Ayat yang agung dari Surah Ali Imran, ayat 104, merupakan salah satu fondasi utama dalam pembentukan karakter komunitas Muslim yang ideal. Ia tidak hanya menyajikan sebuah saran, melainkan sebuah instruksi ilahi yang mengikat, mendefinisikan esensi dari peran umat ini di tengah peradaban dunia. Ayat ini memerintahkan pembentukan sebuah entitas yang secara aktif dan terorganisir mengemban tugas risalah, menegakkan kebenaran, dan mencegah penyimpangan.
Kewajiban yang terkandung dalam ayat ini—sering dirangkum sebagai prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar—bukanlah sekadar tugas individual semata. Ia adalah imperatif komunal yang memerlukan struktur, perencanaan, dan konsistensi. Untuk memahami kedalaman perintah ini, kita perlu membedah setiap komponennya, menganalisis bagaimana ia membentuk identitas sebuah peradaban yang disebut sebagai "Umat Terbaik" (seperti yang dijelaskan dalam ayat selanjutnya) dan bagaimana ia menjadi pilar kemenangannya.
Pemahaman mendalam tentang ayat ini dimulai dari analisis gramatikalnya. Frasa وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ (Wal takun minkum ummatun) adalah kunci. Penggunaan kata kerja perintah "Wal takun" (hendaklah ada/jadikanlah) menunjukkan bahwa ini adalah kewajiban, bukan pilihan. Selanjutnya, frasa "minkum" (di antara kamu) memunculkan dua interpretasi fiqih yang sangat penting:
Para ulama tafsir klasik umumnya menafsirkan "minkum" dalam arti partitif (bagian dari keseluruhan). Ini berarti bukan setiap individu Muslim wajib mendedikasikan seluruh hidupnya untuk dakwah dan pencegahan kemungkaran secara formal, melainkan wajib ada sekelompok orang, sebuah organisasi, atau institusi, yang menjalankan tugas ini secara eksklusif dan profesional. Jika kelompok ini telah ada dan menjalankan tugasnya dengan efektif, maka kewajiban tersebut gugur dari mayoritas umat. Ini yang dikenal sebagai Fard Kifayah.
Namun, jika kewajiban ini sama sekali tidak ditegakkan, atau jika komunitas tersebut berada dalam kondisi di mana kemungkaran merajalela tanpa ada yang mencegahnya, maka kewajiban tersebut kembali menjadi Fard Ain (kewajiban individual) bagi setiap orang yang mampu, setidaknya dengan hati atau lisan. Ayat 104 menekankan pentingnya organisasi formal untuk memastikan keberlanjutan misi.
Seruan kepada Al-Khair (kebaikan) adalah payung besar dari seluruh misi dakwah. Khair dalam konteks ini meliputi seluruh ajaran Islam: tauhid, keimanan, akhlak mulia, dan segala sesuatu yang mendatangkan manfaat dunia dan akhirat. Seruan ini bersifat edukatif dan inspiratif. Ia adalah upaya proaktif untuk mengisi ruang kosong dalam jiwa manusia dengan nilai-nilai positif sebelum ia diisi oleh kebatilan.
Al-Ma’ruf adalah segala sesuatu yang diakui baik oleh syariat Islam dan diterima oleh akal sehat yang bersih (fitrah). Ini mencakup pelaksanaan ibadah wajib (shalat, puasa, zakat) dan juga perilaku etis yang tinggi (kejujuran, menepati janji, berbakti kepada orang tua). Perintah (al-amr) di sini menunjukkan tindakan yang lebih tegas dan spesifik daripada sekadar seruan umum. Ia adalah implementasi hukum dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Ma'ruf bergerak dari ranah spiritual hingga ranah politik dan ekonomi. Memastikan transaksi yang adil, melawan monopoli, dan membangun sistem pendidikan yang berintegritas, semua ini termasuk dalam Ma’ruf yang wajib diperintahkan dan diwujudkan oleh umat yang menyeru.
Al-Munkar adalah segala sesuatu yang dianggap buruk, tercela, dan dilarang oleh syariat Islam. Ini meliputi dosa-dosa besar, pelanggaran hak asasi, korupsi, penindasan, dan segala bentuk ketidakadilan. Tugas mencegah kemungkaran sering kali merupakan bagian yang paling menantang dan berisiko dari misi ini, karena ia melibatkan konfrontasi terhadap kebatilan dan struktur kekuasaan yang mungkin mendukungnya.
