Sebuah Kajian Komprehensif Mengenai Ayat-ayat yang Samar dalam Kitabullah
Al-Quran, sumber utama syariat dan petunjuk bagi umat manusia, memiliki struktur bahasa dan makna yang sangat mendalam. Dalam kajian Ushuluddin (dasar-dasar agama) dan Ulumul Quran (ilmu-ilmu Al-Quran), para ulama membagi ayat-ayat dalam mushaf menjadi dua kategori utama yang memiliki implikasi besar terhadap akidah dan fikih: *Ayat Muhkamat* dan *Ayat Mutasyabihat*.
Ayat Muhkamat (ayat-ayat yang jelas) adalah ayat yang maknanya tunggal, tegas, dan mudah dipahami, sehingga tidak memerlukan interpretasi mendalam dan menjadi landasan hukum yang pasti. Sebaliknya, Ayat Mutasyabihat (ayat-ayat yang samar/allegoris) adalah ayat-ayat yang maknanya bisa ditafsirkan dalam berbagai cara, atau maknanya tersembunyi, sehingga menimbulkan tantangan intelektual dan spiritual bagi orang-orang yang mengkajinya.
Perbedaan mendasar antara kedua jenis ayat ini bukanlah sekadar masalah linguistik, melainkan inti dari perdebatan teologis terbesar dalam sejarah Islam, terutama terkait dengan sifat-sifat Allah (Sifatullah). Bagaimana umat Islam seharusnya mendekati dan memahami ayat-ayat yang secara harfiah dapat diartikan sebagai menyerupai sifat makhluk (antropomorfisme), sementara akidah mengajarkan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya (*tanzih*)?
Pembagian ini secara eksplisit disebutkan dalam Surah Ali Imran, ayat 7, yang merupakan poros utama dalam diskusi ini. Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: "Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat itu, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal."
Ayat ini menetapkan kerangka teologis: ada yang jelas (*ummul kitab*), ada yang samar. Ayat ini juga memberikan peringatan keras kepada mereka yang sengaja mengejar makna samar untuk tujuan menimbulkan kekacauan (*fitnah*).
Secara bahasa, *mutasyabih* berasal dari kata *syabaha* yang berarti menyerupai atau serupa. Dalam konteks Al-Quran, mutasyabihat adalah ayat-ayat yang memiliki kemiripan makna atau kemiripan lafaz yang dapat membingungkan, sehingga memerlukan penentuan makna yang tepat.
Para ulama memiliki pandangan berbeda mengenai sejauh mana kategorisasi mutasyabihat itu meluas. Sebagian kecil berpendapat seluruh Al-Quran adalah muhkam karena ia adalah kitab yang jelas. Namun, pandangan mayoritas, yang didukung oleh Ali Imran 7, membagi kitab ini secara proporsional.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa mutasyabihat bukan berarti tidak ada maknanya sama sekali, melainkan bahwa maknanya tidak dapat dipahami secara langsung atau harfiah tanpa risiko penyimpangan akidah (khususnya dalam Sifatullah) atau tanpa alat tafsir yang memadai (dalam hukum/kisah).
Para mufasir dan ahli ushul fiqh mengklasifikasikan mutasyabihat berdasarkan sumber ketidakjelasan, yang dapat dibagi menjadi tiga kategori utama:
Ini terkait dengan struktur linguistik dan semantik kata-kata. Ketidakjelasan muncul karena:
Ini adalah jenis mutasyabihat yang paling penting dan paling sering diperdebatkan dalam ilmu kalam (teologi). Ketidakjelasan ini terjadi karena konsep yang dibahas melampaui kemampuan nalar manusia, seperti:
Meskipun jarang, sebagian ulama memasukkan ayat-ayat hukum yang menjadi samar karena adanya proses *Naskh* (penghapusan hukum) atau karena adanya pertentangan makna zahir (eksplisit) dengan makna batin (implisit) ayat lain, yang memerlukan ijtihad mendalam untuk penyelesaiannya.
