Surah Al-Qiyamah, yang bermakna 'Hari Kebangkitan', adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada fase awal kenabian Muhammad ﷺ. Surah ini memiliki kedudukan sentral dalam arsitektur teologi Islam karena secara eksplisit membahas dua pilar fundamental keimanan yang paling sering ditolak oleh kaum musyrikin Makkah: kepastian Hari Akhir (Eskatologi) dan pengumpulan kembali jasad setelah hancur lebur.
Dengan total 40 ayat, surah ini menggunakan gaya bahasa yang lugas, tegas, dan dramatis, khas surah-surah yang bertujuan membangun pondasi akidah di tengah lingkungan skeptisisme. Al-Qiyamah bukan hanya deskripsi Hari Akhir; ia adalah pemaparan menyeluruh yang mencakup janji ilahi, kritik terhadap kelemahan moral manusia di dunia, dan penggambaran detail sakaratul maut.
Inti dari surah ini dapat dibagi menjadi tiga segmen naratif utama yang saling terkait: Sumpah Ilahi yang menjamin kebangkitan; Kritik terhadap Manusia yang lebih mencintai materi fana daripada keabadian; dan Penggambaran Kematian yang menjadi gerbang mutlak menuju pertanggungjawaban.
*Gambaran simbolik tentang ketegasan Hari Kiamat.
Surah ini dibuka dengan sumpah ganda yang kuat, memberikan tekanan absolut pada subjek yang akan dibahas. Allah ﷻ berfirman:
Ayat 1 dan 2 mengandung sumpah terhadap dua entitas: Hari Kiamat (Yawmil Qiyamah) dan Jiwa yang Mencela (An-Nafs Al-Lawwamah).
Frasa pembuka, "Lā Uqsimu" (Aku bersumpah), telah memicu diskusi linguistik dan tafsir yang mendalam. Secara harfiah, 'Lā' berarti 'tidak', namun dalam konteks sumpah, sebagian besar ulama (termasuk Ibnu Abbas, Qatadah, dan Al-Farra’) menafsirkannya sebagai penegasan yang intens. Seolah-olah maknanya adalah: "Tidak perlu Aku bersumpah (karena perkara ini sudah pasti), tetapi Aku tetap bersumpah demi menegaskan kebenarannya." Atau, 'Lā' merujuk kepada penolakan terhadap pemikiran kaum musyrikin yang menyangkal kebangkitan.
Sumpah pertama, demi Hari Kebangkitan, secara langsung mengatasi keraguan utama kaum kafir. Hari Kiamat adalah realitas mutlak yang melampaui pemahaman materialis mereka.
Sumpah kedua, demi Nafs Al-Lawwamah, adalah poin spiritual yang sangat penting. Ini adalah jiwa yang selalu menyesali dan mencela dirinya sendiri atas dosa atau kelalaian. Keberadaan jiwa pencela ini adalah bukti internal fitrah manusia yang mengenal baik dan buruk, serta mengetahui bahwa ada pertanggungjawaban. Mengapa Allah bersumpah dengan jiwa ini? Karena jiwa pencela adalah saksi internal bagi kebenaran Hari Akhir. Jika tidak ada hari perhitungan, mengapa manusia merasa bersalah dan mencela diri atas perbuatan yang tidak disaksikan orang lain?
Ayat ini adalah respons retoris terhadap penyangkalan kaum kafir, khususnya pertanyaan tentang bagaimana mungkin tulang-belulang yang telah hancur dan menjadi tanah dapat dikumpulkan kembali. Manusia, dalam keangkuhan materi, menilai kekuasaan Tuhan berdasarkan keterbatasan kemampuan fisik mereka. Mereka menggunakan argumen rasional yang dangkal untuk menolak realitas spiritual yang agung. Pertanyaan ini menyiratkan: Apakah manusia benar-benar berpikir bahwa Dzat yang menciptakan mereka dari ketiadaan tidak mampu mengembalikan wujud mereka yang sudah ada?
Jawaban Allah adalah tegas: "Balā" (Ya, bahkan lebih dari itu). Allah menegaskan, Dia tidak hanya mampu mengumpulkan tulang-belulang, tetapi Dia mampu menyempurnakan kembali ‘Banān’ (ujung-ujung jari, atau sidik jari).
