Meriam Sundut, atau yang lebih dikenal dengan Lantaka atau Rentaka di berbagai kepulauan Asia Tenggara, bukanlah sekadar alat perang. Ia adalah simbol status, penentu kedaulatan, dan pilar fundamental yang membentuk arsitektur geopolitik maritim selama lebih dari empat abad. Mobilitas, efisiensi, dan keandalan artileri putar ini menjadikannya tulang punggung pertahanan dan serangan di tengah dinamika perdagangan rempah-rempah dan persaingan kekuasaan yang sengit.
Ilustrasi 1: Skema Anatomi Meriam Sundut, menunjukkan desain utamanya sebagai artileri putar (swivel gun) yang portabel.Munculnya Meriam Sundut di kepulauan Asia Tenggara tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil dari transfer teknologi global yang masif, berakar kuat pada penemuan bubuk mesiu di Tiongkok dan penyempurnaan teknik pengecoran perunggu yang dibawa melalui jaringan perdagangan Islam dan Venesia. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, kerajaan-kerajaan besar Nusantara, terutama Majapahit dan kemudian kesultanan-kesultanan Melayu, sudah mahir dalam seni pembuatan artileri.
Meriam Sundut, dalam konteks regional, sering dikelompokkan bersama Cetbang dan Lela. Cetbang adalah meriam yang lebih besar dan sering kali dipasang permanen atau memiliki laras yang lebih panjang. Lela adalah meriam putar menengah. Meriam Sundut (sering disebut Lantaka di Filipina Selatan atau Rentaka di Semenanjung Melayu) merujuk pada kelas artileri putar yang paling kecil dan paling mobil. Ukurannya yang ringkas, kaliber yang berkisar antara 10 hingga 60 milimeter, dan bobotnya yang ringan (sering kali kurang dari 100 kg) menjadikannya ideal untuk dipasang pada pagar kapal (railings), tiang, atau bahkan di jendela benteng kecil.
Teknologi pembuatan meriam tiba di Nusantara melalui dua gelombang utama. Gelombang pertama datang dari Tiongkok, khususnya pada masa Dinasti Yuan dan Ming, yang membawa pengetahuan tentang artileri genggam (hand cannons) dan meriam besi cor. Gelombang kedua dan yang lebih dominan adalah melalui jaringan perdagangan dan militer Muslim dari Gujarat, Persia, dan kemudian Kesultanan Utsmaniyah. Teknik pengecoran perunggu dengan metode cire perdue (pengecoran lilin hilang) mencapai tingkat kesempurnaan di pusat-pusat metalurgi Jawa, seperti yang tercatat dalam kronik-kronik Majapahit dan kemudian Demak.
Transisi dari meriam besar yang statis (seperti Cetbang era Majapahit) ke meriam putar yang dinamis adalah sebuah revolusi taktis. Kapal-kapal Melayu dan Jawa, yang sebagian besar adalah kapal layar lincah berukuran sedang (seperti kora-kora dan perahu jung), membutuhkan senjata yang dapat diarahkan dengan cepat tanpa memutar seluruh badan kapal. Meriam Sundut mengisi kebutuhan ini dengan sempurna. Dengan hanya satu atau dua kru yang dibutuhkan untuk mengoperasikannya, senjata ini mampu menghasilkan tembakan cepat (rapid fire) dalam jarak dekat, efektif untuk menghancurkan layar, tali-temali, dan moral musuh sebelum kapal besar bergaya Eropa sempat memposisikan meriam berat mereka.
Keunggulan Meriam Sundut terletak pada desainnya yang fungsional dan ornamennya yang estetis. Pembuatannya, yang sering dilakukan oleh pandai besi khusus yang sangat dihormati (terutama di Malaka, Aceh, Sulu, dan Brunei), menggabungkan presisi teknis dengan spiritualitas ukiran lokal.
