Mengurai Kemudahan Ilahi: Telaah Komprehensif Surah An-Nisa Ayat 101

Ibadah dalam Islam tidak pernah dimaksudkan untuk memberatkan, melainkan untuk memberikan kemudahan dan ketenangan bagi jiwa. Konsep ini dikenal sebagai rukhsah, atau keringanan, yang merupakan cerminan nyata dari sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Salah satu manifestasi paling jelas dari prinsip rukhsah ini tercantum dalam Surah An-Nisa, ayat 101, sebuah pedoman fundamental yang mengatur tata cara shalat bagi seorang Muslim yang sedang berada dalam perjalanan atau menghadapi kondisi ketakutan (khauf).

Ayat ini tidak hanya memberikan izin, tetapi juga menetapkan parameter hukum yang membentuk salah satu bab terpenting dalam fiqh ibadah, yakni mengenai Shalat Qashar (meringkas) dan kaitannya dengan Safar (perjalanan). Memahami ayat ini secara mendalam memerlukan penyelaman ke dalam konteks sejarah, hukum jurisprudensi (fiqh), serta hikmah filosofis di balik penetapan keringanan tersebut.

Teks dan Terjemah An-Nisa Ayat 101

Surah An-Nisa (Wanita), ayat ke-101, datang setelah serangkaian pembahasan mengenai hukum sosial dan keluarga, namun secara tiba-tiba beralih ke pembahasan fiqh ibadah yang sangat praktis, terkait dengan situasi di medan perang atau saat bepergian.

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا۟ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلْكَٰفِرِينَ كَانُوا۟ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar (meringkas) shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Asbabun Nuzul: Konteks Pewahyuan

Mayoritas ahli tafsir, termasuk Imam At-Tabari dan Ibnu Katsir, menyebutkan bahwa ayat ini turun untuk memberikan solusi praktis kepada kaum Muslimin yang seringkali harus menunaikan kewajiban shalat fardhu dalam keadaan genting. Pada masa awal Islam, perjalanan (safar) seringkali identik dengan risiko dan bahaya, terutama dari serangan suku-suku atau musuh yang tidak menyukai penyebaran agama baru ini.

Dikisahkan bahwa awalnya, para sahabat merasa ragu untuk meng-qashar shalat mereka kecuali benar-benar dalam kondisi perang. Keraguan ini muncul karena redaksi ayat secara eksplisit menyebutkan kondisi ketakutan (in khiftum). Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai keraguan ini, "Mengapa kami meng-qashar padahal kami telah aman?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Itu adalah sedekah yang Allah berikan kepadamu, maka terimalah sedekah-Nya."

Jawaban Nabi ini sangat krusial karena ia memperluas makna hukum. Meskipun redaksi ayat menyebutkan 'ketakutan diserang orang kafir' sebagai alasan, Hadits ini menunjukkan bahwa Qashar juga berlaku mutlak karena faktor Safar (perjalanan) itu sendiri, dan bukan hanya karena adanya rasa takut. Dengan demikian, ayat ini berfungsi sebagai landasan awal yang kemudian diperkuat oleh Hadits Nabi, menjadikannya sebuah rukhsah umum bagi setiap musafir.

Qashar dan Safar 4 → 2 Rakaat Qashar

Pengertian dan Cakupan Shalat Qashar

Qashar secara bahasa berarti memendekkan atau meringkas. Dalam terminologi fiqh, Qashar adalah meringkas shalat fardhu yang asalnya empat rakaat (Zuhur, Asar, dan Isya) menjadi dua rakaat. Shalat Maghrib (tiga rakaat) dan Subuh (dua rakaat) tidak dapat di-qashar. Prinsip Qashar ini merupakan bentuk kemurahan langsung dari Allah SWT.

Perbedaan Qashar dan Jamak

Penting untuk membedakan antara Qashar dan Jamak. Qashar adalah keringanan dalam jumlah rakaat, sedangkan Jamak adalah keringanan dalam waktu pelaksanaan shalat, yaitu menggabungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu (misalnya Zuhur dan Asar dikerjakan di waktu Zuhur, atau Maghrib dan Isya di waktu Maghrib). Meskipun kedua keringanan ini sering dilakukan bersamaan saat safar, dasar hukum dan definisinya berbeda. Qashar berasal dari An-Nisa 101 dan sunnah Nabi, sementara Jamak didasarkan pada Hadits yang menunjukkan Nabi pernah menjamak shalat bahkan ketika tidak dalam kondisi ketakutan, menunjukkan kemudahan waktu saat bepergian.

