Panduan Lengkap Bacaan dan Tata Cara Shalat Gerhana Bulan

Gerhana bulan, atau dalam istilah syar'i disebut khusuf al-qamar, adalah salah satu fenomena alam yang menunjukkan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Peristiwa terhalangnya cahaya bulan oleh bayangan bumi ini bukan sekadar tontonan astronomi, melainkan sebuah momen refleksi dan ibadah bagi seorang Muslim. Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan yang sangat jelas tentang bagaimana seharusnya menyikapi fenomena ini, yaitu dengan bersegera mendirikan shalat, berdzikir, berdoa, dan bersedekah. Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan terperinci mengenai bacaan shalat gerhana bulan, tata cara pelaksanaannya, serta amalan-amalan yang menyertainya sesuai sunnah.

Dalam Islam, gerhana tidak dihubungkan dengan mitos, takhayul, atau pertanda buruk seperti kelahiran atau kematian seseorang. Sebaliknya, ia adalah tanda nyata dari Allah (ayat min ayatillah) untuk mengingatkan hamba-Nya akan keagungan-Nya, sekaligus menjadi momentum untuk kembali, bertaubat, dan memperbanyak amal kebaikan. Shalat gerhana bulan menjadi manifestasi utama dari respons spiritual seorang hamba ketika menyaksikan tanda kekuasaan Rabb-nya.

Hukum dan Kedudukan Shalat Gerhana Bulan

Memahami hukum pelaksanaan shalat gerhana bulan (shalat khusuf) adalah langkah awal yang fundamental. Para ulama dari berbagai mazhab telah membahas kedudukannya berdasarkan hadis-hadis shahih dari Rasulullah SAW.

Mayoritas ulama, termasuk dari mazhab Syafi'i dan Hanbali, berpendapat bahwa hukum melaksanakan shalat gerhana bulan adalah sunnah mu'akkadah, yaitu sunnah yang sangat ditekankan atau sangat dianjurkan. Pendapat ini didasarkan pada perintah dan praktik langsung dari Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak pernah meninggalkannya ketika terjadi gerhana semasa hidupnya.

Dalil utama yang menjadi landasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu 'anhu:

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Jika kalian melihat keduanya (gerhana), maka berdoalah kepada Allah dan laksanakanlah shalat hingga gerhana tersebut berakhir." (HR. Bukhari dan Muslim)

Perintah "صَلُّوا" (shalatlah) dalam hadis ini menjadi dasar anjuran yang sangat kuat. Selain itu, hadis dari Aisyah radhiyallahu 'anha juga memperkuat hal ini, di mana beliau menceritakan secara detail bagaimana Rasulullah SAW melaksanakan shalat gerhana dengan tata cara yang khas, yang menunjukkan betapa pentingnya ibadah ini.

Sementara itu, sebagian ulama dari mazhab Hanafi berpendapat hukumnya sunnah seperti shalat sunnah lainnya. Adapun Imam Abu Hanifah berpendapat shalat gerhana bulan dilaksanakan seperti shalat sunnah biasa sebanyak dua rakaat secara sendiri-sendiri, berbeda dengan shalat gerhana matahari yang dianjurkan berjamaah. Namun, pendapat jumhur (mayoritas) ulama adalah shalat gerhana bulan juga sangat dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjamaah di masjid, sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya.

Beberapa ulama lain, seperti Imam Malik, bahkan ada yang memandangnya setara dengan shalat Jum'at dalam hal penekanannya. Hal ini menunjukkan betapa besar perhatian syariat terhadap ibadah ini. Dengan demikian, seorang Muslim sepatutnya tidak meremehkan dan berusaha untuk melaksanakannya setiap kali fenomena gerhana bulan terjadi.

Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana

Ketepatan waktu adalah salah satu syarat sahnya ibadah dalam Islam. Shalat gerhana bulan memiliki rentang waktu pelaksanaan yang spesifik dan terikat langsung dengan berlangsungnya fenomena alam tersebut.

