Al-Qur'an, kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, adalah sumber utama petunjuk bagi umat Islam. Kitab suci ini merupakan lautan hikmah yang tak terbatas, namun untuk memahami kedalaman maknanya, konteks turunnya (asbabun nuzul), dan implikasinya dalam kehidupan, diperlukan penjelasan atau interpretasi. Di sinilah peran vital seorang mufasir hadir. Mufasir adalah seorang ulama yang memiliki kapasitas dan keahlian khusus dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an, menjembatani kesenjangan antara teks wahyu yang kadang bersifat umum atau multitafsir dengan pemahaman dan aplikasi praktis bagi umat manusia. Mereka bukan sekadar penerjemah kata per kata, melainkan penyelam samudera makna, penggali mutiara hikmah, dan penunjuk arah yang menerangi jalan menuju pemahaman hakiki tentang firman Allah.
Tugas seorang mufasir sangatlah berat dan mulia. Mereka harus menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman, mulai dari bahasa Arab klasik yang mendalam (nahwu, sharaf, balaghah), ilmu-ilmu Al-Qur'an (seperti asbabun nuzul, nasikh-mansukh, muhkam-mutasyabih), hadis Nabi ﷺ dan ilmunya, sejarah Islam, fiqih, ushul fiqih, bahkan terkadang ilmu-ilmu alam dan sosial, tergantung pada corak tafsir yang mereka pilih. Dengan bekal ilmu yang kokoh ini, mufasir berupaya mengungkap pesan-pesan ilahi yang tersembunyi, menjawab pertanyaan-pertanyaan kontemporer dengan cahaya Al-Qur'an, dan membimbing umat untuk mengamalkan ajaran-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Artikel ini akan menyelami lebih jauh tentang siapa itu mufasir, bagaimana sejarah perkembangan ilmu tafsir, berbagai metodologi yang digunakan, serta mengenal beberapa mufasir besar yang telah mewariskan khazanah keilmuan yang tak ternilai harganya.
Definisi dan Pentingnya Mufasir
Siapakah Mufasir Itu?
Secara etimologi, kata "mufasir" (مُفَسِّر) berasal dari kata kerja bahasa Arab "fassara" (فَسَّرَ) yang berarti menjelaskan, menerangkan, atau menyingkapkan. Dengan demikian, mufasir adalah orang yang melakukan tindakan "tafsir" (تفسير), yaitu upaya menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam konteks keilmuan Islam, mufasir adalah seorang sarjana muslim yang mendalami dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang diperlukan untuk menginterpretasi Al-Qur'an secara komprehensif. Mereka bukan sekadar pembaca atau penghafal, melainkan seorang ahli yang mampu menganalisis teks, konteks, dan implikasi hukum serta spiritual dari firman Allah.
Mengapa Peran Mufasir Sangat Penting?
Pentingnya mufasir tidak dapat diremehkan, karena tanpa mereka, pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur'an akan terbatas dan rentan terhadap salah tafsir. Beberapa alasan utama mengapa mufasir sangat penting antara lain:
- Kedalaman Bahasa Arab Al-Qur'an: Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab klasik yang sangat kaya dan kompleks, dengan berbagai gaya bahasa (balaghah), metafora, dan nuansa makna. Tidak semua penutur bahasa Arab kontemporer dapat memahami kedalaman ini, apalagi non-Arab. Mufasir, dengan penguasaan bahasa Arab yang superior, mampu membuka gerbang pemahaman ini.
- Konteks Historis (Asbabun Nuzul): Banyak ayat Al-Qur'an diturunkan sebagai respons terhadap peristiwa atau pertanyaan tertentu. Pengetahuan tentang 'asbabun nuzul' (sebab-sebab turunnya ayat) sangat krusial untuk memahami maksud ayat secara benar. Mufasir mengumpulkan dan menganalisis riwayat-riwayat tentang asbabun nuzul ini.
- Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih: Al-Qur'an mengandung ayat-ayat 'muhkam' (jelas dan tegas) dan 'mutasyabih' (memiliki beberapa kemungkinan makna atau hanya Allah yang tahu maknanya). Mufasir membantu membedakan dan menjelaskan bagaimana menyikapi kedua jenis ayat ini agar tidak jatuh pada penafsiran yang sesat.
- Konsistensi dan Koherensi Makna: Al-Qur'an adalah satu kesatuan yang utuh. Mufasir memastikan bahwa penafsiran satu ayat tidak bertentangan dengan ayat lain atau dengan prinsip-prinsip syariat secara keseluruhan. Mereka menjaga konsistensi makna Al-Qur'an.
- Relevansi Sepanjang Masa: Meskipun diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu, pesan Al-Qur'an bersifat abadi dan relevan untuk setiap zaman. Mufasir modern berupaya mengaitkan ajaran Al-Qur'an dengan tantangan dan isu-isu kontemporer, memberikan solusi dan bimbingan yang bersumber dari wahyu.
- Perlindungan dari Bid'ah dan Penyimpangan: Dengan memberikan penafsiran yang sahih dan berdasarkan metodologi yang benar, mufasir berperan penting dalam melindungi umat dari penafsiran-penafsiran sesat yang dapat mengarah pada bid'ah, khurafat, atau ekstremisme.
Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir
Perjalanan ilmu tafsir adalah cerminan dari dinamika intelektual dan spiritual umat Islam sepanjang masa. Perkembangannya dapat dibagi menjadi beberapa fase:
1. Fase Awal (Masa Nabi Muhammad ﷺ dan Sahabat)
Pada masa Nabi Muhammad ﷺ, beliau adalah mufasir utama Al-Qur'an. Setiap kali ada keraguan atau pertanyaan tentang ayat yang turun, para sahabat akan langsung bertanya kepada beliau. Penjelasan Nabi ﷺ tentang Al-Qur'an disebut "Tafsir Nabawi". Setelah wafatnya Nabi, para sahabat senior mengambil peran ini. Mereka adalah generasi pertama mufasir yang memahami Al-Qur'an langsung dari sumbernya. Beberapa sahabat yang terkenal keahliannya dalam tafsir adalah:
- Abdullah bin Abbas: Dikenal sebagai "Turjumanul Qur'an" (Juru Bicara Al-Qur'an) berkat doa Nabi ﷺ kepadanya. Beliau memiliki pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab dan konteks turunnya ayat. Banyak riwayat tafsir dinisbatkan kepadanya.
- Ubay bin Ka'ab: Salah satu penghafal dan pembaca Al-Qur'an terbaik, juga memiliki kumpulan tafsirnya sendiri.
- Ali bin Abi Thalib: Menerima ilmu dari Nabi ﷺ dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang rahasia-rahasia Al-Qur'an.
- Abdullah bin Mas'ud: Sahabat yang sangat dihormati dalam keilmuan Al-Qur'an, dikenal dengan penafsirannya yang berdasarkan pemahaman langsung dari Nabi ﷺ.
Pada fase ini, tafsir masih bersifat lisan, fragmented, dan fokus pada penjelasan makna kata, sebab turunnya ayat, dan hukum yang terkandung.
2. Fase Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in
Setelah wafatnya para sahabat, estafet ilmu tafsir dilanjutkan oleh generasi Tabi'in (murid-murid sahabat) dan Tabi'ut Tabi'in (murid-murid Tabi'in). Pada masa ini, tafsir mulai berkembang di berbagai pusat keilmuan Islam, seperti:
- Madinah: Diteruskan oleh murid-murid Ubay bin Ka'ab dan Zaid bin Tsabit, seperti Abu Al-Aliyah dan Muhammad bin Ka'ab Al-Qurazhi.
- Makkah: Diteruskan oleh murid-murid Ibnu Abbas, seperti Mujahid bin Jabr (yang tafsirnya dianggap paling mendekati metode sahabat), Ikrimah, dan Sa'id bin Jubair.
