Pendahuluan: Makna dan Konteks Surah An-Nisa

Surah An-Nisa merupakan surah keempat dalam Al-Qur'an, terdiri dari 176 ayat, dan termasuk dalam golongan surah Madaniyyah. Dinamakan "An-Nisa" yang berarti "Perempuan" karena surah ini secara ekstensif membahas berbagai aspek hukum yang mengatur hak-hak perempuan, aturan pernikahan, warisan, serta penanganan anak yatim. Penurunan surah ini terjadi setelah peristiwa Perang Uhud, di mana populasi laki-laki Muslim banyak yang gugur, meninggalkan banyak janda dan anak yatim, sehingga kebutuhan akan regulasi sosial dan ekonomi yang adil menjadi sangat mendesak.

Surah ini berfungsi sebagai konstitusi sosial dan keluarga bagi komunitas Muslim yang baru terbentuk di Madinah. Ia menyempurnakan hukum-hukum yang bersifat umum dan memberikan detail yang sangat spesifik, terutama mengenai distribusi kekayaan, perlindungan kaum yang rentan, dan penegasan prinsip-prinsip keadilan ilahi dalam interaksi antarmanusia.

Tiga Pilar Utama Surah

Secara garis besar, Surah An-Nisa dibangun di atas tiga pilar utama yang saling terkait:

  1. Hukum Keluarga dan Sosial (Ayat 1-43): Aturan detail tentang pernikahan, mahar, hak-hak istri, pemeliharaan anak yatim, dan pembagian warisan yang adil.
  2. Keadilan dan Integritas Umat (Ayat 44-140): Peringatan keras terhadap kemunafikan, penekanan pada kejujuran, keadilan dalam pengambilan keputusan (bahkan terhadap diri sendiri), serta hukum-hukum yang berkaitan dengan perang dan perdamaian.
  3. Tauhid dan Peringatan Ahli Kitab (Ayat 141-176): Penegasan keesaan Allah, bantahan terhadap klaim-klaim trinitas, dan penutup yang menguatkan kembali hukum warisan bagi kasus khusus (kalalah).

I. Fondasi Masyarakat dan Perlindungan Kaum Rentan (Ayat 1–14)

Surah An-Nisa dibuka dengan sebuah seruan universal yang monumental (Ayat 1), mengingatkan manusia akan asal mula penciptaan mereka dari satu jiwa, menekankan persaudaraan fundamental antara laki-laki dan perempuan, dan memerintahkan ketaatan kepada Allah dan kekerabatan.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ

Regulasi Pernikahan dan Anak Yatim (Ayat 2–6)

Ayat-ayat awal ini langsung menyasar permasalahan sosial yang paling rentan: anak yatim. Islam melarang keras penyelewengan harta anak yatim. Bahkan, Allah mengancam mereka yang memakan harta anak yatim secara zalim seolah-olah mereka memasukkan api ke dalam perut mereka. Ayat ini menetapkan standar moral dan finansial yang sangat tinggi bagi wali dan pengelola harta yatim.

Konteks poligami, yang sering disalahpahami, juga dibahas di sini. Poligami diizinkan (hingga empat istri) tetapi dengan syarat yang sangat ketat: keadilan absolut. Jika seseorang khawatir tidak dapat berlaku adil, maka ia wajib mencukupkan diri dengan satu istri. Ini bukan izin tanpa batas, melainkan pembatasan yang disertai tanggung jawab moral dan hukum yang berat.

Prinsip Keadilan: Persyaratan keadilan dalam poligami (`fain khiftum allā taʿdilū fawāḥidatan`) merupakan inti dari regulasi ini. Keadilan yang dimaksud mencakup keadilan materiil, tempat tinggal, dan waktu, meskipun keadilan emosional (cinta) diakui sulit dicapai sepenuhnya.

Hukum Warisan (Fara'idh) – Tiang Utama Keadilan Ekonomi (Ayat 7–14)

Hukum warisan (Fara'idh) yang dijelaskan dalam An-Nisa adalah salah satu inovasi hukum Islam terbesar dan paling rinci yang belum pernah ada dalam tradisi hukum sebelumnya. Sebelum Islam, perempuan dan anak-anak yang belum dewasa seringkali tidak mendapat hak waris. Surah ini menetapkan hak yang jelas dan pasti untuk perempuan (istri, ibu, anak perempuan, saudari) dan anak-anak.