Syarat-Syarat Fiqhiyah Pelaksanaan Qashar: Mendefinisikan Safar

Karena ayat 101 Surah An-Nisa mengaitkan keringanan Qashar dengan tindakan "bepergian di muka bumi" (ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ), maka fiqh Islam menetapkan syarat-syarat yang sangat terperinci mengenai apa yang dikategorikan sebagai 'safar' yang sah untuk menerima keringanan ini. Penetapan batasan ini sangat luas dan menjadi perdebatan intensif di antara empat mazhab utama fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali).

1. Jarak Minimal Safar (Masafah al-Qashr)

Syarat terpenting adalah batas minimal jarak perjalanan. Jarak ini harus memenuhi batas yang diakui secara syar'i agar seseorang disebut musafir. Mayoritas ulama (Maliki, Syafi'i, Hanbali) berpendapat bahwa jarak minimal adalah dua marhalah.

Implikasi perbedaan ini signifikan. Seseorang tidak diperbolehkan meng-qashar jika perjalanannya kurang dari jarak yang disepakati ini. Tujuan dari perjalanan juga harus jelas, yaitu seseorang harus berniat untuk menempuh jarak tersebut sejak awal keberangkatan dari batas kota tempat tinggalnya (batas *bunyan*).

2. Niat dan Tujuan Perjalanan

Perjalanan yang dilakukan haruslah perjalanan yang dibolehkan (bukan perjalanan untuk maksiat). Jika tujuan safar adalah untuk melakukan kemaksiatan, sebagian besar ulama (Syafi'iyah dan Hanbaliyah) berpendapat keringanan Qashar tidak berlaku, karena rukhsah (keringanan) tidak boleh digunakan untuk memfasilitasi dosa. Namun, Mazhab Hanafi berpendapat Qashar tetap sah karena safar itu sendiri adalah sebab keringanan, meskipun pelakunya berdosa karena tujuan maksiatnya.

3. Batasan Durasi Menjadi Musafir (*Iqamah*)

Seorang musafir hanya boleh meng-qashar shalat selama ia belum berniat untuk menetap di suatu tempat. Jika seorang musafir mencapai suatu tempat dan berniat tinggal di sana dalam jangka waktu tertentu, status musafirnya akan hilang, dan ia harus kembali melaksanakan shalat secara penuh (empat rakaat).

Aturan mengenai batas waktu menetap ini juga sangat bervariasi antar mazhab, menciptakan keragaman interpretasi fiqh yang mendalam:

Pandangan Mazhab tentang Batas Iqamah (Menetap)

  1. Mazhab Syafi'i dan Hanbali: Seseorang kehilangan status musafir jika ia berniat menetap selama empat hari atau lebih (tidak termasuk hari kedatangan dan keberangkatan). Jika ia berniat tinggal selama tiga hari penuh atau kurang, ia masih boleh meng-qashar. Jika ia tinggal lebih lama tetapi tidak ada niat pasti (misalnya menunggu teman yang tidak tahu kapan datang), ia tetap boleh meng-qashar selama masa yang lama, asalkan niatnya selalu 'akan pergi besok'.
  2. Mazhab Maliki: Batasnya lebih panjang, yaitu dua puluh hari. Jika ia berniat menetap selama dua puluh hari, status musafirnya hilang.
  3. Mazhab Hanafi: Ini adalah yang paling lama, yaitu lima belas hari. Jika ia berniat tinggal selama lima belas hari atau lebih di suatu tempat, ia harus shalat penuh.

Perbedaan durasi ini menunjukkan fleksibilitas dan kedalaman ilmu fiqh dalam menyesuaikan hukum dengan konteks kesulitan perjalanan yang berbeda-beda pada masa lalu.

Aspek Khauf (Ketakutan) dalam Ayat 101

Meskipun Hadits Nabi memperluas Qashar karena faktor safar semata, redaksi ayat 101 Surah An-Nisa secara eksplisit menyebutkan "jika kamu takut diserang orang-orang kafir." Ayat ini aslinya merujuk kepada situasi yang disebut Shalatul Khauf (Shalat dalam keadaan takut/perang).