- Kufah: Diteruskan oleh murid-murid Ibnu Mas'ud, seperti Masruq bin Al-Ajda' dan Qatadah.
Pada fase ini, tafsir mulai sedikit lebih sistematis, dengan pengumpulan riwayat-riwayat tafsir. Namun, penafsirannya masih bercampur dengan hadis-hadis dan riwayat sejarah, belum menjadi disiplin ilmu yang terpisah sepenuhnya.
3. Fase Kodifikasi (Abad ke-2 H dan seterusnya)
Abad ke-2 Hijriah menandai dimulainya era kodifikasi ilmu-ilmu Islam, termasuk tafsir. Tafsir mulai dipisahkan dari hadis. Kitab tafsir pertama yang disusun secara terstruktur biasanya dikaitkan dengan Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) dengan karyanya "Jami' al-Bayan fi Ta'wil Ayi al-Qur'an". Fase ini adalah titik balik penting dalam sejarah tafsir, di mana metodologi mulai dirumuskan dan beragam corak tafsir mulai muncul.
Metodologi Tafsir yang Beragam
Mufasir menggunakan berbagai pendekatan atau metodologi dalam menafsirkan Al-Qur'an, yang berkembang seiring waktu dan juga dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan serta tujuan penafsiran itu sendiri. Secara garis besar, metode tafsir dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, kemudian dibagi lagi ke dalam corak-corak tertentu:
Klasifikasi Berdasarkan Sumber Pengambilan Dalil:
1. Tafsir bi al-Ma'thur (التفسير بالمأثور - Tafsir Berdasarkan Riwayat)
Metode ini adalah yang paling otoritatif dan diutamakan. Mufasir menjelaskan ayat Al-Qur'an dengan:
- Al-Qur'an dengan Al-Qur'an: Menjelaskan satu ayat dengan ayat lain yang lebih jelas atau memberikan rincian. Contohnya, menjelaskan "jalan yang lurus" dalam Al-Fatihah dengan ayat-ayat yang memerinci sifat-sifat jalan tersebut.
- Al-Qur'an dengan Hadis Nabi ﷺ: Penjelasan Nabi ﷺ adalah sumber tafsir paling sahih setelah Al-Qur'an itu sendiri. Banyak hadis yang secara eksplisit menafsirkan ayat-ayat tertentu.
- Al-Qur'an dengan Atsar Sahabat: Para sahabat adalah saksi langsung turunnya wahyu dan banyak dari mereka yang memiliki pemahaman mendalam yang didapat langsung dari Nabi ﷺ.
- Al-Qur'an dengan Atsar Tabi'in: Para Tabi'in adalah murid-murid sahabat yang mewarisi ilmu tafsir dari mereka.
Kelebihan: Menjaga kemurnian tafsir, meminimalisir subjektivitas, sangat kredibel.
Kekurangan: Kadang kurang mampu menjawab isu-isu kontemporer yang spesifik, terbatas pada riwayat yang ada.
2. Tafsir bi al-Ra'y (التفسير بالرأي - Tafsir Berdasarkan Penalaran/Akal)
Metode ini menggunakan ijtihad dan penalaran mufasir setelah menguasai ilmu-ilmu pendukung yang cukup. Ada dua jenis tafsir bi al-ra'y:
- Tafsir bi al-Ra'y al-Mahmud (Terpuji): Didasarkan pada ilmu-ilmu Al-Qur'an, bahasa Arab, hadis, ushul fiqih, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Ini adalah tafsir yang diizinkan dan diperlukan untuk menjawab persoalan baru.
- Tafsir bi al-Ra'y al-Mazmum (Tercela): Dilakukan tanpa dasar ilmu yang memadai, hanya mengandalkan hawa nafsu atau pandangan pribadi tanpa merujuk kepada kaidah-kaidah tafsir yang benar. Ini adalah tafsir yang dilarang dan berbahaya.
Kelebihan: Fleksibel, mampu merespons isu-isu baru, mengembangkan pemahaman yang lebih luas.