Ayat mutasyabihat memunculkan tantangan akidah yang mendasar: bagaimana kita memahami sifat-sifat Tuhan yang dikaitkan dengan bahasa manusia (misalnya, tangan, wajah, mata) tanpa jatuh ke dalam perangkap tasybih (penyerupaan) atau tajsim (penggambaran fisik)? Perdebatan inilah yang melahirkan dua mazhab metodologi tafsir utama yang sangat berpengaruh dalam sejarah Islam.
Mazhab Tafwidh dipegang teguh oleh mayoritas ulama Salafush Shalih (generasi awal Islam, termasuk Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in) serta ulama Hanbali dan sering dikaitkan dengan madrasah Ahli Hadis. Inti dari Tafwidh adalah:
Tafwidh berarti menyerahkan sepenuhnya makna hakiki dari ayat-ayat mutasyabihat, terutama yang berkaitan dengan Sifatullah, hanya kepada Allah SWT. Mereka menerima lafaz (kata-kata) sebagaimana adanya, meyakini keberadaannya, namun menafikan *kayfiyyah* (bagaimana/cara)-nya dan menyerahkan *maknanya* kepada Allah.
Ketika ditanya mengenai firman Allah, *“Ar-Rahman di atas Arsy bersemayam (Istiwā’),”* Imam Malik menjawab: “Istiwā’ itu maklum (diketahui lafaznya), bagaimana (kayfiyyah)-nya tidak diketahui, beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”
Pendukung Tafwidh merujuk pada pemahaman bahwa generasi Salaf, yang paling memahami bahasa Arab dan konteks turunnya wahyu, tidak pernah terlibat dalam interpretasi filosofis yang mendalam terhadap Sifatullah. Mereka merasa puas hanya dengan mengatakan, "Kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Tuhan kami." Selain itu, mereka berargumen bahwa bagian kedua dari Ali Imran 7: *"...padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah,"* menunjukkan bahwa hanya Allah yang mengetahui makna hakiki dari ayat mutasyabihat.
Mazhab Ta’wil dikembangkan oleh ulama Khalaf (generasi setelah Salaf), terutama dalam menghadapi ancaman filosofis dan teologis dari luar (seperti Mu'tazilah, Jahmiyyah, dan filsafat Yunani). Pendekatan ini dianut oleh sebagian besar ulama Asy'ariyyah dan Maturidiyyah, yang menjadi mazhab teologi mayoritas umat Islam.
Ta’wil berarti menginterpretasikan makna zahir (eksplisit) dari suatu ayat mutasyabih kepada makna batin (implisit) yang memungkinkan, yang sejalan dengan ayat-ayat muhkamat dan prinsip dasar akidah *Tanzih* (kemahasucian Allah).
Tujuan Ta’wil adalah mencegah orang awam memahami ayat-ayat mutasyabihat secara harfiah, yang dapat menyebabkan mereka menyamakan Allah dengan makhluk (Tasybih). Ta’wil dilakukan jika ada *Dharurah* (kebutuhan mendesak) untuk menjauhkan pemahaman yang salah.
Inti perbedaan Tafwidh dan Ta’wil terletak pada pembacaan ayat Ali Imran 7:
Ayat tersebut berbunyi: *“Wa mā ya‘lamu ta’wīlahu illallāh (Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah). Wa ar-Rāsikhūna fil ‘Ilmi (Dan orang-orang yang mendalam ilmunya) yaqūlūna āmannā bih (berkata: Kami beriman kepadanya)...”*
Meskipun terdapat perbedaan interpretasi linguistik ini, pada hakikatnya, kedua mazhab ini memiliki tujuan yang sama: *Tanzih* (mensucikan) Allah dari segala kekurangan dan kemiripan dengan makhluk.
Sebagian besar perdebatan mengenai mutasyabihat berpusat pada ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Allah menggunakan istilah-istilah fisik manusia. Untuk memahami bagaimana Tafwidh dan Ta’wil diterapkan, kita perlu melihat contoh spesifik:
Contoh: Firman Allah, *“Tangan Allah di atas tangan mereka…”* (Al-Fath: 10) dan *“Apa yang Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku (Yadayya)?”* (Shaad: 75).
Contoh: Firman Allah, *“Ar-Rahman (Allah) bersemayam di atas Arsy.”* (Thaha: 5).
