Ayat kunci dalam memahami asal-usul, persatuan, dan tanggung jawab sosial umat manusia.
Alt text: Ilustrasi asal-usul manusia (Laki-laki dan Perempuan) yang bercabang dari satu Jiwa Tunggal (Nafsin Wahidah), melambangkan kesatuan penciptaan dalam Surah An-Nisa Ayat 1.
Surah An-Nisa (Wanita) merupakan salah satu surah Madaniyah yang terpanjang dalam Al-Qur'an. Penempatan surah ini segera setelah Al-Baqarah dan Ali 'Imran menggarisbawahi transisi dari penetapan hukum dasar kenegaraan dan komunitas (Al-Baqarah) serta dasar-dasar teologis kenabian (Ali 'Imran) menuju penetapan struktur sosial dan hukum keluarga yang rinci. Surah An-Nisa secara khusus membahas hak-hak kelompok yang rentan dalam masyarakat Islam awal—khususnya wanita, anak yatim, dan ahli waris.
Ayat pembuka surah ini, An-Nisa ayat 1, bukan sekadar basa-basi teologis, melainkan merupakan landasan filosofis dan sosiologis bagi semua hukum dan etika yang akan dibahas selanjutnya dalam surah tersebut. Ayat ini menanamkan prinsip fundamental persatuan asal-usul manusia (*tauhid al-khalq*) sebelum membahas keragaman sosial dan kewajiban hukum. Dengan demikian, segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, atau ketidakadilan yang dilarang dalam surah ini harus dipandang sebagai pengkhianatan terhadap kesatuan primordial yang diikrarkan pada ayat pertama.
Fondasi kemanusiaan yang dibangun oleh ayat 1 ini mencakup tiga pilar utama yang akan kita kaji secara mendalam: (1) Asal-usul Tunggal Penciptaan, (2) Tanggung Jawab Sosial dan Panggilan Kemanusiaan Universal, dan (3) Prinsip Pengawasan Ilahi dalam Hubungan Kekerabatan. Kajian ini membutuhkan analisis mendalam terhadap setiap frasa dan implikasi tata bahasa Arabnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mufassir sepanjang sejarah Islam.
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Nafsin Wahidah), dan dari padanya Dia menciptakan pasangannya (zawjaha); dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta (pertolongan) satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim (al-arhama). Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (Raqiban). (QS. An-Nisa [4]: 1)
Ayat ini dibagi menjadi beberapa unit semantik yang memiliki makna teologis dan hukum yang sangat padat:
Panggilan ini bersifat inklusif, merangkul seluruh umat manusia tanpa memandang ras, suku, atau agama. Ini berbeda dengan panggilan yang sering digunakan di Madinah yang seringkali spesifik, seperti *Ya ayyuhalladzina amanu* (Wahai orang-orang yang beriman). Penggunaan *An-Nas* pada pembuka surah yang membahas hukum domestik menegaskan bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan dan asal-usul yang tunggal adalah dasar moral universal sebelum hukum-hukum spesifik Islam diterapkan.
Perintah takwa di sini digabungkan dengan nama *Rabb* (Tuhan Pemelihara), bukan *Allah* (Nama Zat Ilahi). Penggunaan *Rabb* menekankan dimensi pemeliharaan, penciptaan, dan pemeliharaan (Rububiyyah). Ini menuntut manusia bertakwa kepada Zat yang bertanggung jawab atas eksistensi mereka. Takwa adalah landasan moralitas, yang berarti menjaga diri dari kemurkaan Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Ini adalah inti dari bagian pertama ayat. Frasa *Nafsin Wahidah* (Jiwa Tunggal) secara mutlak menunjuk kepada Adam, sebagai leluhur pertama umat manusia. Makna teologisnya sangat dalam:
Ayat ini jelas menyatakan bahwa seluruh keragaman populasi manusia—baik laki-laki maupun perempuan—berasal dari dua individu pertama. Penggunaan kata كَثِيرًا (banyak) menggarisbawahi betapa luasnya penyebaran keturunan tersebut. Yang menarik, penyebutan "laki-laki yang banyak dan perempuan" menunjukkan keseimbangan gender dalam keturunan. Ini adalah konfirmasi ilahi bahwa keragaman populasi adalah bagian dari rencana penciptaan.
