Membedah Fikih Sholat Jamak Ashar dan Maghrib

Ilustrasi dua waktu sholat, siang dan malam, yang terpisah. Ashar Maghrib Pemisah Waktu

Ilustrasi waktu Ashar yang terang benderang dipisahkan secara tegas dari waktu Maghrib yang gelap dengan bulan sabit. Ini melambangkan tidak adanya penggabungan antara kedua sholat ini.

Ilustrasi pemisahan tegas antara waktu sholat Ashar (siang) dan Maghrib (malam).

Pendahuluan: Islam sebagai Agama Kemudahan

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam. Salah satu karakteristik utamanya adalah kemudahan (al-yusr). Syariat Islam tidak diciptakan untuk memberatkan pemeluknya, melainkan untuk membimbing mereka menuju kebaikan di dunia dan akhirat dengan cara yang realistis dan manusiawi. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

"...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." (QS. Al-Baqarah: 185)

Prinsip kemudahan ini termanifestasi dalam berbagai aspek ibadah, salah satunya adalah melalui konsep rukhsah. Rukhsah secara bahasa berarti keringanan atau kelonggaran. Dalam istilah fikih, ia adalah hukum yang disyariatkan karena adanya suatu uzur atau keadaan darurat, sebagai pengecualian dari hukum asal (azimah) yang berlaku dalam kondisi normal. Salah satu bentuk rukhsah yang paling sering dijumpai dalam ibadah sholat adalah sholat jamak, yaitu menggabungkan dua sholat fardhu dalam satu waktu.

Keringanan ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Dalam kondisi tertentu seperti perjalanan jauh (safar), hujan lebat, atau sakit, seorang Muslim diberikan pilihan untuk menggabungkan sholat Dzuhur dengan Ashar, atau Maghrib dengan Isya. Namun, sebuah pertanyaan yang sering muncul dan menjadi topik diskusi di kalangan umat Islam adalah mengenai kemungkinan menjamak atau menggabungkan sholat jamak Ashar dan Maghrib. Artikel ini akan membahas secara mendalam, tuntas, dan komprehensif mengenai konsep sholat jamak secara umum, dan secara khusus mengkaji hukum serta pandangan para ulama mengenai penggabungan sholat Ashar dan Maghrib.

Memahami Konsep Dasar Sholat Jamak

Sebelum melangkah lebih jauh ke pembahasan spesifik tentang Ashar dan Maghrib, sangat penting untuk memiliki pemahaman yang kokoh mengenai apa itu sholat jamak, jenis-jenisnya, serta sholat apa saja yang pada dasarnya dapat digabungkan.

1. Definisi Sholat Jamak

Secara etimologi, kata "jamak" (جمع) dalam bahasa Arab berarti mengumpulkan atau menggabungkan. Dalam konteks fikih ibadah, sholat jamak adalah pelaksanaan dua sholat fardhu yang dikumpulkan dan dikerjakan dalam salah satu dari dua waktu sholat tersebut. Misalnya, sholat Dzuhur dan Ashar dikerjakan sekaligus pada waktu Dzuhur, atau dikerjakan sekaligus pada waktu Ashar.

Penting untuk dicatat bahwa sholat jamak berbeda dengan sholat qadha. Sholat qadha adalah mengganti sholat yang terlewat atau tidak dikerjakan pada waktunya. Sementara itu, sholat jamak adalah pelaksanaan sholat yang sah, yang dilakukan pada waktunya (salah satu dari dua waktu yang digabung) berdasarkan dalil dan sebab yang dibenarkan oleh syariat.