Ayat-ayat 11, 12, dan 176 secara spesifik mengatur pembagian warisan, menentukan bagian-bagian tetap (ashabul furud) seperti setengah, seperempat, sepertiga, seperenam, dan seperdelapan. Analisis mendalam terhadap sistem warisan ini mengungkapkan kompleksitas dan ketelitian hukum Islam dalam memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya, tetapi terdistribusi ke seluruh anggota keluarga inti.

Sebagai contoh, bagian Istri: Jika pewaris memiliki anak, istri mendapat seperdelapan (1/8) dari harta; jika tidak memiliki anak, istri mendapat seperempat (1/4). Bagian Anak Perempuan: Jika hanya ada satu anak perempuan, ia mendapat setengah (1/2); jika dua atau lebih, mereka mendapat dua pertiga (2/3) bersama-sama.

Ilustrasi Timbangan Keadilan
Ilustrasi timbangan yang melambangkan keadilan yang dituntut dalam pembagian warisan (Fara'idh).

Penutup bagian ini adalah penegasan bahwa hukum-hukum ini adalah batasan (hudud) Allah. Barang siapa menaati-Nya akan dimasukkan ke dalam surga, dan barang siapa melanggar-Nya akan mendapatkan azab yang pedih. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang keadilan ekonomi dalam keluarga.

II. Hukum Keluarga dan Etika Interaksi (Ayat 15–43)

Bagian kedua surah ini bergeser ke regulasi pernikahan yang lebih luas, etika seksual, larangan-larangan dalam pernikahan, dan petunjuk-petunjuk ibadah (shalat dan wudhu).

Aturan dan Larangan Seksual (Ayat 15–25)

Ayat 15 dan 16 menetapkan hukuman awal untuk perzinahan, yang kemudian disempurnakan oleh Surah An-Nur. Yang terpenting di sini adalah transisi dari hukuman yang didasarkan pada penahanan atau hukuman fisik ringan (yang merupakan aturan awal sebelum hukum cambuk/rajam) menuju sistem hukum yang lebih komprehensif, mencerminkan evolusi hukum syariat.

Ayat 19 menekankan pentingnya perlakuan yang baik terhadap istri, bahkan jika suami tidak menyukainya. Ini adalah landasan etika Islam dalam rumah tangga, menekankan bahwa pernikahan didasarkan pada belas kasih (mawaddah wa rahmah), bukan sekadar hasrat. Surah ini juga secara eksplisit melarang praktik jahiliah di mana laki-laki mewarisi istri-istri mendiang ayah atau kerabat mereka.

Ayat 23 menetapkan daftar mahram (wanita yang haram dinikahi) secara rinci: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi (dari ayah dan ibu), keponakan, ibu susuan, saudara susuan, ibu mertua, dan anak tiri. Daftar ini bertujuan untuk menjaga kesucian garis keturunan dan hubungan keluarga.

Mahar, Izin, dan Pernikahan Sementara (Ayat 26–33)

Islam mewajibkan mahar (maskawin) sebagai hadiah wajib dari suami kepada istri, yang menjadi hak mutlak istri. Hal ini menunjukkan pengakuan Islam terhadap nilai dan kemandirian finansial seorang wanita. Ayat 29 melarang tindakan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah, mengaitkan perdagangan yang jujur dengan ketaqwaan, dan juga melarang bunuh diri.

Diskusi tentang warisan kembali muncul di ayat 33, mengingatkan bahwa setiap orang memiliki bagian dari apa yang ditinggalkan oleh orang tua dan kerabat, menegaskan kembali universalitas hukum warisan.

Tanggung Jawab Suami Istri (Ayat 34–35)

Ayat 34 adalah salah satu ayat yang paling banyak didiskusikan dalam hukum keluarga, membahas peran kepemimpinan suami (*qawwamun*) dan solusi bagi permasalahan rumah tangga (*nusyuz*). *Qawwamun* diinterpretasikan sebagai tanggung jawab untuk memimpin, melindungi, dan menafkahi secara finansial.