Bagian kedua ayat ini mengulangi perintah takwa, tetapi kali ini menggunakan nama *Allah* (Nama Zat Ilahi yang mencakup semua sifat kesempurnaan) dan menghubungkannya dengan dua kewajiban sosial yang sangat penting:
Ayat ditutup dengan penegasan bahwa Allah adalah *Raqib* (Pengawas, Penjaga). Kata ini memiliki konotasi pengamatan yang cermat dan perlindungan. Ini memberikan peringatan sekaligus jaminan. Peringatan bagi mereka yang melanggar hak-hak sosial, dan jaminan bagi mereka yang merasa lemah (seperti anak yatim dan wanita) bahwa ada kekuatan Mahakuasa yang melindungi hak-hak mereka. Prinsip *Raqib* ini menjadi motivasi spiritual tertinggi untuk mempraktikkan takwa dalam urusan sosial dan keluarga.
At-Tabari, dalam *Jami' al-Bayan*, sangat menekankan aspek persatuan penciptaan. Ia secara eksplisit menafsirkan *Nafsin Wahidah* sebagai Adam dan *Zawjaha* sebagai Hawa. Bagi At-Tabari, tujuan utama ayat ini adalah untuk mengingatkan orang-orang Arab pada saat itu—yang sering kali bangga dengan nasab dan suku mereka—bahwa mereka semua memiliki leluhur yang sama. Kesatuan asal-usul ini wajib menghilangkan kesombongan dan menjadi dasar bagi keadilan dalam urusan harta dan wanita.
Mengenai *Tasa'aluna bihi wal-Arhama*, At-Tabari mencatat dua pandangan utama: Pertama, bahwa *al-arham* adalah sumpah yang mengikuti sumpah atas nama Allah (seperti: "Demi Allah dan demi rahim yang menghubungkan kita"). Kedua, dan yang lebih kuat secara hukum, bahwa ini adalah perintah untuk bertakwa kepada Allah DAN kepada rahim (kekerabatan). Dalam pandangan ini, menjaga silaturahim adalah kewajiban yang mendampingi ketaatan kepada Allah, menunjukkan tingginya status hubungan darah dalam syariat.
Al-Qurtubi dalam *Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an* fokus pada dimensi hukum dan sosial. Ia membahas secara panjang lebar mengenai penciptaan Hawa (*zawjaha*) dan mencatat hadits-hadits yang mendukung penciptaan dari tulang rusuk yang bengkok. Namun, ia menyimpulkan bahwa yang terpenting adalah kesatuan asal-usul yang menuntut penghormatan terhadap hak-hak wanita dan anak yatim (yang menjadi topik utama surah ini). Al-Qurtubi menggunakan ayat ini untuk berargumen menentang praktik-praktik jahiliyah yang merampas hak waris wanita dan anak-anak.
Qurtubi juga memberikan perhatian khusus pada peran *Raqib*. Ia menjelaskan bahwa *Raqib* berarti Allah menyaksikan segala sesuatu yang dilakukan manusia, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Kesadaran akan pengawasan ini harus menjadi rem bagi keinginan manusia untuk berbuat zalim, terutama dalam membagi warisan atau memperlakukan pasangan dan kerabat.
Ibn Katsir, yang tafsirnya terkenal karena menggunakan hadits dan riwayat, mengawali tafsir ayat ini dengan hadits yang menegaskan bahwa Adam adalah *Nafsin Wahidah*. Ia menghubungkan ayat ini dengan hadits terkenal, "Kalian semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah." Ini adalah penegasan teologis yang sangat kuat tentang persamaan semua manusia di hadapan Tuhan.
Ibn Katsir menegaskan bahwa perintah takwa adalah universal. Karena Allah yang menciptakan manusia, Dialah yang berhak ditaati. Ia juga menyoroti keindahan struktur ayat yang menggabungkan takwa kepada Allah dengan menjaga silaturahmi, menunjukkan bahwa ibadah ritual tidak lengkap tanpa ibadah sosial dan perlindungan terhadap keluarga dekat.
Ayat ini adalah salah satu manifestasi paling jelas dari *Tauhid al-Khalq*, yaitu keyakinan bahwa semua makhluk berasal dari satu sumber tunggal oleh satu Pencipta. Ini merupakan antidote terhadap rasisme, diskriminasi berbasis keturunan, dan kesombongan sosial. Jika semua manusia memiliki "ibu dan ayah" yang sama, maka hubungan antara individu-individu di seluruh dunia harus didasarkan pada persaudaraan dan tanggung jawab bersama.