Pemilihan kata ‘Banān’ sangat menakjubkan dari segi sains dan teologi. Di zaman modern, kita tahu bahwa sidik jari adalah identitas biologis paling unik bagi setiap individu—tidak ada dua sidik jari yang sama di seluruh sejarah manusia. Menyebutkan kemampuan menyempurnakan kembali sidik jari adalah penekanan pada presisi total; Allah tidak hanya mengembalikan bentuk umum tubuh, tetapi detail terkecil yang menjadi ciri khas identitas pribadi masing-masing individu. Ini adalah bukti kekuasaan yang sempurna, yang menegaskan bahwa Kebangkitan adalah pengembalian identitas total, bukan sekadar rekonstruksi fisik acak.
Setelah membuktikan kepastian kebangkitan, surah ini beralih ke motivasi psikologis di balik penolakan manusia: keinginan untuk hidup tanpa batasan moral di dunia ini.
Ayat ini menjelaskan mengapa manusia bersikeras menolak Hari Kiamat. Ini bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena kehendak bebas untuk berbuat fujūr (dosa, kefasikan) tanpa rasa takut akan konsekuensi. "Liyajura Amāmahu" berarti manusia ingin melepaskan diri dari segala hambatan moral di hadapannya, menunda tobat, dan membiarkan masa depannya dipenuhi kebebasan berbuat maksiat. Mereka menanyakan kapan Kiamat terjadi hanya untuk memastikan bahwa mereka masih memiliki waktu untuk terus berfoya-foya tanpa batasan.
Permintaan sinis manusia tentang waktu Kiamat dijawab dengan deskripsi tanda-tanda kosmik yang mengerikan, yang jauh lebih penting daripada tanggal pasti kedatangannya.
Ketika tatanan semesta runtuh, rasa aman manusia menghilang, dan mereka akan berteriak dalam keputusasaan: "Ainal Mafar?" (Ke mana tempat lari?).
Jawabannya tegas: "Kallā, Lā Wazara" (Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung). Tidak ada gunung, benteng, atau kekayaan yang dapat menawarkan perlindungan. Semua tempat berlindung di bumi telah lenyap, dan satu-satunya tempat tujuan pada hari itu adalah menuju Tuhanmu.
Pada hari itu, manusia akan diberitahu tentang segala yang telah ia kerjakan, baik “Qaddama” (yang ia dahulukan, amal baik/buruk di masa lalu) maupun “Akhkhara” (yang ia tinggalkan, jejak buruk/baik yang dampaknya berlanjut, atau perbuatan yang ia tunda untuk dilakukan).
Ayat 14 adalah puncak psikologisnya: "Bahkan, manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri." Meskipun seluruh dunia runtuh, hati nurani dan jiwa pencela (Nafs Al-Lawwamah, yang disebut di awal surah) kini menjadi hakim yang paling jujur. Manusia tahu persis apa yang mereka lakukan, bahkan jika mereka mencoba memberikan seribu alasan dan pembenaran (ma’āzīr) di Hari Perhitungan. Semua alasan tersebut akan sia-sia di hadapan kebenaran mutlak dirinya sendiri.
Pada bagian ini, terdapat interupsi ilahi yang mengalihkan fokus dari kengerian Kiamat kepada etika penerimaan Al-Qur'an. Ayat-ayat ini ditujukan secara langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ yang, karena kecintaan dan ketakutannya kehilangan wahyu, sering terburu-buru mengulangi ayat-ayat yang baru saja diwahyukan Jibril kepadanya sebelum Jibril selesai menyampaikannya.
Ayat 16 memerintahkan Nabi untuk tidak menggerakkan lidahnya untuk mengulangi wahyu dengan tergesa-gesa. Perintah ini menanamkan ketenangan dan keyakinan dalam proses kenabian. Allah ingin memastikan bahwa Nabi ﷺ sepenuhnya fokus pada penerimaan, bukan pada pelafalan cepat.
Allah memberikan jaminan absolut: "Sesungguhnya, Kamilah yang akan mengumpulkannya (di dalam dadamu) dan membacakannya (dengan lancar)." (Ayat 17). Ini adalah jaminan ilahi tentang Hifz (penjagaan) Al-Qur'an. Allah memastikan bahwa Al-Qur'an akan terpelihara di hati Nabi dan akan dibaca dengan sempurna.
