Ilustrasi perpaduan produksi telur dan daging dari satu jenis ayam.
Konsep ayam dwiguna (dual-purpose chicken) merupakan fondasi yang semakin relevan dalam skenario peternakan modern, terutama bagi skala rumah tangga dan usaha kecil menengah yang mengedepankan aspek keberlanjutan. Dalam lanskap industri pangan yang didominasi oleh spesialisasi—di mana ayam broiler diprogram untuk efisiensi daging maksimal dan ayam petelur komersial fokus pada kuantitas telur—ayam dwiguna menawarkan jalan tengah yang harmonis.
Ayam dwiguna adalah jenis ayam yang, melalui proses seleksi genetik yang cermat, mampu menghasilkan telur dalam jumlah yang memadai dan pada saat yang sama, memberikan kualitas karkas daging yang baik. Mereka mewakili keseimbangan antara dua tujuan utama peternakan, menghindari kerentanan ekonomi yang ditimbulkan oleh terlalu fokus pada satu lini produksi saja. Keunggulan fundamental dari ayam dwiguna terletak pada fleksibilitas ekonominya, di mana setiap individu ayam, baik jantan maupun betina, memiliki nilai pasar yang tinggi, baik sebagai penghasil protein hewani yang matang maupun sebagai aset reproduksi.
Dalam konteks peternakan rakyat di banyak wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, ayam dwiguna bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah kebutuhan historis. Mereka dikenal tangguh, adaptif terhadap kondisi lingkungan yang keras, dan memiliki kebutuhan manajemen yang tidak seintensif ayam ras murni yang sangat terspesialisasi. Ini menjadikan mereka ideal untuk sistem pemeliharaan semi-intensif atau bahkan ekstensif, yang mengintegrasikan peternakan dengan kegiatan pertanian lainnya (agroforestri).
Artikel ini akan mengupas tuntas setiap dimensi dari ayam dwiguna, mulai dari filosofi dasar pengembangannya, identifikasi ras-ras unggulan, panduan manajemen pemeliharaan yang detail, hingga analisis mendalam mengenai kelayakan ekonominya. Tujuannya adalah memberikan kerangka kerja komprehensif bagi siapa saja yang tertarik membangun sistem peternakan yang resilien, berkelanjutan, dan secara etis lebih diterima oleh konsumen modern.
Prinsip dasar di balik pengembangan ayam dwiguna adalah optimalisasi, bukan maksimalisasi. Spesialisasi yang ekstrem, seperti pada ayam petelur (yang menghasilkan banyak telur tetapi karkasnya kurus) atau broiler (yang tumbuh sangat cepat tetapi umur produktif telurnya pendek), seringkali membawa masalah etika, kesehatan, dan kerentanan genetik. Ayam dwiguna berusaha menyeimbangkan sifat-sifat ini.
Peternak modern sering dihadapkan pada dilema: apakah memilih efisiensi tinggi (spesialisasi) dengan risiko lingkungan dan kesehatan, atau memilih keseimbangan (dwiguna) dengan efisiensi yang sedikit lebih rendah tetapi dengan ketahanan yang jauh lebih baik. Ayam dwiguna menerima fakta bahwa mereka mungkin tidak mencapai produksi telur setinggi ayam Leghorn, dan juga tidak mencapai bobot secepat broiler Cobb 500. Namun, mereka menawarkan produk yang lebih fleksibel dan berkualitas tinggi.
Contoh nyata adalah pada daur hidup ayam dwiguna. Ayam betina dapat menghasilkan telur selama 12 hingga 18 bulan. Setelah periode puncak produksi, ketika efisiensi pakannya mulai menurun, ayam betina tersebut masih memiliki nilai jual yang substansial sebagai ayam afkir atau ayam pedaging berkualitas premium. Sebaliknya, ayam petelur spesialis yang diakhir masa produksinya cenderung memiliki karkas yang sangat minim daging, sehingga nilai ekonominya menurun drastis.