Kata *Istiwā’* secara bahasa memiliki beberapa makna, termasuk duduk, menaik, menguasai, atau menetap.
Contoh: Firman Allah, *“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”* (Ar-Rahman: 27).
Penting untuk dicatat bahwa dalam kedua pendekatan ini, baik Salaf maupun Khalaf, akidah yang paling mendasar adalah *Laysa kamislihi syai'un* (Tidak ada satupun yang menyerupai Dia) (Asy-Syura: 11). Perbedaannya hanyalah pada metode penanganan teks yang dapat mengarah pada Tasybih jika dipahami secara dangkal.
Jika Allah Maha Mampu menurunkan seluruh Al-Quran dalam bentuk Muhkamat yang mudah dipahami, mengapa Dia memilih untuk menyertakan ayat-ayat Mutasyabihat yang berpotensi menimbulkan kebingungan dan perdebatan? Para ulama telah mengidentifikasi beberapa hikmah besar di balik hal ini:
Ayat mutasyabihat berfungsi sebagai ujian bagi keimanan. Ujian ini terbagi dua:
Jika semua ayat Muhkamat, maka upaya intelektual dalam memahami Al-Quran akan terbatas. Ayat mutasyabihat memaksa para ulama untuk melakukan penelitian, menggali bahasa Arab secara mendalam, mempelajari konteks, dan menggunakan instrumen ushul fiqh untuk mencari keselarasan antara ayat yang samar dan ayat yang jelas.
Proses ini melahirkan disiplin ilmu teologi (*Ilmu Kalam*) dan Ushuluddin, yang memastikan teks suci tetap relevan dan terpelihara dari interpretasi yang menyimpang, sekaligus mendorong pertumbuhan intelektual umat.
Ayat mutasyabihat, terutama tentang Sifatullah, menjaga misteri dan keagungan Allah. Jika Allah digambarkan dalam istilah yang terlalu jelas dan terperinci, dikhawatirkan manusia akan membuat batasan atau gambaran fisik yang merusak konsep ketauhidan mutlak.
Dengan menggunakan istilah yang ambigu (seperti Tangan atau Istiwā’), Allah mengingatkan bahwa Zat-Nya melampaui segala deskripsi yang dapat dijangkau oleh bahasa manusia. Keterbatasan pemahaman ini adalah bukti kebesaran Allah.
Ayat mutasyabihat menunjukkan kedalaman dan kekayaan bahasa Al-Quran. Ia menggunakan bahasa sehari-hari (seperti tangan, wajah) untuk menyampaikan konsep transenden, yang hanya dapat dipecahkan oleh ahli bahasa dan teolog yang mendalam ilmunya. Ini membuktikan bahwa bahasa Al-Quran adalah bahasa yang paling fleksibel dan kaya, sanggup menampung hukum yang jelas sekaligus misteri yang abadi.
Ayat Ali Imran 7 secara tegas memperingatkan bahaya mengejar ayat mutasyabihat. Sejarah teologi Islam menunjukkan bahwa penyalahgunaan metodologi dalam menafsirkan ayat-ayat ini seringkali menjadi akar dari penyimpangan akidah, yang secara umum terbagi menjadi dua ekstrem:
Ini adalah kecenderungan untuk memahami mutasyabihat (terutama Sifatullah) secara harfiah tanpa menerapkan *Tanzih*. Kelompok yang terlalu kaku dalam menolak Ta’wil bisa terjebak pada pemahaman bahwa Allah memiliki anggota badan fisik, dimensi, atau bergerak di ruang tertentu, sama seperti makhluk.
Penolakan total terhadap semua bentuk Ta’wil, bahkan Ta’wil Ijmali (Ta’wil yang umum), bisa mengakibatkan pemahaman yang secara implisit menyamakan Khaliq (Pencipta) dengan makhluk-Nya. Ini adalah penyimpangan serius terhadap prinsip dasar tauhid.