Teknik cire perdue (pengecoran lilin hilang) adalah jantung dari pembuatan artileri Nusantara. Proses yang rumit ini menghasilkan meriam dengan detail ornamen yang halus dan kualitas metalurgi yang konsisten. Prosesnya adalah sebagai berikut:
Pertama, model meriam lengkap (termasuk semua ornamen naga, bunga, atau kaligrafi) diukir dari lilin lebah atau resin. Tingkat detail pada model lilin ini akan secara eksak direplikasi pada perunggu. Kedua, model lilin dilapisi dengan lapisan tebal tanah liat khusus yang tahan panas. Ini adalah tahap paling kritis; tanah liat harus dikeringkan secara bertahap dan sempurna untuk mencegah keretakan. Ketiga, cetakan tanah liat dipanaskan, memungkinkan lilin di dalamnya mencair dan keluar, meninggalkan rongga negatif dari model meriam. Keempat, paduan perunggu (campuran tembaga dan timah, terkadang ditambahkan seng atau emas) dilebur hingga cair dan dituangkan ke dalam cetakan. Komposisi paduan ini dijaga kerahasiaannya oleh pembuat meriam. Setelah pendinginan, cetakan tanah liat dipecah, meriam perunggu dikeluarkan, dan proses terakhir adalah penghalusan serta pengeboran laras untuk memastikan kaliber yang akurat.
Kualitas perunggu yang digunakan sering kali menjadi indikator kekayaan dan kualitas tembakan meriam tersebut. Meriam yang memiliki kandungan emas kecil (biasanya sebagai simbol prestise atau untuk meningkatkan kekerasan logam) dikenal sebagai Meriam Rajah Emas dan sangat dihargai sebagai pusaka atau mahar.
Di masa ketika Armada VOC dan kapal-kapal besar Eropa mulai membanjiri perairan Asia Tenggara, kapal-kapal lokal harus beradaptasi. Meriam Sundut menjadi kunci adaptasi ini, mengubah kapal dagang biasa menjadi kapal perang yang tangguh.
Kapal-kapal besar Eropa, meskipun membawa meriam kaliber besar, memiliki kelemahan utama: kecepatan dan manuver yang lambat, serta titik buta (blind spots) di haluan dan buritan. Meriam Sundut mengeksploitasi kelemahan ini. Kapal-kapal ringan Nusantara, seperti lanun atau prahu, akan mendekat dengan kecepatan tinggi, menembakkan rentetan Meriam Sundut yang diposisikan di sepanjang pagar kapal.
Tembakan dari Meriam Sundut biasanya bertujuan ganda:
Mobilitas senjata ini memungkinkan kru untuk memusatkan tembakan ke satu sisi kapal atau dengan cepat berpindah ke sisi lain tanpa perlu memposisikan ulang kapal. Taktik ini dikenal sebagai Taktik Putar Cepat (Swivel Fire Tactic) yang sangat efektif dalam peperangan gerilya laut.
Amunisi yang digunakan sangat bervariasi, tergantung pada ukuran kaliber. Meriam Sundut biasanya menembakkan proyektil padat (solid shot) dari besi atau batu yang dibungkus timah. Namun, amunisi yang paling ditakuti adalah peluru pecahan (grape shot atau canister shot). Amunisi ini terdiri dari sejumlah besar bola besi atau timah kecil yang dikemas dalam wadah. Ketika ditembakkan, ia menyebar dalam pola kerucut, ideal untuk membersihkan dek musuh dari prajurit pada jarak dekat (kurang dari 100 meter).
Meskipun jangkauan efektif Meriam Sundut relatif pendek (kurang dari 300 meter untuk tembakan presisi), intensitas tembakan yang bisa dihasilkan oleh belasan unit yang terpasang pada satu kapal kecil menjadikannya ancaman mematikan dalam jarak pertempuran yang rapat.
Ilustrasi 2: Penggunaan Meriam Sundut pada kapal tradisional, menunjukkan bagaimana senjata ini dipasang dengan mekanisme putar untuk pertahanan yang fleksibel.Di luar fungsi militer murninya, Meriam Sundut memiliki makna sosial dan budaya yang mendalam. Mereka dipandang sebagai harta pusaka, simbol kedaulatan, dan penanda status sosial yang tak ternilai harganya. Meriam-meriam terbaik sering kali diberikan nama pribadi dan dirawat dengan ritual khusus.
