Sebuah Tinjauan Komprehensif tentang Etika Komunikasi, Moralitas Kolektif, dan Pembentukan Citra Diri yang Terdistorsi.
Aktivitas mempergunjingkan, yang dalam bahasa sehari-hari seringkali diidentikkan dengan bergosip, bergunjing, atau menyebarkan desas-desus, merupakan fenomena komunikasi yang melekat erat pada struktur sosial manusia sejak peradaban paling purba. Ia bukan sekadar aktivitas mengisi waktu luang; ia adalah mekanisme sosial yang kompleks, berfungsi sebagai alat kontrol, pembentukan norma, dan pemeliharaan hirarki komunitas. Memahami esensi dari mempergunjingkan
memerlukan tinjauan multidisiplin, melampaui sekadar label negatif yang sering dilekatkan padanya. Secara etimologis, istilah ini merujuk pada tindakan menjadikan seseorang sebagai subjek pembicaraan yang melibatkan penilaian, baik positif maupun negatif, meskipun dalam konteks sosiologisnya, konotasi yang dominan adalah pengkhianatan privasi atau penyebaran informasi yang belum terverifikasi.
Antropolog evolusioner Robin Dunbar mengemukakan tesis bahwa bergosip atau mempergunjingkan memiliki peran krusial dalam evolusi manusia, bertindak sebagai pembersihan sosial
(social grooming) dalam kelompok besar. Ketika ukuran kelompok membesar, interaksi fisik untuk memperkuat ikatan menjadi tidak efisien. Komunikasi verbal, khususnya yang membahas perilaku pihak ketiga, mengambil alih fungsi tersebut. Dengan mempergunjingkan, individu dapat memantau siapa yang dapat dipercaya, siapa yang melanggar aturan, dan siapa yang memiliki sumber daya. Ini adalah peta sosial yang diucapkan, yang memungkinkan anggota kelompok untuk beroperasi dengan kohesi, meminimalkan potensi konflik internal, dan secara efektif mengisolasi parasit sosial. Dalam konteks ini, mempergunjingkan
adalah strategi bertahan hidup, sebuah cara untuk memastikan kepatuhan terhadap kontrak sosial yang tak tertulis.
Namun, transisi dari fungsi adaptif yang primitif ke manifestasi modern telah mengubah sifat dasarnya. Jika dulu ia beroperasi dalam lingkaran kecil yang intim, kini, terutama dengan kemajuan teknologi komunikasi, cakupan untuk mempergunjingkan telah meluas hingga mencakup jutaan orang secara simultan, menciptakan konsekuensi yang jauh lebih merusak dan tak terduga terhadap reputasi dan identitas individu. Konteks historis menunjukkan bahwa setiap masyarakat memiliki mekanisme formal (hukum, adat) dan informal (gunjingan) untuk mendisiplinkan anggotanya. Gunjingan adalah mekanisme informal yang paling kuat, sebab ia beroperasi di balik layar, menargetkan reputasi, aset paling berharga seseorang dalam komunitas.
Pendorong di balik keinginan untuk mempergunjingkan jauh lebih kompleks daripada sekadar sifat jahat atau iri hati. Psikologi sosial menunjukkan bahwa dorongan ini berakar pada kebutuhan dasar manusia akan validasi, afiliasi, dan superioritas kognitif. Kita cenderung mempergunjingkan karena hal itu memberikan kepuasan emosional dan membantu kita memposisikan diri dalam spektrum moral dan sosial kelompok.
Ketika dua atau lebih individu berkumpul untuk mempergunjingkan
pihak ketiga, mereka secara implisit sedang memperkuat ikatan di antara mereka sendiri. Tindakan berbagi informasi sensitif—atau yang dianggap sensitif—menciptakan rasa percaya eksklusif. Kami berbagi rahasia ini, jadi kami berada di pihak yang sama, berlawanan dengan subjek gunjingan.
Afiliasi ini sering kali merupakan alat untuk mendefinisikan batas kita
melawan mereka
. Melalui gunjingan, norma-norma kelompok ditegaskan. Ketika seseorang dipergunjingkan karena melanggar norma (misalnya, kemewahan yang berlebihan, perilaku yang tidak etis, atau kegagalan moral), pembicaraan tersebut berfungsi sebagai pengingat kolektif: Inilah yang terjadi jika Anda menyimpang dari jalur yang disepakati.