Pencegahan Munkar harus dilakukan secara bertahap dan bijaksana, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW: dengan tangan (kekuatan, otoritas), kemudian dengan lisan (nasihat, kritik konstruktif), dan yang paling lemah adalah dengan hati (membenci kemungkaran tersebut). Ayat 104 mengikat umat agar tidak hanya menahan diri dari kemungkaran, tetapi juga secara aktif berjuang untuk menghilangkannya dari komunitas.
Ayat 104 secara eksplisit menggunakan kata أُمَّةٌ (Ummah/segolongan umat), yang menuntut adanya mekanisme kolektif. Mengapa tugas ini tidak bisa hanya bersifat sporadis dan individual? Jawabannya terletak pada skala dan kompleksitas kemungkaran yang harus dihadapi.
Di era modern, kemungkaran sering kali terinstitusionalisasi, mulai dari sistem riba global, media massa yang merusak moral, hingga kebijakan politik yang diskriminatif. Kemungkaran seperti ini tidak dapat diatasi hanya dengan nasihat personal. Diperlukan sebuah entitas yang memiliki kapasitas, sumber daya, dan otoritas untuk:
Tanpa organisasi, usaha Amar Ma’ruf Nahi Munkar akan tercerai-berai, tidak efektif, dan rentan terhadap serangan balik dari kekuatan yang ingin mempertahankan status quo kemungkaran.
Organisasi berfungsi sebagai penyeimbang. Di satu sisi, ia mencegah kelesuan dan apatis spiritual di mana umat hanya fokus pada ibadah ritual tanpa peduli terhadap kondisi sosial. Di sisi lain, ia mencegah tindakan pencegahan kemungkaran yang impulsif, emosional, atau ekstrem (ghuluw). Tugas Amar Ma’ruf memerlukan ilmu (agar tidak menyeru kepada kemungkaran yang dikira ma’ruf), kesabaran (hilm), dan hikmah (kebijaksanaan) dalam pelaksanaannya. Hanya melalui kerangka kelembagaan yang matang, prinsip-prinsip ini dapat dipertahankan.
Kunci keberuntungan yang dijanjikan di akhir ayat—وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ (Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung)—terikat erat pada keberhasilan kolektif dalam menegakkan tiga pilar tersebut. Keberuntungan hakiki tidak diperoleh hanya dari keselamatan diri sendiri, tetapi dari upaya untuk menyelamatkan komunitas secara keseluruhan.
Surah Ali Imran ayat 104 dan 110 sering kali dibahas secara berpasangan karena keduanya mendefinisikan peran umat Islam. Ayat 110 menyatakan, "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah."
Ayat 110 menjelaskan bahwa predikat "Umat Terbaik" bukanlah gelar kehormatan pasif yang diwariskan secara otomatis. Ini adalah predikat bersyarat, yang bergantung sepenuhnya pada implementasi aktif dari prinsip-prinsip yang digariskan dalam ayat 104. Seseorang atau sebuah komunitas hanya menjadi yang terbaik jika:
Dengan demikian, ayat 104 adalah Blueprint Aksi, sementara ayat 110 adalah Manifestasi Hasil. Ketika umat mengabaikan tugas yang diamanahkan dalam 104, mereka secara otomatis kehilangan kualifikasi sebagai Khaira Ummah, terlepas dari seberapa banyak ibadah ritual yang mereka lakukan.
Ayat 110 menambahkan unsur keimanan kepada Allah sebagai fondasi moral. Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang dilakukan tanpa didasari iman yang mendalam akan mudah tergelincir menjadi fanatisme, keangkuhan, atau motivasi politik duniawi semata. Iman memastikan bahwa tugas dakwah dilakukan semata-mata mencari keridhaan Allah, dengan penuh kasih sayang (rahmah) dan tanpa mengharapkan pujian manusia.
Kekuatan instruksi dari Ali Imran 104 terletak pada keseimbangan. Ia menuntut ketegasan dalam prinsip, namun kelembutan dalam pelaksanaannya. Tanpa adab yang benar, Amar Ma’ruf Nahi Munkar dapat berubah dari alat reformasi menjadi sumber perpecahan dan konflik. Para ulama menetapkan sejumlah adab dan metodologi kunci dalam menjalankan misi ini.