Kekurangan: Rentan terhadap subjektivitas dan kesalahan jika tidak didasarkan pada ilmu yang kokoh.
Klasifikasi Berdasarkan Corak dan Pendekatan:
Selain sumber, tafsir juga dapat dibedakan berdasarkan corak atau fokus penafsirannya:
1. Tafsir Lughawi (Corak Kebahasaan)
Fokus pada aspek kebahasaan Al-Qur'an, meliputi morfologi (sharaf), sintaksis (nahwu), retorika (balaghah), etimologi kata, dan gaya bahasa Arab klasik. Mufasir dengan corak ini sangat menekankan makna kata, susunan kalimat, dan keindahan sastra Al-Qur'an. Mereka berusaha mengungkap rahasia i'jaz (kemukjizatan) Al-Qur'an dari sisi kebahasaan.
2. Tafsir Fiqhi/Ahkam (Corak Hukum)
Berfokus pada penggalian hukum-hukum syariat dari ayat-ayat Al-Qur'an. Mufasir akan menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan perintah dan larangan, halal dan haram, serta menjelaskan implikasi hukumnya berdasarkan mazhab fiqih tertentu atau secara komparatif. Kitab tafsir jenis ini biasanya disebut "Tafsir Ayat al-Ahkam".
3. Tafsir Ilmi (Corak Ilmiah/Sains)
Mencoba mengaitkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan modern (fisika, biologi, astronomi, dll.). Tujuannya adalah menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah mukjizat ilmiah dan tidak bertentangan dengan sains modern. Corak ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak memaksakan penafsiran atau menjadikan Al-Qur'an sebagai buku sains.
4. Tafsir Isyari/Sufi (Corak Isyarat/Sufistik)
Menjelaskan Al-Qur'an dengan isyarat-isyarat tersembunyi atau makna-makna batin yang hanya dapat diakses oleh orang-orang yang telah mencapai tingkat spiritual tertentu (ahl al-isharah). Tafsir ini seringkali bersifat mistis dan lebih fokus pada pensucian jiwa serta perjalanan spiritual. Harus berhati-hati agar tidak menyelewengkan makna lahiriah ayat.
5. Tafsir Adabi Ijtima'i (Corak Sosial Kemasyarakatan)
Berusaha menghubungkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan kondisi sosial, moral, dan kemasyarakatan yang relevan. Mufasir mencoba mencari solusi Al-Qur'an terhadap problem-problem sosial dan membimbing umat untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Corak ini sering disebut juga sebagai tafsir modern atau kontemporer.
6. Tafsir Maudhu'i (Corak Tematik)
Mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur'an yang membahas satu tema tertentu, kemudian menganalisisnya secara komprehensif untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang tema tersebut dari perspektif Al-Qur'an. Misalnya, tema tentang "wanita", "jihad", "doa", dll.
Klasifikasi Berdasarkan Metode Penyajian:
- Tafsir Ijmali: Tafsir ringkas, menjelaskan makna umum ayat secara global.
- Tafsir Tahlili: Tafsir analitis, menjelaskan setiap ayat secara detail, membahas aspek bahasa, asbabun nuzul, hukum, dan hikmahnya.
- Tafsir Muqaran: Tafsir komparatif, membandingkan beberapa penafsiran terhadap satu ayat atau beberapa kitab tafsir untuk melihat perbedaan pandangan dan argumentasi mufasir.
Mufasir-Mufasir Terkemuka dan Karya Monumentalnya
Sepanjang sejarah Islam, banyak ulama yang mengabdikan hidupnya untuk menafsirkan Al-Qur'an. Kontribusi mereka telah membentuk khazanah keilmuan yang tak terhingga. Berikut adalah beberapa mufasir besar dari berbagai era dan corak tafsir:
Mufasir Klasik (Ahl al-Ma'thur)
1. Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (w. 310 H)
- Karya: Jami' al-Bayan fi Ta'wil Ayi al-Qur'an (sering disebut Tafsir Ath-Thabari).