Prinsip ini sangat relevan dalam konteks global, menuntut umat Islam untuk memandang sesama manusia (bahkan yang berbeda keyakinan) sebagai entitas yang memiliki hak hidup dan martabat yang sama, karena mereka semua adalah keturunan dari *Nafsin Wahidah*.
Dalam konteks Surah An-Nisa yang sering disebut sebagai surah wanita, penetapan bahwa perempuan diciptakan dari atau bersumber dari jiwa yang sama memberikan kedudukan yang setara dan saling melengkapi. Penciptaan Hawa sebagai pasangan (Zawj) menafikan pandangan yang melihat perempuan sebagai entitas sekunder atau cacat. Dalam terminologi Al-Qur'an, *Zawj* berarti pasangan yang melengkapi dan memiliki kedudukan yang sama dalam sebuah ikatan.
Penciptaan bersama ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan ditakdirkan untuk hidup bersama, bukan hanya sebagai alat reproduksi, tetapi sebagai sumber moralitas dan ketenangan (seperti yang dijelaskan di ayat lain: *li taskunu ilayha*). Tanpa persatuan ini, penyebaran umat manusia (rijalan kathiran wa nisaa) tidak akan mungkin terjadi.
Pengulangan perintah takwa dalam satu ayat, tetapi dengan subjek yang berbeda (*Rabbakum* dan *Allah*), mengajarkan bahwa takwa memiliki dua dimensi yang tak terpisahkan: vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan horizontal (hubungan dengan sesama manusia).
1. Dimensi Vertikal: Takwa kepada *Rabbakum* (Tuhan Pemelihara) adalah pengakuan atas kekuasaan-Nya sebagai Pencipta.
2. Dimensi Horizontal: Takwa yang diekspresikan melalui menjaga *al-Arham* (silaturahim) menunjukkan bahwa ketaatan sejati harus diterjemahkan dalam perilaku adil terhadap keluarga, khususnya dalam konteks hukum waris dan pernikahan yang akan dibahas lebih lanjut.
Seseorang tidak dapat mengklaim ketakwaan jika ia memutuskan hubungan keluarga, merampas hak anak yatim, atau menzalimi pasangannya, karena ayat ini secara eksplisit menghubungkan keduanya sebagai perintah yang setara di bawah pengawasan Ilahi.
Para fuqaha (ahli hukum Islam) sepakat bahwa perintah untuk menjaga *al-arham* dalam ayat ini menaikkan status silaturahim dari sekadar etika yang dianjurkan menjadi kewajiban (wajib) yang berat. Ketika *al-arham* diletakkan berdampingan dengan sumpah atas nama Allah (yang menyiratkan penghormatan tertinggi), ini menunjukkan bahwa memutuskan silaturahim (*qath' al-arham*) adalah dosa besar.
Dalam konteks Madinah, di mana Surah An-Nisa diturunkan, umat Islam sedang membangun sebuah komunitas baru yang didasarkan pada iman, tetapi Islam tidak menghilangkan ikatan darah. Justru, Islam memperkuatnya dengan menetapkan hak-hak yang jelas dan sanksi moral yang keras bagi pelanggar hak kekerabatan.
Secara bahasa, *arham* (jamak dari *rahm*) berarti rahim atau kandungan. Secara terminologi hukum, *al-arham* merujuk pada kerabat yang memiliki ikatan darah, yaitu mereka yang dapat mewarisi dan yang memiliki hak untuk menerima nafkah. Ulama berbeda pandangan mengenai sejauh mana kewajiban silaturahim ini:
Karena Surah An-Nisa berfokus pada masalah warisan, ayat 1 berfungsi sebagai pengantar yang menegaskan bahwa pembagian harta harus dilakukan dengan takwa dan kesadaran kekerabatan. Anak yatim seringkali adalah kerabat terdekat. Ayat ini memperingatkan wali anak yatim untuk tidak menyelewengkan harta mereka. Pelanggaran terhadap hak waris dan hak yatim bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap janji yang ditegakkan atas nama Allah dan kekerabatan.