2. Jenis-jenis Sholat Jamak

Dalam praktiknya, sholat jamak terbagi menjadi dua jenis utama, yaitu Jamak Taqdim dan Jamak Ta'khir.

a. Jamak Taqdim (Mengajukan)

Jamak Taqdim adalah menggabungkan dua sholat fardhu dan melaksanakannya di waktu sholat yang pertama. Contohnya:

Syarat utama untuk sahnya Jamak Taqdim adalah adanya niat untuk menjamak pada saat takbiratul ihram sholat yang pertama (sholat Dzuhur atau Maghrib). Selain itu, pelaksanaannya harus berurutan (tartib), yaitu mendahulukan sholat yang pertama (Dzuhur sebelum Ashar, Maghrib sebelum Isya), dan dilakukan secara berkesinambungan (muwalat), artinya tidak ada jeda waktu yang lama antara sholat pertama dan kedua.

b. Jamak Ta'khir (Mengakhirkan)

Jamak Ta'khir adalah menggabungkan dua sholat fardhu dan melaksanakannya di waktu sholat yang kedua. Contohnya:

Syarat utama untuk sahnya Jamak Ta'khir adalah adanya niat untuk menjamak ta'khir yang dilakukan ketika waktu sholat pertama masih ada. Tujuannya adalah agar seseorang tidak dianggap sengaja meninggalkan sholat pada waktunya. Berbeda dengan Jamak Taqdim, sebagian ulama (seperti mazhab Syafi'i) tidak mensyaratkan urutan (tartib) dalam Jamak Ta'khir, meskipun melakukannya secara berurutan tetap lebih utama.

3. Sholat yang Boleh Dijamak

Berdasarkan dalil-dalil dari hadits Nabi Muhammad SAW dan praktik para sahabat, para ulama sepakat (ijma') bahwa sholat fardhu yang dapat dijamak adalah sholat yang memiliki waktu yang saling berdekatan atau berada dalam satu blok waktu (siang dan malam). Pasangan sholat tersebut adalah:

  1. Sholat Dzuhur dengan Sholat Ashar.
  2. Sholat Maghrib dengan Sholat Isya.

Adapun sholat Subuh, para ulama sepakat bahwa sholat ini tidak dapat dijamak dengan sholat mana pun. Sholat Subuh memiliki waktu yang terpisah dan spesifik, yaitu antara terbit fajar shadiq hingga terbit matahari. Ia tidak bisa digabungkan dengan sholat Isya (sebelumnya) maupun sholat Dzuhur (setelahnya). Begitu pula sholat Ashar tidak bisa dijamak dengan Maghrib, dan sholat Isya tidak bisa dijamak dengan Subuh. Inilah titik awal pembahasan kita mengenai sholat jamak Ashar dan Maghrib.

Dalil dan Landasan Hukum Sholat Jamak

Keringanan untuk menjamak sholat tidak datang begitu saja, melainkan bersumber dari Al-Qur'an (secara implisit), Hadits Nabi Muhammad SAW (secara eksplisit), dan ijma' (konsensus) para ulama.

1. Dalil dari Al-Qur'an

Meskipun tidak ada ayat yang secara langsung menyebutkan tentang "jamak sholat", para ulama merujuk pada prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam Al-Qur'an, seperti prinsip menghilangkan kesulitan yang telah disebutkan sebelumnya (QS. Al-Baqarah: 185 dan QS. Al-Hajj: 78). Selain itu, ayat tentang waktu sholat sering ditafsirkan memiliki fleksibilitas.

"Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat) subuh. Sesungguhnya sholat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (QS. Al-Isra: 78)

Sebagian mufassir menafsirkan "sesudah matahari tergelincir" (lidulukisy syams) mencakup waktu Dzuhur dan Ashar. "Sampai gelap malam" (ila ghasaqil lail) mencakup waktu Maghrib dan Isya. "Sholat Subuh" (wa qur'anal fajr) berdiri sendiri. Penafsiran ini memberikan sinyal adanya keterkaitan waktu antara Dzuhur-Ashar dan Maghrib-Isya.

2. Dalil dari Hadits

Hadits adalah sumber utama dan paling eksplisit mengenai praktik sholat jamak. Banyak riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah menjamak sholatnya.

