Surah Al-Hadid (Besi) merupakan surah yang memuat ajaran mendasar mengenai iman, infak, cahaya Ilahi, dan kekuasaan mutlak Allah SWT. Di tengah rangkaian ayat-ayat yang menekankan perbedaan antara kehidupan dunia yang fana dan kehidupan akhirat yang abadi, terdapat satu ayat yang menjadi inti filosofis sekaligus praktis dalam membangun peradaban yang berlandaskan wahyu. Ayat tersebut adalah ayat ke-25.
Ayat 25 ini tidak hanya menjelaskan tentang misi kenabian, tetapi juga memaparkan dua kekuatan yang esensial dalam keberlangsungan masyarakat yang beradab: Keadilan (Mizan) dan Kekuatan (Al-Hadid/Besi). Analisis mendalam terhadap ayat ini membuka jendela pemahaman tentang bagaimana Islam memandang keseimbangan antara hukum spiritual dan kebutuhan material, antara dakwah yang lemah lembut dan pertahanan yang tegas.
Paruh pertama dari ayat ini menetapkan tujuan universal dan abadi dari misi kenabian. Allah SWT menegaskan bahwa pengutusan para rasul disertai dengan tiga elemen fundamental: Al-Bayyinat (bukti-bukti nyata), Al-Kitab (wahyu tertulis), dan Al-Mizan (neraca keadilan).
Kata Al-Bayyinat berarti bukti-bukti yang jelas, mukjizat, dan hujjah yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Bukti-bukti ini adalah landasan rasional mengapa manusia harus menerima ajakan para rasul. Tanpa bukti yang meyakinkan, klaim kenabian akan mudah ditolak. Al-Bayyinat menegaskan bahwa iman dalam Islam tidak berbasis pada takhayul buta, melainkan pada penalaran yang didukung oleh tanda-tanda kosmik, moral, dan historis.
Dalam konteks modern, Al-Bayyinat juga mencakup kejelasan metodologi (manhaj) dalam menerapkan ajaran agama. Bukti-bukti ini memastikan bahwa ajaran yang dibawa para rasul memiliki konsistensi internal dan relevansi eksternal yang berkelanjutan.
Kitab dan Mizan diturunkan bersama para rasul. Ini menunjukkan sifat yang tak terpisahkan antara wahyu dan keadilan. Al-Kitab adalah sumber hukum, petunjuk normatif yang memberikan panduan terperinci. Sementara itu, Al-Mizan adalah prinsip universal, konsep keadilan yang harus diterapkan dalam segala aspek kehidupan.
Keadilan (Mizan) memiliki makna yang sangat luas. Ia bukan sekadar neraca timbangan fisik, melainkan konsep integral yang mencakup:
Frasa “Liyakuma an-nasu bil-qisti” (supaya manusia dapat melaksanakan keadilan) adalah deklarasi tujuan (maqasid) utama syariat. Tujuan akhir dari pengiriman wahyu dan rasul bukanlah sekadar ritual keagamaan, melainkan penciptaan tatanan sosial yang adil dan seimbang. Tanpa keadilan, peradaban akan runtuh, regardless seberapa kaya atau berteknologi peradaban tersebut.
Setelah menetapkan keadilan sebagai tujuan utama, ayat tersebut beralih ke alat yang diperlukan untuk melindungi dan menegakkan keadilan itu: Besi (Al-Hadid).
Satu hal yang menarik secara linguistik dan ilmiah adalah penggunaan kata “Anzalna” (Kami turunkan) untuk Besi, yang sama digunakan untuk Al-Kitab dan Al-Mizan. Secara tradisional, ini bisa berarti pemberian atau penciptaan. Namun, dalam konteks modern, penemuan ilmiah memberikan dimensi tafsir yang luar biasa.
Ilmu astrofisika modern telah mengkonfirmasi bahwa zat besi (Fe) adalah unsur yang tidak dapat terbentuk di bumi atau melalui proses fusi bintang biasa (seperti yang terjadi pada pembentukan hidrogen, helium, karbon, dan oksigen). Besi hanya dapat terbentuk di inti bintang yang sangat masif, melalui proses fusi yang luar biasa panas, yang kemudian meledak sebagai Supernova. Ledakan ini menyebarkan besi ke alam semesta, yang kemudian berkumpul membentuk planet, termasuk Bumi.