Shalatul Khauf: Prosedur Khusus

Shalatul Khauf memiliki tata cara yang sangat spesifik, yang berbeda dari Qashar biasa saat safar aman. Prosedur ini diatur dalam ayat-ayat berikutnya (An-Nisa 102) dan Hadits, yang melibatkan pembagian jamaah menjadi dua kelompok: satu kelompok shalat bersama Imam, sementara kelompok lain menjaga. Kemudian mereka bergantian. Hal ini menunjukkan betapa Islam menekankan bahwa shalat fardhu tidak boleh ditinggalkan, bahkan di tengah-tengah pertempuran. Keringanan yang diberikan adalah pada bentuk dan jumlah rakaat, bukan pada kewajiban inti.

Namun, dalam konteks An-Nisa 101, faktor ketakutan (khauf) yang disebutkan telah ditafsirkan oleh sebagian besar ulama modern sebagai justifikasi awal. Dengan berjalannya waktu, para fuqaha menyimpulkan bahwa kesulitan (masyaqqah) yang ditimbulkan oleh safar—baik itu ketakutan, kelelahan, atau kesulitan logistik—sudah cukup untuk mengaktifkan rukhsah Qashar, sesuai dengan interpretasi yang diberikan oleh Rasulullah ﷺ sendiri kepada Umar bin Khattab.

Tafsir Filosofis: Hikmah di Balik Ruhshah

Ayat 101 Surah An-Nisa adalah pilar utama yang menunjukkan betapa sentralnya konsep kemudahan dalam syariat Islam (At-Taysir).

1. Mewujudkan Prinsip Yusr (Kemudahan)

Islam menolak kesulitan yang tidak perlu (haraj). Keringanan Qashar dan Jamak adalah wujud bahwa ibadah tidak boleh menjadi beban yang menghalangi seorang Muslim untuk menjalankan kehidupan yang produktif, bepergian, berdagang, atau membela diri. Ayat ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."

2. Pengakuan terhadap Kelelahan Fisik

Perjalanan, terlepas dari moda transportasinya, selalu melibatkan kelelahan fisik dan mental. Keringanan shalat mengakui batas kemampuan manusia dan memberikan waktu istirahat tambahan bagi musafir, sehingga ia dapat melaksanakan kewajiban lainnya dengan lebih baik. Ini adalah pengakuan Ilahi atas faktor kelelahan manusia.

3. Kesadaran Diri sebagai Musafir

Saat seseorang berada dalam perjalanan, fokusnya teralihkan dari rutinitas harian. Qashar mengingatkan musafir bahwa ia berada dalam kondisi khusus yang memerlukan perhatian ekstra terhadap ibadah, namun dengan format yang disederhanakan. Hal ini juga menanamkan kesadaran bahwa statusnya sementara, dan ia harus segera kembali ke rutinitas ibadah penuh saat kembali menjadi muqim.

Perluasan Fiqh: Shalat Qashar dan Jamak dalam Konteks Kekinian

Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks perjalanan menggunakan unta atau berjalan kaki, fiqh Islam yang berkembang telah menerapkan hukum ini pada semua bentuk perjalanan modern (pesawat, mobil, kereta api, kapal laut).

1. Safar dengan Transportasi Cepat

Kecepatan perjalanan modern seringkali menimbulkan pertanyaan: Apakah Qashar masih relevan ketika perjalanan 81 km dapat ditempuh dalam satu jam? Mayoritas ulama kontemporer sepakat bahwa hukum Qashar tetap berlaku. Alasannya, sebab hukum (‘illah) dalam ayat ini adalah 'safar' itu sendiri, bukan tingkat kelelahan yang ditimbulkan oleh safar. Selama niat dan jarak perjalanan terpenuhi, keringanan tetap sah, meskipun kesulitan fisik berkurang.

2. Posisi Jamak dan Qashar di Pesawat

Bagi mereka yang bepergian dengan pesawat melintasi zona waktu yang panjang, keringanan Qashar dan Jamak menjadi sangat praktis. Syaratnya adalah shalat dilakukan setelah pesawat melewati batas kota keberangkatan. Penentuan kiblat di dalam pesawat dapat dilakukan dengan ijtihad terbaik, dan shalat boleh dilaksanakan dalam posisi duduk jika berdiri berisiko atau sulit.