Terkait *nusyuz* (pembangkangan atau sikap negatif istri), ayat ini menawarkan solusi bertahap: (1) Nasihat, (2) Memisahkan tempat tidur, dan (3) Pukulan (yang oleh mayoritas ulama modern dilarang, atau diartikan sebagai sentuhan simbolis non-menyakitkan, jika semua solusi lain gagal dan hanya sebagai upaya terakhir sebelum perceraian). Ayat 35 segera menindaklanjuti dengan solusi mediasi, mewajibkan pengiriman dua hakim (satu dari pihak suami, satu dari pihak istri) untuk mencari solusi damai, menekankan bahwa rekonsiliasi adalah tujuan utama.

III. Tauhid, Ketaatan, dan Penghindaran Kemunafikan (Ayat 44–100)

Ancaman Syirik dan Pentingnya Amal Saleh (Ayat 48–57)

Ayat 48 adalah inti teologis surah ini, menyatakan dengan tegas bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (menyekutukan-Nya), tetapi mengampuni dosa-dosa lain bagi siapa yang Dia kehendaki. Ini adalah penekanan yang kuat pada Tauhid (Keesaan Allah) sebagai fondasi iman yang tak tergoyahkan.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ

Ayat 58 memberikan perintah fundamental tentang tanggung jawab publik dan keadilan: menyerahkan amanat kepada yang berhak dan menetapkan hukum dengan keadilan. Ini adalah perintah bagi setiap pemimpin, hakim, atau individu yang mengemban tugas publik.

Ketaatan dan Sumber Hukum (Ayat 59–69)

Ayat 59 sering disebut sebagai 'Ayat Ketaatan', yang memerintahkan ketaatan kepada Allah, Rasul, dan ulil amri (pemimpin yang berwenang) di antara umat Muslim. Jika terjadi perselisihan, umat Islam diperintahkan untuk mengembalikan keputusan kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah). Ini menetapkan hierarki sumber hukum Islam.

Ayat-ayat berikutnya mengecam keras kaum munafik yang pura-pura menerima hukum Islam tetapi mencari pengadilan kepada thaghut (kekuatan tiran atau yang bertentangan dengan syariat). Keikhlasan dalam menerima dan menerapkan syariat Allah adalah penentu keimanan sejati.

Hukum Jihad, Shalat dalam Perang, dan Hijrah (Ayat 71–100)

Ayat-ayat ini muncul dalam konteks peperangan dan konflik yang dihadapi Muslim di Madinah. Allah memerintahkan umat Islam untuk bersiap-siap dan menghadapi musuh. Ayat-ayat ini membedakan antara mereka yang enggan berperang (munafik atau yang lemah iman) dan mereka yang berjuang di jalan Allah. Surah ini menekankan bahwa kerugian materiil atau hilangnya nyawa di dunia adalah kecil jika dibandingkan dengan ganjaran akhirat.

Shalat Khauf (Shalat dalam Keadaan Takut)

Ayat 102 memberikan detail rinci tentang bagaimana melaksanakan shalat ketika berada di medan pertempuran (Shalat Khauf). Regulasi ini menunjukkan bahwa dalam keadaan apapun, koneksi dengan Allah melalui shalat tidak boleh terputus, namun syariat memberikan fleksibilitas untuk menyesuaikan tata cara shalat demi menjaga keselamatan prajurit.

Hukum Hijrah

Ayat 97-100 secara spesifik membahas mereka yang meninggal dalam keadaan tertindas dan belum sempat berhijrah dari negeri kafir. Ayat-ayat ini mengecam orang-orang yang mampu berhijrah tetapi memilih untuk tetap tinggal di lingkungan yang menindas iman mereka, kecuali mereka yang benar-benar lemah dan tidak berdaya. Sebaliknya, orang yang berhijrah di jalan Allah dijanjikan tempat kembali yang luas dan rezeki yang berlimpah, menunjukkan keutamaan meninggalkan zona nyaman demi menjaga keimanan.