Oleh karena itu, Besi secara harfiah, dari perspektif material, memang “diturunkan” ke bumi dari ruang angkasa, bukan berasal dari pembentukan awal di bumi itu sendiri. Penggunaan Anzalna untuk Besi menegaskan bahwa baik wahyu (Kitab) maupun materi dasar kekuatan (Hadid) berasal dari sumber yang sama, yaitu kekuasaan Ilahi. Ini adalah jembatan yang menghubungkan aspek spiritual dan aspek material peradaban.
Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan sifat primer besi: “Fīhi ba’sun shadīd” (padanya terdapat kekuatan yang hebat). Ba's Shadid merujuk pada kekuatan, kekerasan, daya tahan, dan juga potensi bahaya atau kekuatan tempur. Besi adalah tulang punggung teknologi dan pertahanan peradaban manusia sejak Zaman Besi.
Dalam konteks peradaban, Ba's Shadid memiliki dua interpretasi penting:
Tanpa Ba's Shadid, hukum (Mizan) akan menjadi sekadar teori tanpa daya implementasi. Ayat ini mengajarkan bahwa spiritualitas harus didukung oleh realitas kekuasaan; peradaban harus memiliki gigi untuk melindungi dirinya dari agresi internal maupun eksternal.
Selain kekuatan tempur, Besi juga membawa berbagai “Manāfi'u lin-nās” (berbagai manfaat bagi manusia). Ini mencakup penggunaan besi dalam pertanian (alat bajak), transportasi (rel kereta api, mesin), kedokteran (instrumen bedah), dan seluruh aspek kehidupan sehari-hari.
Keseimbangan antara Ba's Shadid dan Manāfi’u lin-Nās sangat krusial. Besi yang digunakan untuk pembangunan (manfaat) harus seimbang dengan besi yang digunakan untuk pertahanan (kekuatan). Jika kekuatan digunakan semata-mata untuk penindasan, maka ia bertentangan dengan tujuan Mizan yang pertama. Ayat ini menempatkan kekuatan di bawah naungan keadilan, bukan sebaliknya.
Paruh terakhir ayat ini menghubungkan penggunaan kekuatan material dengan tujuan spiritual dan ujian keimanan. Besi diturunkan, dan manusia diberi kebebasan menggunakannya, “wal ya’lama Allahu man yansuruhu wa rusulahu bil-ghaib” (dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya).
Tujuan akhir dari kombinasi Kitab, Mizan, dan Hadid adalah untuk menguji manusia. Allah SWT, yang Maha Mengetahui, menggunakan skema ini untuk menampakkan (bukan untuk mengetahui, karena Dia sudah tahu) siapa yang benar-benar berkomitmen pada ajaran-Nya. Ujian ini adalah tentang bagaimana umat manusia memanfaatkan kekuatan yang telah diberikan—Besi—untuk menegakkan keadilan (Mizan) dan menolong agama Allah.
Menolong agama Allah di sini berarti memastikan bahwa sistem sosial, politik, dan ekonomi bergerak berdasarkan prinsip-prinsip Ilahiah yang dibawa oleh rasul. Ini memerlukan:
Frasa “bil-ghaib” (padahal Allah tidak dilihatnya) adalah elemen paling murni dari ujian iman. Ini menuntut ketaatan yang tulus, bukan karena motivasi duniawi seperti ketakutan akan hukuman segera atau imbalan material di hadapan publik, melainkan karena keyakinan teguh pada Dzat yang Maha Ghaib.
Menolong agama Allah secara ghaib mencakup:
Ayat Al-Hadid 25 pada dasarnya merumuskan sebuah filosofi politik dan sosial yang integral. Ayat ini mengajarkan bahwa peradaban yang sukses harus berdiri di atas dua kaki yang seimbang:
Sistem sosial membutuhkan:
Kekuatan yang diwakili oleh Besi (Hadid) tidak hanya terbatas pada konteks militer. Dalam analisis sosiologis dan ekonomi, Hadid melambangkan:
Para ulama tafsir telah menghabiskan waktu berabad-abad untuk membedah kedalaman makna ayat ini. Analisis ini meluas dari penafsiran literal hingga implikasi sosial-politik bagi umat.
Dalam tafsir klasik, seperti yang disampaikan oleh Imam Al-Tabari dan Ibn Kathir, fokus diletakkan pada pemisahan fungsi Mizan (hukum internal) dan Hadid (kekuatan eksternal).