Keseimbangan genetik pada ayam dwiguna menuntut seleksi yang ketat. Kriteria utama seleksi meliputi:
Pengembangan ayam dwiguna juga berperan penting dalam mengurangi praktik kontroversial dalam industri petelur spesialis, yaitu pemusnahan massal anak ayam jantan (culling) yang tidak memiliki nilai ekonomi untuk produksi telur. Pada ayam dwiguna, anak ayam jantan dibesarkan menjadi ayam pedaging, memberikan nilai tambah yang signifikan dan meningkatkan etika peternakan secara keseluruhan.
Ayam dwiguna menawarkan serangkaian keunggulan yang menjadikannya pilihan utama bagi peternak kecil hingga menengah yang mencari model bisnis yang tahan banting (resilient) terhadap gejolak pasar.
Keunggulan paling nyata adalah mitigasi risiko. Jika harga telur anjlok, peternak masih dapat mengandalkan penjualan daging. Sebaliknya, jika permintaan daging menurun atau biaya pakan untuk penggemukan terlalu tinggi, fokus dapat dialihkan ke produksi telur. Ini menciptakan dua saluran pendapatan yang independen.
Ayam dwiguna, khususnya ras yang dikembangkan untuk sistem semi-intensif, cenderung lebih efisien dalam memanfaatkan pakan non-komersial. Mereka memiliki kemampuan mencari makan yang lebih baik, memungkinkan peternak untuk mengurangi ketergantungan pada pakan pabrikan yang mahal.
Dalam sistem integrasi pertanian, ayam dwiguna dapat mengkonsumsi sisa-sisa hasil panen, serangga, dan hijauan, yang secara signifikan menurunkan FCR operasional (meskipun FCR genetiknya mungkin lebih rendah dari broiler). Selain itu, karena ketahanannya, biaya pengobatan dan vaksinasi darurat seringkali lebih rendah dibandingkan ras spesialis yang rentan stres.
Semakin banyak konsumen yang mencari produk unggas yang berasal dari sumber yang berkelanjutan dan etis. Daging dari ayam dwiguna yang dibesarkan dalam kondisi lebih alami, dengan pertumbuhan yang lebih lambat, sering dipasarkan sebagai "heritage" atau "premium chicken." Telurnya pun sering dihargai lebih tinggi karena persepsi kesehatan dan kualitas yang lebih baik dibandingkan telur dari peternakan pabrik padat.
Pasar ini—yang bersedia membayar premi untuk kualitas, tekstur, dan aspek etis—memberikan peluang margin keuntungan yang lebih tinggi bagi peternak dwiguna dibandingkan pasar komoditas massal.
Pemilihan ras adalah keputusan krusial yang akan menentukan keberhasilan operasi dwiguna. Di seluruh dunia, ada beberapa ras klasik yang telah teruji dalam menyeimbangkan produksi telur dan daging. Beberapa di antaranya juga telah diadaptasi atau disilangkan dengan unggas lokal untuk meningkatkan ketahanan di iklim tropis.
Plymouth Rock, khususnya varian Barred Rock (hitam-putih bergaris), adalah salah satu ras dwiguna paling andal dan tertua. Mereka memiliki temperamen yang tenang, mudah dikelola, dan sangat baik dalam mencari makan. Mereka unggul dalam adaptasi di berbagai iklim.
RIR terkenal dengan warna merah bata yang mencolok dan etos kerja yang tinggi. Mereka sering dianggap condong sedikit lebih ke arah produksi telur dibandingkan Plymouth Rock, tetapi masih mempertahankan kemampuan karkas yang substansial. RIR adalah pilihan yang sangat populer untuk pemula.
Wyandotte (seringkali Silver Laced) adalah ayam yang indah, tahan cuaca dingin ekstrem, dan memiliki bentuk tubuh yang membulat dan padat. Bentuk tubuh mereka yang kompak menjadikannya pilihan daging yang baik, sementara produksi telurnya konsisten.
