Ilustrasi Simbolis Perlindungan dan Identitas dalam Syariat Islam
Pendahuluan: Urgensi Pemahaman Al-Ahzab 59
Surah Al-Ahzab ayat 59 merupakan salah satu poros utama dalam diskursus mengenai tata cara berpakaian bagi perempuan Muslimah. Ayat ini bukan sekadar perintah adab, melainkan fondasi hukum yang membentuk identitas, kehormatan, dan perlindungan sosial bagi kaum wanita di dalam komunitas Islam. Dalam lintasan sejarah dan perkembangan masyarakat modern, interpretasi terhadap ayat ini seringkali menjadi subjek perdebatan yang intens. Namun, pemahaman yang benar harus berakar pada kajian linguistik mendalam, konteks historis, dan tinjauan komprehensif dari berbagai mazhab tafsir.
Kewajiban mengenakan jilbab, sebagaimana ditetapkan dalam ayat ini, memiliki dimensi spiritual dan sosiologis yang saling terkait erat. Secara spiritual, ia adalah bentuk ketaatan mutlak kepada perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Secara sosiologis, ia berfungsi sebagai pembeda (identitas) dan sarana proteksi dari gangguan atau pelecehan.
Berikut adalah teks suci dari Surah Al-Ahzab ayat 59:
Terjemahan literalnya: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan perempuan-perempuan mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Konteks Historis Nuzulul Ayat
Para mufassir sepakat bahwa ayat ini diturunkan di Madinah, pada periode di mana komunitas Muslim mulai berkembang pesat dan berinteraksi dengan masyarakat luas. Sebelum turunnya ayat ini, perempuan Muslimah masih mengenakan pakaian yang longgar dan mungkin mirip dengan pakaian perempuan non-Muslim atau budak pada masa itu. Hal ini menimbulkan kebingungan dan bahkan gangguan, terutama di malam hari ketika wanita keluar untuk buang hajat atau keperluan mendesak lainnya.
Menurut riwayat dari Tafsir At-Tabari dan Ibn Kathir, gangguan (iyya) seringkali datang dari orang-orang munafik atau fasik yang berpura-pura tidak mengenali wanita terhormat. Mereka akan mengganggu dengan alasan kekeliruan identifikasi. Oleh karena itu, tujuan utama perintah ini adalah memberikan ciri khas yang jelas, membedakan wanita merdeka dan terhormat dari yang lain, sehingga menghalangi niat buruk dari orang-orang jahat.
Analisis Mendalam Mufradat Ayat (Kata Kunci)
Untuk memahami kedalaman hukum yang terkandung, kita wajib membedah setiap frasa kunci dalam ayat 59 ini. Kekuatan ayat terletak pada pemilihan kata-kata yang spesifik dan syarat-syarat yang menyertainya.
1. Khitab (Penerima Perintah): Tiga Kelompok Wanita
Perintah ini ditujukan secara berurutan kepada tiga kelompok wanita, menunjukkan prioritas dan cakupan hukum:
- Liazwajika (Kepada Istri-istrimu): Istri-istri Nabi memiliki kedudukan istimewa dan tuntutan syariat yang lebih ketat (sebagaimana ditegaskan di ayat-ayat sebelumnya dalam Al-Ahzab). Ketaatan mereka harus menjadi teladan sempurna.
- Wa Banatika (Dan Anak-anak Perempuanmu): Anak-anak Nabi sebagai figur publik dalam komunitas juga harus menunjukkan kepatuhan yang paripurna.
- Wa Nisa’il Mu’minin (Dan Perempuan-perempuan Mukmin): Ini adalah cakupan umum yang meliputi seluruh perempuan yang beriman, menegaskan bahwa perintah ini adalah kewajiban universal dalam Islam, bukan hanya untuk keluarga Nabi.
Urutan ini menunjukkan bahwa syariat dimulai dari yang terdekat (keluarga inti Nabi) lalu meluas ke seluruh umat, memastikan bahwa teladan terbaik telah ditetapkan.
2. Yudnina (Mengulurkan atau Menurunkan)
Kata kunci yudnina (يُدْنِينَ) berasal dari akar kata *adna* (دنى), yang berarti mendekat, menurunkan, atau mengulurkan. Ini adalah kata kerja yang memerlukan tindakan aktif dan intensif.
Makna Yudnina menurut Para Mufassir:
- Mengulurkan dari Atas ke Bawah: Sebagian besar mufassir klasik (seperti At-Tabari) menafsirkan bahwa yudnina berarti menjulurkan jilbab menutupi wajah dan tubuh bagian atas, menyisakan hanya satu mata atau kedua mata untuk melihat. Ini adalah interpretasi yang mengarah pada kewajiban penutup wajah (niqab) sebagai bagian dari jilbab.