Mizan adalah alat yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa sipil, memastikan hak waris, dan menimbang moralitas. Ia beroperasi di dalam batas-batas masyarakat yang sudah menerima wahyu. Sebaliknya, Hadid, dengan Ba's Shadid-nya, adalah alat yang digunakan untuk pertahanan, ekspansi keadilan (jihad), dan penegakan hukum terhadap pelanggar yang keras kepala (hukuman pidana). Keseimbangan ini merupakan inti dari konsep Daulah (negara) dalam Islam: negara harus memiliki otoritas moral (berdasarkan Kitab) dan otoritas fisik (berdasarkan Hadid).
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah menekankan bahwa menegakkan keadilan membutuhkan dua hal: ilmu (yang berasal dari Kitab) dan kekuasaan (yang berasal dari Hadid). Keduanya harus saling menopang. Kekuasaan tanpa ilmu adalah kezaliman, dan ilmu tanpa kekuasaan adalah kelemahan yang tak berdaya.
Memahami akar kata Arab dalam ayat ini memperkaya pemahaman:
1. Anzala (أنزلنا): Berasal dari akar N-Z-L, artinya menurunkan atau mengirimkan dari atas ke bawah. Penggunaannya untuk Kitab, Mizan, dan Hadid menegaskan bahwa semua elemen peradaban yang benar adalah pemberian dan ketetapan Ilahi, bukan hasil mutlak ciptaan manusia semata. Ini mengingatkan manusia akan ketergantungan mereka pada Rahmat Tuhan.
2. Qist (قسط): Keadilan yang terimplementasi, yang melampaui keadilan pasif (adl). Qist menuntut keadilan yang aktif, yang berarti seorang hakim atau penguasa harus berjuang untuk memastikan keadilan tercapai, bahkan jika itu merugikan dirinya sendiri atau kerabatnya. Ini adalah keadilan yang berorientasi pada hasil dan implementasi.
3. Qawiyy (قوي) dan Aziz (عزيز): Ayat ditutup dengan penegasan bahwa Innallaha Qawiyyun 'Aziz (Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa). Ini adalah jaminan bagi orang-orang beriman. Kekuatan Besi (Hadid) yang manusia miliki hanyalah refleksi kecil dari Kekuatan Allah (Qawiyy). Keperkasaan yang dimiliki oleh para penolong agama (mereka yang menggunakan Hadid dengan benar) adalah turunan dari Keperkasaan Allah (Aziz). Ini menghilangkan kesombongan dan memastikan bahwa kekuatan digunakan dalam kerangka ketaatan, bukan sebagai tujuan akhir.
Ayat 25 Al-Hadid memiliki relevansi abadi, terutama dalam era modern yang didominasi oleh teknologi dan kekuatan militer canggih (Hadid versi modern).
Ayat ini berfungsi sebagai piagam etika teknologi. Allah memberikan Besi (atau, secara luas, teknologi dan kekuatan) sebagai potensi. Manusia harus memilih bagaimana menggunakannya: untuk Ba's Shadid (kekuatan merusak) atau Manāfi’u lin-Nās (manfaat kolektif). Etika Islam menuntut bahwa penguasaan teknologi harus selalu dimotivasi oleh pencapaian Mizan.
Ketika suatu negara menggunakan teknologi canggih (Hadid) untuk menindas minoritasnya atau menyerang negara lain tanpa dasar keadilan yang jelas (Kitab dan Mizan), mereka telah gagal dalam ujian bil-ghaib. Mereka menggunakan anugerah Ilahi untuk tujuan yang bertentangan dengan tujuan Ilahi, yaitu keadilan universal.
Ayat ini juga mendorong umat Islam untuk tidak menjadi konsumen pasif dari teknologi yang diproduksi oleh peradaban lain. Sebaliknya, umat diwajibkan untuk menguasai Besi (ilmu material, teknik, dan industri) agar memiliki kemandirian dan kapasitas untuk melindungi Mizan mereka sendiri.
Penutup ayat, Innallaha Qawiyyun 'Aziz, adalah pengingat bahwa kekuatan manusia bersifat relatif. Ayat ini mencegah terjadinya megalomania atau pemujaan kekuasaan. Meskipun manusia diizinkan dan bahkan diwajibkan untuk membangun kekuatan (Hadid), mereka harus senantiasa tunduk pada Yang Maha Kuat.
