Surah Ad Dhuha: Jumlah Ayat, Tafsir Mendalam, dan Rahasia Wahyu

Mengupas tuntas makna fajar, janji Allah, dan pelajaran abadi dari Surah ke-93 Al-Qur'an.

Cahaya Dhuha dan 11 Ayat ١١

PENGANTAR DAN JAWABAN TENTANG JUMLAH AYAT

Surah Ad Dhuha adalah salah satu surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal kenabian di Makkah Al-Mukarramah. Ia menempati urutan ke-93 dalam mushaf Al-Qur'an dan memiliki posisi yang sangat penting dalam sejarah kenabian karena surah ini berfungsi sebagai penghiburan ilahiah yang luar biasa bagi Nabi Muhammad ﷺ dalam masa-masa sulit, khususnya setelah terjadi "Fatarah Al-Wahyi" (kekosongan atau jeda wahyu).

Ad Dhuha Berapa Ayat?

Jawaban atas pertanyaan fundamental, "Ad Dhuha berapa ayat?", adalah pasti dan disepakati oleh seluruh ulama qiraat dan tafsir. Surah Ad Dhuha terdiri dari sebelas (11) ayat. Jumlah ayat ini, meskipun tergolong pendek, memuat inti sari dari ajaran tauhid, jaminan masa depan yang cerah, dan etika sosial yang harus ditegakkan oleh seorang Muslim.

Penghitungan ayat dalam surah ini konsisten dalam berbagai riwayat, baik menurut riwayat Kufah, Madinah, maupun Syam. Setiap ayat, dari sumpah awal hingga perintah penutup, memiliki bobot makna yang mendalam, menjelaskan siklus cobaan dan nikmat yang dialami oleh Rasulullah, dan memberikan peta jalan bagi umatnya untuk menghadapi keputusasaan.

Keindahan surah ini tidak hanya terletak pada pesan penghiburannya, tetapi juga pada struktur bahasanya yang ritmis dan padat. Surah ini dibagi menjadi tiga bagian besar: sumpah dan penolakan tuduhan (Ayat 1-3), janji agung dan jaminan masa depan (Ayat 4-5), dan perintah praktis berdasarkan refleksi nikmat (Ayat 6-11). Pemahaman mendalam atas 11 ayat ini membuka jendela pada dimensi kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang paling mulia.

KONTEKS TURUNNYA SURAH (ASBABUN NUZUL)

Untuk memahami sepenuhnya mengapa Surah Ad Dhuha hanya terdiri dari 11 ayat, namun memiliki dampak spiritual yang masif, kita harus menyelami konteks penurunan atau *Asbabun Nuzul*-nya. Surah ini turun pada periode kritis di Makkah.

Masa Kritis: Fatarah Al-Wahyi

Setelah wahyu pertama (Surah Al-'Alaq) turun, terjadi jeda dalam penurunan wahyu yang dikenal sebagai *Fatarah Al-Wahyi*. Jeda ini berlangsung selama beberapa waktu—pendapat ulama bervariasi antara sepuluh hari hingga tiga tahun, namun pendapat yang paling kuat menyebutkan beberapa bulan. Bagi Nabi Muhammad ﷺ, yang baru saja menerima tugas kenabian, jeda ini terasa sangat berat. Beliau sangat mendambakan kehadiran Jibril dan wahyu baru.

Dalam masa kekosongan spiritual ini, orang-orang musyrik Makkah, terutama dari kalangan yang memusuhi beliau, mulai menyebarkan tuduhan dan ejekan. Mereka berkata, "Tuhan Muhammad telah meninggalkannya" atau "Tuhan Muhammad telah membencinya." Salah satu yang paling vokal dalam ejekan ini adalah Ummu Jamil, istri Abu Lahab.

Nabi Muhammad ﷺ merasakan penderitaan psikologis yang mendalam. Jeda wahyu, ditambah dengan ejekan musuh yang menyatakan bahwa Allah telah ‘mewadda’ (meninggalkan) beliau, membuat beliau merasa terasing dan cemas. Surah Ad Dhuha, yang terdiri dari 11 ayat ini, turun untuk menyangkal tuduhan tersebut secara mutlak, menegaskan kembali hubungan mesra antara Allah dan Rasul-Nya, serta memberikan janji masa depan yang gemilang.