Hadits tentang Jamak saat Safar (Perjalanan):

Dari Anas bin Malik ra, ia berkata: "Apabila Rasulullah SAW berangkat dalam perjalanan sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan sholat Dzuhur ke waktu sholat Ashar, kemudian beliau turun (dari kendaraan) lalu menjamak keduanya. Jika matahari telah tergelincir sebelum beliau berangkat, beliau sholat Dzuhur terlebih dahulu kemudian baru naik kendaraan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini dan banyak hadits serupa lainnya menjadi landasan utama dibolehkannya menjamak sholat bagi musafir.

Hadits tentang Jamak karena Hujan:

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: "Rasulullah SAW menjamak antara sholat Dzuhur dan Ashar, serta antara Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena takut dan bukan pula karena safar." Abu Zubair berkata: "Aku bertanya kepada Sa'id (bin Jubair), 'Mengapa beliau melakukan itu?' Sa'id menjawab: 'Aku juga bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku, lalu ia menjawab: 'Beliau ingin agar tidak memberatkan umatnya'." (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa jamak tersebut dilakukan karena adanya hujan atau sebab lain yang menyulitkan. Hadits ini menjadi dasar bagi sebagian mazhab untuk membolehkan jamak karena hujan lebat yang menyulitkan untuk bolak-balik ke masjid.

Hadits tentang Jamak Tanpa Sebab Tertentu (Karena Kebutuhan):

Hadits Ibnu Abbas di atas juga menjadi perdebatan menarik. Pernyataan "beliau ingin agar tidak memberatkan umatnya" membuka ruang interpretasi yang luas bagi para ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa ini menunjukkan bolehnya menjamak sholat karena adanya hajah (kebutuhan) atau masyaqqah (kesulitan) yang signifikan, meskipun tidak sedang dalam perjalanan atau hujan. Misalnya, seorang dokter yang sedang melakukan operasi bedah yang panjang, seorang petugas pemadam kebakaran, atau kondisi darurat lainnya.

Fokus Utama: Bolehkah Menjamak Sholat Ashar dan Maghrib?

Setelah memahami dasar-dasar sholat jamak, kini kita sampai pada inti permasalahan: apakah syariat Islam memperbolehkan penggabungan sholat jamak Ashar dan Maghrib?

Jawaban singkat dan tegas dari mayoritas mutlak ulama dari empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) serta para ulama salaf lainnya adalah: TIDAK BOLEH. Menjamak sholat Ashar dengan sholat Maghrib adalah praktik yang tidak sah dan tidak dikenal dalam syariat Islam.

Pengharaman ini bukan tanpa alasan. Ada beberapa argumen fundamental yang sangat kuat yang menjadi dasar kesepakatan para ulama (jumhur ulama) mengenai masalah ini.

1. Tidak Adanya Dalil yang Memperbolehkan

Prinsip dasar dalam ibadah adalah tauqifi, artinya ibadah harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tidak boleh ada penambahan, pengurangan, atau modifikasi dalam tata cara ibadah tanpa adanya dalil yang jelas.

Seluruh dalil hadits yang ada mengenai sholat jamak, baik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun para sahabat, hanya menyebutkan dua pasang sholat: Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. Tidak ada satu pun riwayat yang shahih, bahkan yang dhaif (lemah) sekalipun, yang mengisahkan bahwa Rasulullah SAW pernah menggabungkan sholat Ashar dengan Maghrib. Ketiadaan dalil ini adalah argumen terkuat. Jika hal tersebut diperbolehkan, pasti Rasulullah SAW pernah melakukannya setidaknya sekali sebagai contoh bagi umatnya, atau setidaknya pernah menjelaskannya.

2. Perbedaan Karakteristik Waktu yang Fundamental

Para ulama menjelaskan hikmah di balik pengelompokan jamak. Sholat Dzuhur dan Ashar sama-sama merupakan sholat nahariyah (sholat di waktu siang). Keduanya memiliki waktu yang bersambung. Waktu Dzuhur berakhir ketika waktu Ashar dimulai.

Begitu pula dengan sholat Maghrib dan Isya, keduanya adalah sholat lailiyah (sholat di waktu malam). Waktu Maghrib berakhir (menurut sebagian pendapat) ketika waktu Isya dimulai. Keduanya berada dalam satu blok waktu malam.