IV. Keadilan Mutlak dan Kasus Pengkhianatan (Ayat 101–140)

Bagian ini sangat fokus pada keadilan dalam peradilan dan integritas moral, terutama dalam menghadapi fitnah dan perselisihan, diakhiri dengan peringatan keras terhadap kemunafikan.

Kisah Pencurian dan Kesaksian Palsu (Ayat 105–115)

Ayat 105 dan seterusnya diturunkan berkenaan dengan sebuah kasus terkenal yang melibatkan seorang laki-laki dari Bani Abraq bernama Thua'mah bin Ubairiq. Ia mencuri perisai dan menyembunyikannya di rumah seorang Yahudi. Ketika kejahatannya terungkap, keluarganya mencoba menipu Rasulullah SAW dengan mengalihkan tuduhan kepada Yahudi tersebut.

Allah menurunkan ayat-ayat ini untuk membimbing Nabi Muhammad SAW dalam memutuskan perkara ini, memerintahkan beliau untuk memutuskan berdasarkan apa yang Allah tunjukkan (kebenaran), dan memperingatkan agar tidak membela pengkhianat. Ayat ini menjadi dasar penting dalam hukum acara Islam, menekankan bahwa seorang hakim tidak boleh dipengaruhi oleh simpati kesukuan atau tekanan sosial, melainkan harus mencari kebenaran mutlak.

Ayat 115 memberikan peringatan serius: Siapa pun yang menentang Rasul setelah petunjuk jelas diberikan kepadanya, dan mengikuti jalan yang berbeda dari jalan orang-orang mukmin, maka Allah akan membiarkannya dalam kesesatan dan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam. Ini adalah peringatan keras tentang bahaya memecah belah umat dan menolak konsensus (ijma') atau petunjuk nabi.

Kemunafikan dan Persahabatan Terlarang (Ayat 135–140)

Ayat 135 adalah salah satu seruan paling agung untuk keadilan dalam Al-Qur'an. Ia memerintahkan orang-orang beriman untuk senantiasa menegakkan keadilan, bahkan jika hal itu merugikan diri sendiri, orang tua, atau kerabat dekat, baik yang kaya maupun miskin. Keadilan harus ditegakkan demi Allah, bukan demi kepentingan pribadi atau emosional.

Pernyataan Keadilan Mutlak: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (An-Nisa: 135)

Ayat 139–140 memperingatkan umat Islam agar tidak mengambil orang kafir atau munafik sebagai pelindung atau teman setia, meninggalkan mereka yang memperolok-olok ayat-ayat Allah. Ini adalah perintah untuk menjaga batas-batas identitas keimanan agar komunitas Muslim tidak tergerus oleh pengaruh yang merusak tauhid dan moralitas.

V. Penegasan Iman, Akhir Zaman, dan Penutup Hukum (Ayat 141–176)

Sifat-Sifat Kaum Munafik (Ayat 142–152)

Allah menggambarkan sifat-sifat kaum munafik secara rinci. Mereka shalat dengan malas, riya’ (pamer), dan sedikit sekali mengingat Allah. Mereka seringkali berada dalam posisi bimbang, tidak sepenuhnya kepada kaum Mukmin, dan tidak pula sepenuhnya kepada kaum kafir. Allah menetapkan bahwa kaum munafik akan berada di tingkat neraka yang paling bawah karena pengkhianatan spiritual mereka.

Ayat 152 memberikan janji surga kepada mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak membeda-bedakan antara para rasul (yaitu menerima seluruh nabi yang diutus Allah, termasuk Musa dan Isa), menunjukkan universalitas risalah Islam.

Menjawab Keraguan Ahli Kitab (Ayat 153–175)

Bagian akhir surah ini adalah dialog teologis dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), menanggapi klaim-klaim mereka dan mengoreksi keyakinan yang menyimpang mengenai para nabi.

Klaim Yahudi

Ayat 153 menyebutkan tuntutan orang-orang Yahudi kepada Nabi Musa untuk melihat Allah secara langsung, dan kutukan yang menimpa mereka karena keingkaran dan penolakan mereka terhadap nabi-nabi, seperti tuduhan palsu terhadap Maryam dan klaim mereka telah membunuh Isa Al-Masih.

