Ilustrasi kontinuitas Dzikir setelah shalat.
Surah An Nisa ayat 103 merupakan salah satu fondasi utama dalam penetapan kewajiban shalat, terutama terkait dengan aspek waktunya. Ayat ini datang sebagai kelanjutan langsung dari ayat sebelumnya (ayat 102), yang secara spesifik membahas Salatul Khawf (shalat dalam keadaan takut atau perang).
Kontekstualisasi ini sangat penting: saat kaum Muslimin berada dalam kondisi paling genting dan berbahaya—saat nyawa terancam di medan pertempuran—Allah SWT memberikan keringanan untuk melaksanakan shalat secara ringkas dan tergesa-gesa. Namun, begitu shalat yang diringkas itu selesai, dan ancaman belum sepenuhnya hilang, perintah selanjutnya turun: ingatlah Allah dalam setiap keadaan. Kemudian, Allah menetapkan kembali hukum dasar: ketika rasa aman telah didapatkan, dirikanlah shalat dengan sempurna, karena shalat adalah ketetapan yang memiliki waktu yang terperinci.
Ayat ini berfungsi sebagai jembatan hukum dan spiritual. Ia memastikan bahwa ibadah ritual tidak pernah terhenti, bahkan dalam situasi darurat militer, dan pada saat yang sama, ia menegaskan bahwa keringanan (rukhsah) adalah sementara. Kewajiban asalnya adalah shalat yang sempurna, yang terikat pada waktu yang telah ditentukan, sebuah konsep yang dikenal sebagai Kitaban Mauquta.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah empat frasa utama yang membentuk inti hukum dan spiritualitas ayat 103:
Kata Qadaitum berasal dari akar kata *qada*, yang berarti memutuskan, menyelesaikan, atau menunaikan. Dalam konteks ayat 103 yang mengikuti Salatul Khawf (Ayat 102), para mufassir memiliki dua pandangan utama:
Penggunaan kata ini menekankan bahwa meski shalat mungkin dilakukan dalam keadaan darurat dengan cara yang tidak ideal, kewajiban itu tetap telah ditunaikan, dan fase berikutnya adalah kontinuitas ibadah melalui dzikir.
Ini adalah perintah langsung untuk mengingat Allah (Dzikir) dalam segala posisi: berdiri, duduk, dan berbaring. Frasa ini memiliki implikasi spiritual yang sangat besar:
Kata Iṭma'nantum (merasa aman, tenang, tenteram) adalah kunci penegasan hukum. Ini menandakan berakhirnya kondisi darurat yang membenarkan adanya keringanan (rukhsah).
Ini adalah klimaks hukum dari ayat tersebut, menyatakan keharusan shalat dengan waktu yang telah ditentukan (Kitaban Mauquta).
Frasa ini adalah dasar syariah untuk kewajiban shalat lima waktu pada jam-jam spesifik. Ini menolak gagasan bahwa shalat dapat dilakukan kapan saja sesuai keinginan, dan menegaskan bahwa shalat harus dikerjakan dalam kerangka waktu yang ketat, yang membedakannya dari ibadah sunnah yang lebih fleksibel.
Para mufassir klasik sangat menekankan hubungan erat antara penyelesaian shalat darurat dan perintah dzikir yang luas. Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa perintah dzikir dalam segala posisi ini bertujuan agar manusia tidak melupakan Allah SWT dalam kondisi apapun.
"Ayat ini mengandung perintah untuk banyak mengingat Allah dalam segala keadaan, khususnya setelah menyelesaikan shalat wajib. Sebagaimana halnya kewajiban di medan perang yang tidak mengizinkan mereka untuk tinggal berlama-lama (berdzikir di dalam shalat), maka mereka diperintahkan untuk melanjutkannya di luar shalat, dalam kondisi apapun mereka berada."
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa shalat adalah ritual yang memiliki awal dan akhir, tetapi dzikir adalah keadaan spiritual yang tidak berujung. Ketika seseorang berada dalam kondisi peperangan atau ketakutan, shalat yang dilaksanakan mungkin kehilangan sebagian unsur kekhusyuannya karena keterbatasan waktu dan fokus pada bahaya. Oleh karena itu, dzikir yang dilakukan setelahnya berfungsi sebagai kompensasi spiritual (mu'awwadah).