Di wilayah tropis, fokus telah bergeser ke pengembangan ayam dwiguna yang memiliki ketahanan panas yang unggul dan mampu memanfaatkan pakan lokal secara lebih baik.
KUB adalah hasil seleksi genetik yang dilakukan oleh Balai Penelitian Ternak (Balitnak) di Indonesia. Ayam ini dikembangkan untuk mempertahankan keunggulan rasa dan tekstur ayam kampung, tetapi dengan laju pertumbuhan yang lebih cepat dan produktivitas telur yang jauh lebih baik.
Lohmann Dual adalah contoh persilangan modern yang dirancang secara spesifik untuk pasar dwiguna di Eropa. Mereka menawarkan kinerja yang lebih seragam dan efisien dibandingkan ras warisan (heritage breeds).
Pemilihan ras harus didasarkan pada tujuan pasar peternak. Jika fokus pada pasar premium dengan pertumbuhan lambat, Plymouth Rock atau RIR murni adalah pilihan terbaik. Jika fokus pada peningkatan efisiensi dan adaptasi lokal di Indonesia, KUB atau ras lokal tersertifikasi lainnya lebih direkomendasikan.
Keberhasilan peternakan dwiguna sangat bergantung pada manajemen yang cermat, yang harus mampu menyeimbangkan kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan cepat (daging) dan kebutuhan nutrisi untuk produksi telur yang stabil.
Model kandang yang mengkombinasikan tempat berlindung dan area umbaran.
Sistem kandang yang paling cocok untuk ayam dwiguna adalah sistem semi-intensif, yang memberikan keseimbangan antara perlindungan dan kesempatan bagi ayam untuk mencari makan secara alami (foraging).
Manajemen pakan adalah tantangan terbesar ayam dwiguna, karena nutrisi yang diberikan pada ayam jantan untuk penggemukan berbeda dengan kebutuhan ayam betina untuk produksi telur yang optimal. Peternak harus mampu memisahkan kelompok pakan pada usia tertentu.
Fase ini kritis untuk perkembangan tulang dan organ. Semua anak ayam (DOC) diberi pakan dengan kadar protein tinggi (Crude Protein/CP 20-23%) untuk memastikan pertumbuhan awal yang kuat. Pakan ini harus diformulasikan untuk membangun struktur tubuh yang akan mendukung baik karkas maupun produksi telur di masa depan.
Pada fase ini, penting untuk memperlambat sedikit laju pertumbuhan agar ayam tidak menjadi terlalu gemuk sebelum mulai bertelur, suatu kondisi yang disebut "fatty liver syndrome." Protein diturunkan menjadi 16-18%. Ini adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan pakan hijauan dan sisa pertanian (jagung, dedak padi) untuk membiasakan mereka dengan pakan yang lebih murah dan alami.
Pada usia sekitar 18-20 minggu, ayam betina mulai memasuki masa produksi telur (layer phase), sementara ayam jantan memasuki fase penggemukan akhir (finisher phase). Pemisahan kelompok harus dilakukan di sini.
Karena ayam dwiguna umumnya dibesarkan dalam sistem semi-intensif yang memiliki kontak lebih besar dengan lingkungan luar, program biosekuriti dan kesehatan harus dilaksanakan secara disiplin.
Manajemen yang fokus pada pencegahan, bukan pengobatan, akan memastikan biaya operasional tetap rendah dan produktivitas tetap tinggi.
Untuk menilai keberhasilan operasional ayam dwiguna, peternak harus memantau dua set metrik kinerja yang berbeda: metrik petelur dan metrik pedaging.
Meskipun produksi telur lebih rendah daripada ras komersial murni, metrik berikut menunjukkan seberapa efisien kinerja ayam dwiguna:
Ayam jantan dwiguna bersaing di pasar yang berbeda dengan broiler. Mereka dipasarkan berdasarkan tekstur dan rasa, bukan kecepatan pertumbuhan ekstrem.