- Melabuhkan Seluruh Pakaian Luar: Al-Qurtubi dan lainnya berpendapat bahwa yudnina adalah menutupkan jilbab secara rapat dan menyeluruh ke seluruh tubuh, sehingga tidak terbuka aurat kecuali yang dibolehkan (umumnya wajah dan telapak tangan, dalam pandangan sebagian ulama). Intinya adalah tidak membiarkan jilbab itu tersampir di bahu atau terbuka.
- Pembedaan dengan Pakaian Biasa: Tafsir modern lebih menekankan bahwa yudnina berarti mengenakan pakaian luar yang panjang, tebal, dan tidak membentuk lekuk tubuh, sebagai pembeda yang jelas dari pakaian dalam (yang lebih tipis atau pendek).
Dalam konteks linguistik, yudnina ‘alayhinna min jalabibihinna secara harfiah berarti "mereka menurunkan/mengulurkan ke atas diri mereka, dari jilbab-jilbab mereka." Penggunaan preposisi min (dari) menyiratkan bahwa mereka harus mengambil sebagian dari jilbab tersebut untuk menutupi bagian wajah atau tubuh secara menyeluruh, menegaskan penutupan yang lebih rapat dan total.
3. Jalabibihinna (Jilbab Mereka)
Kata jalabib (جَلَابِيب) adalah bentuk jamak dari jilbab (جِلْبَاب). Definisi jilbab sangat krusial karena ia membedakannya dari pakaian penutup kepala lainnya seperti *khimar* (kerudung) yang disebutkan dalam QS An-Nur 31.
Definisi Historis Jilbab:
- Pakaian Luar Menyeluruh: Secara etimologi, jilbab adalah pakaian luar (outer garment) yang dikenakan di atas pakaian rumah (baju dan khimar). Ia berfungsi untuk menutupi seluruh tubuh dari kepala hingga kaki.
- Pakaian Penutup di Luar Rumah: Jilbab berbeda dengan Khimar. Khimar menutupi kepala, leher, dan dada. Jilbab adalah pakaian yang lebih besar, mirip mantel panjang, jubah, atau abaya yang berfungsi untuk menutup khimar dan seluruh badan saat bepergian ke luar rumah.
- Penafsiran Al-Jauhari: Jilbab adalah baju luar yang berfungsi seperti ridā’ (kain penutup tubuh bagian atas) atau milḥafah (kain penutup yang membungkus seluruh tubuh), mencakup semua bagian pakaian yang lain.
Jilbab yang dimaksud di sini harus memenuhi kriteria utama: longgar (tidak menampakkan lekuk tubuh), tebal (tidak transparan), dan panjang (menutup seluruh tubuh). Ini adalah pakaian identitas yang dikenakan khusus saat wanita keluar dari ranah pribadi ke ranah publik.
Membedah Perbedaan Hukum Khimar (An-Nur 31) dan Jilbab (Al-Ahzab 59)
Sering terjadi kerancuan antara dua perintah penutup aurat bagi Muslimah: Khimar dalam Surah An-Nur ayat 31 dan Jilbab dalam Surah Al-Ahzab ayat 59. Kedua ayat ini memiliki fungsi komplementer namun berbeda lingkup.
An-Nur Ayat 31: Khimar dan Penutupan Dada
Surah An-Nur memerintahkan wanita agar “...hendaklah mereka menutupkan khimar mereka ke dada mereka...” (walyaḍribna bikhumurihinna ‘alā juyūbihinna). Khimar adalah kerudung atau kain penutup kepala. Perintah ini memastikan bahwa kerudung tidak hanya diletakkan di belakang kepala (gaya jahiliyah) tetapi ditarik ke depan untuk menutupi leher dan belahan dada (juyub).
Al-Ahzab Ayat 59: Jilbab sebagai Pakaian Luar
QS Al-Ahzab 59 datang kemudian, setelah perintah Khimar. Ia berfungsi sebagai lapisan tambahan dan penegas. Jika Khimar mengatur penutupan tubuh bagian atas (kepala hingga dada), Jilbab mengatur penutupan total tubuh saat berada di luar rumah. Jilbab memastikan bahwa:
- Pakaian yang dikenakan di rumah tertutup sempurna.
- Wanita tidak hanya tertutup, tetapi juga tampak berbeda, sebagai wanita terhormat yang dilindungi.