Pentingnya 11 Ayat Sebagai Penguatan Spiritual

Setiap ayat dari 11 ayat tersebut bekerja secara progresif untuk menyembuhkan luka batin Nabi. Ayat pertama dan kedua menggunakan sumpah kosmik untuk memberikan kepastian. Ayat ketiga memberikan penolakan langsung terhadap klaim musuh, dan sisanya berfungsi sebagai pengingat akan kasih sayang dan jaminan masa depan. Surah ini menjadi terapi Ilahi yang menunjukkan bahwa kesunyian sementara bukanlah tanda ditinggalkan, melainkan persiapan menuju nikmat yang lebih besar.

Jeda wahyu dan turunnya surah ini mengajarkan sebuah prinsip fundamental dalam kehidupan spiritual: bahwa terkadang, Allah menahan nikmat atau petunjuk-Nya sementara waktu, bukan karena Dia membenci hamba-Nya, melainkan untuk menguatkan fondasi spiritual hamba tersebut, menguji kesabaran, dan mempersiapkan mereka untuk pemberian yang lebih besar di masa depan. Ini adalah pesan sentral yang terangkum dalam 11 ayat Surah Ad Dhuha.

Analisis konteks ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah ayatnya hanya 11, intensitas spiritual dan kejelasan pesannya menjadikannya salah satu surah yang paling transformatif dalam pengalaman kenabian, mengalihkan fokus dari kekecewaan sesaat menuju optimisme abadi yang dijanjikan oleh Tuhan Semesta Alam.

TAFSIR MENDALAM AYAT PER AYAT: RAHASIA DALAM 11 AYAT

Surah Ad Dhuha dapat dianalisis secara struktural menjadi tiga bagian utama yang saling berkaitan erat. Berikut adalah tinjauan mendalam terhadap makna dan hikmah yang terkandung dalam setiap dari 11 ayatnya.

Bagian I: Sumpah Kosmik dan Penyangkalan (Ayat 1-3)

Ayat 1: وَالضُّحَىٰ

Terjemah: Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah).

Ayat pertama ini adalah sumpah. Allah bersumpah demi waktu Dhuha. Waktu Dhuha merujuk pada pagi hari, setelah matahari terbit sepenuhnya, saat sinarnya menyebar dan suasana menjadi terang benderang. Waktu ini adalah puncak dari kecerahan dan aktivitas. Pilihan sumpah ini sangat strategis karena ia diturunkan untuk menghilangkan kegelapan kecemasan dan keputusasaan yang melingkupi Nabi Muhammad ﷺ. Sumpah ini mengisyaratkan bahwa setelah kegelapan malam, pasti datang cahaya terang. Ini adalah jaminan kosmik akan perubahan dari kesulitan menuju kemudahan.

Ayat 2: وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ

Terjemah: Dan demi malam apabila telah sunyi.

Ayat kedua melengkapi sumpah pertama dengan bersumpah demi lawan dari Dhuha, yaitu malam (*Al-Lail*) ketika ia telah sunyi (*Saja*). Kata *Saja* memiliki makna tenang, diam, atau menutup. Penggabungan sumpah demi Dhuha (cahaya) dan malam (ketenangan) menunjukkan kesempurnaan dan keteraturan sistem alam semesta yang diciptakan Allah. Jika Allah mampu mengatur siklus kosmik ini dengan sempurna, dari terang ke gelap dan sebaliknya, maka Dia pasti mampu mengatur urusan wahyu dan kehidupan Nabi-Nya. Sumpah ganda ini menegaskan bahwa setiap periode kegelapan (jeda wahyu) akan diikuti oleh cahaya (wahyu baru).

Ayat 3: مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ

Terjemah: Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak (pula) membencimu.