- Corak: Ma'thur (riwayat).
- Metodologi: Dianggap sebagai ensiklopedia tafsir riwayat. Beliau menafsirkan ayat demi ayat dengan mengumpulkan riwayat dari Nabi ﷺ, para sahabat, dan Tabi'in dengan sanad yang lengkap. Ath-Thabari juga sering memberikan pandangan sendiri setelah menimbang berbagai riwayat. Karya ini menjadi rujukan utama bagi mufasir setelahnya karena kelengkapan dan ketelitiannya. Ia adalah perintis kodifikasi tafsir riwayat secara komprehensif.
- Kontribusi: Menetapkan standar metodologi tafsir bi al-ma'thur, menyajikan kekayaan riwayat tafsir awal, dan menjadi fondasi bagi semua studi tafsir berikutnya.
2. Imam Abul Fida' Ismail bin Umar bin Katsir (w. 774 H)
- Karya: Tafsir Al-Qur'an al-'Azim (sering disebut Tafsir Ibnu Katsir).
- Corak: Ma'thur (riwayat) dengan penekanan pada sunnah.
- Metodologi: Mengikuti jejak Ath-Thabari namun dengan lebih fokus pada penafsiran Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, kemudian dengan hadis-hadis sahih, kemudian perkataan sahabat, dan terakhir perkataan Tabi'in. Ibnu Katsir sangat teliti dalam menyeleksi hadis dan sering mengkritik riwayat yang lemah. Tafsirnya dikenal ringkas, padat, dan populer di kalangan umat karena kesederhanaan bahasanya.
- Kontribusi: Menjadi salah satu tafsir riwayat paling populer dan diterima luas, khususnya di kalangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena konsistensinya dengan sunnah Nabi ﷺ.
Mufasir Klasik (Ahl al-Ra'y dan Corak Lainnya)
3. Imam Mahmud bin Amr Az-Zamakhsyari (w. 538 H)
- Karya: Al-Kasysyaf 'an Haqa'iq at-Tanzil wa 'Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta'wil.
- Corak: Lughawi (kebahasaan) dan Mu'tazilah.
- Metodologi: Sangat ahli dalam bahasa Arab, balaghah, dan sastra. Tafsirnya kaya akan analisis gramatikal, sintaksis, dan retorika Al-Qur'an. Ia banyak mengungkap kemukjizatan Al-Qur'an dari sisi kebahasaan. Namun, Az-Zamakhsyari menganut paham Mu'tazilah, sehingga dalam beberapa penafsirannya terdapat pengaruh pandangan teologis Mu'tazilah yang kontroversial.
- Kontribusi: Referensi utama untuk studi kebahasaan Al-Qur'an dan balaghah, meskipun pandangan teologisnya perlu dicermati.
4. Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H)
- Karya: Mafatih al-Ghayb (sering disebut Tafsir al-Kabir).
- Corak: Aqli (rasionalis), filosofis, dan multi-disipliner.
- Metodologi: Ar-Razi dikenal dengan penalaran filosofis dan teologisnya yang mendalam. Tafsirnya sangat luas, membahas berbagai disiplin ilmu seperti fisika, metafisika, logika, dan ilmu kalam. Ia sering mengajukan pertanyaan filosofis tentang ayat-ayat dan berusaha menjawabnya. Meskipun kaya akan wawasan intelektual, kadang ia terlalu panjang dalam pembahasan filosofisnya sehingga jauh dari makna langsung ayat.
- Kontribusi: Menunjukkan bagaimana Al-Qur'an dapat didekati dengan penalaran rasional dan mengintegrasikan berbagai ilmu pengetahuan dalam penafsiran.
5. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi (w. 671 H)
- Karya: Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an (sering disebut Tafsir Al-Qurthubi).
- Corak: Fiqhi (hukum).