Fungsi ini penting, terutama dalam komunitas yang memiliki struktur kekuasaan yang ambigu atau sangat hierarkis, di mana gunjingan menjadi alat demokrasi informal untuk menekan perilaku yang dianggap arogan atau merugikan kelompok.
Salah satu pendorong psikologis yang paling signifikan dari aktivitas mempergunjingkan adalah kebutuhan untuk meningkatkan harga diri komparatif. Ketika seseorang fokus pada kelemahan, kesalahan, atau kemalangan orang lain, ada kecenderungan bawah sadar untuk merasa lebih baik atau lebih kompeten mengenai diri sendiri. Ini adalah mekanisme pertahanan ego yang disebut *downward social comparison*. Dalam lingkungan yang kompetitif, mempergunjingkan kemunduran atau cacat karakter rekan kerja atau tetangga dapat memberikan peningkatan sementara pada status dan rasa moralitas diri sendiri, tanpa harus benar-benar meningkatkan kinerja atau karakter pribadi. Ironisnya, aktivitas ini seringkali merupakan indikator ketidakamanan diri; mereka yang sangat sering mempergunjingkan mungkin sedang berjuang dengan keraguan diri mereka sendiri dan menggunakan cela orang lain sebagai perisai.
Informasi adalah mata uang sosial. Mereka yang memiliki dan mampu menyebarkan informasi tentang orang lain, terutama informasi yang melibatkan kelemahan, mendapatkan kekuasaan sementara. Tindakan mempergunjingkan
adalah manuver kekuatan. Dalam struktur organisasi atau komunitas, orang yang menjadi sumber gunjingan menjadi pusat perhatian dan sering dianggap sebagai orang yang tahu segalanya
, memberinya pengaruh yang tidak proporsional terhadap orang lain. Kontrol ini memungkinkan mereka untuk memengaruhi opini publik, membentuk narasi, dan bahkan secara tidak langsung memanipulasi keputusan orang lain terhadap subjek yang dipergunjingkan. Dorongan untuk menjadi penyebar berita panas, meskipun itu bersifat destruktif, adalah dorongan untuk relevansi dan pengakuan sosial.
Jika sisi psikologis melibatkan para pelaku, maka sisi yang paling rentan dan menderita adalah mereka yang menjadi subjek dari pergunjingan. Menjadi subjek yang dipergunjingkan adalah pengalaman yang merusak identitas dan seringkali membawa konsekuensi sosial dan ekonomi yang abadi. Reputasi, dalam banyak hal, adalah mata uang sosial yang menentukan akses seseorang terhadap peluang, kepercayaan, dan dukungan emosional. Ketika reputasi dirusak oleh narasi gunjingan, fondasi eksistensi sosial seseorang bisa runtuh.
Salah satu dampak paling berbahaya dari mempergunjingkan adalah kemampuannya untuk mendistorsi narasi diri. Kita semua membangun identitas kita melalui kisah-kisah yang kita ceritakan tentang diri kita sendiri dan yang diceritakan oleh orang lain. Ketika gunjingan yang negatif dan tidak akurat menyebar, narasi kolektif tentang subjek tersebut mulai berbeda secara radikal dari pengalaman dan identitas subjektif mereka. Individu yang dipergunjingkan mungkin mulai bertanya-tanya: Apakah saya benar-benar seperti yang mereka katakan?
Perpecahan ini antara diri yang sesungguhnya
dan diri yang dipersepsikan
menyebabkan disonansi kognitif yang parah, memicu kecemasan, depresi, dan isolasi sosial. Mereka mungkin merasa teralienasi dari realitas mereka sendiri karena realitas publik telah dibentuk ulang tanpa masukan atau izin mereka.
Gunjingan bertindak sebagai alat pra-hukuman. Sebelum pengadilan formal atau mekanisme disiplin bertindak, gunjingan telah menjatuhkan hukuman berupa pengucilan sosial. Subjek yang dipergunjingkan sering kali kehilangan jaringan dukungan mereka. Teman-teman menjauh karena takut asosiasi negatif, rekan kerja menghindari kolaborasi, dan peluang profesional menghilang. Sanksi sosial ini tidak memerlukan bukti formal; ia hanya membutuhkan persetujuan kolektif atas narasi gunjingan yang ada. Misalnya, jika seseorang dipergunjingkan karena dugaan ketidaksetiaan dalam hubungan, meskipun klaim tersebut tidak berdasar, kerusakan emosional dan sosial yang diakibatkannya, termasuk hilangnya kepercayaan dalam komunitas, dapat menjadi permanen.