Inilah inti dari penolakan total. Kata kunci di sini adalah *wadda'aka* (meninggalkan dengan perpisahan) dan *qala* (membenci atau menyingkirkan). Ayat ini secara tegas menyangkal tuduhan musuh bahwa Allah telah meninggalkan atau membenci Rasul-Nya. Setelah sumpah kosmik, kepastian ini diberikan untuk menghilangkan keraguan. Ayat ini mengajarkan bahwa dalam hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya, jeda atau cobaan bukanlah manifestasi dari kebencian, melainkan bagian dari proses pemurnian dan persiapan. Jeda wahyu tersebut adalah kehendak Allah, bukan karena Rasulullah melakukan kesalahan. Ini adalah ayat penghiburan yang paling powerful dalam 11 ayat Surah Ad Dhuha.

Bagian II: Janji Agung dan Masa Depan (Ayat 4-5)

Setelah menenangkan hati Nabi dan menolak tuduhan, 11 ayat Surah Ad Dhuha kemudian beralih ke janji masa depan yang mutlak.

Ayat 4: وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَىٰ

Terjemah: Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.

Ayat ini memberikan perspektif jangka panjang. Yang ‘kemudian’ (*Al-Akhirah*) di sini dapat diartikan dalam dua konteks: (1) kehidupan akhirat di Surga, yang tentu saja lebih mulia daripada kehidupan duniawi yang penuh kesulitan di Makkah; atau (2) keadaan kenabian di masa depan (setelah hijrah dan kemenangan Islam), yang akan jauh lebih baik dan lebih mulia daripada masa-masa awal perjuangan di Makkah. Janji ini adalah jaminan peningkatan status dan keberhasilan, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah janji yang menghapus segala keputusasaan yang timbul dari penderitaan sementara.

Ayat ini mengandung pelajaran penting: kesabaran dalam kesulitan saat ini adalah investasi untuk kejayaan di masa depan. Bagi Nabi, penderitaan di Makkah akan digantikan oleh kekuasaan dan pengaruh di Madinah, yang kemudian akan memuncak dalam Syafa’at di hari Kiamat. Ini adalah hukum ilahiah yang berlaku bagi setiap hamba yang berjuang di jalan-Nya.

Ayat 5: وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ

Terjemah: Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.

Ayat ini mungkin adalah janji paling luar biasa dalam Al-Qur'an secara personal kepada Rasulullah. Kata *sa yutika* (Dia akan memberimu) adalah janji masa depan yang pasti, dan yang paling ditekankan adalah kondisi hasilnya: *fatardla* (sehingga engkau puas). Kepuasan di sini bukan hanya sekadar kecukupan, melainkan kepuasan mutlak yang mencakup semua aspek kehidupan dan akhirat. Para ahli tafsir sepakat bahwa janji ini mencakup: kemenangan dakwah, tersebarnya Islam, ditinggikannya derajat beliau, dan yang paling utama, hak untuk memberikan syafa’at agung (*As-Syafa’ah Al-Uzhma*) kepada umatnya di Hari Kiamat.

Kepuasan Nabi dijamin oleh Allah. Ini berarti bahwa Allah akan memenuhi segala keinginan dan harapan Nabi-Nya, baik spiritual, material, maupun dalam hal keselamatan umatnya. Ayat ini menegaskan puncak dari ikatan kasih sayang dan penghormatan antara Khalik dan makhluk termulia-Nya. Ini adalah jaminan yang melampaui segala kesulitan yang pernah dialami selama masa jeda wahyu.

Bagian III: Refleksi Nikmat dan Perintah Etika (Ayat 6-11)

Setelah memberikan janji, Surah Ad Dhuha kemudian beralih pada refleksi tiga nikmat masa lalu yang mendasar, sebagai landasan bagi tiga perintah etika di masa depan. Dalam 11 ayat ini, bagian penutup ini adalah penerapan praktis dari kasih sayang Allah.

Ayat 6: أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ

Terjemah: Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?

Ayat ini mengingatkan Nabi pada kondisi beliau sejak kecil. Nabi Muhammad ﷺ lahir sebagai yatim (bapaknya wafat sebelum ia lahir) dan menjadi yatim piatu (ibunya wafat ketika ia berusia enam tahun). Dalam masyarakat Arab saat itu, yatim sering kali rentan dan tidak memiliki kekuatan. Namun, Allah menjamin perlindungan-Nya melalui kakeknya Abdul Muthalib, kemudian pamannya Abu Thalib. Perlindungan ini bukan kebetulan, melainkan takdir Ilahi untuk memastikan bahwa Rasulullah tumbuh tanpa hambatan yang tidak perlu, dipersiapkan untuk tugas kenabian yang agung.