Ada beberapa poin penting yang diangkat oleh para ahli tafsir mengenai dzikir dalam tiga posisi:
Tafsir Al-Tabari menghubungkan ayat ini erat dengan ayat sebelumnya. Pada saat Salatul Khawf, jamaah shalat dibagi menjadi dua kelompok. Mereka melaksanakan shalat dalam waktu yang sangat singkat untuk segera kembali menjaga musuh. Setelah shalat singkat itu selesai (Qadaitum), mereka tidak boleh langsung tenggelam dalam urusan dunia atau peperangan tanpa jeda spiritual. Mereka harus mengisi interval tersebut dengan dzikir, menunggu keadaan aman total (Iṭma'nantum) untuk melaksanakan shalat secara sempurna di waktu berikutnya.
Frasa Kitaban Mauquta (kewajiban yang ditentukan waktunya) merupakan landasan utama dalam Fiqh Islam mengenai waktu shalat. Ayat ini menempatkan shalat pada posisi yang unik: ia adalah satu-satunya ibadah yang wajib yang harus dikerjakan dalam bingkai waktu yang ketat, yang telah ditetapkan oleh syariat (waktu *awal*, *ikhtiyari*, dan *nihai*).
Kitaban Mauquta berarti bahwa shalat adalah fardhu 'ain yang terikat waktu. Ini memiliki dua konsekuensi hukum fundamental:
Berdasarkan hadis-hadis yang menafsirkan ayat ini, para fuqaha (ahli fikih) membagi setiap waktu shalat menjadi beberapa kategori:
Ini adalah awal waktu shalat, segera setelah adzan berkumandang atau tanda waktu masuk. Melaksanakan shalat pada waktu ini (kecuali Isya dan Subuh yang memiliki preferensi sedikit diakhirkan) dianggap paling utama (afdhal), sesuai sabda Nabi Muhammad SAW mengenai "amal yang paling dicintai Allah" adalah shalat pada waktunya.
Ini adalah rentang waktu di mana shalat boleh dilakukan tanpa makruh, mencakup sebagian besar durasi waktu shalat, berakhir sebelum waktu makruh atau waktu darurat masuk.
Ini adalah waktu shalat yang sangat sempit menjelang habisnya waktu (misalnya, menjelang matahari terbit untuk Subuh, atau menjelang Maghrib untuk Asar). Melaksanakan shalat pada waktu ini sah, tetapi makruh jika dilakukan tanpa uzur syar'i. Waktu daruri ini berfungsi sebagai batas akhir toleransi syariat untuk melaksanakan kewajiban.
Meskipun shalat terikat waktu (Kitaban Mauquta), syariat memberikan kelonggaran (rukhsah) dalam kondisi tertentu, yang bertujuan untuk menghilangkan kesulitan (masyaqqah):
Jamak memungkinkan shalat Zuhur dan Asar, serta Maghrib dan Isya, digabungkan dalam satu waktu (Jamak Taqdim atau Jamak Ta'khir). Uzur utama yang membolehkannya meliputi:
Peringkasan shalat empat rakaat menjadi dua rakaat (Zuhur, Asar, Isya) hanya berlaku bagi musafir (orang yang dalam perjalanan). Ini adalah keringanan kuantitas, sementara Jamak adalah keringanan waktu. Ayat 103 secara implisit mengakui Qasar (karena ini konteks Salatul Khawf) sambil tetap menegaskan kewajiban waktu.
An Nisa 103 adalah ayat yang paling sering dikutip untuk menjustifikasi betapa seriusnya melalaikan shalat. Imam Ahmad dan Malik berpendapat bahwa meninggalkan shalat hingga waktunya habis (tanpa uzur) dapat diancam hukuman berat, bahkan hingga status kufur (tergantung niatnya, apakah karena ingkar atau karena malas).
Penetapan waktu yang ketat ini menunjukkan bahwa shalat adalah tiang agama yang tidak boleh didominasi oleh kepentingan duniawi. Ia menuntut komitmen yang terstruktur dan teratur dari seorang mukmin, yang mencerminkan disiplin dalam menjalani ketaatan kepada Allah SWT.
Ayat 103 bukan hanya mengenai hukum (fiqh), tetapi juga mengenai pendidikan spiritual (tarbiyah ruhaniyah). Disiplin waktu shalat (Kitaban Mauquta) dan keharusan dzikir dalam segala posisi memiliki tujuan mendalam dalam membentuk karakter mukmin.