Tidak mungkin menyeru kepada Ma’ruf atau mencegah Munkar tanpa pengetahuan yang pasti (ilmu yaqin) mengenai apa itu Ma’ruf dan apa itu Munkar, serta hukum-hukumnya. Jika seorang da’i menyerukan suatu hal yang sunnah seolah-olah wajib, atau melarang suatu hal yang mubah seolah-olah haram, maka ia sendiri telah jatuh dalam kemungkaran. Ilmu adalah benteng pertama dari kebodohan dan ekstremisme.
Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk berbicara kepada Firaun dengan perkataan yang lembut (Q.S. Taha: 44). Jika kelembutan diperintahkan saat menghadapi tiran terbesar, apalagi saat menghadapi sesama Muslim yang tergelincir dalam dosa. Hikmah (kebijaksanaan) berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, memilih waktu, cara, dan bahasa yang paling efektif, serta menimbang maslahat dan mafsadat (manfaat dan kerugian) dari suatu tindakan pencegahan.
Penerapan ayat 104 menuntut pemahaman terhadap prioritas. Tidak semua kemungkaran memiliki tingkat bahaya yang sama. Para ulama sepakat bahwa pencegahan harus dimulai dari:
Tugas menegakkan kebenaran adalah tugas seumur hidup yang penuh tantangan, cercaan, dan potensi bahaya. Ayat 104 secara implisit menuntut kesiapan untuk menghadapi perlawanan. Kesabaran (sabr) dalam menghadapi kesulitan, dan konsistensi (istiqaamah) dalam menjalankan misi tanpa pernah menyerah, adalah ciri khas dari orang-orang yang beruntung (al-muflihūn).
Pengabaian terhadap adab dan metodologi ini adalah alasan utama mengapa gerakan dakwah dan reformasi sering gagal atau kontraproduktif. Umat yang ingin mencapai keberuntungan harus memastikan bahwa sarana yang mereka gunakan untuk mencapai tujuan suci (Ma’ruf) juga suci dan benar.
Jika keberuntungan (al-falah) dijanjikan bagi mereka yang menegakkan misi ini, maka konsekuensi sebaliknya—kerugian dan kehancuran—akan menimpa komunitas yang mengabaikannya. Sejarah Islam dan kisah-kisah umat terdahulu yang diceritakan dalam Al-Qur’an menegaskan hal ini.
Ketika kemungkaran dibiarkan merajalela tanpa ada kelompok yang berani mencegahnya, maka hukuman ilahi berpotensi menimpa seluruh komunitas, baik yang berbuat salah maupun yang diam. Ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an memperingatkan tentang kutukan yang menimpa Bani Israil karena mereka tidak saling melarang kemungkaran yang mereka perbuat (Q.S. Al-Maidah: 78-79).
Dalam konteks sosial, kelalaian dalam Nahi Munkar menghasilkan erosi moral yang perlahan namun pasti. Kebenaran menjadi relatif, dan kebatilan dinormalisasi. Dalam kondisi ini, bahkan praktik ibadah pun kehilangan kedalaman spiritualnya, karena individu hidup dalam masyarakat yang terbiasa dengan dosa.
Tugas dakwah dan kepemimpinan adalah amanah. Jika umat yang ditugaskan (Umat Muhammad) gagal melaksanakan kewajiban inti ini, maka mereka berisiko digantikan perannya oleh generasi atau kelompok lain yang lebih siap mengemban misi tauhid. Meskipun janji Allah bahwa Islam akan tetap tegak adalah pasti, janji tersebut tidak menjamin bahwa generasi atau peradaban tertentu akan terus menjadi pembawa bendera jika mereka melanggar prinsip fondasi dari Surah Al Imran 104.
Inilah yang menjadikan ayat ini bukan sekadar tugas moral, tetapi merupakan mekanisme survival spiritual dan peradaban bagi umat Islam. Keseimbangan antara Ma’ruf dan Munkar adalah termometer kesehatan sosial dan keimanan sebuah bangsa.
Bagaimana tugas yang ditetapkan 14 abad lalu ini diimplementasikan dalam kompleksitas dunia saat ini? Konsep Ma’ruf dan Munkar harus diperluas dari sekadar isu pribadi (misalnya, meminum khamr) menjadi isu sistemik (misalnya, korupsi struktural, ketidakadilan ekonomi, disinformasi digital).