Kondisi ini sangat berbeda dengan Ashar dan Maghrib. Sholat Ashar adalah sholat terakhir di waktu siang, sementara sholat Maghrib adalah sholat pertama di waktu malam. Peralihan antara keduanya ditandai oleh peristiwa alam yang sangat signifikan, yaitu terbenamnya matahari (ghurubusy syams). Terbenamnya matahari bukan hanya penanda pergantian waktu sholat, tetapi juga penanda pergantian hari dalam kalender Hijriah. Ia adalah batas pemisah yang sangat jelas dan tegas.

Waktu sholat telah ditetapkan secara spesifik. Allah berfirman: "...Sesungguhnya sholat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa: 103)

Menggabungkan sholat yang dipisahkan oleh batas fundamental (siang dan malam) seperti Ashar dan Maghrib dianggap sebagai pelanggaran terhadap batas waktu yang telah ditetapkan ini tanpa adanya dalil yang melegitimasinya.

3. Konsep Jamak Suri (Jamak Secara Bentuk, Bukan Hakikat)

Sebagian kalangan, terutama dalam mazhab Hanafi yang pada dasarnya tidak membolehkan jamak kecuali di Arafah dan Muzdalifah saat haji, mengenal konsep yang disebut Jamak Suri (jamak bentuk). Ini bukanlah jamak hakiki. Praktiknya adalah dengan cara:

Secara teknis, kedua sholat ini tetap dilaksanakan pada waktunya masing-masing. Dzuhur di akhir waktu Dzuhur, dan Ashar di awal waktu Ashar. Namun, karena dilakukan secara berurutan tanpa jeda panjang, ia terlihat "seperti" jamak.

Bahkan dengan konsep Jamak Suri ini pun, menggabungkan Ashar dan Maghrib tetap tidak dimungkinkan. Seseorang tidak bisa mengakhirkan sholat Ashar hingga menjelang matahari terbenam, lalu setelah matahari terbenam (waktu Maghrib masuk) ia langsung sholat Maghrib. Meskipun terlihat berurutan, ini bukanlah jamak, melainkan sholat Ashar di akhir waktu dan sholat Maghrib di awal waktu. Ini adalah praktik normal, bukan rukhsah. Tidak ada penggabungan waktu sama sekali.

4. Jawaban Atas Potensi Kesalahpahaman

Mungkin ada yang bertanya, "Bukankah hadits Ibnu Abbas menyebutkan Nabi menjamak untuk tidak memberatkan umatnya? Jika saya berada dalam kondisi sangat sulit yang membentang dari waktu Ashar hingga Maghrib, apakah saya tidak bisa menjamaknya?"

Para ulama menjawab bahwa prinsip "tidak memberatkan umat" (raf'ul haraj) tetap harus berada dalam koridor dalil yang ada. Keringanan yang diberikan Nabi adalah menjamak Dzuhur-Ashar atau Maghrib-Isya. Beliau tidak memberikan keringanan untuk menjamak Ashar-Maghrib. Artinya, batas maksimal kesulitan yang dapat ditoleransi oleh syariat untuk diberikan rukhsah jamak adalah pada pasangan sholat yang telah ditentukan.

Dalam kondisi darurat yang luar biasa (misalnya, seorang pasien yang dibius total dari sebelum Ashar hingga setelah Maghrib), maka ia masuk dalam kategori uzur syar'i yang berbeda. Ia mungkin bisa meng-qadha sholatnya nanti ketika sadar, atau jika kondisinya memungkinkan, ia sholat sesuai kemampuannya (misalnya dengan isyarat). Ini bukan lagi ranah jamak, melainkan ranah fikih orang sakit atau orang yang kehilangan kesadaran, yang memiliki aturannya sendiri.

Sebab-Sebab yang Membolehkan Sholat Jamak (Untuk Pasangan yang Sah)

Untuk melengkapi pemahaman, penting untuk mengetahui secara rinci sebab-sebab yang disepakati atau menjadi bahan diskusi para ulama yang memperbolehkan seseorang melakukan sholat jamak (Dzuhur-Ashar dan Maghrib-Isya).