Ketika seseorang mengetahui bahwa ia sedang dipergunjingkan, hal itu menciptakan sensasi pengawasan terus-menerus. Filosof Michel Foucault menyebut kondisi pengawasan konstan ini sebagai Panoptikon
. Subjek yang dipergunjingkan merasa bahwa setiap tindakan, setiap kata, bahkan setiap penampilan fisik sedang dianalisis, dinilai, dan digunakan sebagai amunisi untuk narasi berikutnya. Tekanan ini dapat melumpuhkan, menyebabkan subjek tersebut menjadi terlalu hati-hati, defensif, atau bahkan menarik diri sepenuhnya dari interaksi sosial untuk menghindari kesalahan yang akan mempergunjingkan
mereka lebih lanjut. Ironisnya, penarikan diri ini sering diinterpretasikan oleh komunitas sebagai konfirmasi atas kesalahan yang mereka gunjingkan.
Kemunculan media sosial dan platform komunikasi instan telah merevolusi cara kita mempergunjingkan. Gunjingan tidak lagi terbatas pada lingkaran tetangga atau kantor; ia kini dapat menyebar secara viral melintasi batas geografis dan sosial dalam hitungan detik. Transformasi digital ini mengubah dinamika gunjingan dari bisikan lokal menjadi teriakan global yang bergema tanpa akhir, menjadikannya senjata yang jauh lebih mematikan bagi reputasi.
Internet menyediakan perisai anonimitas yang sering kali membebaskan individu dari pertimbangan moral yang biasanya mengikat mereka dalam interaksi tatap muka. Orang cenderung mempergunjingkan
dengan lebih agresif dan destruktif ketika mereka merasa konsekuensi etis tidak akan langsung menimpa mereka. Anonimitas memfasilitasi terciptanya komentar beracun
dan akun-akun palsu yang didedikasikan semata-mata untuk penyebaran fitnah dan desas-desus. Ini menciptakan lingkungan di mana batas antara opini, fakta, dan fantasi menjadi kabur, memungkinkan narasi yang paling sensasional, meskipun paling tidak benar, untuk mendapatkan traksi tercepat.
Dalam konteks digital, nilai berita gunjingan diukur bukan dari kebenarannya, melainkan dari potensi emosionalnya untuk memicu reaksi dan dibagikan (shareability). Platform digital dirancang untuk memprioritaskan konten yang memicu emosi kuat—kemarahan, kejutan, atau penghinaan—yang berarti gunjingan yang paling dramatis adalah yang paling mungkin menjadi viral. Seseorang yang dipergunjingkan di dunia maya tidak hanya berhadapan dengan komunitas mereka sendiri, tetapi juga dengan audiens global yang tidak memiliki konteks atau investasi pribadi dalam kebenaran cerita tersebut. Skala amplifikasi ini dapat mengubah kesalahan pribadi yang kecil menjadi krisis publik berskala nasional, yang dampaknya terasa seumur hidup.
Industri media modern, baik tabloid tradisional maupun kanal gosip daring, telah menjadikan aktivitas mempergunjingkan
sebagai model bisnis yang menguntungkan. Kehidupan pribadi tokoh publik, politisi, atau selebriti diubah menjadi komoditas. Konsumsi gunjingan ini didorong oleh rasa penasaran yang tak terpuaskan dan keinginan untuk mengintip di balik layar kehidupan orang lain. Konsumen merasa berhak atas detail paling intim, yang selanjutnya memicu siklus tak berujung di mana mempergunjingkan
menjadi norma konsumsi, bukan penyimpangan sosial. Keterlibatan audiens ini secara langsung berkontribusi pada kesehatan finansial platform tersebut, menciptakan ekosistem di mana penyebaran rumor menjadi insentif ekonomi.
Di luar dimensi psikologis dan digital, aktivitas mempergunjingkan memainkan peran penting dalam konstruksi moralitas kolektif dan struktur kekuasaan masyarakat. Gunjingan seringkali tidak netral; ia dipengaruhi oleh bias struktural seperti gender, kelas, dan ras, menjadikannya alat yang kuat untuk memelihara ketidaksetaraan yang ada.