Konteks yatim ini menjadi dasar perintah etika sosial yang akan disampaikan di akhir surah. Allah ingin menunjukkan bahwa karena Dia sendiri yang melindungi Nabi dalam kondisi lemah, maka Nabi harus menggunakan kekuasaannya di masa depan untuk melindungi yang lemah.

Ayat 7: وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ

Terjemah: Dan Dia mendapatimu dalam keadaan bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.

Ayat ini sering kali memerlukan penjelasan mendalam agar tidak disalahpahami. Kata *dhal* (sesat/bingung) di sini tidak berarti sesat dalam arti moral atau aqidah, karena para nabi dilindungi dari dosa besar (*ma’shum*). Konteks *dhal* di sini, sebagaimana ditafsirkan oleh mayoritas ulama (seperti Imam Ar-Razi dan Ibnu Katsir), merujuk pada: (1) Ketidaktahuan tentang detail syariat dan wahyu sebelum kenabian, atau (2) Bingung mencari jalan spiritual yang benar di tengah masyarakat jahiliyah Makkah.

Allah mendapati Nabi Muhammad berada dalam kondisi 'mencari' dan kemudian Dia memberikan *Hada* (petunjuk) berupa wahyu dan risalah kenabian yang sempurna. Ini adalah nikmat spiritual terbesar. Dari sini, lahir perintah etika untuk memberikan petunjuk kepada orang yang meminta (*sa'il*) yang akan dibahas di ayat selanjutnya.

Ayat 8: وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ

Terjemah: Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.

Kata *‘a’ilan* berarti fakir atau membutuhkan. Meskipun Nabi Muhammad dibesarkan dalam keluarga terpandang, status ekonomi beliau sebelum menikah dengan Khadijah RA tidaklah sekuat tokoh Quraisy lainnya. Allah mencukupi beliau melalui pernikahan yang barakah dengan Khadijah, yang merupakan seorang pedagang kaya. Rezeki dan kecukupan ini adalah nikmat material yang diberikan Allah, dan menjadi landasan bagi perintah untuk tidak menolak peminta-minta.

Tiga ayat (6, 7, 8) ini mencerminkan kebutuhan dasar manusia: perlindungan sosial (yatim), panduan spiritual (dhal), dan kecukupan material ('ailan). Allah telah memenuhi ketiganya untuk Rasul-Nya.

Ayat 9: فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ

Terjemah: Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.

Ini adalah perintah etika pertama, yang merupakan cerminan langsung dari nikmat yang disebutkan dalam Ayat 6. Karena Allah telah melindungi Nabi saat beliau yatim, maka Nabi diperintahkan untuk tidak menindas, menekan, atau memperlakukan yatim dengan buruk (*la taqhar*). Ayat ini melarang segala bentuk penyiksaan psikologis maupun fisik terhadap anak yatim. Perlindungan yatim adalah barometer keimanan dan keadilan sosial dalam Islam.

Ayat 10: وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ

Terjemah: Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik(nya).

Perintah kedua ini berkaitan dengan nikmat spiritual dan material (Ayat 7 dan 8). *As-Sa’il* (orang yang meminta) dapat berarti peminta-minta materi (orang miskin) atau peminta petunjuk (orang yang bertanya tentang agama). Dalam kedua kasus, perintahnya adalah *fa la tanhar* (jangan menghardik/menghina). Jika yang meminta adalah orang miskin, kita harus memberinya, atau setidaknya menolaknya dengan perkataan yang lembut. Jika yang meminta adalah petunjuk, kita harus memberinya bimbingan dengan bijaksana, mengingat betapa berharganya petunjuk yang telah Allah berikan kepada Nabi.

Ayat 11: وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Terjemah: Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).