- Metodologi: Fokus utama tafsir ini adalah menggali hukum-hukum syariat dari ayat-ayat Al-Qur'an. Al-Qurthubi adalah seorang ulama bermazhab Maliki, tetapi dalam tafsirnya ia sering membandingkan pandangan berbagai mazhab fiqih (Maliki, Syafi'i, Hanafi, Hambali) dan memberikan argumen serta dalil untuk setiap pendapat. Beliau juga mencantumkan riwayat hadis dan asbabun nuzul.
- Kontribusi: Sumber utama bagi studi fiqih perbandingan dan ayat-ayat hukum Al-Qur'an.
6. Imam Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H)
- Karya: Ad-Durr al-Manthur fi al-Tafsir bi al-Ma'thur dan Tafsir al-Jalalain (bersama Jalaluddin Al-Mahalli).
- Corak: Ma'thur (Ad-Durr al-Manthur) dan Ijmali (Al-Jalalain).
- Metodologi: As-Suyuthi adalah seorang ulama ensiklopedis yang sangat produktif. Ad-Durr al-Manthur adalah kompilasi masif tafsir riwayat dari berbagai sumber. Tafsir al-Jalalain, yang ia selesaikan setelah Al-Mahalli, adalah tafsir ringkas yang sangat populer karena singkat, padat, dan mudah dipahami, menjadikannya salah satu tafsir pengantar paling banyak dipelajari.
- Kontribusi: Menyediakan ringkasan dan kompilasi riwayat tafsir yang berharga, serta tafsir ijmali yang mudah diakses.
Mufasir Kontemporer dan Modern
7. Muhammad Abduh (w. 1905 M) dan Rasyid Ridha (w. 1935 M)
- Karya: Tafsir al-Manar.
- Corak: Adabi Ijtima'i (sosial kemasyarakatan) dan reformis.
- Metodologi: Dimulai oleh Abduh dan dilanjutkan serta diselesaikan oleh muridnya, Rasyid Ridha. Tafsir ini berupaya mengembalikan semangat ijtihad, membersihkan Islam dari bid'ah, dan menunjukkan relevansi ajaran Al-Qur'an untuk masalah-masalah modern. Mereka menekankan akal dan kebebasan berpikir, serta menafsirkan ayat dengan mempertimbangkan konteks sosial dan politik umat Islam kala itu.
- Kontribusi: Pelopor tafsir modern yang mencoba menghidupkan kembali dinamisme Islam dan menyikapi tantangan peradaban Barat.
8. Sayyid Qutb (w. 1966 M)
- Karya: Fi Zhilal al-Qur'an (Di Bawah Naungan Al-Qur'an).
- Corak: Haraki (gerakan/aktivis) dan Adabi Ijtima'i.
- Metodologi: Tafsir ini ditulis dari perspektif seorang aktivis yang hidup dalam tekanan politik. Qutb sangat menekankan konsep tauhid, hakimiyah Allah (kedaulatan Allah), dan perlunya kebangkitan umat Islam. Tafsirnya kaya dengan semangat revolusioner dan ajakan untuk kembali kepada Al-Qur'an sebagai pedoman hidup yang utuh.
- Kontribusi: Memberikan tafsir yang inspiratif bagi gerakan-gerakan Islam kontemporer, meskipun beberapa pandangannya tentang masyarakat dan negara menuai kontroversi.
9. Maulana Sayyid Abul A'la Maududi (w. 1979 M)
- Karya: Tafhim al-Qur'an (Memahami Al-Qur'an).
- Corak: Tematik dan aktivis politik-sosial.
- Metodologi: Maududi menginterpretasikan Al-Qur'an dengan tujuan untuk membangun suatu sistem kehidupan Islam yang menyeluruh. Ia menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an dengan gaya yang mengarah pada tindakan (amal) dan revolusi pemikiran. Tafsirnya sangat fokus pada konsep-konsep kunci seperti tauhid, khilafah, jihad, dan keadilan sosial, dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat umum.
- Kontribusi: Memberikan landasan teoretis bagi ideologi politik Islam modern dan relevansi Al-Qur'an dalam pembentukan masyarakat Islam.