Ayat 18 dan 19 melengkapi prosesnya: Setelah Jibril selesai membaca (membacakan), barulah Nabi mengikutinya. Selanjutnya, jaminan penting lainnya adalah "Kemudian, sesungguhnya Kamilah yang akan menerangkan penjelasannya." Ini berarti penafsiran dan pemahaman mendalam (Tafsir) Al-Qur'an juga berada di bawah bimbingan ilahi. Ayat ini menegaskan bahwa sumber pemahaman syariat yang utama berasal dari Allah, yang disampaikan melalui Rasul-Nya.
Integrasi ayat-ayat ini di tengah tema Kiamat adalah penekanan bahwa satu-satunya petunjuk dan peringatan yang valid mengenai Akhirat berasal dari wahyu yang dijaga dan dijelaskan oleh Allah sendiri.
Setelah jeda singkat yang membahas etika wahyu, surah kembali menyoroti akar masalah penolakan manusia: materialisme dan kecintaan berlebihan terhadap kehidupan duniawi.
Ayat 20 dan 21 memberikan kritik tajam: "Sekali-kali tidak! Bahkan kamu mencintai yang segera (dunia) dan meninggalkan akhirat." 'Al-'Ājilah' (yang segera) merujuk pada kesenangan, kekayaan, dan kemewahan yang fana di dunia ini. Kecintaan yang berlebihan terhadap yang fana menyebabkan manusia mengabaikan 'Al-Akhirah' (yang kekal).
Ayat ini berfungsi sebagai diagnosis teologis bagi skeptisisme Kiamat. Penolakan terhadap Kebangkitan bukanlah hasil dari kegagalan intelektual, melainkan hasil dari kegagalan hati yang terikat erat pada kesenangan material sesaat.
Surah kemudian menyajikan kontras dramatis antara dua kelompok manusia di Hari Kiamat:
Perbandingan kontras ini memperkuat ajakan untuk memilih prioritas yang benar. Pilihan sederhana antara mencintai yang segera dan meninggalkan yang kekal akan menentukan apakah wajah seseorang berseri atau muram di Hari Perhitungan.
Setelah membahas kehancuran kosmik dan Hari Perhitungan, surah ini bergeser ke peristiwa pribadi yang paling menakutkan: kematian. Ayat 26 hingga 30 adalah salah satu deskripsi kematian paling intens dalam Al-Qur'an.
Kematian digambarkan ketika ruh telah mencapai At-Tarāqī (tulang selangka/tenggorokan). Ini adalah titik ketika nafas terputus dan kehidupan hampir berakhir. Dalam keadaan panik ini, orang di sekitar mayit (atau bahkan mayit itu sendiri) bertanya, "Man Rāqin?" (Siapakah yang dapat menyembuhkan/meruqyah?). Pertanyaan ini mencerminkan keputusasaan terakhir untuk mencari tabib atau penyembuh, namun semua usaha duniawi telah berakhir.
Pada saat itulah, orang yang sekarat itu menyadari: "Ia yakin bahwa saat itu adalah perpisahan (Al-Firāq)." Semua ikatan duniawi terputus. Ayat 29 memberikan gambaran fisik yang menakutkan: "Bertautlah betis dengan betis (Waltaffatis Sāqu bis Sāq)." Sebagian besar mufassir menafsirkan ini sebagai bertautnya kesusahan duniawi dengan kesusahan Akhirat; atau betis yang kaku akibat kematian dan betis yang siap digiring menuju tempat perhitungan.
Kesimpulan dari momen ini terdapat pada Ayat 30: "Kepada Tuhanmulah pada hari itu ia digiring (Al-Masāq)." Kematian pribadi menjadi miniatur dari Hari Kiamat itu sendiri; ia adalah saat pengembalian mutlak kepada Sang Pencipta.
*Simbolisasi perpindahan ruh saat Sakaratul Maut.
Ayat-ayat ini secara langsung mengkritik perilaku orang yang tidak beriman yang baru saja melewati gerbang kematian. Mereka tidak membenarkan (wahyu), dan tidak melaksanakan salat. Sebaliknya, mereka mendustakan dan berpaling (Ayat 32).
Puncaknya adalah Ayat 33, yang menggambarkan keangkuhan mereka di dunia: "Kemudian ia pergi kepada keluarganya dengan berlagak sombong (Yatamaṭṭā)." Kata 'Yatamaṭṭā' menggambarkan seseorang yang berjalan dengan angkuh, memamerkan kekuasaan dan kekayaan mereka, yakin bahwa tidak ada pertanggungjawaban di masa depan.
