Surah Al-Mulk: Jawaban Tuntas Mengenai Jumlah Ayat dan Kedalaman Tafsirnya

Visualisasi Kekuasaan Allah Ilustrasi langit malam yang penuh bintang, melambangkan kekuasaan yang dibahas dalam Surah Al-Mulk. تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ Maha Suci Allah yang di tangan-Nya lah segala kekuasaan

Ilustrasi visual keagungan dan kekuasaan (Al-Mulk) yang menjadi inti surah.

I. Menguak Inti Pertanyaan: Al-Mulk Berapa Ayat?

Pertanyaan fundamental mengenai Surah Al-Mulk seringkali berpusat pada berapa jumlah ayat yang dikandungnya. Bagi setiap Muslim yang mendalami Al-Qur'an, mengetahui detail struktural ini adalah langkah awal menuju pemahaman yang lebih komprehensif. Surah ini memiliki kedudukan yang sangat istimewa, bukan hanya karena maknanya yang mendalam, tetapi juga karena keutamaannya yang sahih di sisi Rasulullah ﷺ.

Jawaban atas pertanyaan ini bersifat tegas dan tidak ambigu: Surah Al-Mulk terdiri dari 30 ayat.

Surah Al-Mulk, yang merupakan surah ke-67 dalam susunan mushaf Utsmani, diklasifikasikan sebagai surah Makkiyah, yang berarti diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Penempatan surah ini berada di Juz ke-29, yang dikenal sebagai Juz Tabarak. Nama surah ini sendiri, Al-Mulk (الملك), secara harfiah berarti "Kerajaan" atau "Kekuasaan," sebuah tema yang menjadi benang merah di seluruh isinya.

Jumlah 30 ayat ini memiliki resonansi spiritual yang kuat, terutama terkait dengan hadits-hadits mengenai fungsinya sebagai pelindung dari siksa kubur, yang mana ia akan memohonkan ampunan bagi pembacanya hingga dosa-dosanya diampuni. Struktur 30 ayat ini dirancang sedemikian rupa untuk membangun narasi yang kokoh tentang keesaan, kekuasaan, dan hari kebangkitan.

Kontekstualisasi Nama dan Klasifikasi

Selain Al-Mulk, surah ini juga dikenal dengan beberapa nama lain di kalangan ulama salaf, seperti:

Sebagai surah Makkiyah, ciri utama Al-Mulk adalah penekanannya pada akidah (keyakinan), Hari Kebangkitan, kekuasaan Allah yang tampak melalui fenomena kosmos (langit, bintang, bumi), dan peringatan keras terhadap orang-orang musyrik yang menolak tanda-tanda kebesaran-Nya. Ini adalah karakteristik yang konsisten dengan periode awal dakwah Nabi di Mekkah, di mana fondasi tauhid dan iman kepada akhirat harus ditanamkan secara mendalam.

II. Keutamaan Surah Al-Mulk: Pelindung dari Siksa Kubur

Keutamaan yang paling masyhur dan sering dikaitkan dengan Surah Al-Mulk adalah peranannya sebagai penyelamat di alam kubur. Alam kubur, atau alam barzakh, adalah fase pertama kehidupan akhirat dan merupakan ujian terberat setelah kematian. Rasulullah ﷺ telah memberikan penegasan mengenai manfaat membaca surah ini secara rutin:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya ada satu surah dalam Al-Qur'an yang terdiri dari tiga puluh ayat, surah itu akan memberikan syafaat bagi pembacanya hingga ia diampuni, yaitu: 'Tabarakalladzi biyadil mulku' (Surah Al-Mulk)." (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibn Majah; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani).

Konsep syafaat ini menunjukkan betapa besar nilai ibadah yang terkandung dalam mentadabburi dan mengamalkan isi Surah Al-Mulk. Syafaat ini bukanlah sekadar ucapan, melainkan Surah Al-Mulk akan menjelma dalam bentuk perlindungan yang membela pembacanya dari siksaan yang mungkin menimpanya. Ketika siksa datang dari arah kepala, Surah Al-Mulk akan berkata, "Tidak ada jalan bagimu dari arahku, karena dia (pembaca) selalu membaca Surah Al-Mulk."