10. Prof. Dr. Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) (w. 1981 M)
- Karya: Tafsir Al-Azhar.
- Corak: Adabi Ijtima'i (sosial kemasyarakatan) dan lokal (Nusantara).
- Metodologi: Tafsir ini ditulis oleh seorang ulama Nusantara yang sangat memahami kondisi masyarakat Indonesia. Hamka menafsirkan Al-Qur'an dengan bahasa yang indah, mengalir, dan mudah dicerna, kaya dengan peribahasa serta kisah-kisah lokal. Ia banyak menghubungkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan realitas sosial, budaya, dan sejarah umat Islam di Indonesia, memberikan nasihat moral dan spiritual.
- Kontribusi: Salah satu tafsir terpenting di Indonesia, yang menggabungkan kedalaman ilmu dengan kearifan lokal, sangat mempengaruhi pemikiran Islam di Asia Tenggara.
11. Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab
- Karya: Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an.
- Corak: Adabi Ijtima'i (sosial kemasyarakatan) dan kontekstual.
- Metodologi: Quraish Shihab dikenal dengan pendekatan kontekstual dan moderatnya. Ia menekankan keserasian (munasabah) antar ayat dan surah, serta keindahan bahasa Al-Qur'an. Tafsirnya kaya akan perbandingan dengan pandangan mufasir lain dan berusaha menyajikan pesan Al-Qur'an secara relevan dengan tantangan kehidupan modern, menyoroti nilai-nilai toleransi, moderasi, dan kemanusiaan.
- Kontribusi: Memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan pemikiran Islam moderat di Indonesia dan dunia, dengan bahasa yang ilmiah namun mudah dipahami.
Daftar ini hanyalah sebagian kecil dari ribuan mufasir yang telah berkontribusi besar dalam sejarah Islam. Setiap mufasir memiliki kekhasan dan corak tersendiri, yang memperkaya khazanah ilmu tafsir dan memungkinkan umat Islam untuk memahami Al-Qur'an dari berbagai dimensi.
Tantangan dan Relevansi Mufasir di Era Modern
Meskipun ilmu tafsir memiliki sejarah panjang dan metodologi yang kokoh, peran mufasir di era modern menghadapi tantangan baru yang kompleks, sekaligus menjadi lebih relevan dari sebelumnya.
Tantangan yang Dihadapi Mufasir Modern:
- Kompleksitas Isu Kontemporer: Mufasir kini harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kemajuan ilmu pengetahuan (seperti bioetika, kecerdasan buatan), masalah sosial (misalnya, kesetaraan gender, pluralisme, hak asasi manusia), dan tantangan global (perubahan iklim, konflik internasional). Mengaitkan ayat-Qur'an dengan isu-isu ini tanpa memaksakan makna membutuhkan keahlian dan kehati-hatian ekstra.
- Ekstremisme dan Literalism: Beberapa kelompok menggunakan tafsir yang sangat literal atau selektif untuk membenarkan tindakan ekstremis, menimbulkan citra negatif terhadap Islam. Mufasir bertanggung jawab untuk menyajikan penafsiran yang moderat, seimbang, dan sesuai dengan nilai-nilai universal Islam.
- Disinformasi dan Interpretasi Sembarangan: Di era informasi digital, setiap orang dapat mengklaim sebagai penafsir Al-Qur'an, seringkali tanpa bekal ilmu yang memadai. Ini menimbulkan risiko disinformasi dan penyebaran pemahaman yang salah. Mufasir sejati harus mampu menyaring dan membimbing umat melalui lautan informasi ini.
- Globalisasi dan Multikulturalisme: Mufasir harus mampu menyampaikan pesan Al-Qur'an yang relevan bagi audiens global dengan latar belakang budaya dan pemahaman yang berbeda, sembari tetap menjaga esensi ajaran Islam.