Ayat 34 dan 35 merupakan ancaman berulang dan keras: "Celakalah engkau (Awlā Laka Fa Awlā), kemudian celakalah engkau (Tsumma Awlā Laka Fa Awlā)." Pengulangan ini memperkuat kepastian hukuman bagi mereka yang memilih jalan kesombongan dan penolakan akidah.
Surah Al-Qiyamah ditutup dengan kembali pada argumen fundamental tentang asal-usul penciptaan manusia, menggunakan logika yang tidak dapat dibantah untuk membuktikan kekuasaan Allah dalam kebangkitan kembali.
Ayat pembuka bagian akhir ini merangkum seluruh surah: "Apakah manusia mengira, ia akan dibiarkan begitu saja (Suda)?" 'Suda' berarti tanpa tujuan, tanpa tanggung jawab, dan tanpa perhitungan. Ini adalah penolakan terhadap nihilisme. Jika manusia tidak dibangkitkan, seluruh kehidupan di dunia ini menjadi absurd dan tidak bermakna. Penciptaan yang sempurna harus memiliki tujuan yang sempurna, yaitu pertanggungjawaban.
Surah kemudian mengajak manusia merenungkan asal-usulnya yang rendah. Bukankah ia hanyalah Nuṭfah (setetes air mani) yang dipancarkan? Kemudian ia menjadi ‘Alaqah (segumpal darah) yang menggantung. Lalu, Allah ‘Khalaqa’ (menciptakan) dan ‘Sawwā’ (menyempurnakan) bentuknya, kemudian menjadikan darinya dua jenis: laki-laki dan perempuan.
Argumen ini adalah Qiyās Aulawī (analogi yang lebih utama): Jika Allah mampu menciptakan bentuk yang sempurna, kompleks, dan unik (sidik jari, jenis kelamin, sistem organ) dari substansi yang paling sederhana (setetes air), maka kekuasaan untuk mengembalikan bentuk yang sudah ada menjadi lebih mudah dan niscaya.
Surah ditutup dengan pertanyaan retoris yang kuat, berfungsi sebagai kesimpulan yang tak terbantah: "Bukankah Dzat yang berbuat demikian (menciptakan dari setetes air) berkuasa menghidupkan orang-orang mati?" Jawabannya tersirat: "Balā!" (Tentu, Dia Mahakuasa).
Pengaruh Surah Al-Qiyamah melampaui deskripsi eskatologis. Surah ini menetapkan beberapa prinsip teologis penting yang membentuk fondasi akidah, terutama berkaitan dengan hubungan antara kesadaran moral manusia dan kekuasaan Ilahi.
Sumpah demi Nafs Al-Lawwamah pada Ayat 2 mengangkat jiwa pencela menjadi bukti kosmik. Dalam ilmu Tazkiyah An-Nafs (penyucian jiwa), Nafs Al-Lawwamah adalah tahap kedua dari perkembangan spiritual (setelah Nafs Al-Ammarah, jiwa yang memerintah keburukan). Jiwa ini, meskipun masih berdosa, memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mencela diri sendiri, menyesali perbuatannya, dan merindukan kebaikan.
Surah ini mengajarkan bahwa kesadaran internal akan keadilan adalah fitrah yang Allah tanamkan. Rasa bersalah yang otentik adalah sinyal dari alam semesta bahwa ada standar moral yang harus dipertanggungjawabkan, yang hanya bisa dipenuhi melalui Kiamat dan Hari Perhitungan. Tanpa Hari Akhir, Nafs Al-Lawwamah akan menjadi kontradiksi yang tidak bermakna.
Fokus pada Banān (sidik jari) menuntut refleksi atas betapa detailnya perhatian Allah terhadap ciptaan-Nya. Kebangkitan bukanlah proses massal yang homogen; ia adalah pemanggilan kembali setiap individu dengan identitasnya yang paling spesifik. Ini menegaskan konsep tanggung jawab personal (individu) di Hari Perhitungan, di mana setiap orang akan diadili berdasarkan ‘sidik jari’ amalnya yang unik.
Al-Qiyamah sering dipelajari bersama Surah Al-Muddaththir dan Al-Mursalat karena kemiripan tema kehancuran. Namun, Al-Qiyamah lebih fokus pada dua hal: kebangkitan fisik dari tulang-belulang, dan kritik etika kehidupan duniawi (cinta pada Al-Ājilah).