Ayat penutup dan klimaks dari Surah Ad Dhuha yang 11 ayat ini. Setelah semua janji, pengingat, dan perintah, kesimpulannya adalah rasa syukur. *Fahaddits* (hendaklah engkau nyatakan) memiliki beberapa makna: (1) Bersyukur kepada Allah melalui lisan dan hati; (2) Menyampaikan dan menyebarluaskan risalah kenabian (yang merupakan nikmat terbesar); (3) Menceritakan nikmat Allah kepada orang lain, bukan dalam rangka riya', melainkan sebagai motivasi kebaikan. Inti dari ayat ini adalah pengakuan aktif atas anugerah Allah. Kebahagiaan dan kepuasan yang dijanjikan di Ayat 5 harus diwujudkan melalui syukur dan dakwah.

ANALISIS LINGUISTIK DAN ESTETIKA BAHASA (BALAGHAH) SURAH AD DHUHA

Meskipun Surah Ad Dhuha hanya terdiri dari 11 ayat, ia adalah mahakarya sastra Arab klasik. Keindahan bahasanya (*balaghah*) memainkan peran krusial dalam menyampaikan pesan penghiburan yang begitu kuat kepada Rasulullah ﷺ.

Penggunaan Sumpah Ganda (Ayat 1-2)

Pembukaan dengan sumpah (*qasam*) adalah teknik sastra yang digunakan untuk menarik perhatian dan menegaskan kebenaran yang akan disampaikan setelah sumpah tersebut. Dalam Ad Dhuha, Allah bersumpah demi dua hal yang berlawanan (*mutadhaaddah*): Dhuha (terang) dan Lail (gelap). Penggunaan kontras ini, yang dikenal sebagai *thibaq* dalam ilmu Balaghah, memperkuat makna bahwa Allah menguasai segala kondisi, baik kesulitan maupun kemudahan. Kontras ini meyakinkan Nabi bahwa jeda wahyu (kegelapan/malam) hanyalah fase yang pasti akan digantikan oleh wahyu baru (cahaya/Dhuha).

Struktur Penolakan Mutlak (Ayat 3)

Ayat *Ma wadda'aka Rabbuka wa ma qala* menggunakan partikel penolakan ganda (*ma... wa ma...*) yang memberikan penegasan kuat dan mutlak. Penggunaan kata kerja yang sangat spesifik—*wadda'aka* (meninggalkan) dan *qala* (membenci)—menargetkan langsung tuduhan yang dilontarkan oleh kaum musyrikin. Pemilihan kata ini menunjukkan presisi Al-Qur'an dalam menjawab keraguan, tidak hanya menolak tuduhan tetapi juga menyingkirkan kemungkinan kebencian Ilahi.

Penekanan Kata Kunci (Tawakkul dan Akhirah)

Dalam Ayat 4 dan 5, terdapat penekanan melalui huruf sumpah dan penegasan (*wa la*) yang berfungsi memperkuat janji. *Wa lal-akhiratu khairul laka...* dan *Wa lasawfa yu’tika...*. Huruf *Lam* di awal memberikan makna penegasan yang kuat, seolah-olah Allah bersumpah lagi demi kebenaran janji tersebut. Janji kepuasan (*fatardla*) menjadi klimaks emosional, menempatkan hubungan Rasul dengan Tuhannya di atas segala cobaan duniawi. Kata *Rabbuka* (Tuhanmu) diulang untuk menekankan kedekatan dan keintiman hubungan antara Allah dan Nabi.

Ritme dan Sajak Akhir (Fawasil)

Salah satu ciri khas Surah Ad Dhuha adalah ritme dan sajak akhir yang konsisten (rima 'a' atau 'an' pada ayat-ayat awal dan 'a' atau 'ar' pada ayat-ayat akhir). Contohnya: *Saja*, *Qala*, *Ula*, *Tardla*, *Awa*, *Hada*, *Aghna*, *Taqhar*, *Tanhar*, *Fahaddits*. Konsistensi sajak ini, yang dikenal sebagai *fawasil* atau rima Al-Qur'an, memberikan irama yang menenangkan dan mudah diingat, memperkuat pesan penghiburan secara auditif. Ritme yang mengalir ini berperan penting dalam penyampaian dan penerimaan pesan pada masa awal Islam.