Sunnahnya, shalat dilaksanakan dengan bacaan yang panjang, di mana durasi shalat diupayakan untuk mencakup seluruh atau sebagian besar durasi gerhana itu sendiri. Jika gerhana selesai sementara shalat masih berlangsung, maka shalat tetap dilanjutkan hingga selesai dengan gerakan yang lebih ringkas. Namun, jika shalat telah selesai sementara gerhana masih berlangsung, maka dianjurkan untuk melanjutkan dengan memperbanyak dzikir, doa, istighfar, dan sedekah hingga gerhana benar-benar berakhir.

Bolehkah Shalat Gerhana Di-qadha?

Para ulama sepakat bahwa shalat gerhana bulan tidak di-qadha (diganti) jika waktunya telah habis. Ini karena shalat gerhana adalah ibadah yang sebab pelaksanaannya terikat pada waktu tertentu (dzatus sabab). Ketika sebabnya, yaitu fenomena gerhana, telah hilang, maka hilang pula anjuran untuk melaksanakannya. Ini sama seperti shalat Istisqa (minta hujan) yang tidak dilaksanakan jika hujan sudah turun. Oleh karena itu, penting untuk memanfaatkan momen gerhana dengan sebaik-baiknya tanpa menunda-nunda pelaksanaan shalatnya.

Bacaan Niat Shalat Gerhana Bulan

Niat adalah rukun hati yang membedakan satu ibadah dengan ibadah lainnya, serta membedakan antara ibadah dan kebiasaan. Niat shalat gerhana bulan diucapkan di dalam hati bersamaan dengan takbiratul ihram. Meskipun melafalkan niat (talaffuzh) bukan suatu keharusan, banyak ulama Syafi'iyah yang menganjurkannya untuk membantu memantapkan hati.

Berikut adalah lafal niat shalat gerhana bulan yang bisa diucapkan.

1. Niat sebagai Imam

أُصَلِّي سُنَّةَ الخُسُوفِ رَكْعَتَيْنِ إِمَامًا لِلّهِ تَعَالَى

Ushallî sunnatal khusûfi rak‘ataini imâman lillâhi ta‘âlâ.

"Saya niat shalat sunnah gerhana bulan dua rakaat sebagai imam karena Allah Ta'ala."

2. Niat sebagai Makmum

أُصَلِّي سُنَّةَ الخُسُوفِ رَكْعَتَيْنِ مَأْمُوْمًا لِلّهِ تَعَالَى

Ushallî sunnatal khusûfi rak‘ataini ma’mûman lillâhi ta‘âlâ.

"Saya niat shalat sunnah gerhana bulan dua rakaat sebagai makmum karena Allah Ta'ala."

3. Niat jika Shalat Sendiri (Munfarid)

أُصَلِّي سُنَّةَ الخُسُوفِ رَكْعَتَيْنِ لِلّهِ تَعَالَى

Ushallî sunnatal khusûfi rak‘ataini lillâhi ta‘âlâ.

"Saya niat shalat sunnah gerhana bulan dua rakaat karena Allah Ta'ala."

Yang terpenting dari niat adalah keikhlasan dan kesadaran hati untuk melaksanakan ibadah shalat sunnah gerhana bulan semata-mata karena Allah SWT, sebagai bentuk pengagungan atas tanda-tanda kebesaran-Nya.

Tata Cara Pelaksanaan Shalat Gerhana Bulan (Sangat Rinci)

Shalat gerhana memiliki tata cara yang unik dan berbeda dari shalat-shalat fardhu maupun sunnah lainnya. Keunikannya terletak pada jumlah ruku' dan bacaan Al-Fatihah dalam setiap rakaat. Shalat ini terdiri dari dua rakaat, namun setiap rakaatnya memiliki dua kali berdiri, dua kali membaca surat, dan dua kali ruku'.