Jika dzikir adalah air yang mengalirkan kehidupan spiritual, maka shalat adalah wadah yang menyalurkannya. Dengan membagi hari menjadi lima interval waktu yang wajib diisi dengan ibadah, syariat memastikan bahwa:
Imam Ar-Razi menafsirkan bahwa Allah SWT menetapkan waktu shalat untuk menguji keimanan hamba-Nya. Apakah mereka lebih mencintai urusan dunia yang mendesak ataukah mereka akan memenuhi panggilan Tuhan yang terikat waktu? Disiplin waktu shalat adalah tolok ukur ketakwaan.
Perintah dzikir setelah shalat dalam segala posisi (berdiri, duduk, berbaring) menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan totalitas ibadah. Dzikir adalah jembatan yang menghubungkan ritual formal (shalat) dengan kehidupan sehari-hari (muamalah).
Ketika seseorang berdzikir dalam kondisi sulit (seperti di medan perang) atau dalam kondisi paling santai (seperti berbaring di tempat tidur), ia mencapai tingkat kesadaran ilahiah yang tinggi. Ini dikenal sebagai Muraqabah—merasa diawasi oleh Allah SWT. Kualitas muraqabah ini memastikan bahwa perbuatan mukmin di luar shalat pun tetap berlandaskan moral dan etika Islam.
Disiplin yang diajarkan oleh Kitaban Mauquta adalah bahwa kesibukan apa pun yang dihadapi manusia, bahkan peperangan yang mengancam nyawa, tidak boleh sepenuhnya menghapus kewajiban utama mereka sebagai hamba: mengingat dan menyembah Pencipta mereka. Kewajiban ini adalah kontrak abadi yang terikat waktu.
Meskipun konteks utama ayat 103 adalah Salatul Khawf, para ulama juga membahas makna 'Qadaitumus-Shalah' (apabila kamu telah menyelesaikan shalat) dalam konteks umum (shalat hadhar/aman).
Secara umum, perintah dzikir setelah shalat menjadi dalil kuat bagi dzikir-dzikir yang diajarkan Nabi SAW setelah shalat fardhu (seperti tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, takbir 33 kali). Para fuqaha menetapkan bahwa dzikir ini harus dilakukan sebelum seseorang meninggalkan tempat shalatnya atau sebelum melakukan shalat sunnah Rawatib, sebagai aplikasi langsung dari perintah "Fadzkurullaha".
Dalam tradisi syi'ah (terutama Imamiyah dan Zaidiyah), frasa "Qadaitumus-Shalah" juga ditafsirkan sebagai perintah untuk melaksanakan shalat secara lengkap dan tidak terpotong-potong, kecuali dalam kondisi darurat yang ekstrem. Mereka berpendapat bahwa penekanan pada dzikir setelahnya adalah untuk memastikan bahwa jiwa tidak terputus dari ibadah, bahkan setelah ritual fisik berakhir.
Kata Iṣṭma'nantum (merasa aman) tidak hanya terbatas pada keamanan fisik dari musuh, tetapi juga ketenangan dari faktor-faktor yang mengganggu pelaksanaan shalat sempurna. Ini bisa mencakup:
Ini menegaskan prinsip fiqh bahwa rukhshah (keringanan) hanya berlaku selama uzur (alasan) itu ada. Begitu uzur hilang, kewajiban kembali ke status asal, yaitu Iqamatush-Shalah (mendirikan shalat secara sempurna).
Karena Kitaban Mauquta menjadi prinsip dasar, penetapan batas-batas waktu shalat telah melahirkan perdebatan yang sangat rinci di antara empat mazhab utama Fiqh Islam (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali).
Perbedaan paling signifikan dalam penetapan waktu shalat ada pada waktu berakhirnya shalat Zuhur dan masuknya waktu Asar:
Perbedaan ini, meskipun detail, menunjukkan upaya para fuqaha untuk secara harfiah menerapkan kewajiban Kitaban Mauquta, memastikan tidak ada shalat yang dikerjakan di luar batas waktu yang ditetapkan oleh sunnah Nabi SAW.
Ayat 103 menekankan bahwa waktu itu penting, bahkan untuk Isya. Mayoritas ulama sepakat bahwa waktu utama (Ikhtiyari) shalat Isya adalah hingga pertengahan malam (tengah antara Maghrib dan Subuh). Setelah pertengahan malam, masuklah waktu makruh atau darurat, yang berakhir menjelang fajar shadiq (Subuh).