Kontras ini menekankan bahwa kerangka waktu manusia (saat ini) harus tunduk pada kerangka waktu Ilahi (kekal). Kegagalan untuk menyeimbangkan antara yang segera dan yang kekal adalah penyebab mendasar dari seluruh kesesatan moral.
Penggunaan kata Al-Masāq (penggiringan) dalam konteks sakaratul maut (Ayat 30) menunjukkan bahwa proses kematian bukanlah proses pasif. Ia adalah perpindahan aktif dan wajib menuju persidangan. Kata ini sering digunakan untuk menggiring hewan, menyiratkan bahwa pada saat kematian, manusia tidak lagi memiliki kendali atas takdirnya; ia sepenuhnya tunduk pada kehendak Ilahi dan digiring menuju tujuan akhirnya, baik itu Surga atau Neraka.
*Timbangan yang melambangkan keadilan mutlak di Hari Perhitungan.
Eskatologi, atau studi tentang Hari Akhir, adalah inti dari Surah Al-Qiyamah. Surah ini menyajikan bukan hanya gambaran, tetapi juga alasan filosofis mengapa Kebangkitan harus terjadi. Tanpa Qiyamah, konsep Tauhid Rububiyyah (Keesaan Allah dalam penciptaan) dan Tauhid Uluhiyyah (Keesaan Allah dalam ibadah) menjadi timpang.
Pertanyaan pada Ayat 36: "Apakah manusia mengira, ia akan dibiarkan begitu saja?" adalah argumen teodisi (pembuktian keadilan Tuhan). Dalam hidup, kita melihat kezaliman yang tidak terbalas, kebaikan yang tidak dihargai, dan penindas yang mati dalam kekayaan. Jika tidak ada Hari Kiamat, maka Allah akan menjadi Dzat yang menciptakan sebuah semesta yang tidak adil.
Oleh karena itu, Kiamat adalah keharusan logis dari sifat Allah sebagai Al-Hakam (Hakim Yang Maha Adil). Kebangkitan adalah manifestasi kekal dari Keadilan-Nya, memastikan bahwa setiap atom amal, baik atau buruk, akan mendapatkan perhitungan yang setimpal. Ini memberikan makna pada pengorbanan, menanamkan harapan pada yang tertindas, dan menumbuhkan rasa takut pada yang zalim.
Deskripsi astronomi dalam Ayat 7–9 tidak sekadar bersifat puitis; ia menggarisbawahi bahwa kehancuran Kiamat melibatkan pembalikan total dari hukum alam yang kita kenal. Mata dan Bulan yang dikumpulkan menunjukkan bahwa energi yang mengikat alam semesta akan dilucuti. Realitas ini menuntut manusia untuk tidak bersandar pada stabilitas fisik alam, melainkan pada kemahakuasaan Dzat yang mengendalikan stabilitas tersebut.
Para mufassir kontemporer juga melihat dalam penyatuan Matahari dan Bulan sebuah referensi terhadap penemuan ilmiah tentang nasib bintang-bintang di akhir hidupnya, di mana bintang-bintang masif akan runtuh dan menyatu, mengakhiri tata surya. Surah ini, ribuan tahun sebelumnya, telah menggambarkan kehancuran yang total dan universal.
Surah Al-Qiyamah menawarkan pedoman yang mendalam untuk pembentukan karakter seorang mukmin, yang harus selalu hidup dalam kesadaran akan dua peristiwa tak terhindarkan: kematian pribadi dan Hari Perhitungan kolektif.
Pelajaran dari Ayat 16–19 (adab terhadap wahyu) mengajarkan pentingnya ṭuma’ninah (ketenangan) dalam berinteraksi dengan wahyu. Jika Nabi ﷺ diperintahkan untuk tidak tergesa-gesa dalam urusan yang paling agung (wahyu), maka kita sebagai umatnya harus mendekati seluruh aspek hidup dan ibadah dengan ketenangan, fokus, dan keyakinan akan jaminan Ilahi.
Kesadaran akan Sakaratul Maut (Ayat 26-30) juga mendorong seorang mukmin untuk tidak menunda ibadah. Setiap hari adalah potensi gerbang kematian. Dengan menunaikan salat dan bersedekah (Ayat 31), seorang mukmin memastikan bahwa ketika tiba saatnya betis bertaut, ia akan digiring ke tempat yang mulia.