Dengan memantau kedua set metrik ini, peternak dapat membuat keputusan manajemen yang tepat, seperti kapan harus memotong ayam jantan atau kapan harus mengganti pakan layer untuk mempertahankan puncak produksi telur.
Diagram pendapatan yang berasal dari dua sumber utama: daging dan telur.
Model bisnis ayam dwiguna berbeda secara fundamental dari peternakan spesialis. Peternak harus menghitung biaya input berdasarkan kebutuhan ganda dan menghitung pendapatan dari tiga sumber utama: telur, ayam jantan potong, dan ayam betina afkir.
Komponen biaya utama pada peternakan dwiguna meliputi biaya tetap (kandang, peralatan) dan biaya variabel (pakan, DOC, obat-obatan). Pakan mendominasi biaya variabel, seringkali mencapai 60-75% dari total biaya operasional.
Asumsi: 1.000 DOC (500 jantan, 500 betina). Bobot potong jantan 2.5 kg pada 18 minggu. Betina mulai bertelur pada 20 minggu.
Dengan asumsi harga pakan layer lebih tinggi karena kandungan kalsium, peternak harus mengelola stok pakan dengan sangat cermat. Penggunaan pakan lokal dan fermentasi dapat memangkas biaya ini secara signifikan, tetapi harus diimbangi dengan analisis nutrisi yang akurat.
Daging ayam dwiguna, karena rasa dan kualitasnya, sering dihargai 1.5 hingga 2 kali lipat harga broiler komersial di pasar premium. Anggaplah harga jual ayam potong hidup (2.5 kg) adalah Rp 50.000 per ekor.
Setelah 12 bulan, 500 ayam betina afkir (dengan asumsi bobot 2.0 kg) juga dijual sebagai daging. Ini memberikan aliran pendapatan kedua yang sering diabaikan dalam model peternakan petelur murni.
Dengan asumsi produksi 200 butir per ekor per tahun untuk 500 betina, total produksi adalah 100.000 butir telur. Jika harga telur premium dwiguna (misalnya, karena warna kuningnya yang intens) adalah 10% lebih tinggi dari harga pasar, margin keuntungan telur menjadi kunci selama fase produksi.
Model dwiguna paling rentan terhadap dua risiko utama: fluktuasi harga pakan dan wabah penyakit.
Mitigasi Pakan: Diversifikasi sumber pakan dengan memanfaatkan limbah pertanian (fermentasi ampas tahu, bungkil kelapa, atau dedak). Hal ini mengurangi ketergantungan pada pakan jagung dan kedelai yang harganya sangat dipengaruhi oleh pasar global.
Mitigasi Penyakit: Investasi pada biosekuriti yang solid (kandang tertutup di malam hari, sanitasi berkala, dan program vaksinasi yang ketat) adalah biaya yang harus dikeluarkan di awal untuk mencegah kerugian masif akibat kematian ternak.
Secara keseluruhan, meskipun Return on Investment (ROI) awal pada ayam dwiguna mungkin sedikit lebih lambat dibandingkan dengan broiler (karena membutuhkan waktu 4-5 bulan untuk mencapai bobot potong yang layak), stabilitas pendapatan dari dua produk yang berbeda dan nilai jual kembali yang tinggi dari aset hidup (ayam afkir) menjadikan model ini secara jangka panjang lebih aman dan berkelanjutan, terutama bagi peternak yang ingin menghindari spekulasi harga komoditas yang tinggi.