Secara historis, gunjingan telah digunakan secara tidak proporsional untuk mempolarisasi dan mendisiplinkan perilaku perempuan. Ketika pria dipergunjingkan, fokusnya seringkali adalah pada kegagalan profesional, finansial, atau politik. Sebaliknya, ketika perempuan dipergunjingkan, narasi cenderung berkisar pada moralitas seksual, penampilan fisik, peran domestik, atau dugaan ambisi yang berlebihan
. Gunjingan berfungsi sebagai penjaga gerbang moralitas tradisional, memastikan bahwa perempuan yang menyimpang dari peran yang diharapkan—terlalu sukses, terlalu berani, terlalu mandiri—dikenai sanksi melalui penghinaan reputasi. Ini adalah mekanisme halus yang dipelihara oleh patriarki untuk mempertahankan kendali atas mobilitas sosial dan otonomi perempuan.
Masyarakat sering kali memiliki hubungan yang ambivalen terhadap elit kekuasaan dan kekayaan. Di satu sisi, ada kekaguman; di sisi lain, ada kebencian yang mendalam. Aktivitas mempergunjingkan
berfungsi sebagai cara bagi masyarakat biasa untuk menjatuhkan
mereka yang berada di atas. Ketika elit dipergunjingkan karena korupsi, skandal, atau kemunafikan, gunjingan tersebut memberikan kepuasan katarsis bagi masyarakat yang merasa tidak berdaya. Hal ini mengembalikan rasa keseimbangan moral dan menegaskan bahwa bahkan mereka yang paling berkuasa pun tunduk pada pengawasan moral publik. Meskipun gunjingan ini dapat membantu mengungkap ketidakadilan, seringkali ia bercampur dengan hiperbola dan distorsi, melayani kebutuhan emosional massa untuk melihat kejatuhan moral.
Masalah mendasar dalam mempergunjingkan adalah pemutusan hubungan antara komunikasi dan kebenaran. Dalam komunikasi yang normal, kita bertanggung jawab atas klaim kita. Dalam gunjingan, akuntabilitas ini menghilang. Informasi disebarkan sebagai rumor, spekulasi, atau pendapat yang tidak terverifikasi. Ketika masyarakat terus-menerus terpapar pada lingkungan di mana kebenaran faktual kurang penting daripada dampak dramatis dari suatu cerita, hal itu mengikis kepercayaan sosial secara keseluruhan. Jika kita tidak dapat lagi membedakan antara fakta dan fiksi dalam interaksi sosial sehari-hari, fondasi untuk dialog sipil dan pengambilan keputusan rasional akan terkikis. Inilah krisis etika yang ditimbulkan oleh prevalensi kebiasaan mempergunjingkan
.
Bagi mereka yang telah menjadi korban narasi gunjingan yang merugikan, perjalanan untuk membangun kembali identitas dan reputasi adalah proses yang panjang dan menyakitkan. Namun, ada strategi resiliensi psikologis dan komunikasi yang dapat digunakan untuk mengelola dan, pada akhirnya, mengatasi dampak dari dipergunjingkan.
Langkah pertama dalam mengatasi gunjingan adalah pengakuan. Individu harus mengakui bahwa mereka tidak dapat mengontrol apa yang orang lain katakan atau pikirkan. Upaya untuk sepenuhnya menghentikan gunjingan adalah futile dan hanya akan menguras energi. Namun, pengakuan ini tidak berarti penerimaan. Penting bagi individu untuk secara tegas menolak internalisasi narasi gunjingan tersebut. Subjek harus berpegang teguh pada identitas inti dan nilai-nilai mereka, memisahkan diri mereka yang sesungguhnya dari karikatur yang diciptakan oleh gosip. Terapi kognitif seringkali membantu dalam merestrukturisasi pemikiran dan memutus siklus emosional yang diciptakan oleh rasa malu dan amarah yang terkait dengan dipergunjingkan.
Tidak ada satu pun jawaban yang cocok untuk semua orang dalam menanggapi gunjingan. Keputusan untuk merespons harus didasarkan pada tingkat penyebaran gunjingan, kekuatannya, dan risiko yang ditimbulkannya.
Resiliensi jangka panjang terhadap mempergunjingkan terletak pada pembangunan lingkaran kredibilitas
yang kuat. Ini adalah sekelompok orang—keluarga, teman tepercaya, mentor—yang mengetahui karakter subjek yang sebenarnya dan yang kesetiaannya tidak dapat digoyahkan oleh rumor. Lingkaran ini berfungsi sebagai jangkar emosional dan sebagai sumber validasi realitas. Jika gunjingan menyebar, orang-orang dalam lingkaran ini secara otomatis akan menjadi pembela dan penangkal, menggunakan kepercayaan yang mereka miliki untuk menetralkan narasi yang salah.