Koreksi Mengenai Nabi Isa (Yesus)

Ayat 171-172 adalah sanggahan definitif Islam terhadap Trinitas dan anggapan ketuhanan Nabi Isa. Al-Qur'an menyatakan dengan tegas bahwa Isa Al-Masih adalah utusan Allah dan Kalimat-Nya, yang disampaikan kepada Maryam, serta Roh dari-Nya. Allah memperingatkan Ahli Kitab agar tidak berlebihan dalam agama mereka (*ghuluw*) dan menegaskan bahwa Allah adalah Esa. Isa tidak pernah enggan menjadi hamba Allah, begitu pula para malaikat yang terdekat.

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ

Pengajaran ini penting karena ia menetapkan batasan yang jelas dalam doktrin Islam: Isa adalah nabi dan manusia mulia, tetapi bukan tuhan atau anak tuhan. Tujuan utama dari bantahan ini adalah untuk mengembalikan umat manusia kepada konsep Tauhid yang murni.

Penutup dan Hukum Kalalah (Ayat 176)

Surah An-Nisa ditutup dengan ayat yang merinci hukum warisan dalam kasus kalalah. *Kalalah* adalah kondisi di mana seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah atau anak (keturunan langsung). Ayat 176 ini menyempurnakan hukum warisan yang telah dijelaskan pada awal surah (Ayat 12) yang berbicara tentang kalalah dari pihak ibu, sementara ayat penutup ini fokus pada warisan dari pihak saudara-saudara (Ayat 176).

Jika pewaris adalah seorang laki-laki yang meninggal tanpa anak dan tanpa ayah, dan ia memiliki saudara perempuan, maka: Saudara perempuan tunggal mendapat setengah (1/2). Jika saudara perempuannya dua atau lebih, mereka mendapat dua pertiga (2/3). Jika yang mewarisi adalah saudara laki-laki dan perempuan, mereka berbagi berdasarkan hukum "bagian laki-laki dua kali bagian perempuan." Penutupan surah dengan penegasan detail hukum warisan ini menggarisbawahi pentingnya keadilan distribusi harta dalam pandangan Islam.

Analisis Tematik Mendalam dan Aplikasi Hukum

Kedalaman Surah An-Nisa terletak pada bagaimana ia menjembatani antara hukum (Fiqh) dan moralitas (Akhlaq). Hampir setiap ayat hukum diapit oleh peringatan tentang ketaqwaan kepada Allah, kesadaran akan pengawasan-Nya, dan ganjaran akhirat.

A. Hukum Fiqh Keluarga dan Yatim

An-Nisa adalah sumber utama bagi Fiqh Keluarga. Hukum yang terkandung di dalamnya menciptakan struktur perlindungan sosial yang kuat. Misalnya, dalam konteks harta anak yatim, Surah ini mengajarkan bahwa walinya harus mengembalikan harta tersebut dalam kondisi yang terbaik ketika si anak telah mencapai usia balig dan dianggap mampu mengelolanya secara rasional (rushd). Ini bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga tanggung jawab pendidikan dan moral.

Penjelasan rinci tentang mahar (maskawin) juga penting. Mahar harus diberikan atas dasar kesukarelaan (*nihlatan*), bukan sebagai harga beli, melainkan simbol komitmen dan penghormatan terhadap martabat wanita. Hukum ini membedakan pernikahan Islami dari praktik-praktik kuno yang memperlakukan wanita sebagai properti.

B. Penguatan Status Perempuan dalam Sejarah

Surah An-Nisa secara radikal mengubah status perempuan di Jazirah Arab. Sebelum turunnya surah ini, perempuan dianggap sebagai barang warisan dan seringkali tidak memiliki hak hukum atas properti. An-Nisa memberikan perempuan identitas hukum finansial yang independen—mereka berhak menerima mahar, mereka berhak mewarisi, dan mereka bebas mengelola harta mereka sendiri.

Perlakuan terhadap janda dan wanita yang diceraikan juga diatur dengan prinsip kebaikan (ma'ruf). Meskipun Surah ini memberikan hak cerai kepada suami, ia juga menuntut kebaikan dan larangan mengambil kembali mahar yang telah diberikan tanpa alasan yang sah dan disepakati. Bahkan dalam kondisi perselisihan, mediasi selalu didahulukan.