Untuk mencapai skala 1.000 ekor, investasi awal tidak hanya mencakup biaya DOC dan pakan, tetapi juga biaya infrastruktur yang harus memenuhi standar kesejahteraan hewan yang lebih tinggi (area umbaran, tempat bertengger yang cukup). Investasi dalam kualitas infrastruktur kandang, seperti sistem ventilasi yang memadai dan bahan kandang yang tahan lama, dapat memperpanjang umur pakai fasilitas hingga 10-15 tahun, sehingga biaya tetap dapat didistribusikan secara efisien dalam jangka waktu yang lebih panjang. Diperlukan modal kerja yang cukup untuk menutupi biaya pakan selama minimal 20 minggu pertama sebelum pendapatan dari telur mulai masuk secara stabil dan ayam jantan mulai dipanen.
Model ini juga memungkinkan peternak untuk memulai dari skala yang jauh lebih kecil (misalnya, 100 ekor) dan membangun pendapatan secara bertahap. Fleksibilitas ini sangat penting bagi peternak yang menggunakan pinjaman mikro atau modal pribadi, karena risiko kegagalan total jauh lebih rendah dibandingkan dengan peternakan yang hanya bergantung pada satu produk.
Seperti sistem peternakan lainnya, model dwiguna menghadapi serangkaian tantangan unik, sebagian besar terkait dengan sifat kompromi genetik dan manajemen yang lebih kompleks.
Tantangan utama adalah bahwa ayam dwiguna adalah 'jack of all trades, master of none.' Mereka tidak seefisien broiler dalam mengubah pakan menjadi daging, dan tidak seproduktif Leghorn dalam jumlah telur.
Solusi: Seleksi genetik terus menerus. Peternak harus berinvestasi pada DOC dari strain dwiguna yang teruji (F1 atau F2 generasi yang masih menunjukkan sifat heterosis) dan melakukan seleksi internal untuk mempertahankan sifat unggul. Fokus harus pada peningkatan kualitas, bukan kuantitas. Alih-alih mengejar HDP 90%, targetkan HDP 75% dengan kualitas telur premium dan nilai karkas yang sangat tinggi.
Memelihara dua tujuan dalam satu flok membutuhkan pemisahan kelompok dan perubahan pakan yang tepat waktu. Kesalahan dalam pemberian pakan layer (kekurangan kalsium) atau pakan finisher (kelebihan protein) dapat merugikan seluruh operasi.
Solusi: Pembuatan protokol pakan yang ketat. Gunakan tabel nutrisi yang disesuaikan untuk setiap tahap kehidupan. Bagi peternak yang meramu pakan sendiri (self-milling), analisis komposisi bahan baku (misalnya kandungan protein pada bungkil kedelai lokal) harus dilakukan secara berkala untuk memastikan keseimbangan yang tepat, terutama pada asam amino esensial seperti metionin dan lisin.
Ayam dwiguna tidak dapat bersaing di pasar komoditas harga rendah. Mereka harus diposisikan sebagai produk premium, yang membutuhkan strategi pemasaran dan branding yang berbeda.
Solusi: Fokus pada narasi 'keberlanjutan' dan 'kesejahteraan hewan'. Peternak harus mendokumentasikan praktik pemeliharaan mereka (akses ke padang rumput, tidak menggunakan antibiotik rutin) dan menjual langsung ke konsumen, restoran kelas atas, atau toko makanan organik. Penekanan harus pada rasa (daging yang lebih padat) dan kualitas nutrisi (kuning telur yang lebih kaya). Ini memerlukan edukasi pasar yang intensif agar konsumen memahami mengapa harga jual lebih tinggi.
Meskipun ayam dwiguna umumnya lebih tangguh, sistem umbaran (free-range atau semi-intensif) meningkatkan risiko predator (musang, ular) dan paparan patogen di tanah.
Solusi: Desain kandang yang aman. Kandang harus sangat kokoh dan ditutup sepenuhnya pada malam hari. Area umbaran harus dipagari dengan baik dan diputar (rotasi padang rumput) untuk mencegah penumpukan parasit dan penyakit. Jika memungkinkan, integrasikan padang rumput ayam dengan ternak ruminansia (sapi/kambing) untuk membantu mengontrol gulma dan serangga, meningkatkan ekosistem mikro yang sehat.