Dengan demikian, Al-Ahzab 59 menaikkan standar penutupan dari sekadar Khimar menjadi Jilbab, menjadikannya standar berpakaian di ruang publik. Hukum ini bersifat wajib dan diklasifikasikan sebagai fardhu 'ain oleh mayoritas ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali).
Tujuan Utama (Maqasid Syariah) Perintah Jilbab
Allah SWT menutup ayat 59 dengan menjelaskan hikmah di balik perintah tersebut: “Dzalika adna ay yu’rafna fa la yu’dzayna” (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu).
1. Identifikasi dan Pengenalan (Ay Yu’rafna)
Pengenalan di sini memiliki dua makna penting:
- Identitas Keimanan: Jilbab berfungsi sebagai penanda yang membedakan wanita Muslimah yang merdeka dan patuh syariah dari wanita lain (budak atau non-Muslim yang tidak terikat hukum ini).
- Identitas Kehormatan: Dengan pakaian yang menutup sempurna, wanita tersebut dikenali sebagai sosok yang menjaga diri (afifah). Pengenalan ini mengirimkan pesan sosial bahwa ia adalah wanita yang tidak mencari perhatian dan harus dihormati.
2. Pencegahan Pelecehan dan Gangguan (Fa La Yu’dzayna)
Ini adalah tujuan sosiologis utama. Pada masa itu, wanita yang tidak tertutup atau berpakaian mencolok sering menjadi sasaran pelecehan verbal atau fisik dari orang-orang fasik. Jilbab, dengan sifatnya yang sederhana, membumi, dan menutupi, secara efektif menghilangkan rangsangan dan menurunkan peluang untuk menjadi korban gangguan.
Jilbab berfungsi sebagai penghalang psikologis. Ketika seorang wanita menutupi dirinya dengan sempurna, ia tidak hanya melindungi tubuhnya, tetapi juga martabatnya, sehingga orang lain—bahkan yang berniat jahat—akan berpikir dua kali untuk mendekat karena adanya tanda kehormatan dan kesucian yang melekat padanya.
3. Penjagaan Kebersihan Hati (Iffah)
Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat 59, perintah ini terkait erat dengan prinsip iffah (penjagaan diri dan kesucian) yang juga merupakan inti dari perintah menundukkan pandangan bagi laki-laki dan Khimar bagi perempuan (QS An-Nur). Pakaian yang menutupi adalah manifestasi eksternal dari kesucian batin.
Perdebatan Skolastik: Apakah Jilbab Wajib Menutupi Wajah?
Ayat 59 telah memicu salah satu perdebatan fiqh terpanas: apakah perintah "mengulurkan jilbab" termasuk kewajiban mutlak menutupi wajah (niqab)? Terdapat tiga pandangan utama dalam mazhab Islam mengenai hal ini:
Pandangan 1: Kewajiban Mutlak Menutupi Wajah (Mazhab Hanbali dan Mayoritas Syafi’iyyah)
Ulama yang menganut pandangan ini berpegangan teguh pada interpretasi literal dari yudnina, didukung oleh riwayat-riwayat tentang cara berpakaian istri-istri Nabi setelah turunnya ayat hijab (ayat 53 Al-Ahzab) dan ayat 59 ini.
- Dalil Tafsir: Abdullah bin Mas’ud, Ubaydah As-Salmani (tabi’in), dan Ibn Sirin menafsirkan yudnina sebagai menutup seluruh wajah kecuali satu mata.
- Alasan Fiqh: Wajah dianggap sebagai sumber fitnah dan daya tarik terbesar. Jika tujuan jilbab adalah mencegah gangguan dan identifikasi, maka wajah harus ditutup.
- Tokoh Kunci: Imam Ahmad bin Hanbal, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, dan ulama kontemporer seperti Syaikh Muhammad bin Utsaimin.
Pandangan 2: Wajah dan Telapak Tangan Dikecualikan (Mazhab Hanafi dan Maliki)
Pandangan ini didasarkan pada penafsiran ayat An-Nur 31 (kecuali apa yang biasa tampak daripadanya) dan riwayat yang menunjukkan bahwa Jilbab bertujuan untuk menutupi aurat selain wajah dan tangan.
- Dalil Tafsir: Mereka menafsirkan yudnina sebagai melabuhkan pakaian luar agar tubuh tertutup rapat, tetapi wajah dan tangan diizinkan terbuka selama tidak ada niat berhias (tabarruj).
- Kaidah Fiqh: Ada kebutuhan (hajat) praktis bagi wanita untuk membuka wajah dan tangan dalam interaksi sehari-hari, seperti transaksi jual beli, kesaksian, atau melihat jalan.
- Tokoh Kunci: Abu Hanifah, Imam Malik, dan ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradawi.