C. Peran Keadilan dalam Komunitas

Keadilan, atau *adl*, adalah benang merah yang mengikat seluruh surah. Tuntutan untuk bersikap adil dalam warisan, adil dalam poligami, adil dalam bersaksi, dan adil dalam menghakimi (Ayat 135) menunjukkan bahwa Islam tidak mentolerir standar ganda atau parsialitas emosional. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran objektif, bukan pada perasaan suka atau benci. Dalam kasus pengkhianatan (seperti kisah Thua'mah), Allah campur tangan secara langsung untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan bahkan jika pengkhianat berasal dari kalangan Muslim.

D. Hubungan Antar Agama dan Tauhid

Surah An-Nisa memberikan pelajaran penting tentang bagaimana berinteraksi dengan Ahli Kitab. Walaupun mengecam keras praktik kemunafikan dan kesesatan dalam doktrin (terutama *ghuluw* atau berlebihan dalam memuliakan Isa), Surah ini tidak memerintahkan permusuhan tanpa sebab, melainkan menuntut klarifikasi kebenaran teologis. Penegasan bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah berfungsi sebagai fondasi untuk menjaga kemurnian Tauhid umat Muslim dari segala bentuk penyekutuan.

E. Konsekuensi Hukum (Fiqh Jinayat)

Surah ini juga menyentuh aspek hukum pidana. Selain hukuman awal untuk perzinahan, ia menetapkan hukum bagi pembunuhan yang tidak disengaja (*qatlul khata')*. Pembunuh yang tidak sengaja harus membayar diyat (denda darah) kepada keluarga korban dan memerdekakan budak mukmin. Jika tidak mampu memerdekakan budak, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam kasus kesalahan murni, terdapat tanggung jawab spiritual dan finansial yang harus dipikul, menjamin keseimbangan antara hukuman dan penebusan dosa.

Secara keseluruhan, Surah An-Nisa adalah manifestasi dari Syariat yang komprehensif, mengatur kehidupan pribadi, sosial, ekonomi, dan politik seorang Muslim. Setiap ayat adalah sebuah hukum yang membentuk fondasi masyarakat yang adil, di mana hak-hak setiap individu, terutama yang lemah (yatim dan perempuan), terlindungi di bawah payung Ketaqwaan kepada Sang Pencipta.

VI. Ekstensifikasi Fiqh Warisan (Ayat 11, 12, dan 176)

Detail Ahli Waris Tertentu (Ashabul Furud)

Surah An-Nisa bukan sekadar memberikan persentase; ia menciptakan sebuah sistem yang meniadakan interpretasi subjektif. Hukum warisan adalah satu-satunya bagian dalam Al-Qur'an yang sangat detail mengenai pembagian persentase. Ini mencerminkan kehendak Allah untuk menghilangkan perselisihan keluarga mengenai harta.

1. Hak Anak Perempuan (Ayat 11)

Jika pewaris meninggalkan hanya satu anak perempuan, ia mendapat 1/2. Jika dua atau lebih, mereka berbagi 2/3. Ini adalah revolusi, karena anak perempuan kini memiliki bagian yang ditetapkan, terlepas dari keberadaan anak laki-laki. Jika ada anak laki-laki, anak perempuan mendapat sisa warisan (*asobah*) bersama anak laki-laki, dengan perbandingan 2:1. Ulama Fiqh menekankan bahwa jatah anak laki-laki yang dua kali lipat bukan karena superioritas, melainkan karena kewajiban finansial utama (memberi nafkah) seluruh keluarga berada di pundak laki-laki.

2. Hak Orang Tua (Ayat 11)

Orang tua mendapatkan bagian yang berbeda tergantung keberadaan anak pewaris. Jika pewaris memiliki anak, masing-masing ayah dan ibu mendapat 1/6. Jika pewaris tidak memiliki anak, ibu mendapat 1/3, dan sisanya (2/3) menjadi hak ayah. Namun, jika ada beberapa saudara (meskipun tidak mendapat bagian karena ada ayah), bagian ibu akan berkurang dari 1/3 menjadi 1/6 (masalah *hajjab* atau penghalang). Ini menunjukkan kerumitan sistematis yang bertujuan untuk menyeimbangkan hak setiap anggota keluarga.