Dalam konteks perubahan iklim, peningkatan populasi global, dan tuntutan etika peternakan yang lebih tinggi, ayam dwiguna muncul bukan hanya sebagai model bisnis yang baik, tetapi juga sebagai solusi ekologis yang penting.
Ayam dwiguna sangat cocok untuk sistem integrasi pertanian-peternakan. Dalam sistem agroforestri atau perkebunan (misalnya, kelapa sawit atau kakao), ayam dilepaskan untuk memakan gulma, serangga hama, dan biji-bijian yang jatuh. Mereka berfungsi sebagai pengendali hama alami dan, yang lebih penting, sebagai pabrik kompos berjalan.
Kotoran ayam yang didistribusikan di area umbaran meningkatkan kesuburan tanah dan mengurangi kebutuhan akan pupuk kimia. Ini menciptakan siklus nutrisi tertutup yang sangat efisien. Ayam dwiguna lebih unggul dalam sistem ini karena kemampuan mencari makan mereka yang lebih baik dibandingkan ayam broiler yang pasif.
Peternakan ayam dwiguna cenderung memiliki jejak karbon yang lebih rendah per unit protein dibandingkan peternakan spesialis intensif, karena beberapa alasan:
Peternakan yang bergantung pada ayam dwiguna menunjukkan ketahanan yang lebih baik selama masa krisis, seperti lonjakan harga pakan global atau gangguan rantai pasok. Karena mereka dapat bertahan hidup dan mempertahankan produksi dengan pakan campuran lokal (sekam, sayuran sisa, singkong), peternak kecil memiliki bantalan ekonomi yang lebih besar. Mereka mewakili model desentralisasi produksi pangan, menjauh dari ketergantungan pada beberapa perusahaan besar pakan dan genetik.
Masa depan ayam dwiguna sangat cerah, didorong oleh kemajuan dalam seleksi genetik dan pergeseran permintaan konsumen ke arah produk yang berkelanjutan dan beretika.
Penggunaan alat genetik modern, seperti marker-assisted selection (MAS), memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi gen yang secara simultan mengendalikan sifat pertumbuhan dan produksi telur. Hal ini akan mempercepat pengembangan strain dwiguna yang memiliki FCR dan HDP yang mendekati ras spesialis, tanpa mengorbankan ketahanan atau kualitas karkas.
Di Indonesia, fokus pada riset KUB dan persilangan dengan ras lokal akan terus meningkatkan kemampuan ayam dwiguna untuk beradaptasi pada iklim mikro yang spesifik dan memanfaatkan sumber pakan yang tersedia secara lokal.
Keprihatinan etika terhadap pemusnahan anak ayam jantan di industri petelur komersial telah mendorong investasi besar pada solusi 'no kill' atau 'dual-purpose.' Ayam dwiguna adalah solusi biologis terbaik saat ini untuk mengatasi masalah etika ini. Institusi besar dan pengecer makanan di Eropa dan Amerika Utara sudah mulai menuntut produk telur dan daging yang berasal dari sistem dwiguna.
Tren ini akan menciptakan pasar ekspor yang besar bagi peternakan di Asia yang mampu menyediakan produk dwiguna yang disertifikasi sesuai standar kesejahteraan hewan internasional.
Aplikasi teknologi presisi akan semakin vital. Penggunaan sensor dan IoT (Internet of Things) di kandang semi-intensif dapat membantu peternak memantau lingkungan (suhu, kelembaban, kadar amonia) dan kesehatan individu ayam secara real-time. Misalnya, timbangan pakan otomatis dapat memantau konsumsi harian individu untuk mendeteksi dini penurunan produksi telur atau penyakit.