Keutamaan ini mendorong para ulama menganjurkan umat Islam untuk menjadikannya wirid harian, khususnya sebelum tidur. Ibnu Mas'ud, salah seorang sahabat mulia, berkata: "Barangsiapa membaca Surah Al-Mulk setiap malam, maka Allah akan mencegahnya dari azab kubur." Anjuran ini didasarkan pada praktik Nabi ﷺ yang tidak pernah meninggalkan pembacaan Surah Al-Mulk dan As-Sajdah sebelum beliau tidur, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir RA.

Memahami Al-Mulk bukan hanya tentang menghafal 30 ayatnya, tetapi juga meresapi peringatan dan bukti-bukti kekuasaan yang ada di dalamnya, karena tadabbur (perenungan) adalah kunci utama agar surah tersebut benar-benar dapat menjadi 'Al-Mani’ah' bagi kita.

III. Tafsir Ayat per Ayat: Memahami 30 Ayat Al-Mulk secara Mendalam

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu membedah Surah Al-Mulk ayat demi ayat. Struktur 30 ayat ini dibagi menjadi beberapa bagian tematik utama, dimulai dari pengakuan mutlak akan Kekuasaan Ilahi hingga tantangan akhir mengenai Hari Kiamat.

Bagian A: Kekuasaan Mutlak dan Tujuan Penciptaan (Ayat 1-5)

Ayat 1: Pengantar Kekuasaan (Tabarak)

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Terjemahan: Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan (kekuasaan), dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Ayat pembuka ini adalah fondasi surah. Kata تَبَارَكَ (Tabarak) berarti Maha Berkah, Maha Agung, dan Maha Mulia. Ini adalah deklarasi bahwa sumber segala berkah dan keagungan hanya milik Allah. Frasa بِيَدِهِ الْمُلْكُ (biyadihil mulk) menekankan bahwa kekuasaan (kerajaan, pemerintahan, otoritas) tidak dibagi, tidak didelegasikan, melainkan secara total dan mutlak berada dalam genggaman-Nya. Ini menepis segala klaim kekuasaan mutlak dari makhluk, baik raja, firaun, maupun tiran. Kekuasaan-Nya mencakup ruang, waktu, alam semesta, dan segala isinya.

Ayat 2: Hidup, Mati, dan Ujian Amal

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Terjemahan: Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.

Ayat ini menyajikan tujuan eksistensi: ujian. Allah menyebut kematian mendahului kehidupan, menunjukkan bahwa akhirat, yang didahului oleh kematian, adalah realitas yang lebih kekal. Kematian bukanlah ketiadaan, tetapi sebuah ciptaan, sebuah transisi yang dirancang untuk menguji. Tujuan diciptakannya الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ (al-mawta wal-hayaah) adalah لِيَبْلُوَكُمْ (liyabluwakum)—untuk menguji—bukan kuantitas amal, melainkan kualitasnya (أَحْسَنُ عَمَلًا). Dia menutup ayat ini dengan dua sifat: Maha Perkasa (Al-Aziz), menunjukkan kekuatan-Nya menghukum, dan Maha Pengampun (Al-Ghafur), membuka pintu rahmat bagi mereka yang berbuat baik dalam ujian dunia ini.

Ayat 3-4: Penciptaan Langit dan Keteraturan Kosmos

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَّا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِن تَفَاوُتٍ ۖ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ

Terjemahan: Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?

ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ

Terjemahan: Kemudian ulangi pandangan (mu) sekali lagi dan sekali lagi, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu dengan kegagalan (tanpa menemukan cacat) dan dalam keadaan lesu.

Ayat-ayat ini mengajak manusia menggunakan indra utama mereka: penglihatan (البَصَرَ). Allah menantang manusia untuk mencari ketidaksempurnaan atau ketidakseimbangan (تَفَاوُتٍ) dalam ciptaan-Nya, khususnya langit (tujuh langit berlapis). Penggunaan kata طِبَاقًا (thibaaqan) menunjukkan keteraturan dan keselarasan yang sempurna. Semakin manusia meneliti, pandangan mereka akan kembali dalam keadaan خَاسِئًا (khaasi'an), yaitu hina dan lesu, karena tidak menemukan satupun kelemahan dalam kreasi Ilahi yang Agung. Ini adalah bukti fisik akan kekuasaan yang disebut di ayat 1.

Ayat 5: Lampu Langit (Bintang) dan Hukuman

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِّلشَّيَاطِينِ ۖ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ

Terjemahan: Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu sebagai pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka Sa’ir.