Kekuatan yang sejati, menurut ayat ini, adalah kekuatan yang dipergunakan untuk menolong agama Allah tanpa mengharapkan balasan duniawi. Ini membutuhkan kerendahan hati dalam kekuasaan. Pemimpin yang adil adalah mereka yang menyadari bahwa kekuasaan mereka hanyalah amanah yang digunakan untuk mewujudkan kehendak Allah (Keadilan), bukan kehendak pribadi.
Selain penafsiran material dan sosiologis, beberapa penafsir spiritual melihat adanya makna metaforis untuk Kitab, Mizan, dan Hadid dalam konteks individu.
Pada tingkat individu, Mizan dapat diartikan sebagai fitrah keadilan yang tertanam dalam hati nurani manusia. Kitab (wahyu) bertindak sebagai panduan eksternal yang membersihkan dan mengkalibrasi Mizan internal ini. Tanpa wahyu, hati nurani rentan terhadap bias dan hawa nafsu.
Besi (Hadid) dalam diri manusia melambangkan ketegasan moral (azm), kesabaran, dan kemampuan untuk melawan hawa nafsu (jihadun nafs). Seseorang yang memiliki iman yang kuat harus memiliki 'besi' dalam karakternya—yaitu ketegasan untuk mengatakan yang benar (qist) meskipun sulit, dan kesabaran untuk menanggung konsekuensinya.
Kekuatan ini diperlukan untuk menolong agama Allah bil-ghaib. Seringkali, keadilan ditegakkan bukan melalui pedang, tetapi melalui ketegasan hati dan konsistensi moral yang teguh, yang merupakan manifestasi internal dari Ba's Shadid.
Dalam psikologi Islam, ada keseimbangan temperamen yang harus dijaga. Besi, yang sering dikaitkan dengan unsur api atau kekuatan, harus diimbangi oleh unsur air (kelembutan, kasih sayang) yang terkandung dalam spirit Kitab dan Mizan. Jika kekuatan (Hadid) mendominasi tanpa Mizan, hasilnya adalah kekejaman. Jika Mizan mendominasi tanpa Hadid, hasilnya adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.
Pribadi Muslim yang utuh adalah pribadi yang mampu menggabungkan kelembutan hikmah (Mizan) dengan ketegasan pelaksanaan (Hadid). Mereka tahu kapan harus berdiplomasi dan kapan harus bersikap tegas, kapan harus membangun dan kapan harus mempertahankan.
Ayat Al-Hadid 25 memberikan cetak biru peradaban yang komprehensif. Peradaban yang bertahan lama dan memberikan kedamaian tidak hanya kaya secara materi atau kuat secara militer, tetapi juga adil secara fundamental.
Sejarah manusia penuh dengan contoh peradaban yang memiliki besi yang hebat (teknologi militer maju) tetapi tidak memiliki mizan (keadilan sosial yang merata). Peradaban-peradaban ini, meskipun sempat mencapai puncak kejayaan, akhirnya runtuh di bawah beban ketidakadilan internal atau agresi eksternal yang berlebihan.
Ayat ini merupakan peringatan keras bahwa tujuan penggunaan Besi bukanlah untuk mengumpulkan kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri, melainkan untuk melayani tujuan yang lebih tinggi, yaitu Qist. Ketika penguasa lupa bahwa Hadid diturunkan untuk Mizan, mereka telah menempatkan alat di atas tujuan, yang pasti akan membawa kehancuran.
Perintah “Wa Anzalna Al-Hadid” juga merupakan panggilan bagi umat untuk menjadi produsen, bukan hanya konsumen, dari kekuatan material. Penguasaan ilmu metalurgi, fisika, dan teknik sipil, yang merupakan perluasan modern dari “Besi”, adalah bagian dari kewajiban kolektif (fardhu kifayah) umat Islam.
Sebuah umat tidak dapat menegakkan keadilan di panggung global (Menolong Allah bil-ghaib secara kolektif) jika mereka rentan dan lemah secara material. Kelemahan material sering kali memaksa umat untuk mengorbankan prinsip-prinsip keadilan mereka di bawah tekanan politik dan ekonomi.