Keadilan dalam warisan—seringkali melibatkan wanita dan anak-anak yang rentan—adalah barometer utama dari sejauh mana takwa kepada Allah benar-benar diwujudkan dalam kehidupan sosial. Jika seseorang tidak adil kepada keluarganya sendiri, bagaimana mungkin ia adil kepada masyarakat yang lebih luas?
Dalam masyarakat yang baru berdiri dan di tengah-tengah hukum yang rumit (seperti warisan), di mana seringkali hanya ada satu saksi, atau ketika hak yang lemah mudah dilanggar, jaminan bahwa Allah adalah *Raqib* sangat penting. Bagi orang yang rentan, ini adalah sumber penghiburan; mereka tahu bahwa ketidakadilan yang mereka alami tidak akan luput dari perhitungan Allah. Bagi orang yang kuat dan bertanggung jawab, ini adalah penghalang moral yang mencegah mereka mengambil keuntungan dari kekuasaan atau posisi mereka.
Al-Ghazali, ketika membahas nama Allah Al-Raqib, menjelaskan bahwa kesadaran akan Raqib melahirkan sifat *Muraqabah* (kesadaran diri yang diawasi) pada diri hamba. Muraqabah adalah tingkatan spiritual tinggi yang membuat seorang Muslim berperilaku baik dan adil, bahkan ketika ia sendirian atau tidak dilihat oleh manusia lain.
Ayat ini menghubungkan tindakan takwa yang spesifik (menjaga silaturahim) dengan sifat Allah sebagai Raqib. Artinya, tanggung jawab sosial dan keluarga adalah bagian dari ketaatan langsung kepada Allah. Jika seseorang bersikap adil hanya karena takut sanksi hukum dunia, itu belum mencapai takwa yang sempurna. Takwa yang sejati muncul ketika keadilan dilakukan karena kesadaran bahwa Allah mengawasi niat dan tindakan (baik batin maupun lahiriah).
Ini memposisikan tanggung jawab pribadi di atas struktur hukum formal semata. Hukum waris mungkin bisa dilanggar dengan kecurangan yang cerdik, tetapi kecurangan itu tidak akan lolos dari Pengawasan Ilahi.
Di era konflik identitas dan sektarianisme, penegasan *Nafsin Wahidah* adalah pengingat yang kuat bahwa perbedaan ras, etnis, atau bahkan mazhab tidak boleh menghancurkan prinsip persatuan asal-usul. Islam mengakui keragaman (*wa ja'alnakum shu'uban wa qaba'ila lita'arafu*), tetapi keragaman ini didasarkan pada kesatuan akar. Ayat 1 Surah An-Nisa berfungsi sebagai dasar teologis bagi dialog antarbudaya dan perdamaian global, karena menyuarakan humanisme universal.
Frasa *Tasa'aluna bihi* (saling meminta dengan nama-Nya) melampaui sumpah tradisional; ia mencakup seluruh etika kontrak dan perjanjian dalam kehidupan modern. Ketika masyarakat modern bergantung pada kepercayaan, integritas, dan penegakan janji, ayat ini mengingatkan bahwa setiap transaksi—mulai dari kontrak dagang, perjanjian kerja, hingga janji politik—semuanya harus didasarkan pada takwa kepada Allah. Pengkhianatan kontrak sosial adalah pelanggaran terhadap nama Allah yang digunakan untuk menjamin kejujuran.
Keluarga modern menghadapi tekanan besar, termasuk tingginya angka perceraian dan renggangnya ikatan kekerabatan. Perintah menjaga *al-arham* dalam ayat 1 menegaskan bahwa Islam adalah agama yang memprioritaskan kekeluargaan. Menjaga hubungan dengan kerabat yang membutuhkan, membantu paman atau bibi yang kesulitan, dan memelihara ikatan antar generasi adalah manifestasi praktis dari takwa yang diperintahkan.
Di masa ketika individualisme menjadi dominan, ayat ini menuntut kembali kepada komitmen kolektif, di mana setiap individu bertanggung jawab tidak hanya atas dirinya sendiri, tetapi juga atas lingkaran kekerabatan yang lebih luas. Melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak, yang merupakan fokus utama surah ini, dimulai dengan pengakuan atas kesatuan asal-usul mereka dan kewajiban silaturahim.