Aktivitas mempergunjingkan tidak hanya mencerminkan moralitas individu, tetapi juga kesehatan etika komunitas secara keseluruhan. Frekuensi dan sifat gunjingan dalam suatu kelompok adalah diagnostik sosial yang menunjukkan tingkat ketidakamanan, ketidakpercayaan, dan kegagalan dalam komunikasi langsung. Masyarakat yang sehat harus berusaha keras untuk meminimalkan ketergantungan pada gunjingan sebagai alat regulasi sosial, dan sebaliknya, mempromosikan komunikasi yang transparan dan empati.
Mengapa kita begitu bersemangat untuk mempergunjingkan kegagalan orang lain? Ini sebagian besar berasal dari kebutuhan kolektif untuk menegakkan ilusi kesempurnaan. Dalam dunia yang kompleks dan seringkali tidak adil, gunjingan menawarkan simplifikasi moral: ada yang baik (kita) dan ada yang buruk (mereka yang dipergunjingkan). Simplifikasi ini menenangkan kecemasan moral kita sendiri. Dengan secara kolektif mengutuk kesalahan seseorang, kita secara bersama-sama merasa diri kita lebih murni. Aktivitas ini adalah cara yang mudah untuk menghindari pemeriksaan diri sendiri; jauh lebih mudah untuk mempergunjingkan moralitas orang lain daripada secara jujur memeriksa kekurangan dan inkonsistensi moral kita sendiri.
Salah satu perubahan mendasar yang perlu dilakukan dalam komunikasi sosial adalah menggeser fokus gunjingan dari penilaian karakter ke pengamatan perilaku. Gunjingan merusak karena menyerang esensi diri seseorang (misalnya, Dia adalah orang yang jahat
). Komunikasi yang konstruktif, meskipun melibatkan kritik, berfokus pada tindakan (misalnya, Tindakannya merugikan
). Perbedaan ini krusial: mengkritik perilaku memungkinkan adanya penebusan, perubahan, dan perbaikan. Menghancurkan karakter seseorang melalui gunjingan menutup semua jalan menuju rekonsiliasi atau reintegrasi sosial, menciptakan perpecahan permanen.
Lingkungan kerja dan institusi formal, meskipun diatur oleh aturan dan struktur hierarki yang ketat, bukanlah benteng yang kebal terhadap aktivitas mempergunjingkan. Bahkan, di lingkungan yang penuh tekanan dan persaingan, gunjingan dapat berkembang biak, berfungsi sebagai senjata politik yang digunakan untuk memanipulasi karir, menghambat promosi, atau bahkan memaksa pemecatan.
Dalam perusahaan atau institusi, aktivitas mempergunjingkan sering kali dilembagakan sebagai politik kantor
. Informasi rahasia atau yang dibesar-besarkan tentang kinerja, kehidupan pribadi, atau loyalitas rekan kerja disebarkan secara strategis untuk keuntungan pribadi. Seseorang mungkin dipergunjingkan karena ambisi yang terlalu jelas, afiliasi politik internal yang salah, atau karena dianggap sebagai ancaman bagi atasan. Gunjingan dalam konteks profesional memiliki konsekuensi yang sangat nyata: hilangnya proyek, penurunan pangkat, dan kerusakan permanen pada prospek karir. Ironisnya, mereka yang pandai memanipulasi jaringan gunjingan sering kali berhasil naik ke puncak, bukan karena kompetensi, melainkan karena kemampuan mereka untuk mengontrol narasi dan merusak reputasi pesaing.
Tingkat di mana gunjingan berkembang biak dalam suatu institusi adalah cerminan langsung dari budaya kepemimpinannya. Di tempat kerja yang ditandai dengan transparansi rendah, ketidakpercayaan, dan komunikasi yang buruk dari manajemen, gunjingan akan tumbuh subur mengisi kekosongan informasi. Jika manajemen gagal menyampaikan tujuan, memberikan umpan balik yang jujur, atau mendefinisikan batas-batas etis, karyawan akan bergantung pada gunjingan informal untuk mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Institusi yang sehat secara etika harus secara aktif mendefinisikan gunjingan sebagai perilaku yang tidak dapat diterima, bukan hanya karena alasan moral, tetapi karena ia merusak produktivitas, kolaborasi, dan kesejahteraan emosional karyawan.