3. Hak Suami dan Istri (Ayat 12)

Suami mendapatkan 1/2 jika istri meninggal tanpa anak, dan 1/4 jika istri meninggal meninggalkan anak. Istri (baik satu maupun lebih) mendapat 1/4 jika suami meninggal tanpa anak, dan 1/8 jika suami meninggal meninggalkan anak. Pembagian ini konsisten dan tidak berubah oleh ahli waris lain, kecuali dalam kasus khusus yang langka.

Konsep 'Kalalah' dan Perselisihan Awal

Ayat 12 dan 176 sama-sama berbicara tentang *kalalah*, tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Ayat 12 membahas *kalalah* dari jalur ibu (saudara seibu). Ayat 176 membahas *kalalah* dari jalur ayah (saudara sekandung atau seayah). Perbedaan ini menunjukkan betapa hati-hatinya syariat dalam membagi harta berdasarkan tingkat kedekatan hubungan darah.

Saudara seibu (kalalah dari ibu) mendapatkan bagian yang sama tanpa memandang jenis kelamin (laki-laki atau perempuan), yaitu 1/6 untuk satu orang, dan 1/3 untuk dua orang atau lebih. Sementara saudara sekandung/seayah (kalalah dari ayah) mengikuti aturan 2:1. Abu Bakar Ash-Shiddiq RA pernah menyatakan bahwa tidak ada ayat yang lebih sulit baginya selain ayat *kalalah* ini, menunjukkan kedalaman dan kerumitan interpretasi hukum warisan.

VII. Interpretasi Mendalam Ayat 34 (Qawwamun dan Nusyuz)

Definisi Qawwamun

Ayat 34, "Laki-laki (suami) adalah *qawwamun* (pemimpin, pelindung, penanggung jawab) atas perempuan," tidak dapat dipisahkan dari alasan-alasannya: “karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (suami) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Para mufasir klasik (seperti At-Thabari dan Ibnu Katsir) sepakat bahwa *qawwamun* melibatkan dua aspek utama: keunggulan alami (yang dipahami sebagai tanggung jawab kepemimpinan dan kekuatan fisik/mental dalam keadaan darurat) dan keunggulan finansial (kewajiban mutlak suami menafkahi istri dan keluarga, bahkan jika istri adalah wanita kaya raya).

Kepemimpinan ini bersifat fungsional, yakni kepemimpinan manajemen dalam rumah tangga, bukan superioritas nilai atau spiritual. Jika suami gagal memenuhi tanggung jawab finansial atau moralnya, status *qawwamun*-nya bisa dipertanyakan oleh istri melalui jalur peradilan (fiqh) hingga berujung pada perceraian (fasakh).

Tahapan Penyelesaian Nusyuz

Surah An-Nisa memberikan proses yang terstruktur untuk mengatasi *nusyuz* (pembangkangan atau penyelewengan tugas) istri, menekankan resolusi damai:

  1. Nasihat (*Al-Wa'dh*): Harus dilakukan dengan kata-kata yang lembut dan penuh kasih sayang. Ini adalah tahap wajib pertama.
  2. Pisah Ranjang (*Al-Hajr fil Madaji’*): Mengurangi interaksi fisik sebagai bentuk teguran. Ini harus tetap di dalam rumah yang sama untuk menghindari penyebaran masalah.
  3. Pukulan/Teguran Simbolis (*Ad-Darb ghayru mubarih*): Ini adalah tahapan yang paling kontroversial dan paling ketat dalam syariat. Mayoritas ulama modern, mengacu pada hadis yang melarang Nabi memukul siapa pun, menafsirkan ini sebagai teguran non-menyakitkan, simbolis, atau bahkan secara efektif dilarang di masyarakat modern yang dapat menimbulkan kekerasan. Tujuannya adalah membangunkan istri dari sikap buruk, bukan menyakiti.

Perlu dicatat, Ayat 35 segera menyusul, menekankan bahwa jika perselisihan berlanjut, intervensi pihak luar (mediator/hakim) wajib dilakukan, menunjukkan bahwa masalah rumah tangga adalah tanggung jawab sosial, bukan hanya pribadi, dan kekerasan domestik bukanlah solusi syar'i.