Pandangan 3: Wajib Menutup Wajah Jika Dikhawatirkan Fitnah (Pandangan Pertengahan)
Beberapa ulama Syafi’iyyah dan Maliki berpendapat bahwa secara asal, wajah dan tangan bukanlah aurat yang wajib ditutup. Namun, jika lingkungan atau kondisi masyarakat sangat rentan fitnah (fasad az-zaman) atau jika wanita tersebut sangat cantik, maka menutup wajah menjadi wajib sebagai bentuk pencegahan (sadd adz-dzari'ah). Pandangan ini seringkali menjadi titik temu antara dua pandangan ekstrem.
Tantangan dan Penerapan Jilbab dalam Era Modern
Perintah Al-Ahzab 59 bersifat abadi, namun manifestasi dan tantangan penerapannya berubah seiring waktu. Kontemporeritas menuntut pemahaman yang lebih dalam mengenai bagaimana jilbab harus diwujudkan tanpa mengabaikan inti syariat.
Kriteria Jilbab yang Syar'i
Terlepas dari perdebatan mengenai penutupan wajah, para ulama sepakat mengenai kriteria umum jilbab yang memenuhi syarat ayat 59:
- Menutupi Seluruh Aurat: Menutup seluruh tubuh, sesuai dengan batasan aurat yang diyakini (minimal kepala, leher, dada, dan seluruh badan).
- Longgar (Ghayru Waasif): Jilbab tidak boleh ketat sehingga menampakkan bentuk atau lekuk tubuh. Ini adalah esensi dari perintah yudnina (melabuhkan).
- Tebal (Ghayru Syaffaf): Bahan tidak boleh transparan atau menerawang sehingga terlihat warna kulit atau pakaian di dalamnya.
- Bukan Pakaian Perhiasan (Ghayru Libas Zina): Jilbab itu sendiri tidak boleh menjadi perhiasan (tabarruj). Artinya, ia harus sederhana, tidak memiliki motif mencolok, warna terang berlebihan, atau hiasan yang menarik perhatian.
- Tidak Menyerupai Pakaian Laki-laki: Jilbab harus tetap dalam batas-batas pakaian wanita.
- Tidak Menyerupai Pakaian Non-Muslim (Tasyabbuh): Pakaian harus terhindar dari ciri khas yang jelas-jelas merupakan simbol agama atau budaya lain.
Tantangan terbesar dalam dunia modern adalah fenomena 'fashionable hijab' (hijab modis) yang terkadang mengorbankan salah satu atau lebih kriteria di atas, seperti penggunaan bahan tipis, warna menyolok, atau lilitan yang justru menampakkan leher dan bentuk tubuh. Jika jilbab justru menarik perhatian, maka ia telah gagal memenuhi tujuan "fa la yu’dzayna" (agar tidak diganggu).
Jilbab sebagai Penanda Solidaritas Umat
Di luar hukum individu, jilbab yang sesuai syariat (berdasarkan Al-Ahzab 59) juga berfungsi sebagai penanda solidaritas keumatan. Ketika seorang Muslimah mengenakan jilbabnya dengan benar, ia tidak hanya menjalankan perintah pribadinya, tetapi juga memperkuat citra kolektif komunitas Muslim sebagai komunitas yang menjaga moralitas dan kehormatan. Ini adalah bentuk dakwah non-verbal.
Kedalaman Spiritual di Balik Pakaian Kehormatan
Perintah jilbab bukanlah sekadar aturan berpakaian lahiriah; ia adalah cerminan dari pakaian hati. Para sufi dan ahli tarbiyah menekankan bahwa jilbab fisik harus diikuti oleh jilbab spiritual.
1. Jilbab Mata dan Hati
Jilbab yang menutupi tubuh adalah perlindungan, namun jilbab sejati adalah pengendalian diri dari pandangan yang tidak halal (bagi laki-laki) dan pengendalian dari perbuatan yang tidak pantas (bagi perempuan). Seorang Muslimah yang sempurna adalah yang menutup tubuhnya (mengikuti Al-Ahzab 59) dan pada saat yang sama menjaga kehormatan dalam perkataan, tingkah laku, dan interaksi sosial.
Imam Al-Ghazali, dalam konteks aurat, berbicara tentang pentingnya menjaga "aurat batin," yaitu dosa-dosa dan kekurangan diri yang harus ditutupi dari pandangan orang lain, kecuali kepada Allah yang Maha Melihat. Ketaatan dalam berpakaian mengajarkan disiplin spiritual untuk menutup diri dari hal-hal yang dapat merusak hubungan dengan Sang Pencipta.