Oleh karena itu, penemuan ilmiah dan inovasi teknologi dalam Islam seharusnya tidak dipandang sebagai aktivitas sekuler, melainkan sebagai manifestasi dari ketaatan terhadap perintah Ilahi untuk menggunakan anugerah Besi (ilmu material) bagi manfaat kolektif dan pertahanan keadilan.
Ayat mulia dari Surah Al-Hadid ini adalah ringkasan yang padat dari teologi aksi dan tata kelola peradaban. Ia menempatkan keadilan (Mizan) sebagai tujuan, Kitab (Wahyu) sebagai peta jalan, dan Besi (Hadid) sebagai sarana penegakan. Semua elemen ini terikat oleh ujian Ilahi: apakah manusia akan menggunakan anugerah ini untuk menolong Allah dan rasul-Nya, bahkan ketika mereka tidak melihat-Nya?
Keseimbangan antara Kitab, Mizan, dan Hadid adalah kunci stabilitas. Peradaban Islam yang dicita-citakan adalah peradaban yang mampu memproduksi teknologi canggih dan mengendalikan kekuatan militer yang hebat, namun kekuatan tersebut sepenuhnya tunduk pada moralitas absolut yang tertuang dalam wahyu dan diterjemahkan sebagai keadilan universal. Kekuatan tanpa keadilan adalah kekejaman. Keadilan tanpa kekuatan adalah impian yang tak berdaya.
Pada akhirnya, Besi adalah lambang amanah. Kehebatan Besi (kekuatan) mencerminkan betapa besarnya ujian yang diberikan. Hanya melalui ketaatan yang tulus (bil-ghaib) yang didukung oleh keyakinan pada Kemahakuatan Allah (Qawiyyun Aziz), manusia dapat menggunakan anugerah material ini untuk menegakkan Qist yang menjadi tujuan azali dari pengutusan seluruh para nabi dan rasul.
Ayat 25 Surah Al-Hadid tetap menjadi mercusuar yang menerangi jalan bagi setiap mukmin dan setiap komunitas yang bercita-cita membangun tata dunia yang tegak di atas fondasi kebenaran, keseimbangan, dan kekuatan yang bertanggung jawab. Ia mendorong aksi yang teguh, didasari oleh ilmu, dan dimotivasi oleh iman yang ghaib.
Kajian yang mendalam mengenai ayat ini tidak pernah berakhir, karena setiap penemuan baru dalam fisika, setiap tantangan baru dalam tata kelola global, dan setiap upaya penegakan hukum di tingkat lokal selalu kembali pada triad fundamental ini: Wahyu, Keadilan, dan Kekuatan. Ini adalah visi totalitas Islam terhadap keberadaan manusia di alam semesta yang diatur oleh Sang Pencipta.
Kembali pada inti ayat ini, manusia diingatkan bahwa sumber kekuatan sejati bukan terletak pada kekerasan material semata, melainkan pada kemurnian niat untuk menggunakan kekerasan itu sebagai alat, bukan tujuan, dalam rangka menunaikan misi para rasul. Misi yang tiada lain adalah memastikan setiap jiwa mendapatkan haknya, setiap masyarakat diatur oleh kebenaran, dan setiap kekuatan tunduk pada neraca keadilan Ilahi.
Peran Besi dalam pembangunan peradaban tidak dapat dilepaskan dari konteks etika ini. Besi membangun jembatan, tetapi besi juga membuat bom. Besi membentuk alat bedah, tetapi besi juga menjadi pisau tirani. Pilihan penggunaannya adalah inti dari ujian bil-ghaib. Ketika besi digunakan untuk memperkaya diri sendiri dan menindas orang lain, itu adalah kegagalan spiritual. Ketika besi digunakan untuk mengangkat derajat kemanusiaan dan melindungi yang lemah, itu adalah penunaian amanah para rasul.
Sejauh manakah umat manusia hari ini telah berhasil dalam ujian ini? Sejauh mana teknologi modern (Hadid) telah digunakan untuk menciptakan keadilan (Mizan) di seluruh dunia? Pertanyaan ini tetap relevan dan menantang, memaksa setiap generasi untuk merefleksikan kembali makna fundamental dari Al-Hadid ayat 25.