Ayam dwiguna, dengan kemampuannya untuk beradaptasi dan memberikan nilai ekonomi ganda, bukan hanya warisan dari masa lalu, tetapi merupakan model peternakan yang dirancang sempurna untuk tantangan pangan di masa depan: menyeimbangkan produksi protein yang memadai dengan tanggung jawab ekologis dan etika yang semakin ketat.
Ayam dwiguna menawarkan solusi holistik bagi peternakan modern yang berusaha mencapai keberlanjutan. Mereka mengurangi risiko ekonomi, meningkatkan efisiensi sumber daya melalui integrasi pertanian, dan memberikan produk yang secara etis lebih diterima oleh pasar yang semakin sadar. Keberhasilan dalam budidaya ayam dwiguna terletak pada pemahaman mendalam tentang kompromi genetik yang melekat, penerapan manajemen nutrisi yang tepat untuk dua tujuan produksi yang berbeda, dan strategi pemasaran yang menekankan pada kualitas premium dan narasi etika.
Bagi peternak skala kecil, menengah, maupun besar yang berkomitmen pada prinsip-prinsip keberlanjutan dan ketahanan pangan, investasi pada ras ayam dwiguna adalah langkah strategis yang akan memberikan dividen jangka panjang dalam bentuk stabilitas ekonomi dan kontribusi positif terhadap lingkungan dan kesejahteraan hewan.
Meningkatnya kesadaran akan pentingnya diversifikasi genetik dalam stok unggas global menjadikan ayam dwiguna sebagai pahlawan tanpa tanda jasa di lini depan ketahanan pangan dunia.
Untuk mencapai titik efisiensi maksimal pada sistem dwiguna, peternak tidak bisa sepenuhnya bergantung pada pakan pabrikan yang harganya fluktuatif. Kemampuan meracik pakan (self-milling) dengan memanfaatkan bahan baku lokal adalah faktor pembeda utama dalam profitabilitas.
Bahan pakan lokal harus diolah untuk menghilangkan zat antinutrisi dan meningkatkan daya cerna. Ayam dwiguna, karena sistem pencernaannya yang lebih kuat dibandingkan broiler super cepat, dapat memanfaatkan bahan berikut:
Tidak hanya komposisi, cara pemberian pakan juga harus diatur. Pada ayam dwiguna, pemberian pakan ad libitum (sekehendak hati) sering kali menyebabkan ayam terlalu cepat gemuk pada fase grower, yang menghambat dimulainya produksi telur.
Manajemen pakan yang terstruktur, yang memisahkan ayam jantan dan betina pada usia 4 bulan dan mengelola kualitas serta kuantitas pakan secara berbeda, adalah keharusan mutlak dalam peternakan dwiguna.
Sistem semi-intensif menawarkan kesejahteraan yang lebih baik, tetapi meningkatkan kontak dengan lingkungan yang berpotensi membawa patogen. Biosekuriti harus disesuaikan untuk sistem ini.
Meskipun ayam dwiguna lebih tahan, mereka tetap rentan terhadap virus umum. Program vaksinasi harus dipatuhi tanpa kompromi. Khusus untuk ND (Tetelo), yang endemik di banyak wilayah, peternak harus menggunakan vaksin aktif (live vaccine) yang diberikan melalui air minum atau tetes mata/hidung, diikuti dengan booster vaksin inaktif (killed vaccine) sebelum puncak produksi.
Infestasi cacing dan koksidiosis (coccidiosis) adalah masalah nomor satu dalam sistem umbaran.
Ayam dwiguna yang terpapar panas (heat stress) akan mengalami penurunan signifikan dalam produksi telur dan laju pertumbuhan. Stres panas juga menyebabkan kulit telur tipis. Solusi mencakup:
Penyediaan naungan yang memadai di area umbaran, memastikan akses air minum dingin yang tak terbatas, dan penambahan elektrolit serta vitamin C ke dalam air minum selama periode suhu puncak (siang hari).