2. Manifestasi Rasa Malu (Haya’)
Rasa malu (haya’) adalah bagian dari iman. Jilbab adalah ekspresi eksternal dari rasa malu yang mendalam terhadap Allah SWT. Ketika wanita memilih untuk menutup auratnya secara sempurna, ia menunjukkan bahwa ia lebih takut kepada pandangan Allah daripada pandangan manusia atau tekanan mode.
Ayat 59 menegaskan bahwa tujuan jilbab adalah menjaga kehormatan. Kehormatan ini terwujud ketika seorang wanita menghargai dirinya sedemikian rupa sehingga ia hanya memamerkan keindahannya kepada mereka yang berhak (suami dan mahramnya), dan kepada Allah yang memberikannya keindahan tersebut. Inilah inti dari kehambaan yang termanifestasi dalam pakaian.
Studi Perbandingan Tafsir Klasik Terhadap Al-Ahzab 59
Analisis komparatif terhadap karya-karya tafsir klasik sangat penting untuk mendapatkan pemahaman yang otentik mengenai implementasi perintah jilbab di masa awal Islam. Perbedaan penekanan antara mufassir menunjukkan kompleksitas perintah ini yang mencakup dimensi hukum, sosial, dan etika.
Tafsir Ibn Kathir (Abul Fida Ismail bin Katsir)
Ibn Kathir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk menyuruh istri-istri, anak-anak, dan wanita-wanita Mukminah agar membedakan diri dari wanita-wanita Jahiliyah. Beliau meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Qatadah, yang menegaskan bahwa jilbab harus menutupi seluruh tubuh saat keluar rumah, sehingga mereka dikenali sebagai wanita Muslimah yang merdeka.
Ibn Kathir juga mengutip riwayat yang menunjukkan bahwa setelah ayat ini turun, wanita Ansar keluar rumah seolah-olah di kepala mereka ada burung gagak (karena menutupi diri dengan kain hitam besar), menunjukkan ketaatan yang sangat total terhadap perintah penutupan.
Tafsir Al-Qurtubi (Abu Abdullah Al-Qurtubi)
Al-Qurtubi memberikan perhatian lebih pada isu penutupan wajah. Beliau menyebutkan pandangan Ubaydah As-Salmani yang mengatakan bahwa seorang wanita seharusnya menutup wajahnya dan hanya menyisakan satu mata untuk melihat. Namun, Al-Qurtubi juga mencatat adanya pandangan yang lebih longgar, yang membolehkan wajah terbuka selama tidak ada fitnah.
Yang menarik dari Al-Qurtubi adalah penekanan pada aspek pencegahan (sadd adz-dzari'ah). Beliau berpendapat bahwa meskipun wajah bukan aurat dalam shalat, wajah tetap harus ditutup di hadapan laki-laki asing (non-mahram) di ruang publik, karena ini adalah sarana untuk mencegah gangguan yang secara eksplisit disebutkan dalam tujuan ayat: fa la yu’dzayna.
Tafsir At-Tabari (Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari)
At-Tabari fokus pada makna leksikal dari jilbab dan yudnina. Beliau menegaskan bahwa jilbab haruslah pakaian yang menutupi khimar dan seluruh badan. Tafsir beliau sangat menekankan konteks sosial: untuk membedakan wanita terhormat dari budak atau wanita yang tidak beriman. Ini adalah penegasan status sosial melalui pakaian, yang tujuannya adalah memelihara kehormatan mereka.
At-Tabari menyimpulkan bahwa perintah ini bersifat mengikat dan telah mengubah total cara berpakaian wanita Muslimah di ruang publik, menjadikannya tanda pembeda dan kehormatan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Implikasi Fiqh Hukum terhadap Praktik Sosial
Kewajiban jilbab yang didasarkan pada Al-Ahzab 59 tidak hanya mengatur aspek pakaian, tetapi juga interaksi sosial dan hak-hak wanita dalam masyarakat.
Peran Jilbab dalam Membangun Keamanan Masyarakat
Ayat 59 secara fundamental menghubungkan pakaian wanita dengan keamanan publik. Dengan adanya penanda visual yang jelas (jilbab syar’i), masyarakat Muslim diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang minim rangsangan seksual di ruang publik.
Ini adalah tanggung jawab ganda: wanita bertanggung jawab untuk menutupi diri (menghilangkan potensi fitnah), dan laki-laki bertanggung jawab untuk menundukkan pandangan (menjaga hati). Ketika keduanya berfungsi, tujuan fa la yu’dzayna tercapai—wanita tidak dilecehkan, dan masyarakat hidup dalam kehormatan.