Bintang (مَصَابِيحَ / mashaabiih) memiliki fungsi ganda: Pertama, sebagai hiasan (زَيَّنَّا / zayyannaa) untuk langit yang dekat (dunia). Kedua, sebagai alat pelempar (رُجُومًا / rujuman) bagi setan-setan yang mencoba mencuri berita dari langit. Penyebutan bintang sebagai alat hukuman di dunia diakhiri dengan peringatan tentang hukuman akhirat: azab Neraka Sa'ir. Ini menghubungkan keteraturan kosmos dengan sistem hukuman Ilahi, memperingatkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup baik alam yang terlihat maupun alam gaib.

Bagian B: Azab Neraka bagi Pendusta dan Balasan bagi Yang Beriman (Ayat 6-14)

Ayat 6-8: Gambaran Neraka Sa’ir

وَلِلَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Terjemahan: Dan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, akan mendapat azab Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

إِذَا أُلْقُوا فِيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهِيقًا وَهِيَ تَفُورُ

Terjemahan: Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suara Neraka yang mengerikan, sedang Neraka itu membara.

تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ ۖ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ

Terjemahan: Hampir-hampir (Neraka) itu terpecah karena marah. Setiap kali sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (neraka) itu bertanya kepada mereka, "Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?"

Setelah membahas kekuasaan di langit, surah ini beralih ke nasib orang yang menolak kekuasaan tersebut. Neraka Jahannam digambarkan sebagai tempat kembali yang buruk (بِئْسَ الْمَصِيرُ). Penggambaran Neraka di sini sangat visual dan audial: suaranya mengerikan (شَهِيقًا), ia mendidih (تَفُورُ), dan hampir terpecah saking marahnya (تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ). Neraka digambarkan seolah-olah memiliki kemarahan yang nyata terhadap para pendusta. Penjaga Neraka (خَزَنَتُهَا) kemudian mengajukan pertanyaan retoris yang menghancurkan: "Apakah kalian tidak diperingatkan?"

Ayat 9-11: Pengakuan dan Penyesalan

قَالُوا بَلَىٰ قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ كَبِيرٍ

Terjemahan: Mereka menjawab, "Benar, sungguh, seorang pemberi peringatan telah datang kepada kami, lalu kami mendustakannya dan kami katakan, 'Allah tidak menurunkan sesuatu pun; kamu hanyalah berada dalam kesesatan yang besar.'"

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Terjemahan: Dan mereka berkata, "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya kami tidaklah termasuk penghuni Neraka Sa’ir."

فَاعْتَرَفُوا بِذَنبِهِمْ فَسُحْقًا لِّأَصْحَابِ السَّعِيرِ

Terjemahan: Lalu mereka mengakui dosa-dosa mereka. Maka, celakalah bagi penghuni Neraka Sa’ir.

Ayat-ayat ini memuat pengakuan yang menyakitkan. Orang kafir mengakui bahwa peringatan telah datang (بَلَىٰ قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ), tetapi mereka menolaknya, bahkan menuduh para Rasul sesat. Penyesalan mereka diungkapkan dengan frasa kunci: لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ (lau kunna nasma’u aw na’qilu) – seandainya kami menggunakan pendengaran kami (untuk menerima wahyu) atau akal kami (untuk merenungkan tanda-tanda). Ini adalah penyesalan atas kegagalan dalam menggunakan karunia akal dan indra yang diberikan Allah. Mereka اعْتَرَفُوا بِذَنبِهِمْ (i'tarafuu bidzanbihim)—mengakui dosa mereka—tetapi pengakuan itu terlambat. Ayat ini merupakan peringatan bagi umat manusia saat ini untuk menggunakan akal sebelum terlambat.

Ayat 12: Balasan bagi Orang yang Takut kepada Allah

إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ

Terjemahan: Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka, sekalipun mereka tidak melihat-Nya, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.

Ayat ini menjadi kontras total dengan kondisi orang kafir. Sementara orang kafir menyesal karena tidak menggunakan akal, orang beriman mendapat ganjaran karena memiliki خَشْيَة (khashyah), yaitu rasa takut yang didasari ilmu dan penghormatan, bahkan بِالْغَيْبِ (bil-ghaib), dalam keadaan gaib (ketika mereka tidak melihat Allah atau azab). Keimanan gaib ini adalah bukti keikhlasan tertinggi, dan balasannya adalah ampunan (مَّغْفِرَةٌ) dan pahala yang besar (وَأَجْرٌ كَبِيرٌ).