Dalam masyarakat yang serba terekam dan terawasi secara digital, konsep *Raqib* memberikan perspektif yang berbeda tentang pengawasan. Sementara pengawasan manusia bisa dihindari, pengawasan Allah adalah mutlak dan abadi. Penerapan modern dari *Raqib* adalah internalisasi *muraqabah* sebagai kode etik pribadi, memastikan bahwa tindakan yang dilakukan di ruang publik maupun di balik layar digital tetap mencerminkan keadilan dan kejujuran, karena Yang Maha Mengawasi selalu hadir.
Surah An-Nisa ayat 1 adalah permulaan yang monumental. Ayat ini tidak hanya memperkenalkan sebuah surah yang kaya akan hukum keluarga, tetapi juga menyajikan sebuah manifesto teologis tentang kemanusiaan. Dari satu jiwa, Allah menciptakan keragaman, dan melalui keragaman itu, Dia menuntut harmoni sosial yang dibangun di atas takwa, kejujuran, dan penghormatan terhadap ikatan darah.
Pelajaran yang paling mendasar adalah bahwa keadilan sosial, terutama terhadap mereka yang lemah, bukanlah pilihan moralitas tambahan, melainkan inti dari ketaatan kepada Allah. Setiap kali seorang Muslim berinteraksi dengan orang lain—baik dalam keluarga, bisnis, atau masyarakat luas—ia diingatkan bahwa ia harus bertindak atas dasar persaudaraan primordial yang diwarisi dari *Nafsin Wahidah*, dengan kesadaran penuh bahwa Allah adalah *Raqib* yang abadi.
Inti dari pesan ini adalah integrasi sempurna antara iman dan etika. Takwa sejati harus memanifestasikan dirinya dalam kehidupan nyata melalui pemeliharaan hak-hak kekerabatan dan komitmen terhadap keadilan universal yang berakar pada asal-usul tunggal umat manusia.
Pengkajian mendalam terhadap setiap kata dalam An-Nisa ayat 1 mengungkapkan bahwa Islam membangun masyarakat yang beradab dan seimbang, bukan hanya melalui sanksi dan perintah, tetapi melalui pengingat abadi tentang siapakah kita, dari mana kita berasal, dan kepada siapa kita bertanggung jawab.
Kewajiban menjaga silaturahim, menuntut kejujuran dalam berinteraksi, dan senantiasa menyadari pengawasan ilahi adalah tiga sumbu utama yang memastikan bahwa kehidupan individu maupun kolektif berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta, Rabbul 'Alamin.
Lalu bagaimana implementasi takwa ini dalam realitas sehari-hari? Para ulama tafsir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur'an, melihat ayat ini sebagai seruan revolusioner. Di tengah-tengah masyarakat yang masih melihat perempuan sebagai harta dan anak yatim sebagai sasaran eksploitasi, ayat ini datang untuk mengubah paradigma secara fundamental. Ayat ini memaksa masyarakat untuk melihat dirinya sebagai satu kesatuan organik, di mana ketidakadilan yang menimpa satu anggota adalah penyakit bagi keseluruhan tubuh sosial. Prinsip ini meluas hingga ke urusan terkecil dalam rumah tangga.
Jika kita merenungkan frasa wa khalaqa minha zawjaha (dan dari padanya Dia menciptakan pasangannya), ini menuntut refleksi mendalam tentang peran suami dan istri. Konteks penciptaan yang satu menyiratkan harmoni yang esensial, menolak konflik peran yang merusak. Suami istri bukan hanya dua individu yang terikat kontrak, melainkan dua bagian dari jiwa yang sama yang dipersatukan untuk memenuhi tujuan eksistensial. Kualitas takwa seseorang diukur secara langsung dari bagaimana ia memperlakukan pasangannya—apakah dengan keadilan (*qisth*) atau dengan kezaliman.
Penting untuk menggarisbawahi mengapa Allah menggunakan Rabbakum (Tuhanmu) pada panggilan takwa pertama dan Allah pada panggilan takwa kedua. Panggilan pertama, yang berhubungan dengan penciptaan (*khalaqakum*), menggunakan Rabb untuk menekankan kekuasaan dan pemeliharaan-Nya atas alam semesta dan asal-usul biologis kita. Panggilan kedua, yang berhubungan dengan sumpah (*tasa'aluna bihi*) dan etika sosial (*al-arhama*), menggunakan Allah untuk menekankan aspek ketuhanan yang lebih luas dan otoritatif dalam hukum dan moralitas. Penggunaan yang berbeda ini menunjukkan kehati-hatian dalam bahasa Qur'an dan kedalaman makna teologisnya.