Ini adalah kecenderungan berlebihan dalam melakukan Ta’wil filosofis, hingga meniadakan atau menolak sifat-sifat yang telah ditetapkan secara jelas bagi Allah dalam Al-Quran dan Sunnah. Kelompok seperti Mu'tazilah, dalam upaya mereka untuk mensucikan Allah secara mutlak, menolak Sifatullah yang 'azali' (kekal) karena khawatir menimbulkan pluralitas pada Zat Allah.
Dalam Ta’til, sifat-sifat Allah ditafsirkan sedemikian rupa sehingga maknanya benar-benar hilang, bahkan yang seharusnya diterima secara akal dan nash. Hal ini bertentangan dengan Ijma’ (konsensus) ulama yang menyatakan bahwa kita wajib menetapkan sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam wahyu, meskipun kita tidak mengetahui *kayfiyyah*-nya.
Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah (baik madrasah Salaf maupun Khalaf yang moderat) selalu berusaha berada di antara dua ekstrem tersebut. Prinsip mereka adalah *Itsbat bi lā Takyif wa lā Tamtsil* (Menetapkan [sifat Allah] tanpa bertanya bagaimana caranya dan tanpa menyerupakannya [dengan makhluk]).
Sikap moderat adalah menerima Tafwidh dalam hal *Kayfiyyah* (cara/bentuk) dan menerima Ta’wil (jika diperlukan untuk melindungi akidah awam) dalam hal *Makna* (interpretasi linguistik yang sah), selama Ta’wil tersebut tidak mengarah pada Ta’til.
Untuk memahami kompleksitas Ayat Mutasyabihat, kita harus menggali lebih dalam alasan di balik setiap metode dan kapan masing-masing metode dianggap lebih unggul.
Pilihan Salaf untuk Tafwidh didasarkan pada keinginan untuk menjaga kemurnian wahyu dari spekulasi manusia. Mereka berkeyakinan bahwa jika Allah ingin kita mengetahui makna hakiki dari sifat-sifat-Nya yang agung, Dia pasti akan menyampaikannya melalui Nabi Muhammad ﷺ secara gamblang.
Ketika generasi Salaf dihadapkan pada ayat seperti *Istiwā’*, mereka merasa bahwa upaya mencari makna tersembunyi dapat menyebabkan tiga bahaya: pertama, menetapkan makna yang tidak dimaksudkan Allah; kedua, membuat batas pada Zat Ilahi; dan ketiga, membuka pintu ijtihad teologis bagi orang yang tidak kompeten, yang akhirnya melahirkan firqah (sekte) menyimpang.
Tafwidh adalah bentuk ketaatan tertinggi: mengakui keterbatasan akal dan menyerahkan urusan ghaib kepada Yang Maha Mengetahui. Metode ini sangat efektif pada masa awal Islam di mana akidah masih kuat dan belum terkontaminasi oleh filsafat asing.
Pilihan Khalaf untuk Ta’wil muncul sebagai respon terhadap perubahan zaman dan ancaman intelektual. Pada masa dinasti Abbasiyah, Islam berinteraksi dengan filsafat Yunani (terutama Aristoteles dan Plato) yang menuntut pembuktian logis (rasionalisme) terhadap konsep keagamaan.
Gerakan Mu'tazilah, yang sangat menekankan akal, mulai menafsirkan mutasyabihat secara ekstrem, bahkan Ta’til. Dalam konteks ini, ulama seperti Abu Hasan Al-Asy’ari (pendiri Asy’ariyyah) dan Abu Manshur Al-Maturidi (pendiri Maturidiyyah) harus mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan alat rasional yang sama.
Mereka berargumen bahwa Ta’wil yang terkendali adalah keharusan (Dharurah) untuk melindungi akidah umat awam yang, jika membaca ayat "Tangan Allah," dapat langsung membayangkan organ fisik. Ta’wil berfungsi sebagai benteng yang mencegah kesesatan massal dalam pemahaman Tauhid.
Penting untuk membedakan antara jenis-jenis Ta’wil. Ta’wil yang diizinkan oleh ulama moderat (seperti Asy’ariyyah) harus didasarkan pada bukti linguistik yang kuat (*Ta’wil Majazi*), bukan spekulasi murni. Misalnya, menafsirkan 'Tangan' sebagai 'Kekuatan' adalah Majaz (metafora) yang dikenal luas dalam bahasa Arab. Mereka menolak *Ta’wil Haqiqi* (penafsiran yang bertentangan dengan makna asli tanpa dasar yang kuat).