Peringatan terhadap mencintai Al-'Ājilah (dunia yang segera) adalah seruan untuk jihad melawan hawa nafsu materialistis. Surah ini menantang model nilai yang didominasi oleh kekayaan, kekuasaan, dan kesenangan instan. Kebahagiaan sejati bukanlah yang dapat dibeli atau dipertontonkan (seperti sikap Yatamaṭṭā di Ayat 33), tetapi kebahagiaan hati yang berseri-seri saat memandang Wajah Tuhan di Akhirat.
Surah Al-Qiyamah adalah peta jalan menuju hati yang bersih dari syirk al-khafi (syirik tersembunyi), di mana harapan dan kecintaan ditempatkan pada yang kekal, bukan yang fana.
Komposisi Al-Qiyamah sangat padat dan memiliki koherensi yang kuat, bergerak dalam lingkaran logis dari janji Tuhan, skeptisisme manusia, dan bukti penciptaan.
Struktur ini memastikan bahwa setiap penolakan manusia dibalas dengan argumen yang solid, baik itu argumen logis (penciptaan), psikologis (jiwa pencela), maupun demonstrasi kekuasaan (kehancuran kosmik dan kematian).
Dalam sejarah turunnya wahyu, Surah Al-Qiyamah memainkan peran krusial dalam melawan materialisme pagan Makkah. Kaum Quraisy menganggap hidup hanyalah materi yang setelah mati akan kembali menjadi tanah, menolak segala bentuk kehidupan spiritual abadi.
Al-Qiyamah mendobrak pandangan ini dengan tiga bantahan utama:
Bantahan ini menunjukkan bahwa pemikiran mereka tentang rekonstruksi tubuh terlalu sederhana. Allah tidak hanya menyambung tulang; Dia mengembalikan identitas paling kompleks—sebuah konsep yang jauh melampaui kemampuan berpikir manusia biasa di masa itu.
Jika jiwa pencela ada, ia harus berfungsi sebagai persiapan untuk pengadilan. Penolakan Kiamat sama saja dengan menolak aspek fundamental dari kemanusiaan itu sendiri. Sumpah ini mengundang manusia untuk merenungkan kebenaran yang sudah mereka ketahui di dalam hati.
Jika manusia dibiarkan Suda (tanpa pertanggungjawaban), maka seluruh penciptaan adalah sia-sia. Islam menolak pandangan yang sia-sia ini dan menetapkan bahwa setiap tindakan dan setiap makhluk memiliki tempat dan fungsi dalam sistem keadilan Ilahi yang maha sempurna.
Melalui gaya bahasa yang berapi-api dan argumentasi yang bertingkat, Surah Al-Qiyamah memastikan bahwa tidak ada ruang untuk keraguan sedikit pun mengenai realitas Kebangkitan. Kesadaran ini adalah kunci untuk memelihara ihsan (kesempurnaan ibadah) dalam hidup, sebab seorang mukmin selalu menyadari bahwa ia tidak hanya disaksikan, tetapi juga sedang bergerak menuju titik perhitungan mutlak.
Surah Al-Qiyamah adalah panggilan abadi kepada kesadaran. Ia mengingatkan bahwa kehidupan duniawi hanyalah jembatan singkat menuju realitas yang sesungguhnya. Peringatan yang paling mendalam terletak pada penolakan terhadap kesombongan (Yatamaṭṭā) dan kecintaan buta terhadap yang fana (Al-'Ājilah).
Bagi yang beriman, surah ini adalah sumber ketenangan karena janji kenikmatan tertinggi—melihat Wajah Allah—dikonfirmasi. Bagi yang ragu, surah ini adalah seruan terakhir untuk merenungkan asal-usul mereka yang rendah dan mengakui kekuasaan Dzat yang mampu menciptakan dari ketiadaan dan mengembalikan dari kehancuran.
Keseluruhan narasi Surah Al-Qiyamah adalah sebuah siklus yang sempurna: dimulai dari sumpah kebangkitan, melalui kekacauan dunia, hingga ketenangan setelah pengadilan, dan diakhiri dengan bukti tak terbantahkan dari mana manusia berasal dan ke mana ia akan kembali. Inilah hakikat dari janji ilahi, yang pasti akan dipenuhi.