Ornamen pada Meriam Sundut bukan hanya dekorasi, melainkan narasi visual tentang kekuasaan dan mitologi. Motif yang paling umum adalah:
Meriam ini berfungsi sebagai mata uang diplomatik. Pemberian Meriam Sundut yang indah dan berornamen kompleks oleh seorang Sultan kepada bangsawan bawahan atau sekutu adalah bentuk pengakuan kekuasaan dan perjanjian militer yang mengikat. Dalam banyak masyarakat adat, meriam ini bahkan menjadi bagian dari Mahar (maskawin) yang harus dipersembahkan oleh calon pengantin pria, menunjukkan kekayaan dan kemampuan untuk melindungi keluarga barunya.
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan kemudian otoritas kolonial Inggris menyadari betul signifikansi militer dan simbolis Meriam Sundut. Salah satu strategi utama dalam menundukkan kesultanan lokal adalah melalui pelucutan senjata artileri mereka. Kontrak-kontrak perjanjian sering memasukkan klausul yang melarang pembuatan, kepemilikan, atau perdagangan Meriam Sundut. Ironisnya, karena nilai simbolisnya yang tinggi, banyak bangsawan yang menolak menyerahkan meriam mereka, memilih untuk menyembunyikannya di hutan atau menguburnya, alih-alih memberikannya kepada penjajah.
Upaya pelucutan senjata ini menimbulkan perlawanan sporadis. Meriam Sundut menjadi senjata perlawanan gerilya yang ikonik. Di wilayah Filipina Selatan dan Borneo, pertempuran melawan Spanyol dan Belanda sering kali melibatkan serangan mendadak menggunakan kapal-kapal kecil yang dipersenjatai Meriam Sundut, yang dikenal musuh sebagai "pirate guns"—walaupun label 'bajak laut' sering digunakan kolonial untuk menstigma pejuang kemerdekaan atau pedagang yang menolak monopoli.
Meskipun istilah ‘Meriam Sundut’ digunakan secara umum, terdapat variasi signifikan dalam desain, ukuran, dan penamaan di berbagai wilayah maritim Asia Tenggara. Dua istilah paling terkenal adalah Lantaka dan Rentaka.
Lantaka umumnya merujuk pada Meriam Sundut yang lebih kecil, seringkali dengan panjang laras kurang dari satu meter. Pusat manufakturnya yang paling terkenal adalah di Kesultanan Sulu dan Maguindanao (Mindanao). Lantaka sering kali memiliki ornamen yang sangat detail, menunjukkan pengaruh seni Islam dan seni ukir Melayu.
Lantaka dikenal karena portabilitas ekstremnya. Satu kapal perang Maguindanao, misalnya, dapat membawa puluhan Lantaka, selain meriam utama yang lebih besar. Mereka diposisikan secara strategis untuk menutupi setiap sudut kapal, menciptakan dinding api yang mematikan pada jarak tembak yang rapat. Kontrol atas manufaktur Lantaka di Sulu dan Mindanao memberi mereka keunggulan militer yang bertahan hingga awal abad ke-20, bahkan melawan kapal uap Spanyol yang bersenjata modern.
Rentaka adalah istilah yang umumnya digunakan di wilayah Semenanjung Melayu dan Sumatera. Rentaka cenderung sedikit lebih besar dan memiliki laras yang lebih panjang dibandingkan Lantaka, kadang-kadang mendekati ukuran Lela. Meskipun masih tergolong meriam putar, Rentaka dirancang untuk tembakan yang sedikit lebih stabil dan akurat dalam jarak menengah. Ornamen pada Rentaka seringkali lebih mengedepankan desain garis geometris dan kaligrafi, mencerminkan estetika Kesultanan Malaka dan kemudian Johor.