Dengan 11 ayat yang tersusun demikian indah, Surah Ad Dhuha menunjukkan bagaimana kekuatan bahasa dapat digunakan untuk memulihkan jiwa yang hancur, mengubah keputusasaan menjadi optimisme yang didasarkan pada keyakinan terhadap janji Ilahi.

PERBANDINGAN STRUKTUR DENGAN SURAH ALAM NASHRAH (AL-INSYSYIRAH)

Surah Ad Dhuha dan Surah Al-Insysyirah (Alam Nasyrah) seringkali dibahas bersama oleh para mufassir karena keduanya memiliki tema, konteks, dan struktur yang sangat mirip. Keduanya turun untuk menghibur Rasulullah setelah masa-masa sulit, dan beberapa ulama bahkan berpendapat bahwa kedua surah ini merupakan satu kesatuan dalam dua ruku'.

Kesamaan dan Keterkaitan

1. Konteks Penghiburan: Ad Dhuha (11 ayat) menjawab tuduhan bahwa Allah meninggalkan Nabi, sementara Al-Insysyirah (8 ayat) menjawab beban psikologis dan kesulitan yang dialami Nabi dalam menyampaikan risalah. Keduanya berfungsi sebagai obat spiritual.

2. Struktur Komplementer:

Perbedaan Jumlah Ayat

Meskipun berdekatan dan bertema sama, Surah Ad Dhuha memiliki 11 ayat, sementara Surah Al-Insysyirah memiliki 8 ayat. Perbedaan jumlah ini mencerminkan perbedaan fokus:

Keunikan Surah Ad Dhuha terletak pada detailnya. Dari 11 ayat, enam ayat terakhir (Ayat 6-11) didedikasikan untuk refleksi dan penerapan praktis, menjadikannya surah yang tidak hanya menjanjikan tetapi juga menuntut tindakan nyata berdasarkan rasa syukur.

HIKMAH DAN PELAJARAN ABADI DARI 11 AYAT AD DHUHA

Surah Ad Dhuha, dengan 11 ayat yang ringkas namun padat, memberikan pelajaran universal yang melampaui konteks historisnya di Makkah. Pelajaran ini relevan bagi setiap individu yang mengalami kesulitan, keraguan, atau keputusasaan.

1. Kepastian Setelah Kekosongan (Fatarah)

Pelajaran utama dari 11 ayat ini adalah bahwa kesunyian atau kesulitan (periode ‘malam’ atau jeda wahyu) dalam hidup bukanlah tanda penolakan dari Allah, melainkan ujian kesabaran dan persiapan menuju cahaya. Ketika seseorang merasa ditinggalkan atau doanya belum terkabul, Surah Ad Dhuha mengingatkan bahwa “Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak (pula) membencimu” (Ayat 3).

2. Optimisme Jangka Panjang (Akhirah)

Ayat 4 menekankan pentingnya memiliki perspektif akhirat atau jangka panjang. Fokus pada *akhiratu khairul laka minal ula* mengajarkan bahwa nilai sejati dari perjuangan dan pengorbanan terletak pada hasil akhirnya, baik di dunia maupun di Surga. Kita didorong untuk bekerja keras dan bersabar, karena hasilnya dijamin lebih baik daripada usaha awal yang sulit.

3. Kewajiban Etika Berdasarkan Rasa Syukur

Tiga perintah etika di akhir surah (Ayat 9-11) adalah inti dari tuntutan agama:

4. Sumber Inspirasi Shalat Dhuha

Meskipun Shalat Dhuha telah diajarkan jauh sebelum surah ini turun, nama surah ini memberikan dimensi spiritual yang mendalam terhadap ibadah sunah tersebut. Waktu Dhuha adalah waktu yang penuh berkah dan energi positif. Membaca surah ini selama shalat Dhuha mengingatkan kita pada janji kecerahan, rezeki, dan perlindungan Ilahi setelah melalui ‘malam’ perjuangan.

Dengan 11 ayatnya yang terstruktur sempurna, Surah Ad Dhuha bukan hanya sebuah surah untuk dibaca, melainkan manual ilahiah tentang resiliensi, rasa syukur, dan keadilan sosial, yang diturunkan untuk menenangkan hati Nabi dan memberikan harapan abadi bagi umatnya.

🏠 Kembali ke Homepage