Meskipun sebagian besar gunjingan beroperasi di ranah informal, di banyak yurisdiksi, penyebaran fitnah, pencemaran nama baik, atau penyebaran informasi yang merugikan secara profesional dapat membawa konsekuensi hukum yang serius. Institusi harus memastikan bahwa mereka memiliki kebijakan yang jelas mengenai pelecehan verbal dan komunikasi yang merusak, dan bahwa karyawan memahami bahwa aktivitas mempergunjingkan yang disengaja untuk merusak karir orang lain dapat diklasifikasikan sebagai tindakan indisipliner atau bahkan tuntutan perdata. Ini adalah batas di mana gunjingan, yang dimulai sebagai bisikan, bertransisi menjadi ancaman hukum yang formal.
Mengurangi prevalensi aktivitas mempergunjingkan dalam masyarakat memerlukan perubahan mendasar dalam cara kita berinteraksi dan menilai satu sama lain. Ini adalah panggilan untuk menumbuhkan empati, memprioritaskan komunikasi langsung, dan menginternalisasi etika bahwa nilai sejati seseorang tidak diukur melalui kelemahan orang lain.
Kunci untuk menghentikan siklus gunjingan adalah pengembangan empati radikal—kemampuan untuk membayangkan diri kita berada dalam posisi orang yang dipergunjingkan. Jika kita secara tulus bertanya pada diri sendiri, Bagaimana perasaan saya jika detail paling pribadi dan tidak lengkap tentang hidup saya disebarkan tanpa konteks?
ini dapat menjadi penghalang moral yang kuat. Prinsip non-penghakiman tidak menuntut kita untuk menyetujui setiap perilaku, tetapi menuntut kita untuk memisahkan penilaian perilaku dari perusakan karakter seseorang. Sebelum mempergunjingkan, kita harus menerapkan uji tiga saringan
: Apakah informasi ini benar? Apakah informasi ini baik? Apakah informasi ini perlu?
Gunjingan seringkali muncul sebagai pengganti komunikasi yang gagal atau dihindari. Seseorang mempergunjingkan orang lain karena mereka terlalu takut atau tidak memiliki keterampilan untuk menyampaikan kritik, kekecewaan, atau keluhan secara langsung kepada orang yang bersangkutan. Masyarakat yang sehat mempromosikan budaya di mana kritik yang konstruktif disampaikan secara pribadi dan dengan rasa hormat. Jika ada masalah dengan perilaku seseorang, solusi etisnya adalah berdialog langsung, bukan menyebarkan desas-desus tentang mereka di belakang punggung mereka. Investasi dalam pelatihan komunikasi asertif dan konflik resolusi adalah investasi langsung dalam mengurangi kecenderungan untuk mempergunjingkan.
Jika energi dan waktu yang dihabiskan untuk mempergunjingkan dialihkan untuk pengejaran pribadi, kreatif, atau kolektif yang produktif, masyarakat akan menjadi jauh lebih kaya. Gunjingan adalah konsumsi emosional yang kosong; ia menghabiskan waktu tanpa menghasilkan nilai nyata. Dengan secara sadar mengisi ruang sosial dan kognitif kita dengan aktivitas yang mempromosikan pertumbuhan dan dukungan, kita secara bertahap dapat mengurangi kebutuhan psikologis untuk menemukan kekurangan pada orang lain sebagai cara untuk merasa berharga.
Aktivitas mempergunjingkan akan selalu menjadi bagian dari realitas manusia. Ia adalah sisa evolusi, sebuah mekanisme sosial yang entah bagaimana gagal berevolusi secepat kesadaran etika kita. Namun, dalam era di mana kata-kata memiliki kemampuan untuk menyebar secara global dan menyebabkan kerusakan instan yang tak terpulihkan, kewajiban etis untuk mengendalikan lidah dan keyboard kita menjadi semakin mendesak.
Menjadi subjek yang dipergunjingkan adalah pengalaman yang merampas otonomi dan mendistorsi identitas; melakukannya kepada orang lain adalah tindakan pengambilalihan kekuasaan yang seringkali disamarkan sebagai moralitas atau keingintahuan. Masyarakat yang matang tidak akan menghapuskan gunjingan sepenuhnya—itu tidak mungkin—tetapi mereka akan memprioritaskan kebenaran, menuntut akuntabilitas, dan menumbuhkan empati dalam setiap interaksi komunikasi.