Ayat 13-14: Pengetahuan Allah yang Universal

وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ ۖ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

Terjemahan: Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati.

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Terjemahan: Tidakkah (pantas) Allah yang menciptakan itu mengetahui? Dan Dia Maha Halus, Maha Teliti.

Ayat ini kembali ke tema kekuasaan mutlak melalui ilmu. Baik bisikan yang dirahasiakan (وَأَسِرُّوا) maupun ucapan yang dinyaringkan (اجْهَرُوا) semuanya sama bagi Allah. Sebab, Dia عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (alīmun biżātiṣ-ṣudūr)—Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam dada. Ayat 14 memberikan argumen logis yang kuat: أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ (Alā ya‘lamu man khalaqa)—Tidakkah yang menciptakan itu mengetahui? Tentu saja. Pencipta adalah sumber pengetahuan. Allah menutupnya dengan dua sifat: Al-Latif (Maha Halus/Lembut), yang menunjukkan pengetahuan-Nya menjangkau hal-hal terkecil, dan Al-Khabir (Maha Teliti/Waspada), yang menegaskan ketepatan ilmu-Nya.

Pembahasan tentang ilmu Allah ini menjadi pengingat yang sangat tajam setelah pembahasan tentang pahala dan dosa, menegaskan bahwa tidak ada niat baik atau niat buruk yang luput dari pandangan Sang Pencipta. Hal ini juga menegaskan kembali korelasi antara kekuasaan (Al-Mulk) dan pengetahuan (Al-Ilm).

Bagian C: Bukti Kekuasaan di Bumi dan Ancaman Hukuman Dunia (Ayat 15-22)

Ayat 15: Bumi sebagai Hamparan Kehidupan

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

Terjemahan: Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu akan kembali (dibangkitkan).

Ayat ini beralih dari langit ke bumi. Bumi digambarkan sebagai ذَلُولًا (dhalūlan)—tunduk, mudah dikuasai, atau diinjak. Ini adalah rahmat besar, sebab jika bumi tidak stabil, manusia tidak akan bisa mencari penghidupan. Perintah فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا (famsyū fī manākibihā)—jelajahilah di segala penjurunya—mengajak manusia untuk berjuang mencari rezeki. Namun, aktivitas duniawi ini diakhiri dengan peringatan akhirat: وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (wa ilaihin-nusyūr)—hanya kepada-Nyalah tempat kebangkitan. Artinya, kehidupan di bumi adalah sementara, dan segala upaya harus bermuara pada kesadaran akan Hari Kebangkitan.

Ayat 16-18: Ancaman dari Atas dan Bawah

أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

Terjemahan: Sudah merasa amankah kamu dari (azab) Allah yang di langit jika Dia membenamkan bumi bersama kamu, sehingga tiba-tiba bumi itu berguncang?

أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا ۖ فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ

Terjemahan: Atau sudah merasa amankah kamu dari (azab) Allah yang di langit jika Dia mengirimkan badai batu kepadamu? Kelak kamu akan mengetahui bagaimana peringatan-Ku.

وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيرِ

Terjemahan: Dan sungguh, orang-orang yang sebelum mereka pun telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka alangkah hebatnya kemurkaan-Ku.

Setelah menunjukkan kemudahan bumi, Allah kini menunjukkan kekerasan-Nya. Allah menantang rasa aman manusia. مَّن فِي السَّمَاءِ (man fis-samaa') merujuk kepada Allah dan kemahatinggian-Nya. Ada dua ancaman spesifik: Pertama, bumi dibenamkan (يَخْسِفَ) dan berguncang (تَمُورُ), mengingatkan pada azab Qarun. Kedua, dikirimkannya badai batu (حَاصِبًا), seperti yang menimpa kaum Luth. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan bahwa kemudahan hidup di bumi bisa dicabut kapan saja. Ayat 18 mengakhiri bagian ini dengan merujuk pada umat-umat terdahulu yang mendustakan dan bagaimana kemurkaan Allah (نَكِيرِ) menimpa mereka—sebuah pelajaran sejarah yang mendalam.