Batasan Berhias (Tabarruj)
Jilbab harus kontras dengan tabarruj (memamerkan perhiasan atau kecantikan). Pakaian yang terlalu dihias, berwarna-warni, wangi yang semerbak, atau gaya yang menarik perhatian melanggar ruh dari Al-Ahzab 59. Jilbab adalah penutup, bukan penarik. Jika jilbab dikenakan dengan tujuan memancing pujian atau perhatian, maka ia telah kehilangan esensinya sebagai pakaian ketaatan dan perlindungan.
Para fuqaha sepakat bahwa jilbab haruslah berfungsi sebagai penangkal, bukan magnet. Oleh karena itu, penggunaan wewangian yang kuat dan perhiasan yang terlihat di hadapan non-mahram sangat dilarang ketika wanita mengenakan jilbab dan berada di luar rumah.
Penafsiran Kontemporer: Jilbab dan Kehidupan Profesional
Di era modern, banyak wanita Muslimah aktif di bidang profesional, politik, dan pendidikan. Ayat 59 tidak membatasi mobilitas atau kontribusi sosial wanita; sebaliknya, ia memberikan bingkai kehormatan bagi partisipasi mereka.
Seorang Muslimah dapat bekerja, berorganisasi, dan berdakwah selama pakaian luarnya (jilbab) tetap memenuhi standar syar’i (longgar, tebal, menutupi). Jilbab memastikan bahwa penilaian terhadap seorang Muslimah didasarkan pada kapasitas intelektual dan kontribusinya, bukan pada daya tarik fisiknya. Ini adalah pembebasan (emansipasi) dari objek vitas tubuh.
Peran Sentral Keluarga Nabi dalam Implementasi Ayat 59
Seperti disebutkan dalam awal ayat, perintah ini secara spesifik ditujukan terlebih dahulu kepada istri-istri Nabi (azwajika) dan anak-anak perempuannya (banatika). Ini menekankan peran sentral mereka sebagai teladan utama (uswah hasanah) bagi seluruh wanita Muslimah.
Kepatuhan total para istri Nabi, seperti Aisyah dan Ummu Salamah, dalam mengimplementasikan perintah ini—bahkan dalam hal-hal kecil—telah dicatat secara ekstensif dalam hadis. Ketaatan mereka menjadi dalil praktis (sunnah fi’liyyah) yang menjelaskan makna teknis dari yudnina ‘alayhinna min jalabibihinna.
Misalnya, setelah turunnya ayat ini, Aisyah RA pernah menjelaskan bagaimana wanita-wanita Ansar segera menyobek kain tebal mereka dan menggunakannya untuk menutupi kepala dan wajah mereka ketika keluar, menunjukkan bahwa mereka memahami perintah ini sebagai penutupan total yang ketat.
Dengan menempatkan keluarga Nabi sebagai penerima perintah pertama, Allah memastikan bahwa standar tertinggi ketaatan telah dipraktikkan, menghilangkan keraguan bagi kaum Mukminah lainnya untuk mengikuti.
Kesimpulan: Jilbab sebagai Hukum Abadi dan Identitas
Surah Al-Ahzab ayat 59 menetapkan sebuah hukum yang bersifat permanen dalam Islam. Jilbab bukan warisan budaya lokal Arab, melainkan sebuah kewajiban ilahiah yang melampaui batas geografis dan waktu, dirancang untuk melindungi martabat wanita Muslimah.
Inti dari perintah ini adalah pembedaan (identitas), pencegahan gangguan, dan manifestasi ketaatan. Jilbab syar’i yang longgar, tebal, dan tidak menarik perhatian adalah prasyarat dasar untuk memenuhi tuntutan ayat 59.
Pemahaman yang komprehensif terhadap yudnina alayhinna min jalabibihinna mengajarkan bahwa kehormatan seorang Muslimah diukur dari seberapa besar ketaatannya untuk menjaga diri dan martabatnya, baik secara fisik melalui pakaian luar, maupun secara spiritual melalui perilaku dan etika. Jilbab adalah pengumuman visual bahwa seorang wanita telah memilih jalur kehormatan dan ketaatan penuh kepada Allah SWT.
Seluruh perdebatan fiqh mengenai wajah dan telapak tangan tidak menafikan kewajiban inti jilbab sebagai pakaian luar yang melabuh dan menutupi seluruh badan. Dalam menghadapi tekanan globalisasi dan mode, mempertahankan standar yang ditetapkan dalam Al-Ahzab 59 adalah ujian keimanan dan komitmen seorang Muslimah terhadap identitasnya yang mulia.