Menyeru kepada Ma’ruf di era modern berarti mendorong sistem ekonomi yang bebas dari riba, menjunjung keadilan distributif, dan menentang eksploitasi tenaga kerja. Ini memerlukan pembentukan institusi keuangan Islam yang kuat dan beretika. Di ranah politik, Amar Ma’ruf berarti mendesak transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi sipil yang sehat, sesuai dengan prinsip syura (musyawarah).
Tugas Ummah dalam ayat 104 saat ini adalah mengadvokasi hukum dan kebijakan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan Islam, memastikan hak-hak minoritas terlindungi, dan memerangi segala bentuk tirani dan penindasan yang dilakukan atas nama kekuasaan.
Salah satu Munkar terbesar di era kontemporer adalah penyebaran kebohongan, konten imoral, dan ujaran kebencian melalui platform digital. Misi Ummah harus beradaptasi dengan teknologi. Nahi Munkar di sini berarti:
Kegagalan untuk berorganisasi dan mengatasi Munkar di ruang siber akan menyebabkan generasi mendatang tumbuh dalam lingkungan moral yang toksik, di mana batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur. Ayat 104 menuntut bahwa kelompok dakwah harus berada di garis depan perang moral digital ini.
Ironisnya, salah satu Munkar yang harus dicegah oleh kelompok dakwah adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Ayat 104 segera menyusul peringatan keras tentang perpecahan dalam ayat-ayat sebelumnya (Al Imran 103). Amar Ma’ruf yang sejati mencakup upaya untuk membangun persatuan (wahdah) berdasarkan prinsip-prinsip dasar iman, sembari menghormati perbedaan pendapat yang bersifat fiqih (khilafiyyah). Organisasi yang melaksanakan misi 104 harus menjadi perekat, bukan pemecah belah.
Misi ini menuntut sebuah transformasi total dalam cara pandang umat. Ia mengubah umat dari kumpulan individu yang pasif menjadi kekuatan moral yang dinamis dan terstruktur, yang peran utamanya adalah sebagai saksi kebenaran (syuhada’a ‘alan naas) di hadapan seluruh manusia. Tanpa komitmen terorganisir terhadap dakwah, Ma’ruf, dan pencegahan Munkar, keberuntungan abadi yang dijanjikan oleh Allah dalam penutup ayat ini mustahil dicapai.
Untuk mencapai keluasan yang dibutuhkan dalam memahami ayat 104, kita harus mengupas tuntas konsep 'Ma’ruf' lebih dari sekadar perintah ibadah. Ma’ruf, secara linguistik, berarti "yang dikenal" atau "yang akal sehat mengenalinya sebagai baik." Hal ini menunjukkan adanya standar kebaikan universal yang diakui oleh fitrah manusia, yang kemudian diperkuat dan disempurnakan oleh syariat.
Ma’ruf melampaui batas minimum legalitas. Ia bukan sekadar melakukan apa yang wajib, tetapi juga mencapai tingkat keutamaan (ihsan). Amar Ma’ruf berarti menyeru umat untuk melampaui kepatuhan biasa. Contohnya, Islam mewajibkan zakat (Ma’ruf minimal), tetapi mendorong sedekah dan wakaf (Ma’ruf tingkat keutamaan). Kelompok yang menyeru kepada Ma’ruf harus mendorong komunitas untuk mencapai excellence dalam segala aspek kehidupan, baik itu dalam kualitas produk, integritas penelitian ilmiah, maupun kedalaman spiritual.
Kebaikan yang diserukan dalam ayat 104 bersifat komprehensif. Ia mencakup tiga aspek utama:
Kegagalan memahami keluasan Ma’ruf sering kali membuat umat membatasi tugas dakwah hanya pada ritual, sementara kemungkaran besar dalam politik dan ekonomi dibiarkan tumbuh subur.
Munkar bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga manifestasi dari penyakit spiritual kolektif. Kemungkaran seperti korupsi atau penyebaran fitnah adalah gejala hilangnya rasa takut kepada Tuhan (taqwa) dan hilangnya rasa malu (haya’). Pencegahan Munkar yang efektif harus addressing akar spiritual dari masalah tersebut, bukan hanya menangani gejala di permukaan.