Ayat 19: Pengamatan Burung dan Bukti Kekuatan

أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صَافَّاتٍ وَيَقْبِضْنَ ۚ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَٰنُ ۚ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ

Terjemahan: Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung di atas mereka, yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain (Allah) Yang Maha Pengasih. Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu.

Ayat ini kembali kepada bukti kosmik, kini melalui zoologi. Burung adalah mukjizat penerbangan. Mereka terbang dalam posisi صَافَّاتٍ (ṣāffātin) (merentangkan sayap) dan يَقْبِضْنَ (yaqbiḍna) (mengatupkan sayap). Yang menahan mereka (يُمْسِكُهُنَّ) di angkasa, melawan hukum gravitasi, hanyalah الرَّحْمَٰنُ (Ar-Rahman), Yang Maha Pengasih. Penggunaan nama Ar-Rahman di sini menunjukkan bahwa pemeliharaan terhadap makhluk hidup, bahkan burung, adalah bagian dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang universal. Ini adalah bukti kekuatan dan pemeliharaan Ilahi yang harus direnungkan.

Ayat 20: Siapa Penolong Selain Allah?

أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي هُوَ جُندٌ لَّكُمْ يَنصُرُكُم مِّن دُونِ الرَّحْمَٰنِ ۚ إِنِ الْكَافِرُونَ إِلَّا فِي غُرُورٍ

Terjemahan: Atau siapakah dia yang akan menjadi bala tentara bagimu yang dapat menolongmu selain (Allah) Yang Maha Pengasih? Orang-orang kafir hanyalah dalam keadaan tertipu.

Ayat ini mengajukan pertanyaan retoris tentang pertolongan. Siapa yang dapat bertindak sebagai جُندٌ (jundun), bala tentara, yang memberikan perlindungan jika Allah mencabut rahmat-Nya? Tidak ada. Ayat ini menyindir kaum musyrikin yang mengandalkan sekutu atau tuhan-tuhan selain Allah. Mereka berada dalam غُرُورٍ (ghurur)—tipuan atau delusi—karena percaya ada kekuatan lain yang setara dengan Ar-Rahman.

Ayat 21-22: Ancaman Rezeki dan Perbandingan Jalan

أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ ۚ بَل لَّجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ

Terjemahan: Atau siapakah dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya? Bahkan mereka terus-menerus terjerumus dalam kesombongan dan berpaling.

أَفَمَن يَمْشِي مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِ أَهْدَىٰ أَمَّن يَمْشِي سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Terjemahan: Maka apakah orang yang berjalan dengan wajah tertelungkup itu lebih mendapat petunjuk, ataukah orang yang berjalan tegak di atas jalan yang lurus?

Ayat 21 adalah tantangan kedua: rezeki. Jika Allah menahan rezeki (أَمْسَكَ رِزْقَهُ), siapa yang bisa memberikannya? Tidak ada kekuatan di bumi yang dapat melawan keputusan Allah. Namun, orang-orang kafir terus dalam عُتُوٍّ (utūw)—kesombongan melampaui batas—dan نُفُورٍ (nufūr)—kebencian dan berpaling dari kebenaran.

Ayat 22 menyajikan perumpamaan yang indah dan kuat. Perbandingan antara dua jenis orang: (1) orang yang berjalan مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِ (mukibban ‘alā wajhihi)—tertelungkup di wajahnya, tidak bisa melihat ke mana ia pergi, melambangkan orang kafir yang bingung dan tersesat; dan (2) orang yang berjalan سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ (sawiyyan ‘alā ṣirāṭim mustaqīm)—tegak di jalan yang lurus, melambangkan orang beriman. Jelas, orang yang tegak dan luruslah yang lebih mendapat petunjuk. Ini adalah metafora sempurna untuk membandingkan jalan hidayah dan kesesatan.

Bagian D: Mengingatkan Asal Muasal dan Keterbatasan Ilmu (Ayat 23-27)

Ayat 23: Karunia Indra dan Hati

قُلْ هُوَ الَّذِي أَنشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۖ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ

Terjemahan: Katakanlah (Muhammad), "Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani bagi kamu. Tetapi sedikit sekali kamu bersyukur."