Perbedaan antara Lantaka dan Rentaka, meskipun subtle, menunjukkan adaptasi terhadap lingkungan pertempuran lokal. Di Semenanjung Melayu, di mana persaingan dengan kapal dagang dan militer Eropa lebih intensif, Rentaka memberikan kompromi antara kekuatan tembakan dan mobilitas.
Teknologi Meriam Sundut tidak hanya digunakan di kepulauan utama. Lantaka menjadi komoditas ekspor penting. Pedagang dari Makassar, Bugis, dan Bajau menyebarkan Lantaka ke seluruh Samudra Hindia hingga Madagaskar, di mana senjata-senjata ini juga diadopsi oleh kerajaan-kerajaan pesisir untuk melindungi jalur perdagangan mereka dari predator laut. Varian-varian ini mencakup meriam putar yang lebih primitif dari Besi Tempa, yang dibuat oleh suku-suku pedalaman yang memiliki akses terbatas pada perunggu berkualitas, namun tetap efektif untuk pertahanan benteng darat.
Penyebaran yang luas ini membuktikan keberhasilan desain Meriam Sundut sebagai artileri yang mudah diproduksi (dengan teknik yang tepat) dan mudah digunakan, menjadikannya standar artileri maritim di seluruh wilayah yang membentang ribuan kilometer.
Periode antara abad ke-17 hingga ke-19 merupakan puncak penggunaan Meriam Sundut, bertepatan dengan upaya konsolidasi kekuasaan kolonial di Nusantara. Senjata ini memainkan peran penting dalam banyak konflik besar yang menentukan nasib kawasan tersebut.
Dalam Perang Makassar (1666-1669), Kesultanan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin memanfaatkan secara ekstensif artileri lokal, termasuk Meriam Sundut, untuk mempertahankan Benteng Somba Opu dari serangan gabungan VOC dan sekutunya. Meskipun Gowa pada akhirnya jatuh, ketahanan pertahanan mereka sebagian besar didukung oleh penempatan artileri yang fleksibel, yang mampu menghadapi tembakan jarak jauh kapal-kapal VOC dan melancarkan serangan balasan yang cepat terhadap pendaratan pasukan.
Meriam Sundut sering ditempatkan pada posisi strategis di dinding benteng yang lebih rendah atau di menara-menara kecil. Karena sudut tembaknya yang luas, mereka dapat dengan mudah menargetkan formasi pasukan darat yang bergerak di luar jangkauan meriam utama yang statis.
Di Sulu, perlawanan terhadap Spanyol yang berlangsung selama berabad-abad sangat bergantung pada Meriam Sundut. Kapal-kapal vinta Sulu, yang dikenal karena kecepatan dan siluetnya yang rendah, dipersenjatai dengan beberapa Lantaka. Dalam serangan terhadap konvoi Spanyol, armada Sulu akan menggunakan kecepatan mereka untuk mengelilingi kapal musuh, melancarkan tembakan Lantaka dari berbagai sudut, mengacaukan koordinasi, dan menciptakan kekalahan moral sebelum melakukan boarding (penyerbuan ke dek).
Strategi ini memaksa Spanyol untuk mendesain ulang kapal perang mereka agar memiliki perlindungan yang lebih baik terhadap tembakan Lantaka, sebuah pengakuan tidak langsung atas efektivitas senjata kecil artileri putar ini. Bahkan ketika kapal uap muncul, Lantaka masih menjadi senjata sekunder yang penting karena kemampuannya untuk menembus kulit kapal kayu pada jarak nol.
Pada akhir abad ke-19, ketika Belanda melancarkan invasi besar-besaran ke Aceh, Meriam Sundut masih ditemukan dalam inventaris pasukan perlawanan. Meskipun sudah ada artileri modern dari Eropa, Meriam Sundut buatan lokal terus diproduksi dan digunakan sebagai senjata pertahanan benteng yang cepat di daerah-daerah pedalaman yang sulit dijangkau. Sifatnya yang ringan dan mudah diangkut menjadikannya ideal untuk perang gerilya di hutan dan pegunungan, di mana meriam berat Belanda tidak dapat diposisikan.