VIII. Fiqh Pidana dan Pembunuhan Tidak Sengaja (Ayat 92–93)

Surah An-Nisa menyajikan panduan rinci mengenai kategori pembunuhan, terutama pembunuhan yang tidak disengaja (*qatlul khata'*) dalam Ayat 92. Ayat ini turun dalam konteks Muslim yang mungkin secara tidak sengaja membunuh Muslim lain dalam kabut perang atau kekeliruan identifikasi.

Kompensasi dan Penebusan Dosa

Ayat 92 menetapkan dua kewajiban bagi pembunuhan tidak sengaja terhadap seorang mukmin:

  1. Diyat (*Diyatun Musallamatun*): Pembayaran denda darah yang harus diserahkan kepada keluarga korban. Tujuan diyat adalah kompensasi finansial untuk hilangnya nyawa.
  2. Kaffarah (Penebusan Dosa): Kewajiban memerdekakan budak mukmin. Jika tidak ditemukan atau tidak mampu, kaffarah diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut. Ini adalah dimensi spiritual, di mana pelaku menebus kesalahannya di hadapan Allah.

Peraturan ini menunjukkan bahwa nyawa seorang Mukmin memiliki nilai yang sangat tinggi. Kesalahan, meskipun tidak disengaja, tetap memiliki konsekuensi hukum dan spiritual yang serius.

Ancaman Pembunuhan Sengaja

Berbeda dengan pembunuhan tidak sengaja, Ayat 93 memberikan hukuman yang sangat keras bagi pembunuhan sengaja terhadap seorang Mukmin: neraka Jahannam yang kekal, serta laknat dan azab yang besar dari Allah. Ayat ini menegaskan kesucian nyawa manusia dan memposisikan pembunuhan sengaja sebagai dosa besar yang sangat sulit diampuni, setara dengan melanggar batas-batas Allah secara fundamental.

IX. Integrasi Keadilan Sosial dan Spiritual

Hubungan Baik dengan Tetangga dan Sesama (Ayat 36)

Ayat 36 adalah ringkasan luar biasa dari etika sosial Islam, yang memerintahkan ketaatan kepada Allah dan berbuat baik kepada berbagai kategori masyarakat, termasuk:

  • Orang tua dan kerabat.
  • Anak yatim dan orang miskin (*masakin*).
  • Tetangga dekat dan tetangga jauh.
  • Teman sejawat dan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal).
  • Budak yang dimiliki (yang kemudian dihilangkan seiring pelarangan perbudakan).

Perintah berbuat baik kepada tetangga, baik yang dekat maupun yang jauh, melampaui batas-batas keluarga inti, menciptakan jaring pengaman sosial yang luas. Ayat ini menutup dengan peringatan bahwa Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri, menekankan bahwa sedekah dan kebaikan harus dilakukan dengan kerendahan hati dan keikhlasan.

Larangan Kikir dan Riya' (Ayat 37–38)

Allah mengecam mereka yang kikir, menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah. Yang lebih buruk adalah mereka yang menafkahkan hartanya karena riya’ (pamer) kepada manusia, tanpa iman kepada Allah dan Hari Akhir. Surah An-Nisa menghubungkan tindakan finansial dan sosial secara langsung dengan kondisi spiritual seseorang. Nafkah dan sedekah harus murni karena Allah, jika tidak, tindakan tersebut tidak memiliki nilai spiritual dan merupakan ciri khas kaum munafik.

Ilustrasi Simbol Keluarga dan Kemanusiaan
Ilustrasi yang menunjukkan perlindungan dan jalinan hubungan dalam keluarga dan masyarakat, tema sentral Surah An-Nisa.

Keseluruhan Surah An-Nisa, dari awal hingga akhir, adalah panggilan untuk membangun sebuah masyarakat yang didasarkan pada Tauhid yang murni, di mana setiap hak individu terjamin melalui hukum yang detail dan ditegakkan oleh moralitas yang tinggi, sehingga mencapai keadilan sosial dan spiritual secara holistik.