dan witir beserta jawabannya.
1. Bagaimana hukum shalat tarawih yang sangat cepat (kilat)?
Shalat tarawih yang dikerjakan dengan sangat cepat hingga mengabaikan thuma'ninah (tenang dan jeda sejenak dalam setiap gerakan shalat) adalah tidak sah. Thuma'ninah merupakan salah satu rukun shalat. Shalat tanpa thuma'ninah sama seperti shalat tanpa ruku' atau sujud. Lebih baik shalat dengan jumlah rakaat yang lebih sedikit namun dikerjakan dengan khusyuk dan thuma'ninah, daripada rakaat banyak tetapi tergesa-gesa seperti "mematuk ayam".
2. Bolehkah wanita shalat tarawih di masjid? Mana yang lebih utama?
Wanita diperbolehkan untuk shalat tarawih berjamaah di masjid dengan syarat menjaga adab, menutup aurat dengan sempurna, dan tidak menimbulkan fitnah. Namun, para ulama berbeda pendapat mana yang lebih utama. Sebagian besar berpendapat bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama berdasarkan keumuman hadits. Namun, jika dengan shalat di masjid ia bisa lebih khusyuk, bersemangat, dan mendapatkan ilmu (misalnya melalui ceramah), maka shalat di masjid bisa menjadi lebih baik baginya. Pilihan ini kembali kepada kondisi masing-masing individu.
3. Saya sudah shalat witir di awal malam, lalu terbangun di akhir malam. Bolehkah saya shalat tahajud lagi?
Boleh, dan sangat dianjurkan. Jika seseorang sudah melaksanakan shalat witir setelah tarawih, kemudian ia terbangun di akhir malam dan ingin shalat tahajud, ia boleh shalat sebanyak yang ia mau (dengan formasi dua rakaat salam). Namun, ia tidak perlu mengulang shalat witir lagi. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ
"Tidak ada dua witir dalam satu malam." (HR. Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa'i)
4. Bagaimana jika saya tertinggal shalat tarawih berjamaah?
Jika Anda tertinggal beberapa rakaat, Anda bisa bergabung dengan imam (menjadi makmum masbuq) dan nanti menyempurnakan rakaat yang tertinggal. Jika Anda tertinggal seluruhnya, Anda bisa melaksanakannya sendiri di rumah atau mencari jamaah lain. Shalat tarawih tetap sah dikerjakan secara munfarid (sendirian).
5. Bolehkah imam membaca Al-Qur'an dari mushaf saat shalat tarawih?
Menurut pendapat yang lebih kuat, hal ini diperbolehkan jika ada kebutuhan, misalnya imam tidak hafal banyak surat atau bertujuan untuk mengkhatamkan Al-Qur'an selama Ramadhan. Namun, gerakan membuka dan menutup mushaf hendaknya diminimalkan agar tidak terlalu banyak bergerak yang dapat membatalkan shalat.