Pada akhirnya, kedua mazhab ini mengakui adanya ayat mutasyabihat dan bersepakat bahwa mustahil Allah menyerupai makhluk-Nya. Perbedaan mereka adalah perbedaan metodologi dalam mengamankan prinsip Tanzih tersebut.
Meskipun mutasyabihat paling sering dibahas dalam konteks teologi (Sifatullah), ia juga memiliki implikasi signifikan dalam bidang Ushul Fiqh (metodologi hukum Islam), terutama dalam penentuan makna dalil-dalil hukum.
Dalam Ushul Fiqh, ketika sebuah dalil hukum (ayat Al-Quran atau hadis) bersifat mutasyabih karena polisemi (banyak arti) atau karena konflik dengan dalil lain, dalil tersebut tidak dapat langsung digunakan sebagai dasar hukum qath’i (pasti). Ia memerlukan proses *Istinbath* (penggalian hukum) melalui dalil muhkam yang lain.
Contoh: Kata *Al-Quru’* dalam ayat tentang masa iddah wanita yang bercerai (Al-Baqarah: 228). Kata ini secara bahasa bisa berarti *suci* (setelah haid) atau *haid* itu sendiri. Karena ketidakjelasan ini, ulama mazhab (Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hanbali) berbeda pandangan mengenai berapa lama iddah harus dihitung, yang menunjukkan bagaimana mutasyabihat melahirkan keragaman fiqh.
Dalam masalah hukum yang samar dan tidak dapat diselesaikan melalui ijtihad (seperti masalah-masalah gaib dalam fiqh), ulama Ushul Fiqh menerapkan prinsip *Tawaqquf*, yaitu menahan diri dari memberikan fatwa pasti. Prinsip ini serupa dengan Tafwidh dalam akidah; jika maknanya tidak jelas, wajib diserahkan kepada Allah.
Sebagian mutasyabihat dalam hukum muncul dalam konteks sumpah atau nazar, di mana lafaz yang digunakan tidak jelas. Misalnya, seseorang bersumpah "tidak akan memasuki rumah itu" – apakah yang dimaksud rumah dalam arti bangunan, atau hanya halamannya? Penentuan makna ini memerlukan interpretasi yang hati-hati, membedakan antara makna harfiah dan niat (Ta’wil berdasarkan niat), yang merupakan aspek mikro dari penanganan mutasyabihat.
Ayat Mutasyabihat adalah kekayaan intelektual dan spiritual dalam tradisi Islam. Ia bukan hambatan, melainkan panggilan untuk kerendahan hati intelektual dan pengabdian yang lebih dalam. Jalan yang benar dalam menghadapinya adalah jalan yang ditempuh oleh *Ar-Rāsikhūna fil ‘Ilmi* (orang-orang yang mendalam ilmunya).
Orang-orang yang mendalam ilmunya memiliki beberapa ciri khas dalam menangani ayat mutasyabihat:
Perbedaan antara Tafwidh dan Ta’wil, meskipun signifikan dalam metode, tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan akidah. Kedua pendekatan tersebut adalah manifestasi dari upaya tulus umat Islam untuk memelihara Tauhid murni dan mensucikan Allah SWT. Baik seorang Muslim memilih metode Salaf (Tafwidh) yang menahan interpretasi, maupun metode Khalaf (Ta’wil) yang menafsirkannya demi keamanan akidah awam, tujuan akhirnya tetap sama: menjauhkan segala bentuk penyerupaan (Tasybih) terhadap Allah Yang Maha Esa.
Maka, tugas seorang Muslim adalah berhati-hati, menjauhi ekstrim Tasybih dan Ta’til, serta selalu memprioritaskan pemahaman yang selaras dengan kemurnian akidah dan konsensus ulama yang mumpuni. Ayat mutasyabihat adalah cermin yang menguji sejauh mana keimanan kita berakar pada ketaatan, bukan sekadar kemampuan intelektual.