Ayat ini kembali kepada penciptaan manusia (أَنشَأَكُمْ), merujuk pada ayat 2 yang berbicara tentang ujian. Allah mengingatkan karunia besar berupa indra: السَّمْعَ (as-sam') (pendengaran), وَالْأَبْصَارَ (wal-abṣār) (penglihatan), dan وَالْأَفْئِدَةَ (wal-af’idah) (hati nurani/akal). Ketiga karunia ini adalah alat untuk beriman dan merenungkan tanda-tanda Allah. Sayangnya, Allah mencatat bahwa manusia قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ (qalīlam mā tasykurūn)—sedikit sekali yang bersyukur. Ini menegaskan bahwa kufur (kekafiran) sebagian besar disebabkan oleh kurangnya syukur atas karunia akal dan indra ini.

Ayat 24-25: Pengumpulan dan Waktu Kiamat

قُلْ هُوَ الَّذِي ذَرَأَكُمْ فِي الْأَرْضِ وَإِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Terjemahan: Katakanlah, "Dialah yang menjadikan kamu berkembang biak di bumi, dan hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan."

وَيَقُولُونَ مَتَىٰ هَٰذَا الْوَعْدُ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Terjemahan: Dan mereka bertanya, "Kapankah (datangnya) ancaman itu, jika kamu orang-orang yang benar?"

Ayat 24 menekankan penyebaran manusia di bumi (ذَرَأَكُمْ) dan akhir dari penyebaran itu: تُحْشَرُونَ (tuḥsyarūn)—pengumpulan atau kebangkitan. Ayat 25 mencatat cemoohan kaum kafir yang menuntut kepastian waktu Hari Kiamat (مَتَىٰ هَٰذَا الْوَعْدُ). Ini adalah sikap mendasar orang-orang yang mendustakan; mereka ingin kepastian waktu, padahal kepastian peristiwa itulah yang penting.

Ayat 26-27: Pengetahuan Tentang Waktu Kiamat

قُلْ إِنَّمَا الْعِلْمُ عِندَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ

Terjemahan: Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya ilmu (tentang hari Kiamat) hanya ada pada Allah. Dan aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas."

فَلَمَّا رَأَوْهُ زُلْفَةً سِيئَتْ وُجُوهُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَقِيلَ هَٰذَا الَّذِي كُنتُم بِهِ تَدَّعُونَ

Terjemahan: Ketika mereka melihat (azab) itu sudah dekat (dengan mata kepala), maka muramlah wajah orang-orang kafir. Dan dikatakan (kepada mereka), "Inilah (azab) yang dahulu kamu minta disegerakan."

Ayat 26 adalah jawaban tegas Nabi ﷺ: Ilmu tentang waktu Kiamat mutlak milik Allah (إِنَّمَا الْعِلْمُ عِندَ اللَّهِ). Tugas Nabi hanyalah نَذِيرٌ مُّبِينٌ (nadhīrun mubīn)—pemberi peringatan yang jelas. Ayat 27 menggambarkan kengerian saat azab benar-benar datang. Ketika mereka melihatnya زُلْفَةً (zulfatan)—dekat—wajah mereka menjadi muram (سِيئَتْ وُجُوهُ). Lalu mereka dicela: "Inilah yang kamu minta disegerakan!" Ironi terbesar adalah ketika cemoohan mereka menjadi kenyataan yang menyiksa.

Bagian E: Penutup Surah: Tantangan dan Kebergantungan Total (Ayat 28-30)

Ayat 28-29: Perlindungan dan Pertolongan

قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَهْلَكَنِيَ اللَّهُ وَمَن مَّعِيَ أَوْ رَحِمَنَا فَمَن يُجِيرُ الْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Terjemahan: Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersamaku atau memberi rahmat kepada kami, (maka kami akan bahagia). Tetapi siapakah yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?"

قُلْ هُوَ الرَّحْمَٰنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا ۖ فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Terjemahan: Katakanlah, "Dialah Yang Maha Pengasih (Ar-Rahman), kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya kami bertawakal. Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata."

Ayat 28 menanggapi harapan kaum musyrik agar Nabi ﷺ dan para sahabatnya hancur. Nabi diperintahkan untuk mengatakan bahwa nasib beliau dan para pengikutnya sepenuhnya berada di tangan Allah—mau dimatikan atau dirahmati. Namun, pertanyaan utamanya: فَمَن يُجِيرُ الْكَافِرِينَ (faman yujīrul kāfirīn)—siapa yang dapat melindungi orang kafir dari azab yang pedih? Tidak ada, karena mereka tidak bertawakal kepada-Nya.