Perluasan makna Al-Arham juga menjadi perhatian dalam fikih modern. Apakah kewajiban menjaga silaturahim hanya terbatas pada memberikan bantuan finansial? Para ahli fikih menjelaskan bahwa silaturahim mencakup berbagai bentuk interaksi: berkunjung, bertanya kabar, mendoakan, dan tidak memutuskan komunikasi, terutama ketika terjadi perselisihan. Keutamaan silaturahim begitu besar sehingga Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa silaturahim tergantung pada ‘Arsy Allah, dan siapa pun yang menyambungnya, Allah akan menyambungnya, dan siapa pun yang memutuskannya, Allah akan memutuskannya.
Mari kita telaah lebih jauh implikasi dari rijalan kathiran wa nisaa (laki-laki yang banyak dan perempuan). Penyebutan kuantitas "banyak" menekankan keberhasilan rencana ilahi dalam mengisi bumi. Dalam konteks ayat yang membahas hak-hak waris, penekanan pada penyebaran laki-laki dan perempuan ini mengingatkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah penerima manfaat (dan beban) dari struktur keluarga dan warisan. Ini menolak pandangan yang mungkin menganggap bahwa hanya laki-laki yang berhak atas status sosial atau ekonomi di kemudian hari.
Aspek *Raqib* juga menciptakan dimensi politik dan pemerintahan. Jika Allah mengawasi setiap individu dalam urusan keluarga dan harta, maka institusi pemerintah juga wajib bertindak sebagai pelaksana keadilan di muka umum. Seorang pemimpin yang gagal menegakkan keadilan sosial dan melindungi hak-hak kelompok rentan, seperti wanita dan yatim, sesungguhnya telah melanggar perintah fundamental yang termuat dalam pembuka surah ini.
Oleh karena itu, ayat 1 Surah An-Nisa dapat dilihat sebagai Piagam Kemanusiaan Islam. Piagam ini menetapkan bahwa:
Para ulama ushul fiqh (prinsip hukum Islam) sering menggunakan ayat ini sebagai contoh bagaimana *ma'rifah* (pengetahuan tentang Allah) harus menghasilkan *amal* (tindakan). Pengetahuan bahwa Allah adalah pencipta kita (*Rabbakum*) menuntut kita untuk takut melanggar hak-hak-Nya, dan pengetahuan bahwa Dia adalah *Raqib* menuntut kehati-hatian dalam segala interaksi sosial dan keluarga, yang merupakan arena ujian utama bagi keimanan seseorang.
Analisis fonetik dan retorika ayat ini juga patut disorot. Penggunaan huruf *nun* yang berulang (Nafsin, Wahidah, zawjaha, rijalan, nisaa, bihi, wal-arhama, Raqiban) memberikan resonansi yang dalam, menciptakan ritme yang menegaskan hubungan tak terpisahkan antara berbagai konsep: penciptaan, pasangan, keturunan, sumpah, dan kekerabatan. Kekuatan retorika Al-Qur'an memastikan bahwa pesan persatuan ini tertanam kuat dalam memori pendengarnya.
Dalam konteks modern, ketika sains menawarkan penjelasan tentang asal-usul spesies, konsep *Nafsin Wahidah* tetap mempertahankan keunggulannya dalam memberikan makna eksistensial. Terlepas dari proses biologis yang mungkin terjadi selama ribuan tahun, ayat ini menegaskan adanya titik awal tunggal yang menanamkan kesatuan spiritual dan moral. Sains menjelaskan bagaimana; agama menjelaskan mengapa, dan alasan ilahi di balik penciptaan yang satu itu adalah untuk mewajibkan persaudaraan.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa An-Nisa ayat 1 bukan sekadar ayat pembuka, melainkan sebuah ringkasan filosofis dan etis bagi seluruh surah. Surah An-Nisa, dengan hukum-hukumnya yang terperinci tentang nikah, talak, warisan, dan hak yatim, adalah hasil implementasi praktis dari prinsip takwa dan kesatuan asal-usul yang diikrarkan pada ayat pertama ini. Melalui takwa kepada Allah dan menjaga silaturahim, umat manusia dapat mencapai keadilan dan keseimbangan sejati.