Filosofi Penutupan dalam Syariat Islam: Melampaui Pakaian
Perintah jilbab dalam Al-Ahzab 59 tidak berdiri sendiri; ia adalah bagian integral dari sistem etika Islam yang holistik. Sistem ini dirancang untuk menjaga lima prinsip utama (Al-Kulliyat Al-Khams), di mana kehormatan (Hifz al-Irdh) adalah salah satunya yang dijaga melalui hukum-hukum penutupan aurat.
Hubungan Timbal Balik antara Pakaian dan Akhlak
Para ulama tafsir menekankan bahwa pakaian luar adalah manifestasi dari pakaian dalam (akhlak). Jilbab yang syar’i mendorong pemakainya untuk berperilaku sesuai dengan standar kehormatan yang tinggi. Jika pakaiannya menunjukkan keseriusan dan kesucian, perilakunya pun cenderung mencerminkan nilai-nilai tersebut. Ini adalah siklus positif: ketaatan lahiriah memperkuat ketaatan batiniah, dan sebaliknya.
Ayat ini mengajarkan bahwa kehormatan adalah hak bagi setiap Muslimah, yang dijamin oleh syariat melalui pakaian. Namun, hak ini disertai dengan kewajiban untuk menjaga martabat tersebut. Jilbab adalah pelindung dari pandangan mata yang tidak senonoh, sehingga memungkinkan wanita untuk fokus pada kontribusi dan ibadah, bukan pada penampilan fisik mereka.
Jilbab dan Konsep Hijab dalam Arti Luas
Istilah “hijab” dalam penggunaan sehari-hari merujuk pada penutup kepala (khimar), padahal dalam Al-Ahzab 59, perintahnya adalah tentang Jilbab. Secara filosofis, hijab (tirai, penghalang) memiliki makna yang jauh lebih luas dalam Islam. Ia mencakup batasan interaksi, pembagian ruang (seperti hijab yang memisahkan majelis), dan bahkan hijab yang memisahkan hamba dari kemurkaan Allah (dengan ketaatan).
Jilbab (pakaian luar) adalah representasi fisik dari Hijab (tirai etika). Keberhasilan seorang Muslimah terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan jilbab fisiknya dengan hijab etika dalam setiap interaksi dan langkah hidupnya.
Analisis Mendalam Frasa ‘Dzalika Adna’ (Yang Demikian Itu Lebih Dekat)
Ayat 59 menggunakan frasa “Dzalika adna” (ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ), yang diterjemahkan sebagai "yang demikian itu lebih dekat (kepada tujuan)." Pemilihan kata adna yang merupakan bentuk ism tafdhil (kata sifat perbandingan) menyiratkan bahwa penutupan sempurna ini adalah metode yang paling efektif, paling unggul, dan paling mendekati realisasi tujuan syariah (pencegahan fitnah dan gangguan).
1. Adna ila At-Taqwa (Lebih Dekat kepada Ketakwaan)
Para mufassir kontemporer sering mengaitkan adna ini dengan konsep takwa. Pakaian yang sempurna adalah langkah yang paling dekat untuk mencapai ketakwaan yang utuh, karena ia melibatkan pengorbanan hawa nafsu dan mode demi ketaatan. Menjalankan perintah yang secara sosial terasa berat (seperti mengenakan jilbab yang sangat longgar di tengah masyarakat yang terpapar mode terbuka) adalah manifestasi takwa yang tinggi.
2. Adna ila Al-Iffah (Lebih Dekat kepada Kesucian)
Pakaian yang memenuhi standar Al-Ahzab 59 menjamin tingkat kesucian yang tertinggi. Ini adalah "lebih dekat" menuju perlindungan kehormatan diri dan keluarga. Jika wanita hanya menutup sebagian tubuhnya, potensi fitnah tetap ada; namun, dengan jilbab yang sempurna, potensi itu diminimalisir secara maksimal.
Sejarah Implementasi Jilbab Pasca Nuzul Ayat
Penerapan Jilbab pasca-turunnya Al-Ahzab 59 memberikan pelajaran berharga tentang ketaatan segera (Istijabah) yang ditunjukkan oleh wanita Muslimah di Madinah. Sejarah mencatat bahwa perubahan cara berpakaian ini terjadi secara masif dan serentak, menunjukkan otoritas perintah syariah atas norma sosial yang berlaku sebelumnya.
Kain Hitam dan Penutupan Menyeluruh
Riwayat yang dikumpulkan oleh mufassir menunjukkan kecenderungan wanita Ansar untuk menggunakan kain-kain tebal berwarna gelap. Meskipun warna hitam bukanlah syarat mutlak syariah, penggunaannya kala itu berfungsi ganda: sebagai penanda keseriusan ketaatan, dan sebagai warna yang paling tidak menarik perhatian dan paling baik menutupi lekuk tubuh.