Keberadaan Meriam Sundut yang berlanjut hingga periode modern menunjukkan bukan hanya lambatnya modernisasi, tetapi juga bukti ketahanan desain ini terhadap perubahan teknologi. Ia adalah senjata yang dirancang untuk mobilitas dan pertahanan asimetris, konsep yang masih relevan dalam konteks peperangan non-konvensional.
Diskusi mengenai Meriam Sundut tidak lengkap tanpa mengupas lebih dalam tentang aspek metalurgi yang memberinya daya tahan hingga ratusan tahun. Pengecoran perunggu Asia Tenggara memiliki reputasi yang setara, bahkan terkadang melebihi, kualitas pengecoran Eropa di masa yang sama, terutama dalam hal daya tahan terhadap korosi.
Analisis material pada Meriam Sundut yang ditemukan di koleksi museum menunjukkan adanya variasi komposisi, namun umumnya didominasi oleh perunggu timah dengan rasio tembaga 80% dan timah 20%. Namun, para pandai besi Melayu sering menambahkan elemen kecil lain, seperti seng (zinc) untuk meningkatkan fluiditas logam cair selama pengecoran (sehingga ornamen lebih tajam) dan sedikit emas atau perak untuk meningkatkan kekerasan dan mengurangi porositas.
Kualitas paduan ini menjadi sangat penting karena bubuk mesiu yang digunakan di Nusantara pada awalnya adalah bubuk mesiu lokal yang seringkali memiliki tingkat kemurnian yang bervariasi. Meriam harus mampu menahan tekanan gas yang dihasilkan oleh pembakaran mesiu yang tidak selalu standar. Ketahanan Meriam Sundut sering diuji dengan tembakan berulang kali sebelum diserahkan kepada bangsawan atau ditempatkan di kapal.
Di banyak sentra pengecoran, proses pembuatan meriam tidak hanya sekadar ilmu fisika, tetapi juga ritual. Pandai besi (seperti di Jawa, disebut *empu*) akan melakukan puasa atau upacara khusus sebelum menuangkan logam cair. Hal ini diyakini memastikan bahwa meriam tersebut tidak hanya kuat secara fisik tetapi juga memiliki kekuatan spiritual (tuah) untuk melindungi pemiliknya dan membawa kemenangan.
Keyakinan ini menghasilkan dua dampak penting:
Kehadiran ornamen yang rumit, seperti naga dan ukiran kaligrafi, juga berfungsi sebagai penanda kualitas. Hanya pandai besi yang sangat terampil yang mampu mengeksekusi teknik cire perdue untuk mereplikasi detail halus tersebut. Semakin indah ornamennya, semakin tinggi kualitas metalurgi dan spiritual dari meriam tersebut.
Saat ini, Meriam Sundut sebagian besar telah beralih fungsi dari alat perang menjadi objek museum dan artefak sejarah. Warisan mereka adalah pengingat yang kuat akan kecanggihan teknologi maritim pra-kolonial di Asia Tenggara.
Sebagian besar Meriam Sundut dan Lantaka yang tersisa kini dikoleksi oleh museum-museum besar di seluruh dunia. Museum Nasional Indonesia di Jakarta, Museum Angkatan Laut di Madrid (karena sejarah panjang konflik Spanyol-Sulu), dan berbagai museum di Belanda dan Inggris menyimpan koleksi Lantaka yang sangat besar. Koleksi-koleksi ini memberikan data berharga mengenai kaliber, komposisi metalurgi, dan variasi ornamen regional.
Melalui studi artefak ini, sejarawan maritim dapat merekonstruksi rute perdagangan bubuk mesiu, timah, dan tembaga, serta mengidentifikasi hubungan budaya antar-kesultanan berdasarkan kesamaan gaya ornamen meriam.