Ayat 29 adalah deklarasi keimanan yang kuat. Nabi ﷺ dan kaum beriman menetapkan: هُوَ الرَّحْمَٰنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا (Huwar-Raḥmānu āmannā bihī wa ‘alaihi tawakkalnā)—Dialah Ar-Rahman, kami beriman dan hanya kepada-Nya kami bertawakal. Hasil akhir pertarungan ini akan tampak kelak di Hari Kiamat (فَسَتَعْلَمُونَ), ketika terbukti siapa yang benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.

Ayat 30: Air Kehidupan sebagai Ujian Terakhir

قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ غَوْرًا فَمَن يَأْتِيكُم بِمَاءٍ مَّعِينٍ

Terjemahan: Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku jika sumber airmu surut (hilang ditelan bumi), maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?"

Surah ini ditutup dengan tantangan yang sangat relevan bagi kehidupan sehari-hari: air. Air (مَاؤُكُمْ) adalah esensi kehidupan di bumi (sebagaimana ayat 15). Jika Allah menjadikan air tersebut غَوْرًا (ghawran)—surut hingga jauh di bawah permukaan bumi dan tidak bisa dijangkau—siapa yang mampu membawa kembali مَاءٍ مَّعِينٍ (mā'in ma'īn)—air yang mengalir dan mudah didapat? Tidak ada. Ini adalah pengingat terakhir bahwa bahkan kebutuhan hidup yang paling mendasar sekalipun berada di bawah kontrol mutlak (Al-Mulk) Allah. Ayat ini menyimpulkan keseluruhan tema surah: kebergantungan total manusia kepada Kekuasaan Ilahi.

IV. Tadabbur dan Pesan Sentral 30 Ayat Al-Mulk

Tiga puluh ayat Surah Al-Mulk merupakan sebuah kesatuan tematik yang luar biasa. Surah ini dirancang bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk direnungkan secara mendalam. Pesan sentral yang terkandung dalam 30 ayat tersebut dapat dirangkum melalui beberapa poin utama:

1. Tauhid Rububiyah (Keesaan dalam Penciptaan dan Pengaturan)

Ayat 1-5 dan 15-23 secara konsisten menegaskan bahwa tidak ada sekutu bagi Allah dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta. Dari penciptaan langit yang berlapis-lapis tanpa cacat (ayat 3-4), hingga pemeliharaan burung di udara (ayat 19), dan kontrol atas sumber rezeki, termasuk air (ayat 30), semuanya membuktikan kekuasaan tunggal (Al-Mulk) milik Allah semata. Merenungkan hal ini seharusnya mengikis segala bentuk kesyirikan dan ketergantungan pada selain-Nya.

2. Tujuan Hidup Adalah Ujian Kualitas Amal

Ayat 2 adalah ayat yang paling krusial dalam etika Islam: penciptaan hidup dan mati bertujuan untuk menguji أَحْسَنُ عَمَلًا (ahsanun 'amalan)—amal yang paling baik. Fokusnya bukan pada amal yang paling banyak, melainkan yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan tuntunan syariat. Pemahaman ini mengarahkan setiap ibadah dan tindakan di dunia menuju peningkatan kualitas, bukan sekadar kuantitas.

3. Pertanggungjawaban Akal dan Indra

Surah ini beberapa kali mengingatkan tentang penggunaan akal dan indra yang diberikan Allah (ayat 9, 10, 23). Orang kafir menyesal di neraka karena tidak menggunakan pendengaran (untuk menerima wahyu) atau akal (untuk merenungkan tanda-tanda). Ini adalah panggilan tegas agar manusia menggunakan karunia kognitif mereka untuk mencapai keimanan, bukan untuk menyombongkan diri atau mendustakan kebenaran.

4. Realitas Alam Barzakh dan Hari Kiamat

Dari ancaman Neraka Sa'ir yang hampir meledak karena amarah (ayat 7-8) hingga gambaran wajah muram orang kafir saat azab mendekat (ayat 27), Surah Al-Mulk memberikan gambaran yang jelas mengenai realitas akhirat yang tidak terhindarkan. Peringatan ini mendukung keutamaan surah sebagai ‘Al-Mani’ah’ (Pelindung), karena pembacaannya menanamkan kesadaran akan azab yang pedih di alam kubur, yang kemudian memotivasi amal saleh di dunia.