Kontras dengan Wanita Jahiliyah
Sebelum Islam, wanita Arab kadang-kadang berhias (tabarruj al-Jahiliyah) dan memamerkan kecantikan mereka saat keluar rumah, bahkan kadang berjalan dengan congkak (taghanni). Perintah jilbab (Al-Ahzab 59) adalah revolusi moral yang membalikkan praktik ini, menjadikan kesederhanaan dan penutupan sebagai norma, bukan pengecualian.
Perbedaan ini adalah kunci untuk memahami mengapa jilbab harus berbeda dengan mode pakaian yang umum di masyarakat yang sekuler atau yang menentang nilai-nilai kesederhanaan Islam. Jilbab harus tetap menjadi antitesis dari pameran tubuh.
Tinjauan Fiqh Lanjutan: Rukun dan Syarat Jilbab
Untuk memastikan jilbab yang dikenakan sesuai dengan tuntutan Al-Ahzab 59, fuqaha telah merumuskan syarat-syarat yang lebih detail, yang bersumber dari ruh ayat tersebut dan Sunnah Nabi SAW.
Jilbab sebagai Penutup Diri (Sitr)
Rukun utama jilbab adalah fungsinya sebagai penutup (sitr). Ini berarti jilbab harus menutupi semua bagian aurat yang wajib ditutup. Jika wanita mengenakan jilbab yang pendek atau terbuka di beberapa bagian (misalnya, lengan hingga siku, atau kaki di atas mata kaki), maka rukun penutupan ini tidak terpenuhi, dan ia belum menjalankan perintah ayat 59 secara sempurna.
Keterikatan dengan Niat Ibadah
Jilbab yang dikenakan harus disertai dengan niat (niyyah) bahwa ini adalah ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT. Tanpa niat ibadah, jilbab hanya menjadi selembar kain atau tradisi budaya. Niat inilah yang membedakan jilbab Muslimah dari pakaian penutup lain (seperti seragam atau mantel musim dingin).
Hukum Menutup Kaki (Pendapat Jumhur)
Meskipun Al-Ahzab 59 fokus pada yudnina ‘alayhinna (melabuhkan jilbab), banyak ulama, terutama dari mazhab Hanbali, menekankan bahwa pakaian Muslimah harus menutup hingga mata kaki, atau bahkan lebih. Jika jilbab atau pakaian bawahnya tidak menutup kaki, maka kaki (termasuk mata kaki dan telapak kaki) juga dianggap aurat yang wajib ditutupi, seringkali dengan kaus kaki tebal. Perintah untuk mengulurkan jilbab sering ditafsirkan sebagai perintah untuk melabuhkan pakaian hingga menyentuh tanah atau hampir menyentuh tanah, memastikan penutupan total.
Menghadapi Misrepresentasi Jilbab
Di dunia modern, perintah jilbab sering menjadi sasaran kritik, disalahpahami sebagai penindasan atau pembatasan kebebasan. Penting bagi Muslimah untuk memahami dan mengartikulasikan bahwa jilbab, berdasarkan Al-Ahzab 59, adalah sebuah kehormatan dan kebebasan sejati.
Jilbab Adalah Pilihan Sadar (Freedom of Choice)
Meskipun merupakan kewajiban, jilbab yang sejati muncul dari pilihan sadar atas dasar keimanan. Kebebasan sejati dalam Islam adalah kebebasan dari perbudakan nafsu dan tuntutan masyarakat yang materialistis. Jilbab membebaskan wanita dari keharusan untuk selalu memenuhi standar kecantikan publik yang berubah-ubah dan merugikan.
Bukan Hambatan, Melainkan Penguat Kontribusi
Jilbab tidak pernah dimaksudkan untuk menghambat wanita dari pendidikan, pekerjaan, atau kontribusi sosial. Istri-istri Nabi dan Muslimah generasi awal adalah pedagang, perawat, dan ahli hadis. Jilbab memastikan bahwa kontribusi mereka diterima atas dasar akal dan akhlak, bukan daya tarik fisik. Ini adalah alat yang memungkinkan wanita berpartisipasi dalam masyarakat tanpa mengorbankan kehormatan diri.
Kesimpulannya, Surah Al-Ahzab ayat 59 adalah peta jalan abadi bagi wanita Mukminah. Ia adalah perintah yang detail, bertujuan, dan penuh hikmah. Memenuhi tuntutan yudnina ‘alayhinna min jalabibihinna secara konsisten adalah puncak ketaatan, yang menghasilkan kehormatan di dunia dan pahala di akhirat.