Berikut adalah panduan langkah demi langkah yang sangat terperinci:

Rakaat Pertama

  1. Takbiratul Ihram: Berdiri tegak menghadap kiblat, kemudian berniat dalam hati untuk melaksanakan shalat gerhana bulan. Mengangkat kedua tangan sejajar telinga atau bahu sambil mengucapkan "Allahu Akbar".
  2. Membaca Doa Iftitah dan Ta'awudz: Setelah takbir, bersedekap dan membaca doa iftitah seperti shalat biasa, kemudian membaca ta'awudz (A'udzu billahi minasy syaithanir rajim) secara sirr (lirih).
  3. Berdiri Pertama (Qiyam Awwal):
    • Imam membaca Surah Al-Fatihah dengan suara yang dijaharkan (dikeraskan), diikuti oleh makmum yang mendengarkan atau membacanya secara sirr (tergantung mazhab).
    • Setelah Al-Fatihah, imam membaca surat yang sangat panjang. Sunnahnya adalah membaca Surah Al-Baqarah atau surat lain yang panjangnya setara. Tujuannya adalah agar durasi berdiri ini sangat lama, mengisi waktu gerhana dengan tilawah Al-Qur'an. Makmum mendengarkan dengan khusyuk.
  4. Ruku' Pertama (Ruku' Awwal):
    • Setelah selesai membaca surat, bertakbir lalu melakukan ruku'.
    • Sunnahnya adalah melakukan ruku' dengan durasi yang sangat lama, hampir sama lamanya dengan durasi berdiri pertama tadi. Selama ruku', perbanyak membaca tasbih "Subhana Rabbiyal 'Azimi wa bihamdih" berulang-ulang kali.
  5. I'tidal Pertama (Bangun dari Ruku' Pertama):
    • Bangun dari ruku' sambil mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah".
    • Ketika telah berdiri tegak (i'tidal), membaca "Rabbana wa lakal hamd".
    • PENTING: Setelah i'tidal ini, tidak langsung sujud. Ini adalah titik pembeda utama dari shalat biasa.
  6. Berdiri Kedua (Qiyam Tsani):
    • Dalam posisi i'tidal tadi, imam kembali membaca Surah Al-Fatihah dengan suara yang dijaharkan.
    • Setelah Al-Fatihah, imam membaca surat panjang lainnya, namun durasinya lebih pendek dari bacaan surat pada saat berdiri pertama. Contohnya membaca Surah Ali 'Imran atau yang setara.
  7. Ruku' Kedua (Ruku' Tsani):
    • Setelah selesai membaca surat kedua, bertakbir lalu melakukan ruku' yang kedua kalinya dalam rakaat ini.
    • Durasi ruku' kedua ini juga panjang, namun lebih pendek dibandingkan ruku' yang pertama. Perbanyak membaca tasbih ruku'.
  8. I'tidal Kedua:
    • Bangun dari ruku' kedua sambil mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah", lalu membaca "Rabbana wa lakal hamd" saat berdiri tegak.
  9. Sujud:
    • Setelah i'tidal kedua, bertakbir lalu turun untuk sujud.
    • Lakukan sujud dengan durasi yang sangat lama, disunnahkan lamanya seperti ruku' yang kedua. Perbanyak membaca tasbih sujud "Subhana Rabbiyal A'la wa bihamdih" dan doa.
    • Bangun dari sujud untuk duduk di antara dua sujud (iftirasy), juga dengan durasi yang lama sambil membaca "Rabbighfirli warhamni wajburni warfa'ni warzuqni wahdini wa'afini wa'fu 'anni".
    • Lakukan sujud kedua, juga dengan durasi yang lama seperti sujud pertama.

Dengan selesainya sujud kedua, maka rakaat pertama telah selesai.

Rakaat Kedua

Rakaat kedua dilaksanakan dengan tata cara yang sama persis seperti rakaat pertama, yaitu dengan dua kali berdiri, dua kali membaca surat, dan dua kali ruku'. Namun, durasi setiap gerakan dan panjang bacaan suratnya lebih pendek dibandingkan gerakan yang sama di rakaat pertama.