Untuk memahami sepenuhnya implikasi sosial dari al-arhama, kita harus melihat bagaimana ketaatan kepada perintah ini berfungsi sebagai fondasi bagi masyarakat yang berkelanjutan. Masyarakat yang anggotanya memutus hubungan kekerabatan cenderung terfragmentasi, memunculkan masalah sosial dan ekonomi yang lebih besar. Sebaliknya, masyarakat yang memelihara silaturahim secara efektif menciptakan jaring pengaman sosial internal, mengurangi beban pada institusi negara dan memperkuat modal sosial. Ini adalah bukti bahwa perintah takwa bukan sekadar ibadah individual, melainkan mekanisme pemeliharaan komunitas.
Sejumlah ulama berpendapat bahwa penghubungan al-arhama dengan sumpah tasa'aluna bihi memberikan legitimasi moral yang tinggi terhadap klaim hak asasi manusia yang didasarkan pada kekerabatan. Ketika seseorang menuntut haknya berdasarkan nama Allah dan ikatan rahim, ini adalah pengakuan ganda terhadap otoritas ilahi dan ikatan darah. Ini berarti bahwa tidak ada alasan yang dapat diterima dalam syariat untuk mengabaikan kerabat yang membutuhkan, kecuali jika kerabat tersebut secara aktif memerangi kebenaran dan keadilan.
Penyebaran *rijalan kathiran wa nisaa* (laki-laki yang banyak dan perempuan) juga memiliki implikasi demografi. Al-Qur'an mengakui keragaman gender sebagai keniscayaan dan keseimbangan populasi sebagai tujuan penciptaan. Ini menolak segala bentuk misogini yang berpendapat bahwa salah satu jenis kelamin lebih unggul dalam jumlah atau kualitas secara esensial. Keduanya adalah hasil dari *Nafsin Wahidah* dan keduanya berperan dalam penyebaran dan pemeliharaan spesies manusia.
Lebih jauh lagi, mari kita pertimbangkan konteks historis penurunan ayat ini. Ayat ini diturunkan setelah pertempuran Uhud, di mana banyak pria terbunuh, meninggalkan banyak janda dan anak yatim. Hukum-hukum warisan dan perlindungan yang muncul dalam Surah An-Nisa adalah respons langsung terhadap krisis sosial dan ekonomi tersebut. Ayat 1 berfungsi sebagai penguatan moral: janganlah kalian (yang selamat) memanfaatkan kondisi rentan para janda dan yatim, karena mereka adalah bagian dari kalian; kalian semua berasal dari satu jiwa. Pengawasan *Raqib* berfungsi ganda, baik sebagai penghibur bagi yang berduka maupun peringatan bagi yang tamak.
Di era modern, di mana sistem warisan sering kali diatur oleh hukum sipil yang sekuler, penting bagi umat Islam untuk mempertahankan kesadaran bahwa pembagian harta warisan bukan hanya masalah legalitas, tetapi juga masalah takwa. Jika pembagian warisan dilakukan dengan melanggar hak-hak yang ditetapkan Allah, hal itu sama saja dengan melanggar janji yang ditegakkan melalui nama-Nya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan menempatkan hukum Ilahi di atas kebiasaan atau keinginan pribadi.
Sebagai penutup, Surah An-Nisa ayat 1 adalah undangan abadi untuk introspeksi. Itu menantang kita untuk bertanya: Apakah kita benar-benar bertakwa kepada Tuhan yang telah menciptakan kita semua setara? Apakah perilaku kita terhadap keluarga mencerminkan kesadaran akan ikatan rahim yang disucikan oleh Allah? Dan yang paling penting, apakah kita hidup dengan kesadaran bahwa setiap niat dan tindakan, besar maupun kecil, di bawah pengawasan *Raqib*, Sang Penjaga Abadi?
Pengkajian berulang terhadap ayat ini memastikan bahwa fondasi etika sosial dalam Islam tidak pernah goyah, berdiri tegak di atas prinsip kesatuan asal-usul manusia dan pengawasan moral yang tak terhindarkan dari Yang Maha Kuasa. Ayat ini adalah dasar untuk membangun peradaban yang berkeadilan, bermartabat, dan penuh kasih sayang.