V. Aplikasi Praktis Pembacaan 30 Ayat Al-Mulk

Mengingat keutamaan yang luar biasa, para ulama menganjurkan beberapa cara praktis untuk mengintegrasikan Surah Al-Mulk ke dalam rutinitas harian umat Islam, memastikan bahwa ke-30 ayatnya tidak hanya dibaca, tetapi juga dihayati:

A. Waktu Ideal Pembacaan

Waktu yang paling ditekankan dalam hadits-hadits adalah sebelum tidur. Pembacaan Al-Mulk pada malam hari berfungsi sebagai penutup hari, mengingatkan seseorang akan tujuan hidup, azab kubur, dan kekuasaan Allah sebelum jiwanya diistirahatkan. Jika seseorang meninggal pada malam itu, diharapkan Surah Al-Mulk akan menjadi pembelanya di alam barzakh.

B. Mengutamakan Tadabbur (Perenungan)

Membaca 30 ayat Al-Mulk dengan cepat tanpa memahami maknanya akan mengurangi esensi spiritualnya. Yang menjadikan surah ini pelindung adalah kesadaran dan keimanan yang ditimbulkan oleh maknanya. Pembaca dianjurkan untuk:

C. Menghubungkan Al-Mulk dengan Al-Qur’an Lainnya

Surah Al-Mulk sering disebut berpasangan dengan Surah As-Sajdah (surah ke-32), karena Nabi ﷺ biasa membacanya bersama-sama sebelum tidur. Kedua surah ini sama-sama Makkiyah dan fokus pada kekuasaan Allah, penciptaan, dan Hari Kebangkitan. Menghimpun kedua surah ini dalam wirid malam hari akan melengkapi perlindungan dan meningkatkan pahala.

D. Implikasi Kekuasaan (Al-Mulk) dalam Kehidupan

Pemahaman bahwa kekuasaan mutlak ada di tangan Allah (Ayat 1) membawa dampak psikologis yang besar. Hal ini menghasilkan:

  1. Tawakal Sempurna: Tidak takut pada ancaman manusia, karena kekuatan mereka hanyalah titipan dari Allah.
  2. Rendah Hati: Menyadari bahwa segala keberhasilan, rezeki, dan ilmu adalah karunia dari Yang Maha Kuasa (Ayat 21, 23).
  3. Kehati-hatian: Mengingat bahwa Allah Maha Mengetahui segala rahasia (Ayat 13), sehingga setiap perbuatan, baik yang tersembunyi maupun yang nyata, harus dilandasi keikhlasan.

Secara ringkas, Surah Al-Mulk, dengan 30 ayatnya yang padat makna, adalah peta jalan menuju kesadaran akidah yang kokoh. Ia menjawab keraguan, menantang kesombongan, dan memberikan janji agung bagi mereka yang beriman kepada Kekuasaan (Al-Mulk) Allah, baik di langit, di bumi, maupun di alam barzakh.

Pembacaan rutin 30 ayat ini merupakan investasi spiritual yang tak ternilai, menjamin syafaat, dan menuntun hati untuk selalu berjalan tegak di atas jalan yang lurus (seperti yang digambarkan dalam Ayat 22), jauh dari kesesatan dan kekufuran. Keagungan surah ini terletak pada konsistensinya dalam menantang manusia untuk melihat dan mengakui tanda-tanda penciptaan yang sempurna di sekitar mereka, sehingga keimanan mereka menjadi tidak tergoyahkan. Al-Mulk adalah cahaya di kegelapan kubur, dan mercusuar di lautan kehidupan.

Setiap huruf, setiap kata, dalam 30 ayat ini memiliki bobot yang besar. Kalimat ‘Tabarakalladzii biyadihil mulk’ adalah permulaan dari sebuah perjalanan perenungan yang membawa kita dari kekuasaan kosmik hingga detail mikroskopis eksistensi, membuktikan bahwa Al-Qur'an adalah petunjuk yang sempurna bagi umat manusia di setiap zaman dan tempat. Jumlah 30 ayat ini adalah ukuran kesempurnaan naratif yang disajikan untuk menegakkan tauhid secara mutlak.

***

🏠 Kembali ke Homepage