Perdebatan muncul mengenai bolehnya tidur sebelum Isya. Mazhab Syafi'i memandang makruh tidur sebelum Isya karena khawatir terlewat. Namun, konteks ayat 103, yang menekankan dzikir bahkan saat berbaring, memberikan legitimasi spiritual bahwa meskipun mata terpejam, kesadaran tentang kewajiban yang terikat waktu harus tetap ada.
Jika shalat adalah Kitaban Mauquta, lantas bagaimana status shalat yang terlewat? Hukum Qadha shalat adalah kesepakatan ulama, berdasarkan hadis, bahwa "Barang siapa tertidur dari shalatnya atau lupa, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat."
Ini menunjukkan bahwa sifat "terikat waktu" shalat adalah untuk pelaksanaan (ada'an), tetapi jika waktu itu terlewat, kewajiban itu tidak hilang, hanya saja pelaksanaannya menjadi terlambat (qadha'an).
Prinsip Kitaban Mauquta yang ditetapkan dalam An Nisa 103 menghadapi tantangan unik dalam kehidupan modern, terutama terkait jadwal kerja yang ketat, perjalanan udara, dan wilayah dengan waktu siang/malam yang ekstrem (lintang tinggi).
Banyak Muslim bekerja di lingkungan yang jadwalnya sangat padat, dan meminta izin untuk shalat lima waktu tepat pada waktunya seringkali sulit. Ayat 103 mengajarkan prioritas. Kewajiban waktu ini harus dipertahankan semaksimal mungkin. Dalam kondisi sulit, keringanan seperti Jamak dapat diterapkan. Namun, secara umum, Kitaban Mauquta mewajibkan Muslim untuk merencanakan hidupnya sedemikian rupa sehingga kewajiban shalat dapat ditunaikan.
Ketika seseorang melakukan perjalanan pesawat yang melintasi beberapa zona waktu, shalat tetap terikat pada waktu lokal. Jika waktu shalat masuk di udara dan pendaratan tidak memungkinkan, shalat harus dilakukan di pesawat, dengan menghadap kiblat semampu mungkin, sebagai bentuk pelaksanaan "Qiyam, Qu'ud, wa 'Ala Junubikum" dalam konteks modern. Ayat 103 mengingatkan bahwa tidak ada kondisi (kecuali ketidaksadaran total) yang membebaskan seorang mukmin dari kewajiban shalat dan dzikir.
Di wilayah utara ekstrem, di mana matahari mungkin tidak terbenam selama berhari-hari (Midnight Sun) atau tidak terbit selama berhari-hari, penetapan "Kitaban Mauquta" menjadi sangat sulit. Para ulama kontemporer telah memberikan solusi, yang umumnya didasarkan pada:
Semua solusi ini, meskipun merupakan ijtihad, bertujuan untuk mempertahankan prinsip dasar ayat 103: bahwa shalat HARUS terikat pada waktu (Mauquta), meskipun definisi waktu tersebut harus disesuaikan secara darurat.
Surah An Nisa ayat 103 adalah salah satu ayat terpenting yang menetapkan hubungan abadi antara seorang mukmin dan Penciptanya. Ia berdiri sebagai sebuah deklarasi hukum dan spiritual:
Pertama, ia menegaskan bahwa ibadah ritual tidak boleh terputus, bahkan ketika kehidupan berada di ujung tanduk (konteks Salatul Khawf dan perintah dzikir dalam segala posisi). Ini adalah ajaran mengenai ketahanan spiritual dan keharusan Dzikir Berkelanjutan.
Kedua, ia menetapkan kembali dasar hukum yang tak tergoyahkan: Shalat yang sempurna adalah wajib ketika keadaan aman, dan shalat itu terikat pada waktu yang ketat (Kitaban Mauquta).
Ayat ini mengajarkan kepada umat Islam bahwa disiplin waktu (kedisiplinan untuk memenuhi janji dengan Allah pada waktu yang telah ditetapkan) adalah tanda keimanan sejati. Sebagaimana seorang prajurit harus waspada dan berdzikir segera setelah shalat di medan perang, demikian pula seorang mukmin harus selalu waspada terhadap panggilan Tuhannya di tengah kesibukan dunia. Kewajiban ini, yang terikat waktu, adalah kontrak ilahi yang mengikat setiap individu hingga akhir hayatnya.
Dengan demikian, An Nisa 103 bukan sekadar panduan teknis tentang waktu shalat, melainkan cetak biru spiritual yang menyatukan tindakan fisik, kesadaran mental, dan penyerahan total kepada Allah SWT dalam bingkai waktu yang disiplin dan terstruktur.
-- Kajian Selesai --