Ayat 104, dengan mengaitkan pencegahan Munkar dengan keberuntungan (al-muflihūn), secara tegas menyatakan bahwa kesehatan spiritual sebuah komunitas tidak dapat dipisahkan dari perjuangan melawan segala bentuk penyimpangan. Komunitas yang apatis terhadap Munkar pada akhirnya akan kehilangan kemampuan spiritualnya untuk merasakan dan membedakan kebaikan sejati.
Perintah dalam Ali Imran 104 muncul setelah serangkaian ayat yang memperingatkan umat Islam agar tidak kembali ke dalam perpecahan dan kesesatan yang dialami oleh umat-umat terdahulu (Ahli Kitab). Oleh karena itu, tugas Amar Ma’ruf Nahi Munkar berfungsi sebagai mekanisme pertahanan identitas dan keutuhan Islam.
Di setiap zaman, umat Islam menghadapi tekanan untuk meniru peradaban dominan tanpa memfilter nilai-nilai yang bertentangan dengan Ma’ruf. Kelompok dakwah yang solid (Ummah yang diperintahkan) berfungsi sebagai filter intelektual dan moral. Mereka mengingatkan komunitas tentang batas-batas syariah, mencegah imitasi buta terhadap gaya hidup atau ideologi yang merusak tauhid dan moralitas, sekaligus mendorong pengambilan hal-hal baik (Ma’ruf) dari peradaban lain, seperti sains dan teknologi.
Melaksanakan Nahi Munkar adalah tindakan keberanian moral tertinggi. Hal ini menuntut umat untuk berdiri teguh melawan kekuatan penindasan dan kezaliman (zhulm). Umat yang takut untuk mencegah Munkar pada akhirnya akan menjadi budak dari tiran atau sistem yang menindas. Ayat 104 adalah seruan untuk memutus rantai ketakutan ini dan menggantinya dengan ketaatan yang berani kepada kebenaran ilahi.
Pengabaian terhadap Munkar yang dilakukan oleh penguasa atau kelompok elit akan memicu kerusakan yang meluas. Sebaliknya, organisasi yang kokoh yang berpegang pada ayat 104 akan mampu menyuarakan kebenaran kepada yang berkuasa, bahkan dalam keadaan paling sulit sekalipun, sebagaimana yang dicontohkan oleh para nabi dan ulama salaf.
Pemahaman yang tepat mengenai status hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar sangat krusial untuk implementasi ayat 104. Meskipun ayat ini jelas menuntut adanya kelompok khusus (Ummah), ulama membagi kewajiban ini menjadi dua dimensi:
Seperti telah disebutkan, aspek Fard Kifayah merujuk pada pembentukan organisasi, sekolah, media, atau badan pengawas yang secara profesional mendedikasikan diri untuk misi dakwah dan reformasi. Jika suatu negara atau komunitas telah memiliki institusi yang berfungsi efektif dalam menyebarkan Ma’ruf dan mencegah Munkar, maka kewajiban ini dianggap terpenuhi, dan umat secara luas bebas untuk fokus pada kewajiban pribadi mereka dan profesi duniawi.
Namun, Fard Kifayah ini dapat terganggu oleh dua faktor:
Dalam kedua kondisi di atas, kewajiban ini berpotensi beralih status.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar menjadi Fard Ain dalam beberapa situasi spesifik, yang mana setiap individu Muslim yang mampu wajib bertindak:
Ayat 104 menyatukan kedua dimensi ini. Ia menuntut agar individu memiliki kesadaran moral (Fard Ain) sekaligus mendorong pembentukan entitas yang terorganisir (Fard Kifayah) agar misi dapat dipertahankan di tengah dinamika masyarakat yang terus berubah. Kelompok yang terbentuk harus memastikan bahwa kedua aspek ini berjalan simultan.
Penutup ayat 104, وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ, memberikan janji keberuntungan yang mutlak. Dalam terminologi Al-Qur’an, al-falah (keberuntungan) selalu merujuk pada kesuksesan yang menyeluruh, baik di dunia maupun di akhirat. Ini lebih dalam daripada sekadar "sukses" atau "menang."
Di dunia, keberuntungan bagi kelompok yang menjalankan misi 104 termanifestasi dalam:
Keberuntungan yang hakiki dan abadi adalah di akhirat, yaitu keselamatan dari api neraka dan masuk ke dalam surga. Ayat ini mengajarkan bahwa jalan tercepat menuju surga adalah melalui pengabdian aktif terhadap reformasi masyarakat. Orang yang berjuang untuk kebaikan orang lain, dan bukan hanya untuk dirinya sendiri, memiliki derajat yang sangat tinggi di sisi Allah.