Kekuatan yang diturunkan, Besi, adalah instrumen netral. Kitab dan Mizan adalah instruksi operasionalnya. Tanpa instruksi yang benar, instrumen akan menghasilkan kekacauan. Inilah hikmah terbesar dari penempatan Besi dalam ayat yang sama dengan Kitab dan Mizan: kekuatan harus diinstitusionalisasikan dan dimoralisasikan. Ia tidak boleh liar dan lepas dari kendali wahyu.
Lebih jauh lagi, pemahaman tentang "kekuatan yang hebat" (Ba's Shadid) harus mencakup tidak hanya daya hancur, tetapi juga daya kreasi. Daya tahan baja yang luar biasa pada infrastruktur sipil, yang memungkinkan gedung pencakar langit dan jaringan transportasi yang kompleks, adalah manifestasi dari Manāfi’u lin-Nās yang didorong oleh Ba's Shadid. Pembangunan peradaban yang berkeadilan adalah jihad yang tak kalah pentingnya dengan jihad pertahanan militer.
Dalam konteks globalisasi dan persaingan antar peradaban, ayat ini menegaskan bahwa peradaban yang berbasis Islam haruslah peradaban yang kuat secara spiritual, kuat secara intelektual (dengan menguasai Kitab dan Mizan), dan kuat secara material (dengan menguasai Hadid). Kelemahan dalam salah satu pilar ini akan mengancam eksistensi dan kemampuan umat untuk melaksanakan keadilan di muka bumi.
Oleh karena itu, kewajiban untuk menolong agama Allah bil-ghaib mencakup kontribusi aktif dalam penelitian ilmiah dan pengembangan teknologi. Seorang insinyur Muslim yang bekerja untuk menciptakan bahan yang lebih kuat dan tahan lama untuk tujuan damai sedang menunaikan sebagian dari amanah Al-Hadid 25. Seorang hakim yang teguh menegakkan hukum tanpa pandang bulu sedang menunaikan amanah Mizan.
Seluruh ayat ini mengundang umat manusia untuk berpartisipasi dalam proyek kosmik penegakan keadilan, yang dimulai dari inti galaksi (tempat besi diciptakan), dibawa ke bumi (dunia materi), dan diterapkan dalam hukum (dunia etika dan spiritualitas). Semuanya terangkum dalam satu ayat yang menggambarkan visi Tuhan bagi peradaban yang ideal.
Analisis setiap kata dalam ayat ini mengarah pada kesimpulan yang sama: Islam adalah agama yang berorientasi pada realitas. Ia tidak hanya menuntut ibadah pribadi, tetapi juga menuntut penataan sistem sosial yang kuat dan adil. Kekuatan Besi adalah pengakuan Ilahi atas kebutuhan manusia akan daya implementasi. Kelemahan bukanlah pilihan. Ketidakadilan adalah larangan. Dan jalan untuk mencapai keduanya adalah melalui panduan yang telah diturunkan bersama para rasul, Kitab dan Mizan.
Akhirnya, penekanan bahwa Allah sendiri Maha Kuat dan Maha Perkasa berfungsi sebagai penutup yang sempurna. Ini menegaskan bahwa jika manusia gagal menggunakan kekuatan Besi dengan benar, Kekuatan Allah yang tak terbatas akan selalu menjadi penentu akhir sejarah, dan hanya mereka yang menolong-Nya bil-ghaib yang akan menuai manfaat abadi.
Kekuatan material Besi, pada akhirnya, adalah metafora bagi setiap bentuk kekuasaan yang diberikan kepada manusia: kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi, kekuasaan media, dan kekuasaan ilmu. Semuanya harus diikat oleh Mizan, diatur oleh Kitab, dan dipertanggungjawabkan kepada Allah yang Maha Ghaib. Inilah esensi abadi dari Al-Hadid ayat 25.
Melalui refleksi mendalam, kita menyadari bahwa setiap aspek kehidupan, mulai dari penemuan ilmiah hingga kebijakan pertahanan, harus diarahkan pada tujuan mulia yang telah digariskan: tegaknya keadilan sejati di antara manusia. Inilah panggilan untuk menjadi khalifah yang menggunakan semua karunia, baik spiritual maupun material, dengan penuh tanggung jawab dan integritas di hadapan Sang Pencipta.
Ayat ini adalah peta jalan menuju kesempurnaan peradaban, menyeimbangkan hati dan baja, iman dan teknologi, dalam upaya yang tak pernah berhenti untuk mencapai masyarakat yang dicintai oleh Tuhan dan diridhai oleh manusia.