Dalam terminologi spiritual, *Nafsin Wahidah* dapat dihubungkan dengan konsep *fitrah* (sifat bawaan) murni yang dimiliki setiap manusia sejak lahir. Karena semua berasal dari satu sumber, semua memiliki potensi yang sama untuk mengenal dan mengabdi kepada Tuhan. Tugas takwa, yang diperintahkan dalam ayat ini, adalah menjaga *fitrah* itu agar tetap murni dari kezaliman dan keserakahan yang dapat merusak hubungan sosial. Takwa kepada *Rabbakum* berarti kembali kepada kemurnian asal-usul, di mana rasa hormat dan persaudaraan adalah norma, bukan pengecualian.
Ketika kita mengalihkan fokus kembali ke frasa wa khalaqa minha zawjaha, tafsir yang mendukung penciptaan Hawa dari Adam menekankan keintiman dan kesamaan substansi. Keintiman ini diisyaratkan karena pasangan diciptakan dari materi yang sama, menunjukkan bahwa pasangan hidup adalah bagian integral dari eksistensi diri, bukan entitas asing. Dalam konteks ini, hubungan suami istri yang adil dan penuh kasih adalah bentuk paling fundamental dari takwa yang diperintahkan ayat ini.
Sangat jarang dalam Al-Qur'an, perintah takwa diulang dalam satu ayat dengan penekanan ganda. Pengulangan ini (ittaqū rabbakum dan ittaqū Allāha) berfungsi sebagai penekanan retoris yang kuat. Jika takwa kepada Tuhan Pemelihara (*Rabb*) mendorong kita menghargai ciptaan-Nya (asal-usul kita), maka takwa kepada Allah (Zat Ilahi) mendorong kita menghargai hukum-hukum-Nya dalam interaksi sosial (sumpah dan silaturahim). Keduanya adalah sisi mata uang yang sama: tauhid harus menghasilkan etika, dan etika harus berakar pada tauhid.
Para filosof Islam sering menggunakan ayat ini sebagai dalil tentang sifat komunal manusia. Manusia diciptakan berpasangan dan beranak pinak, menunjukkan bahwa tujuan penciptaan bukanlah isolasi, melainkan pembentukan komunitas (ummah). Oleh karena itu, tugas takwa secara inheren bersifat komunal, menuntut partisipasi aktif dalam pemeliharaan kesejahteraan bersama. Kezaliman terhadap anggota keluarga adalah kezaliman terhadap unit sosial yang ditakdirkan Allah untuk berkembang biak dan saling mendukung.
Jika kita memperluas cakupan al-arhama ke ranah yang lebih luas, seperti yang disarankan oleh beberapa mufassir kontemporer, menjaga kerabat dapat berarti menjaga hubungan dengan semua yang berbagi kemanusiaan (human-kinship). Ini menjadi landasan bagi etika global Islam, di mana kewajiban membantu yang tertindas di manapun mereka berada adalah turunan dari pengakuan bahwa kita semua berasal dari *Nafsin Wahidah*. Meskipun prioritas tetap pada kerabat darah, ayat ini membuka pintu bagi tanggung jawab kemanusiaan yang lebih luas.
Terakhir, kesimpulan ayat, Inna Allaha kāna alaykum Raqiban, membawa kita kembali ke inti keyakinan. Kata *kāna* (selalu/adalah) menunjukkan sifat pengawasan Allah yang permanen, bukan sementara. Allah tidak menjadi Pengawas hanya ketika kita sedang melakukan ibadah formal; Dia adalah Pengawas dalam setiap saat kehidupan kita, terutama di saat-saat kelemahan moral, seperti ketika kita cenderung menipu dalam warisan atau memutuskan tali silaturahim. Kesadaran akan kehadiran permanen ini adalah inti dari spiritualitas sejati yang diminta oleh Al-Qur'an.
Dengan demikian, Surah An-Nisa ayat 1 bukanlah sekadar permulaan administratif sebuah bab hukum, melainkan penegasan filosofis yang komprehensif. Ia menuntut revolusi moral dari dalam diri, memastikan bahwa setiap Muslim bertindak sebagai agen keadilan dan persatuan di tengah keragaman ciptaan.