  1. Berdiri Ketiga (Qiyam Tsalits):
    • Bangun dari sujud kedua rakaat pertama, langsung berdiri untuk rakaat kedua tanpa duduk istirahat.
    • Imam membaca Surah Al-Fatihah secara jahar.
    • Setelah itu, membaca surat panjang lainnya yang durasinya lebih pendek dari bacaan pada berdiri kedua (rakaat pertama). Contohnya membaca Surah An-Nisa' atau yang setara.
  2. Ruku' Ketiga (Ruku' Tsalits):
    • Ruku' untuk ketiga kalinya dalam shalat ini. Durasinya panjang, namun lebih pendek dari ruku' kedua.
  3. I'tidal Ketiga:
    • Bangun dari ruku' ketiga, lalu i'tidal seperti biasa.
  4. Berdiri Keempat (Qiyam Rabi'):
    • Dalam posisi i'tidal, imam kembali membaca Surah Al-Fatihah secara jahar.
    • Setelah Al-Fatihah, membaca surat panjang lainnya yang durasinya lebih pendek dari bacaan pada berdiri ketiga. Contohnya membaca Surah Al-Ma'idah atau yang setara.
  5. Ruku' Keempat (Ruku' Rabi'):
    • Ruku' untuk keempat kalinya dalam shalat ini. Durasinya panjang, namun lebih pendek dari ruku' ketiga.
  6. I'tidal Keempat:
    • Bangun dari ruku' keempat, lalu i'tidal.
  7. Sujud:
    • Lakukan dua kali sujud yang panjang, dipisahkan oleh duduk di antara dua sujud yang juga panjang. Durasinya lebih pendek dibandingkan sujud pada rakaat pertama.
  8. Tasyahud Akhir dan Salam:
    • Setelah sujud kedua di rakaat kedua, duduk untuk tasyahud akhir.
    • Membaca bacaan tasyahud akhir, shalawat Ibrahimiyah, dan doa setelahnya.
    • Mengakhiri shalat dengan mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri.

Rangkuman Struktur dan Bacaan Shalat Gerhana

Untuk mempermudah pemahaman, berikut adalah rangkuman struktur unik shalat gerhana bulan dan anjuran bacaan suratnya.

Rakaat Gerakan Anjuran Bacaan Surat (Setelah Al-Fatihah) Durasi Gerakan
Pertama Berdiri ke-1 Surah Al-Baqarah (atau yang setara) Sangat Panjang
Ruku' ke-1 Tasbih Ruku' Sangat Panjang (seperti berdiri ke-1)
Berdiri ke-2 Surah Ali 'Imran (atau yang setara) Panjang (lebih pendek dari berdiri ke-1)
Ruku' ke-2 Tasbih Ruku' Panjang (lebih pendek dari ruku' ke-1)
Kedua Berdiri ke-3 Surah An-Nisa' (atau yang setara) Panjang (lebih pendek dari berdiri ke-2)
Ruku' ke-3 Tasbih Ruku' Panjang (lebih pendek dari ruku' ke-2)
Berdiri ke-4 Surah Al-Ma'idah (atau yang setara) Panjang (lebih pendek dari berdiri ke-3)
Ruku' ke-4 Tasbih Ruku' Panjang (lebih pendek dari ruku' ke-4)

Penting untuk dicatat bahwa penyebutan nama-nama surat di atas adalah anjuran berdasarkan hadis dan ijtihad ulama untuk menggambarkan betapa panjangnya bacaan yang disunnahkan. Jika seseorang tidak hafal surat-surat tersebut, ia boleh membaca surat atau ayat-ayat lain yang ia hafal, dengan tetap berusaha untuk memanjangkan durasi berdirinya. Inti dari shalat ini adalah kekhusyukan dan lamanya munajat kepada Allah selama tanda kebesaran-Nya sedang berlangsung.

Khutbah Setelah Shalat Gerhana

Setelah selesai melaksanakan shalat gerhana, disunnahkan bagi imam untuk menyampaikan khutbah kepada jamaah. Khutbah ini berfungsi sebagai pengingat (tazkirah) dan nasihat untuk meningkatkan ketakwaan. Berbeda dengan khutbah Jum'at yang menjadi syarat sah, khutbah gerhana hukumnya sunnah.