Pengawasan harian terhadap perilaku ayam—seperti penurunan nafsu makan, kelesuan, atau perubahan warna jengger—adalah kunci deteksi dini, yang memungkinkan isolasi individu yang sakit dan meminimalkan penyebaran di dalam flok yang besar.
Untuk sukses secara ekonomi, ayam dwiguna harus keluar dari persaingan harga dengan komoditas. Ini memerlukan strategi pemasaran yang berfokus pada nilai (value), bukan volume.
Pasar premium didorong oleh cerita dan transparansi. Peternakan dwiguna harus mengomunikasikan praktik mereka:
Strategi penjualan telur harus diperkuat oleh penjualan daging, dan sebaliknya. Misalnya, telur dijual dengan kemasan yang mencantumkan nama ras ayam (misalnya, "Telur Rhode Island Red") untuk menonjolkan kualitas heritage. Sementara daging jantan dijual sebagai "Ayam Kampung Super" atau "Ayam Potong Premium" dengan deskripsi rasa yang superior.
Peternak dapat menciptakan paket berlangganan atau penjualan langsung ke konsumen (Direct-to-Consumer/D2C) melalui media sosial atau pasar tani. Ini menghilangkan perantara dan memungkinkan peternak untuk mempertahankan margin keuntungan yang lebih tinggi, yang sangat penting untuk menutupi biaya operasional yang mungkin lebih tinggi dibandingkan sistem intensif.
Mendapatkan sertifikasi organik atau sertifikasi kesejahteraan hewan dari lembaga independen akan memvalidasi klaim premium. Selain itu, kemitraan dengan koki atau restoran lokal yang berfokus pada bahan baku lokal dan kualitas dapat menjadi saluran distribusi yang sangat menguntungkan dan kredibel.
Keberhasilan jangka panjang ayam dwiguna di Indonesia sangat bergantung pada adaptasi ras impor dan pengembangan ras lokal seperti KUB, Sentul, atau ras-ras persilangan lainnya yang sesuai dengan iklim mikro dan sumber daya pakan yang ada.
Banyak peternak dwiguna kecil menggunakan persilangan F1 (generasi pertama) yang menunjukkan efek heterosis (kekuatan hibrida), di mana keturunan lebih kuat dan lebih produktif daripada kedua induk murninya. Misalnya, menyilangkan pejantan RIR dengan ayam kampung lokal dapat menghasilkan ayam yang tumbuh lebih cepat dan bertelur lebih banyak daripada ayam kampung murni, tetapi tetap mempertahankan ketahanan lokal.
Namun, peternak harus berhati-hati untuk tidak menggunakan hasil persilangan F2 atau seterusnya sebagai stok pembiakan, karena sifat-sifat unggul (vigor) cenderung menurun pada generasi berikutnya (inbreeding depression). Peternak harus secara rutin membeli DOC F1 atau F0 dari sumber terpercaya yang melakukan seleksi genetik berkelanjutan.
Riset yang didanai oleh pemerintah dan universitas harus fokus pada pemetaan genomik ayam lokal untuk mengidentifikasi gen-gen yang bertanggung jawab atas ketahanan terhadap panas, efisiensi pakan berbasis hijauan, dan ketahanan terhadap penyakit tropis.
Contohnya, penelitian tentang Ayam Sentul (ras lokal Jawa Barat) menunjukkan kemampuan yang luar biasa dalam memanfaatkan pakan berserat tinggi. Mengintegrasikan sifat ini ke dalam strain dwiguna komersial akan mengurangi biaya pakan secara drastis bagi peternak di pedesaan.
Untuk mendukung peternakan dwiguna yang berkelanjutan, harus didirikan sentra-sentra produksi pakan non-konvensional di tingkat desa. Ini termasuk budidaya larva Black Soldier Fly (BSF) sebagai sumber protein alternatif, yang dapat tumbuh dari limbah organik, dan budidaya maggot yang menawarkan solusi protein yang jauh lebih murah dan berkelanjutan dibandingkan kedelai atau tepung ikan impor.