1. Safar (Perjalanan Jauh)

Ini adalah sebab yang paling disepakati oleh seluruh ulama. Seorang musafir (orang yang bepergian) mendapatkan keringanan untuk menjamak dan meng-qashar (meringkas sholat 4 rakaat menjadi 2) sholatnya. Namun, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi:

2. Hujan Lebat (Mathar)

Beberapa mazhab, seperti Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, membolehkan menjamak sholat karena hujan lebat, terutama jamak taqdim antara Maghrib dan Isya di masjid. Alasannya adalah untuk menghilangkan kesulitan bagi jamaah yang harus kembali ke masjid dalam kondisi gelap, becek, dan hujan lebat. Syarat-syaratnya antara lain:

3. Sakit (Maradh)

Sebagian ulama, terutama dari mazhab Hanbali dan beberapa ulama Syafi'i, memperbolehkan jamak bagi orang yang sakit parah. Sakit yang dimaksud bukanlah sakit ringan seperti pusing atau flu biasa, melainkan sakit yang membuat seseorang sangat kesulitan untuk bersuci (wudhu/tayamum) dan melaksanakan sholat pada setiap waktunya. Misalnya, orang yang harus terus terbaring, sulit bergerak, atau akan merasakan sakit yang luar biasa jika harus berwudhu berkali-kali. Keringanan ini diambil dari pemahaman umum prinsip menghilangkan kesulitan.

4. Kebutuhan Mendesak (Hajah)

Ini adalah sebab yang paling luas cakupannya dan paling banyak menjadi perdebatan, bersumber dari hadits Ibnu Abbas yang telah disebutkan. Sebagian ulama, terutama dari kalangan mazhab Hanbali dan beberapa ulama kontemporer, memperbolehkan jamak karena adanya hajah syar'iyyah atau kebutuhan mendesak yang jika tidak dilakukan akan menyebabkan kerugian atau kesulitan yang sangat besar.

Namun, penting untuk menggarisbawahi bahwa "kebutuhan" ini tidak boleh dijadikan kebiasaan. Ia hanya berlaku untuk situasi-situasi insidental dan darurat. Contohnya:

Menggunakan alasan ini untuk hal-hal sepele seperti "sedang rapat", "sedang asyik bekerja", atau "malas" adalah penyalahgunaan rukhsah yang tidak dapat dibenarkan.

Kesimpulan: Meneguhkan Pemahaman yang Benar

Sholat adalah tiang agama dan ibadah terpenting yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya. Menjaganya pada waktu yang telah ditentukan adalah prinsip utama yang harus dipegang teguh oleh setiap Muslim.

Syariat Islam, dengan segala kasih sayang dan kemudahannya, memberikan rukhsah (keringanan) berupa sholat jamak bagi mereka yang berada dalam kondisi-kondisi tertentu yang menyulitkan. Keringanan ini berlaku untuk pasangan sholat Dzuhur-Ashar dan Maghrib-Isya.

Adapun pertanyaan mengenai sholat jamak Ashar dan Maghrib, telah jelas berdasarkan konsensus (ijma') para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan dan tidak sah. Alasannya sangat kokoh: tidak adanya satu pun dalil dari Al-Qur'an dan Hadits yang mencontohkannya, serta adanya pemisah waktu yang fundamental antara siang dan malam (terbenamnya matahari) yang memisahkan kedua sholat tersebut.

Sebagai seorang Muslim yang taat, kewajiban kita adalah mengikuti apa yang telah digariskan oleh syariat. Memahami kapan kita boleh mengambil rukhsah dan kapan kita harus berpegang pada hukum asal (azimah) adalah cerminan dari kedalaman ilmu dan ketakwaan. Semoga kita senantiasa diberikan kemudahan oleh Allah SWT untuk dapat mendirikan sholat dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.

🏠 Kembali ke Homepage