Tuntutan kemanusiaan pada abad ini bukan hanya untuk menjadi individu yang baik dalam isolasi, tetapi untuk menjadi anggota komunitas yang bertanggung jawab, yang mengakui bahwa setiap kata yang kita ucapkan atau sebarkan tentang pihak ketiga memiliki bobot moral yang signifikan. Mengakhiri siklus destruktif dari mempergunjingkan
adalah tantangan etis yang tak terhindarkan bagi setiap individu yang bercita-cita untuk hidup dalam masyarakat yang didasarkan pada rasa hormat dan integritas.
Hanya dengan kesadaran kolektif bahwa reputasi adalah aset yang rapuh, dan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dibangun di atas kehancuran citra orang lain, kita dapat mulai bergerak menuju ranah sosial di mana komunikasi berfungsi sebagai jembatan, bukan sebagai senjata pemusnah.
Dalam analisis yang lebih filosofis, kegiatan mempergunjingkan dapat dilihat sebagai upaya kolektif untuk membangun dan menegaskan realitas sosial. Ketika suatu fakta—atau yang dipersepsikan sebagai fakta—mengenai seseorang disebarkan dan diterima oleh mayoritas, ia menciptakan realitas yang memiliki kekuatan lebih besar daripada kebenaran objektif itu sendiri. Realitas yang dibangun melalui gunjingan ini adalah realitas yang menentukan konsekuensi sosial bagi subjeknya.
Gunjingan beroperasi dalam ranah kebenaran konsensual. Ini adalah kebenaran yang tidak perlu diverifikasi oleh bukti empiris, tetapi dihidupkan melalui persetujuan kolektif dan pengulangan. Semakin banyak orang yang setuju untuk mempergunjingkan sebuah cerita, semakin nyata
cerita itu terasa, terlepas dari fakta-fakta yang ada. Hal ini sangat berbahaya karena menempatkan otoritas pada kuantitas suara daripada kualitas bukti. Dalam banyak kasus di mana seseorang dipergunjingkan, subjek tidak dapat membela diri secara efektif karena realitas konsensual yang sudah terbentuk terlalu kuat untuk digoyahkan oleh pembelaan diri individu. Individu tersebut terjebak dalam sangkar naratif yang dibangun oleh persepsi kolektif.
Realitas gunjingan diperkuat oleh emosi. Cerita yang memicu kemarahan moral (moral outrage) atau rasa superioritas (schadenfreude) memiliki daya tahan yang jauh lebih lama. Emosi bertindak sebagai lem yang mengikat fragmen-fragmen narasi, menjadikannya lebih mudah diingat dan disebarkan. Ketika masyarakat secara emosional berinvestasi dalam gunjingan, kebenaran menjadi tidak relevan. Yang penting adalah kepuasan emosional yang diperoleh dari proses penghakiman kolektif. Ini menjelaskan mengapa gunjingan tentang kejatuhan moral atau keserakahan lebih menarik daripada cerita tentang kebaikan hati yang sunyi; yang terakhir tidak menawarkan imbalan emosional yang cukup untuk memicu penyebaran masif.
Tindakan mempergunjingkan tidak seragam di semua budaya. Apa yang dianggap sebagai gunjingan di satu tempat bisa jadi merupakan ritual komunikasi yang diterima di tempat lain. Relativitas budaya ini penting untuk dipahami karena ia menunjukkan bahwa batas-batas antara privasi dan ranah publik sangat cair.
Dalam budaya kolektivis, di mana identitas individu terjalin erat dengan kesejahteraan dan reputasi kelompok, aktivitas mempergunjingkan berfungsi sebagai mekanisme yang sangat kuat untuk memastikan harmoni dan kesesuaian. Seseorang dipergunjingkan bukan hanya karena kesalahan pribadi, tetapi karena tindakan mereka mencoreng nama baik keluarga atau kelompok. Gunjingan di sini memiliki fungsi penegakan norma yang lebih tegas dan sanksi sosialnya jauh lebih cepat dan mendalam. Sebaliknya, dalam budaya individualis, meskipun gunjingan tetap ada, dampaknya mungkin lebih terbatas pada individu tersebut, dan masyarakat secara teori lebih toleran terhadap penyimpangan, meskipun hal ini seringkali dikontradiksi oleh realitas media sosial.