3. Musafir Profesional (Pilot, Pramugari, Sopir Jarak Jauh)

Kasus khusus muncul untuk mereka yang pekerjaannya selalu dalam safar (misalnya pilot, nahkoda, atau supir truk lintas provinsi). Mazhab yang berbeda memiliki pandangan beragam. Secara umum, jika mereka kembali ke tempat tinggal asalnya setiap hari atau dalam waktu singkat, mereka harus shalat penuh. Namun, jika mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka di luar dan memenuhi syarat jarak safar, mereka diperbolehkan meng-qashar, karena status safar adalah status profesional mereka.

Kedalaman Hukum: Perbedaan Pandangan Mengenai Qashar Sebagai Wajib atau Pilihan

Di antara berbagai mazhab, terdapat diskusi teologis dan fiqhiyah mengenai sifat Qashar itu sendiri:

Perbedaan pandangan ini berakar pada pemahaman mereka terhadap frasa dalam ayat 101: "فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا۟" (Maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar). Frasa ini secara literal menyiratkan izin atau tidak ada dosa, yang mendukung pandangan bahwa itu adalah pilihan. Namun, praktik Nabi ﷺ yang selalu meng-qashar selama safar (kecuali saat menjadi makmum kepada muqim) memberikan argumen kuat bagi mereka yang menganggapnya sangat ditekankan.

Perbedaan Fiqh Hanafi Syafi'i Hanbali Perbedaan Interpretasi Jarak Safar

Hukum Fiqhiyah Tambahan: Implikasi Praktis

1. Mengikuti Imam Muqim

Jika seorang musafir menjadi makmum di belakang imam yang berstatus muqim (penduduk setempat yang tidak dalam perjalanan), maka ia wajib mengikuti imam tersebut dan menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat, meskipun ia memenuhi syarat Qashar. Keringanan Qashar hanya berlaku jika musafir shalat sendirian atau menjadi imam bagi jamaah musafir lainnya.

2. Waktu Memulai dan Mengakhiri Qashar

Qashar dimulai segera setelah seseorang meninggalkan batas-batas pemukiman kotanya (batas *bunyan*). Hukum Qashar berakhir ketika ia kembali memasuki batas-batas pemukiman asalnya, atau ketika ia mencapai tempat tujuannya dan berniat iqamah (menetap) sesuai batas waktu mazhabnya.

3. Safar Jarak Dekat yang Melelahkan

Meskipun Qashar membutuhkan jarak minimal 81 km, keringanan Jamak (menggabungkan waktu shalat) diperbolehkan oleh sebagian ulama untuk safar yang lebih pendek, terutama jika diiringi kesulitan atau kelelahan ekstrem. Namun, Qashar tetap terikat pada batasan jarak yang ketat.

Integrasi dengan Ayat Lain: Kesempurnaan Ruhshah

Ayat 101 Surah An-Nisa tidak berdiri sendiri. Ia didukung oleh prinsip-prinsip syariah yang lebih luas, seperti firman Allah SWT:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

Dan firman lainnya:

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)

Integrasi ini menegaskan bahwa kemudahan Qashar bukan sekadar pengecualian sementara yang diizinkan saat takut, melainkan merupakan bagian integral dari karakter syariat Islam. Konsep keringanan ini bahkan dianggap sebagai bentuk ibadah tersendiri. Ketika seorang Muslim mengambil rukhsah, ia tidak sedang mengurangi kualitas ibadahnya; sebaliknya, ia sedang menjalankan sunnah Nabi dan menunjukkan ketaatan terhadap perintah Allah untuk menerima anugerah-Nya.

Analisis Mendalam Fiqh Kontemporer Mengenai Iqamah

Dalam dunia modern, banyak orang bekerja atau belajar di luar negeri tanpa niat pasti untuk menetap atau kembali. Kasus ini memerlukan analisis fiqh yang lebih mendalam mengenai niat iqamah.

Iqamah Mutlaqah (Menetap Tak Tentu)

Jika seseorang bepergian ke suatu tempat dan tahu bahwa ia akan tinggal lama, tetapi ia tidak menetapkan batas waktu (misalnya, visa studinya lima tahun, tetapi ia bisa kembali kapan saja), ia mungkin tetap diperlakukan sebagai musafir oleh sebagian ulama, selama ia tidak berniat tinggal lebih dari batas waktu maksimal yang ditetapkan (misalnya 4 hari atau 15 hari) pada setiap periode tinggalnya. Namun, jika ia membeli properti, membawa keluarga, dan mengikatkan diri secara permanen, status musafirnya hilang.