Keberuntungan ini tidak diberikan kepada umat yang pasif, yang hanya mengkhawatirkan diri mereka sendiri. Ia adalah hadiah bagi para aktivis kebenaran, bagi mereka yang berani melawan arus kebatilan demi menegakkan standar moral ilahi. Ayat 104 adalah penanda bahwa Islam adalah agama aksi, reformasi, dan tanggung jawab sosial, yang menolak konsep individualisme spiritual yang pasif.
Maka, seruan untuk membentuk sebuah Ummah (organisasi) yang aktif menyeru kepada kebaikan, menyuruh yang Ma’ruf, dan mencegah yang Munkar, adalah inti dari jati diri umat Muhammad. Ayat ini adalah kompas moral dan peta jalan strategis untuk memastikan bahwa umat ini tetap relevan, kuat, dan layak mendapatkan predikat "Umat Terbaik" serta mencapai janji keberuntungan abadi yang dinanti.
Surah Ali Imran ayat 104 merupakan pilar syariat yang tidak dapat digoyahkan. Ia adalah landasan bagi setiap gerakan reformasi, setiap institusi pendidikan, dan setiap upaya keadilan sosial dalam sejarah Islam. Ayat ini menuntut lebih dari sekadar persetujuan; ia menuntut tindakan terorganisir.
Dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks—di mana Munkar mengenakan pakaian legalitas, dan Ma’ruf sering kali dilecehkan sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman—kewajiban yang digariskan dalam ayat 104 menjadi semakin mendesak. Umat Islam harus secara sadar, terencana, dan dengan kerendahan hati membentuk barisan yang kuat, berilmu, dan berakhlak mulia untuk menunaikan amanah ini. Hanya dengan demikian, komunitas ini dapat mempertahankan identitasnya, memenuhi misinya di bumi, dan pada akhirnya, meraih gelar mulia Al-Muflihūn.
Tugas dakwah ini adalah nafas kehidupan umat. Ketika nafas ini berhenti, maka identitas umat akan runtuh. Oleh karena itu, setiap Muslim memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung, bergabung, atau setidaknya menghargai kerja keras mereka yang telah mendedikasikan dirinya untuk menjadi bagian dari Ummah Yad'ūna ilal Khair.
Penerapan ayat ini secara menyeluruh, dari tingkat individu hingga tingkat negara, adalah penjamin utama masa depan yang adil, bermoral, dan tercerahkan bagi seluruh umat manusia, menjadikan warisan Islam sebagai mercusuar kebaikan abadi.
***
Kajian mendalam terhadap ayat 104 harus mencakup dimensi psikologis dan etika yang harus dimiliki oleh kelompok yang menyeru. Tugas Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidak dapat dilakukan secara mekanis. Ia menuntut kualitas karakter (akhlak) yang luhur agar pesan diterima, bukan ditolak. Etika dakwah adalah Ma’ruf itu sendiri.
Niat yang murni (ikhlas) adalah fondasi setiap tindakan. Jika kelompok dakwah beroperasi dengan niat mencari kekuasaan, popularitas, atau keuntungan materi, maka keberkahan (barakah) dari usaha mereka akan hilang, meskipun tindakan mereka terlihat benar. Keikhlasan menjamin bahwa tindakan Nahi Munkar tidak didorong oleh dendam atau superioritas, melainkan oleh kepedulian tulus terhadap keselamatan yang diseru.
Tugas Nahi Munkar membutuhkan syaja'ah (keberanian) untuk berbicara melawan ketidakadilan atau kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging. Namun, keberanian ini harus dibalut dengan rifq (kelembutan) dan hilm (kesabaran yang tenang). Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada kelembutan dalam sesuatu melainkan akan memperindahnya, dan tidak dicabut darinya melainkan akan memperburuknya." Kelompok Ummah dalam ayat 104 harus menjadi model kombinasi antara kekuatan spiritual dan kehalusan pendekatan.
Bagaimana mungkin sebuah kelompok menyeru kepada Ma’ruf jika mereka sendiri tidak sempurna? Prinsip koreksi diri (tashih) sangat penting. Kelompok yang mengemban tugas 104 wajib menjadi yang paling kritis terhadap kelemahan internal mereka sendiri. Mereka harus menjadi teladan hidup dari Ma’ruf yang mereka serukan. Jika mereka melalaikan Munkar di internal organisasi mereka sendiri, maka kredibilitas mereka di mata masyarakat akan hancur, dan misi mereka akan gagal.