Menariknya, di beberapa budaya, proses mempergunjingkan tidak selalu berakhir dengan pengucilan permanen. Gunjingan dapat menjadi bagian dari ritual yang lebih besar yang mencakup penghukuman dan kemudian pengampunan atau reintegrasi. Setelah subjek yang dipergunjingkan dihakimi secara kolektif dan menunjukkan penyesalan atau koreksi, masyarakat dapat secara kolektif memutuskan untuk menghentikan gunjingan dan menerima kembali individu tersebut. Proses ini, meskipun menyakitkan, menunjukkan bahwa gunjingan dapat berfungsi sebagai ritual katarsis untuk pemeliharaan integritas moral kelompok, asalkan ada jalan keluar yang jelas bagi subjek.
Saat teknologi kecerdasan buatan (AI) semakin canggih, bentuk-bentuk baru dari aktivitas mempergunjingkan mulai muncul, mengancam untuk mengambil alih peran manusia dalam menyebarkan dan memverifikasi desas-desus. AI dan algoritma dapat menjadi agen gunjingan yang paling efisien dan paling sulit untuk dilacak.
Algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan (engagement), dan seperti yang telah dibahas, konten yang paling memicu emosi adalah konten gunjingan. AI tidak memiliki bias moral, tetapi ia memiliki bias data. Jika data pelatihan menunjukkan bahwa konten tentang skandal atau penghinaan menghasilkan lebih banyak klik, algoritma akan secara otomatis memprioritaskan penyebaran narasi tersebut, bahkan jika narasi itu palsu. Dalam arti tertentu, algoritma mempergunjingkan
tanpa henti, menyajikan kepada kita konten yang paling mungkin memicu penghakiman atau rasa ingin tahu tentang orang lain, bahkan tanpa intervensi langsung dari penyebar manusia.
Ancaman dari teknologi deepfake memungkinkan penciptaan bukti audiovisual yang sangat meyakinkan namun sepenuhnya palsu, menjadikannya alat utama untuk mempergunjingkan
yang bersifat fitnah. Seseorang kini dapat dipergunjingkan atas perilaku yang tidak pernah mereka lakukan, didukung oleh bukti
video atau audio yang tampaknya sah. Respons terhadap gunjingan jenis ini menjadi sangat sulit, karena subjek harus membuktikan ketiadaan (bahwa video itu palsu), sementara publik secara inheren cenderung mempercayai apa yang mereka lihat. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan epistemik di mana batas antara realitas dan fabrikasi menjadi tidak dapat dibedakan, memperkuat kekuatan gunjingan hingga pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Perjuangan melawan dampak merusak dari mempergunjingkan adalah perjuangan untuk supremasi etika komunikasi dalam ranah publik. Ini memerlukan investasi dalam edukasi sosial dan internalisasi tanggung jawab kolektif terhadap reputasi orang lain.
Mengingat peran sentral media digital dalam amplifikasi gunjingan, penting untuk mengajarkan literasi digital dan media kritis sejak usia dini. Individu harus dilatih untuk tidak mengkonsumsi informasi secara pasif, tetapi untuk secara aktif mempertanyakan sumber, motif penyebaran, dan potensi dampak emosional dari setiap cerita yang mereka terima. Mereka harus memahami bahwa setiap tindakan share
atau like
yang mereka berikan pada konten gunjingan adalah partisipasi aktif dalam merusak reputasi subjek.
Membentuk budaya anti-gunjingan dimulai dari kesadaran individu untuk tidak hanya menahan diri dari menyebarkan rumor, tetapi juga menolak menjadi audiens bagi gunjingan. Ketika seseorang mulai mempergunjingkan
, orang lain memiliki tanggung jawab etis untuk secara lembut mengalihkan topik atau secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak tertarik pada informasi yang merugikan tersebut. Perubahan ini memerlukan keberanian sosial, karena seringkali lebih mudah untuk mengikuti arus gunjingan daripada menantangnya. Namun, hanya melalui penolakan kolektif untuk berpartisipasi sebagai audiens barulah daya tarik sosial dari gunjingan dapat dilemahkan.
Pada akhirnya, aktivitas mempergunjingkan adalah cerminan dari ketidaknyamanan kolektif kita terhadap ambiguitas dan ketidaksempurnaan. Kita mencari kesempurnaan dan kepastian dengan menuding orang lain sebagai yang rusak
, namun kita hanya menemukan kepuasan yang sementara. Hanya dengan merangkul kerumitan moralitas manusia dan menolak godaan untuk menyederhanakan identitas orang lain menjadi gosip yang sensasional, kita dapat berharap membangun masyarakat yang lebih adil dan berbelas kasih.