Iqamah untuk Keperluan Darurat

Jika musafir terjebak karena kondisi darurat (bencana alam, penutupan perbatasan), dan ia tinggal di suatu tempat melebihi batas iqamah (misalnya 4 hari) tanpa niat pasti untuk menetap, ia tetap boleh meng-qashar menurut Mazhab Syafi'i dan Hanbali. Hal ini karena niatnya adalah ingin segera pergi, dan keterlambatannya bukan disengaja, melainkan karena halangan.

Ketelitian ulama dalam menetapkan batasan jarak, niat, dan durasi menetap menunjukkan betapa hati-hatinya mereka dalam menerapkan prinsip rukhsah. Mereka berusaha menjaga keseimbangan antara kemudahan bagi umat dan penghormatan terhadap kesempurnaan ibadah fardhu.

Penafsiran Luas Tentang 'Ketakutan' (Khauf)

Meskipun makna literal 'ketakutan' dalam An-Nisa 101 awalnya terkait dengan musuh, para ulama juga membahas apakah konsep ini dapat diperluas mencakup jenis ketakutan atau kesulitan lain:

Khauf karena Sakit atau Ancaman Fisik: Jika seseorang tidak bepergian, tetapi berada dalam kondisi sakit parah atau bahaya fisik yang membuat pelaksanaan shalat penuh menjadi sangat sulit, Islam memberikan keringanan. Meskipun ini bukan Qashar (kecuali jika digabungkan dengan safar), konsep kemudahan ini berakar dari semangat ayat ini. Misalnya, shalat boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring. Ini adalah bukti bahwa syariat selalu mencari jalan keluar dari kesulitan (mashaqqah).

Khauf Hilangnya Harta atau Pekerjaan: Dalam beberapa situasi modern, mengejar waktu penerbangan atau jadwal kerja yang ketat mungkin dianggap sebagai bentuk ketakutan (takut kehilangan harta atau kesempatan). Meskipun ini tidak mengizinkan Qashar tanpa safar yang sah, ini membenarkan keringanan Jamak menurut beberapa pandangan, untuk menghindari kehilangan kewajiban finansial yang penting, meskipun Qashar hanya sah jika jarak safar terpenuhi.

Menjaga Konsistensi dalam Ibadah

Pelajaran terpenting dari An-Nisa 101 adalah konsistensi dalam ibadah. Bahkan di tengah kesulitan, perjalanan, atau ancaman, kewajiban shalat tidak pernah dihapuskan. Bentuknya disederhanakan (Qashar), waktunya diatur ulang (Jamak), tetapi substansinya tetap wajib. Ini adalah pesan kuat tentang peran sentral shalat dalam kehidupan seorang Muslim. Ruhshah diberikan bukan untuk meninggalkan ibadah, melainkan untuk memastikan bahwa ibadah dapat dilaksanakan dalam setiap kondisi, menegaskan bahwa hubungan dengan Sang Pencipta harus tetap terjalin tanpa terputus.

Melalui keringanan Qashar, Allah SWT mengajarkan umat-Nya bahwa syariat-Nya adalah rahmat, dirancang untuk memudahkan kehidupan manusia. Dengan memahami dan mengamalkan ketentuan fiqh yang terperinci ini, seorang Muslim dapat memanfaatkan anugerah Ilahi yang termaktub dalam Surah An-Nisa ayat 101, menjadikan perjalanannya sebagai ibadah yang ringan dan berkah.

***

Ekstensi Pembahasan Fiqh: Mengatasi Permasalahan Detail dalam Safar

Untuk mengapresiasi sepenuhnya kedalaman Surah An-Nisa ayat 101, kita perlu menganalisis beberapa permasalahan mikro yang sering timbul di kalangan musafir, menunjukkan betapa hati-hatinya ulama dalam menafsirkan setiap detail hukum yang berasal dari ayat dan sunnah ini.

1. Persyaratan Niat dalam Penggabungan Shalat (Jamak)

Jika seorang musafir ingin melaksanakan Jamak (penggabungan waktu) selain Qashar, niat untuk Jamak harus dilakukan. Terdapat perbedaan mengenai kapan niat Jamak harus dilakukan:

Jamak Taqdim (Maju): Menggabungkan shalat di waktu shalat pertama (misalnya Zuhur dan Asar dikerjakan di waktu Zuhur). Menurut Mazhab Syafi'i dan Hanbali, niat Jamak harus dilakukan pada saat memulai takbiratul ihram shalat pertama. Ini menunjukkan pentingnya niat yang mendahului pelaksanaan ibadah.