Integritas adalah mata uang dakwah. Tanpa integritas, seruan dari Ummah akan dianggap sebagai hipokrisi. Oleh karena itu, tugas 104 secara otomatis menuntut tingkat kesalehan dan disiplin diri yang jauh lebih tinggi daripada rata-rata komunitas.
Penerapan praktis ayat 104 memerlukan Fiqih al-Awlawiyat yang sangat cermat, terutama dalam pencegahan kemungkaran. Karena sumber daya terbatas dan risiko konfrontasi tinggi, organisasi yang dibentuk harus memprioritaskan Munkar yang paling merusak.
Prioritas pertama selalu diberikan pada Munkar yang merusak fondasi agama atau kehidupan. Ini termasuk:
Munkar yang dilakukan secara terang-terangan (al-munkar al-mu’lan) harus ditangani lebih dahulu daripada dosa-dosa pribadi yang tersembunyi. Alasannya, Munkar yang terang-terangan menantang otoritas moral masyarakat, menormalisasi dosa, dan merusak kesadaran kolektif. Kelompok yang menjalankan ayat 104 fokus pada Munkar yang telah menjadi fenomena sosial yang diterima.
Ini adalah kaidah emas dalam Nahi Munkar: Jika pencegahan suatu Munkar kecil akan menghasilkan Munkar yang lebih besar (misalnya, memicu pertumpahan darah atau destabilisasi total yang lebih besar dampaknya), maka pencegahan tersebut harus ditangguhkan atau diubah metodenya. Keberuntungan (al-falah) yang dijanjikan hanya dapat dicapai melalui tindakan yang meminimalisir kerugian, sesuai dengan prinsip syariah tentang pemeliharaan lima kebutuhan dasar (Maqasid Syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Ayat 104 tidak membatasi seruan kepada kebaikan hanya untuk internal umat Islam. Frasa يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ (menyeru kepada kebaikan) memiliki cakupan universal. Kebaikan (al-Khair) adalah sesuatu yang diterima oleh seluruh manusia yang berakal sehat. Tugas Ummah yang dibentuk berdasarkan ayat 104 adalah menjadi jembatan antara nilai-nilai Ilahi dan kebutuhan peradaban manusia.
Cara paling efektif untuk menyeru kepada kebaikan adalah melalui keteladanan. Ketika kelompok yang menyeru kepada Ma’ruf menunjukkan keunggulan dalam sains, kebersihan, etika kerja, dan keadilan dalam berinteraksi dengan non-Muslim, maka mereka secara otomatis telah mengundang orang lain untuk merenungkan sumber moral mereka. Ayat 104 menuntut keunggulan peradaban sebagai manifestasi visual dari Ma’ruf.
Tugas Ummah juga mencakup dialog konstruktif dengan peradaban dan keyakinan lain, menjelaskan bahwa Ma’ruf yang diserukan adalah kebaikan universal yang dapat diterima oleh akal sehat. Pencegahan Munkar juga berarti menentang kezaliman di mana pun ia terjadi, bahkan jika korbannya bukan Muslim. Dengan demikian, tugas 104 mengikat umat Islam pada misi global untuk kemanusiaan, bukan hanya untuk komunitas internal mereka.
Inilah inti dari apa yang dimaksud dengan Umat Pertengahan (Ummatan Wasatan), sebuah komunitas yang adil dan seimbang yang mampu berdiri sebagai saksi kebenaran bagi seluruh dunia. Tugas ini terlalu besar, terlalu penting, dan terlalu komprehensif untuk diserahkan kepada upaya individual yang terisolasi. Ia menuntut sebuah struktur kolektif yang kokoh, berilmu, dan ikhlas, seperti yang diamanatkan secara tegas oleh Surah Ali Imran ayat 104, demi meraih keberuntungan abadi.
Ayat ini terus menerus memanggil setiap generasi Muslim untuk bangkit, berorganisasi, dan memikul beban reformasi dunia, memastikan bahwa cahaya petunjuk ilahi tidak pernah padam di tengah kegelapan kemungkaran.