Bagi banyak kelompok etnis di Nusantara, terutama di Filipina Selatan, Malaysia, dan Brunei, Meriam Sundut tetap menjadi simbol identitas dan ketahanan. Reproduksi Lantaka sering digunakan sebagai dekorasi di kantor-kantor pemerintahan atau sebagai suvenir, mewakili masa keemasan ketika kerajaan-kerajaan lokal adalah kekuatan maritim yang dominan.
Dalam konteks modern, upaya konservasi tidak hanya berfokus pada pelestarian fisik meriam yang rapuh, tetapi juga pada pelestarian pengetahuan tradisional tentang teknik cire perdue. Beberapa kelompok pengrajin mencoba menghidupkan kembali teknik pengecoran kuno ini, memastikan bahwa keterampilan metalurgi yang menghasilkan senjata revolusioner ini tidak hilang sepenuhnya.
Pelestarian ini sangat penting karena Meriam Sundut berfungsi sebagai kapsul waktu sejarah. Setiap ornamen menceritakan kisah migrasi, perdagangan, dan peperangan; setiap goresan dan patina pada perunggu adalah jejak abadi dari pertempuran epik melawan kekuatan kolonial, atau pertahanan gigih jalur rempah-rempah yang tak ternilai harganya.
Meriam Sundut mengajarkan kita pelajaran penting tentang inovasi militer. Dalam menghadapi teknologi artileri yang lebih besar dan berat dari Barat, kerajaan-kerajaan Nusantara tidak meniru secara langsung, melainkan mengembangkan solusi artileri mereka sendiri yang sangat sesuai dengan kondisi geografis dan taktis mereka—kapal yang ringan, perairan dangkal, dan kebutuhan akan kecepatan manuver. Meriam Sundut adalah perwujudan dari keunggulan mobilitas melawan keunggulan bobot tembakan.
Meriam ini mendefinisikan batas-batas kekuatan di laut selama berabad-abad, menjadi penjaga setia pelabuhan-pelabuhan strategis dan armada dagang yang membawa rempah-rempah, emas, dan tekstil melintasi lautan luas. Tanpa kehadiran Meriam Sundut, dinamika persaingan antara kekuatan lokal dan kekuatan asing pasti akan berbeda secara drastis.
Artileri portabel ini bukan hanya sekedar senjata; ia adalah sebuah narasi tentang kemandirian teknologi, kebanggaan metalurgi, dan semangat perlawanan yang tak pernah padam di jantung samudra Nusantara.
Meriam Sundut, dengan segala variasi namanya dari Lantaka hingga Rentaka, melambangkan masa di mana Asia Tenggara adalah pusat inovasi militer dan perdagangan dunia. Dari bengkel pengecoran perunggu di Jawa hingga geladak kapal lanun yang cepat di Sulu, artileri putar ini adalah penentu kedaulatan yang tak terbantahkan.
Kemampuannya untuk bertransformasi dari alat perang yang mematikan menjadi simbol kekayaan dan pusaka budaya menunjukkan kedalaman integrasinya dalam masyarakat Nusantara. Meskipun kini telah digantikan oleh artileri modern, kisah Meriam Sundut terus bergema—sebuah warisan yang megah tentang bagaimana kekuatan kecil, yang dipersenjatai dengan inovasi dan mobilitas, mampu menantang dan bertahan melawan imperium global selama beberapa generasi.
Peninggalan ini menuntut penghargaan kita, bukan hanya sebagai artefak militer, tetapi sebagai representasi nyata dari kecerdasan lokal, seni metalurgi kuno, dan keberanian para pelaut serta prajurit yang menjadikannya senjata yang paling disegani di jalur sutra maritim.
Meriam Sundut adalah saksi bisu atas naik turunnya kekuasaan, sebuah ikon yang akan selamanya terkait erat dengan sejarah gemilang perdagangan dan pertahanan di kepulauan yang kaya ini. Dengan setiap ukiran naga, ia menceritakan epik pertahanan; dengan setiap lekukan laras, ia mencatat perjalanan panjang Nusantara menuju kemerdekaan dan pengakuan di panggung dunia.