- Kemerosotan Bahasa Arab: Di banyak negara mayoritas Muslim, penguasaan bahasa Arab klasik yang mendalam semakin menurun. Ini menyulitkan akses langsung terhadap sumber-sumber tafsir klasik dan menuntut mufasir untuk menyajikan tafsir dalam bahasa yang lebih mudah diakses.
Relevansi Abadi Peran Mufasir:
Di tengah berbagai tantangan ini, peran mufasir justru semakin krusial. Mereka adalah jembatan antara wahyu Ilahi yang abadi dan realitas kehidupan manusia yang terus berubah. Relevansi mufasir terletak pada kemampuan mereka untuk:
- Menjaga Autentisitas Pesan: Mufasir memastikan bahwa inti pesan Al-Qur'an tetap utuh dan tidak terdistorsi oleh interpretasi yang salah atau dangkal.
- Memberikan Panduan Moral dan Etika: Dalam dunia yang serba kompleks, Al-Qur'an menawarkan kerangka moral dan etika yang kuat. Mufasir membantu umat menemukan panduan ini dalam setiap ayat.
- Mendorong Pemikiran Kritis dan Toleransi: Tafsir yang baik mendorong refleksi, pemikiran kritis, dan penerimaan terhadap keragaman interpretasi yang sah, menumbuhkan toleransi dan dialog.
- Menginspirasi Solusi bagi Masalah Dunia: Dengan menggali hikmah Al-Qur'an, mufasir dapat menginspirasi umat untuk mencari solusi inovatif dan berkelanjutan terhadap masalah-masalah global, baik sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
- Memperkaya Kehidupan Spiritual: Beyond intelektual, tafsir juga memperdalam hubungan spiritual seseorang dengan Al-Qur'an, membuka pintu-pintu pemahaman yang membawa kedamaian dan ketenangan jiwa.
Kesimpulan: Cahaya Mufasir di Tengah Gelombang Zaman
Peran seorang mufasir adalah salah satu yang paling fundamental dan abadi dalam tradisi keilmuan Islam. Dari masa Nabi Muhammad ﷺ hingga era kontemporer, mereka telah menjadi penjaga dan penjelas makna Al-Qur'an, memastikan bahwa cahaya petunjuk ilahi terus menyinari setiap generasi. Dengan menguasai berbagai disiplin ilmu, menerapkan metodologi yang ketat, dan merenungi setiap ayat dengan ketulusan, para mufasir telah membentuk jembatan intelektual dan spiritual antara teks suci dan realitas kehidupan.
Perkembangan ilmu tafsir yang dinamis, dengan munculnya beragam corak dan pendekatan, menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah sumber yang tidak pernah kering dan mampu relevan dengan setiap zaman dan tempat. Dari tafsir bi al-ma'thur yang menjaga orisinalitas riwayat, hingga tafsir bi al-ra'y yang membuka ruang ijtihad dan adaptasi, setiap metode memiliki tempat dan kontribusinya. Mufasir seperti Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Az-Zamakhsyari, Ar-Razi, Al-Qurthubi, As-Suyuthi, hingga modernis seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, Maududi, Hamka, dan Quraish Shihab, semuanya telah menyumbangkan permata-permata berharga ke dalam khazanah Islam.
Di era modern yang ditandai dengan perubahan cepat, tantangan global, dan derasnya arus informasi, peran mufasir menjadi semakin penting. Mereka bukan hanya penafsir teks, melainkan juga pemandu moral, penyaring informasi, dan inspirator bagi solusi-solusi Islami terhadap problem-problem kontemporer. Mufasir adalah pewaris para nabi dalam menjaga kemurnian pesan Tuhan dan menyampaikannya dengan hikmah kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu, memahami siapa itu mufasir, menghargai metodologi mereka, dan mengambil pelajaran dari karya-karya mereka adalah suatu keharusan bagi setiap Muslim yang ingin mendalami Al-Qur'an dan mengamalkan ajarannya secara komprehensif. Warisan mereka adalah harta tak ternilai yang akan terus menerangi jalan umat Islam menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.