Isi khutbah gerhana sebaiknya mencakup beberapa poin penting berikut:

  1. Mengagungkan Allah SWT: Membuka khutbah dengan puji-pujian kepada Allah, mengakui kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya yang terlihat melalui fenomena gerhana.
  2. Mengingatkan Hakikat Gerhana: Menekankan kembali bahwa gerhana adalah tanda kekuasaan Allah, bukan karena kematian atau kehidupan seseorang. Ini merujuk pada hadis Nabi SAW ketika terjadi gerhana bertepatan dengan wafatnya putra beliau, Ibrahim. Beliau bersabda untuk meluruskan keyakinan masyarakat saat itu.
  3. Ajakan untuk Bertaubat (Istighfar): Mendorong jamaah untuk merenungi dosa-dosa dan kesalahan, serta bersegera memohon ampunan kepada Allah SWT. Gerhana menjadi momen introspeksi diri yang sangat kuat.
  4. Motivasi untuk Memperbanyak Amal Saleh: Menganjurkan jamaah untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas amal ibadah, khususnya:
    • Bersedekah: Mengeluarkan sebagian harta untuk membantu fakir miskin dan mereka yang membutuhkan. Sedekah diyakini dapat menolak bala.
    • Berdzikir: Memperbanyak ucapan tasbih (Subhanallah), tahlil (La ilaha illallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allahu Akbar).
    • Berdoa: Memanfaatkan waktu tersebut untuk memanjatkan doa dan permohonan kepada Allah, karena ini adalah waktu yang mustajab.
  5. Peringatan akan Hari Kiamat: Fenomena gerhana yang menggelapkan bulan dapat menjadi pengingat kecil akan dahsyatnya peristiwa hari kiamat, di mana matahari akan digulung dan bintang-bintang berjatuhan.

Khutbah ini dapat disampaikan dalam format satu kali khutbah atau dua kali khutbah seperti khutbah Jum'at (dipisah dengan duduk sejenak), kedua-duanya diperbolehkan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa pesan spiritual dari peristiwa gerhana benar-benar tersampaikan dan membekas di hati para jamaah.

Amalan-Amalan Lain yang Dianjurkan Saat Terjadi Gerhana

Selain shalat, Rasulullah SAW juga mencontohkan dan menganjurkan beberapa amalan lain untuk dilakukan selama periode gerhana bulan berlangsung. Amalan-amalan ini melengkapi ibadah shalat dan menyempurnakan respons spiritual seorang Muslim.

Semua amalan ini—shalat, doa, dzikir, istighfar, dan sedekah—merupakan satu paket ibadah yang komprehensif. Semuanya bertujuan untuk satu hal: mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengakui kelemahan di hadapan kekuasaan-Nya, dan meraih ampunan serta rahmat-Nya.

Penutup

Shalat gerhana bulan bukanlah sekadar ritual ibadah biasa. Ia adalah sebuah respons spiritual yang mendalam terhadap fenomena agung di alam semesta. Melalui tata caranya yang unik, dengan bacaan dan gerakan yang dipanjangkan, Islam mengajarkan umatnya untuk merenung, berintrospeksi, dan kembali kepada Sang Pencipta.

Setiap detail dari shalat ini, mulai dari niat, bacaan Al-Fatihah yang diulang, ruku' ganda dalam satu rakaat, hingga khutbah yang sarat makna, semuanya mengandung hikmah yang luar biasa. Ia mengajarkan kita untuk mengubah rasa takut dan cemas menjadi kekhusyukan dan harapan, serta mengubah fenomena alam menjadi ladang pahala.

Oleh karena itu, ketika Allah SWT kembali memperlihatkan tanda kebesaran-Nya melalui gerhana bulan, marilah kita hidupkan sunnah mulia ini. Ajak keluarga dan masyarakat untuk bersama-sama mendirikannya di masjid, mengisinya dengan dzikir dan doa, serta menjadikannya sebagai momentum untuk memperbaiki diri dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Semoga kita senantiasa diberi taufik untuk dapat mengamalkan sunnah-sunnah Nabi-Nya.

🏠 Kembali ke Homepage