***
Sejak masa Nabi Muhammad SAW, ayat 104 telah menjadi motor penggerak pembentukan institusi sosial dan politik. Konsep *Hisbah* (pengawasan pasar dan moral publik) adalah salah satu manifestasi paling jelas dari implementasi ayat 104 dalam sejarah Islam.
Di berbagai kekhalifahan dan kesultanan, jabatan *Muhtasib* dibentuk. Muhtasib adalah pejabat yang ditugaskan secara formal untuk memastikan Ma’ruf ditegakkan dan Munkar dicegah di pasar, jalanan, dan interaksi sosial. Tugasnya meliputi:
Kehadiran lembaga *Hisbah* menunjukkan bahwa para ulama dan pemimpin Muslim awal memahami bahwa amanah dalam ayat 104 memerlukan institutionalisasi, sebuah badan resmi yang didukung oleh otoritas negara, untuk mencapai efektivitas. Jika tugas ini diserahkan hanya kepada individu yang tidak terorganisir, ia akan mudah dihancurkan oleh kekuatan Munkar yang terorganisir.
Dalam masa-masa kemunduran peradaban Islam, sering kali yang mempertahankan api perjuangan Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah sekelompok ulama independen yang berani menghadapi penguasa yang zalim. Peran ini adalah manifestasi dari kewajiban Fard Kifayah yang diemban oleh individu-individu yang berani, saat institusi negara gagal. Sejarah mencatat bahwa kemunduran moral dan sosial suatu umat selalu berbanding lurus dengan keengganan mereka untuk menegakkan prinsip 3:104 ini.
Munkar di masa kini sering tidak datang dalam bentuk yang kasar dan jelas, melainkan terbungkus dalam kemasan modernitas, hak asasi manusia yang salah tafsir, atau kebebasan tanpa batas. Ini membuat tugas Nahi Munkar menjadi jauh lebih sulit, karena ia memerlukan keahlian intelektual dan analitis yang tinggi.
Munkar struktural terbesar adalah sistem keuangan global yang didasarkan pada riba dan spekulasi berlebihan, yang menyebabkan kesenjangan kekayaan yang ekstrem. Nahi Munkar di sini bukan hanya menasihati individu untuk tidak meminjam uang dengan bunga, tetapi untuk menciptakan dan mempromosikan alternatif ekonomi yang berbasis pada bagi hasil, keadilan, dan risiko yang dibagi (Ma’ruf).
Individualisme dan sekularisme ekstrem yang menempatkan keinginan individu di atas kebutuhan kolektif dan standar moral ilahi adalah Munkar filosofis. Kelompok yang mengemban ayat 104 harus mengajarkan kembali nilai-nilai *ukhuwah* (persaudaraan), tanggung jawab sosial, dan konsep bahwa kebebasan harus selalu dibatasi oleh etika dan syariat, demi kemaslahatan bersama.
Oleh karena itu, organisasi yang dituntut oleh ayat 104 haruslah bersifat multidisiplin: mereka membutuhkan ulama (pengetahuan syariah), ekonom (pemahaman sistem), sosiolog (pemahaman masyarakat), dan komunikator (penyebar pesan) untuk melawan Munkar yang semakin terstruktur dan kompleks.
Kesatuan umat (Wahdah) itu sendiri adalah Ma’ruf yang wajib diperintahkan, dan perpecahan adalah Munkar yang harus dicegah. Ayat 104 muncul segera setelah ayat 103 yang memerintahkan umat untuk berpegang teguh pada tali Allah dan tidak bercerai berai.
Perintah untuk membentuk sebuah "Ummah" (kelompok terorganisir) dalam ayat 104 adalah obat praktis untuk penyakit perpecahan. Kelompok ini harus berfungsi sebagai titik temu bagi umat, menyatukan mereka di bawah panji-panji Ma’ruf dan Nahi Munkar yang fundamental. Jika energi umat dihabiskan untuk berdebat tentang masalah-masalah furu’ (cabang), maka Munkar yang lebih besar akan leluasa merajalela.
Dengan demikian, Al Imran 104 bukanlah sekadar ayat tentang dakwah, tetapi merupakan konstitusi spiritual, sosial, dan organisasional bagi umat yang ingin mencapai kemenangan dan keberuntungan. Ayat ini adalah panggilan abadi untuk bertindak, bergerak dari kepasifan menuju peran aktif sebagai agen perubahan moral dan sosial yang terstruktur di dunia.