Jamak Ta'khir (Mundur): Menggabungkan shalat di waktu shalat kedua (misalnya Zuhur dan Asar dikerjakan di waktu Asar). Dalam Jamak Ta'khir, niat untuk menunda shalat pertama ke waktu shalat kedua harus dilakukan sebelum berakhirnya waktu shalat pertama. Jika tidak ada niat menunda, shalat pertama dianggap terlewat (qadha).

Kajian mendalam ini menunjukkan bahwa izin Ilahi datang dengan prosedur yang jelas. Keringanan tidak berarti menghilangkan disiplin, melainkan mentransformasikan disiplin tersebut ke dalam format yang lebih fleksibel bagi musafir.

2. Posisi Qashar dalam Rangkaian Safar Berulang

Bagaimana jika seseorang sering bepergian antar dua kota untuk urusan pekerjaan, dan kedua kota tersebut berjarak 100 km? Statusnya akan berubah setiap kali ia melintasi batas kota asalnya. Selama ia belum menetap (iqamah) di kota kedua, ia berhak meng-qashar. Para ulama menekankan bahwa batasan iqamah sangat krusial. Seorang yang bolak-balik dalam seminggu dan selalu kembali ke rumah asalnya, status safarnya diperbaharui setiap keberangkatan, dan ia boleh meng-qashar pada perjalanan pulang dan pergi.

3. Masalah Shalat di Atas Kendaraan yang Bergerak

Di masa modern, shalat sering harus dilakukan di dalam kereta, bus, atau kapal laut yang terus bergerak. Secara umum, ulama membolehkan shalat wajib di atas kendaraan jika ada kesulitan besar untuk berhenti. Namun, shalat harus dilakukan dengan berusaha menghadap kiblat semaksimal mungkin, bahkan jika kiblat berubah seiring pergerakan kendaraan. Qashar diterapkan di sini karena ia adalah musafir.

Jika memungkinkan, berdiri dan ruku'/sujud harus dilakukan seperti biasa. Jika tidak memungkinkan, isyarat (menundukkan kepala) untuk ruku' dan sujud sudah memadai. Ini adalah penerapan langsung dari semangat rukhsah yang terkandung dalam An-Nisa 101, di mana kewajiban inti shalat dipertahankan meskipun formatnya diubah karena kondisi darurat atau kesulitan safar.

4. Hukum Shalat Sunnah saat Safar

Ayat 101 secara khusus berbicara mengenai Qashar shalat fardhu. Bagaimana dengan shalat sunnah rawatib? Mayoritas ulama berpendapat bahwa selama safar, sunnah rawatib yang terkait dengan shalat Zuhur, Asar, dan Isya sebaiknya ditinggalkan, untuk memaksimalkan keringanan. Pengecualian biasanya diberikan untuk shalat sunnah Subuh (yang sangat ditekankan) dan Shalat Witir.

Ini mencerminkan filosofi bahwa rukhsah bukan hanya izin, tetapi juga anjuran untuk meringankan diri, menunjukkan kesempurnaan seorang musafir dalam mengambil kemudahan yang diberikan oleh Syariat.

5. Kondisi "Khauf" yang Melebihi Ancaman Musuh

Sebagian kecil ulama modern, dalam konteks menafsirkan "khauf" secara luas, mencakup kondisi darurat publik. Misalnya, jika musafir berada di tengah wabah penyakit menular atau karantina ketat. Dalam kondisi ini, di mana berkumpul untuk shalat berjamaah membawa risiko besar, fiqh kontemporer mungkin mengizinkan penyesuaian tata cara shalat (seperti menjaga jarak atau shalat sendirian) berdasarkan semangat perlindungan diri yang terkandung dalam Shalatul Khauf, meskipun Qashar tetap terikat pada batasan safar.

Surah An-Nisa ayat 101, meskipun singkat dalam teksnya, telah membuka pintu bagi diskusi fiqh yang sangat kaya dan adaptif, membuktikan bahwa syariat Islam memiliki fondasi yang kokoh namun fleksibel untuk diterapkan di setiap zaman dan tempat.

🏠 Kembali ke Homepage