Surah Al-Munafiqun adalah sebuah peringatan keras yang diturunkan Allah SWT mengenai bahaya kemunafikan. Kemunafikan bukan sekadar masalah sosial atau politik, melainkan penyakit hati yang paling berbahaya, yang mampu merusak fondasi iman seseorang dari dalam. Di tengah pembahasan karakteristik kaum munafik—mulai dari sumpah palsu, pengecutan, hingga kekikiran—Allah SWT menyelipkan satu ayat yang menjadi puncak peringatan universal bagi seluruh umat manusia, baik yang mengaku beriman maupun yang hatinya berpenyakit. Ayat tersebut adalah **Al-Munafiqun ayat 10**.
Ayat ini berfungsi sebagai cermin spiritual yang diletakkan tepat di depan wajah setiap hamba, menunjukkan apa yang akan terjadi ketika kesempatan emas kehidupan disia-siakan. Ia menggambarkan drama penyesalan yang paling pedih, sebuah permohonan terakhir yang pasti ditolak, dan sebuah pengakuan jujur yang muncul terlalu terlambat.
Ayat mulia ini mengandung tiga komponen instruktif dan satu komponen dramatis (penyesalan) yang harus dipahami secara mendalam. Tiga pilar instruksi tersebut adalah: infaq, urgensi waktu (sebelum kematian), dan harapan menjadi orang saleh.
Perintah utama dalam ayat ini adalah *Infaq*. Ini adalah kata yang memiliki spektrum makna yang lebih luas daripada sekadar zakat wajib. Infaq adalah pengeluaran harta di jalan kebaikan, termasuk sedekah, pemberian, nafkah wajib, hingga investasi untuk kemaslahatan umat. Allah menggunakan frasa *'mim ma razaqnakum'* (dari apa yang Kami berikan kepadamu). Penggunaan kata 'dari' (*min*) menunjukkan bahwa infaq yang diminta hanya sebagian kecil, bukan seluruhnya. Ini sekaligus menegaskan prinsip tauhid dalam rezeki: semua yang dimiliki manusia hakikatnya adalah pemberian dari Allah.
Konteks Surah Al-Munafiqun sangat relevan di sini. Kaum munafik terkenal kikir dan enggan berinfak. Mereka menganggap harta adalah milik mutlak mereka, bukan amanah. Ayat 10 ini menghantam mentalitas kikir tersebut, mengajarkan bahwa infaq adalah bukti kejujuran iman dan pengakuan bahwa rezeki berasal dari Sang Pencipta.
Mengapa Allah secara spesifik menuntut infaq sebagai tindakan yang harus dilakukan sebelum ajal? Infaq adalah ibadah yang paling konkret dalam membuktikan ketaatan. Shalat dan puasa adalah ibadah personal, tetapi infaq adalah ibadah sosial-finansial yang membutuhkan pengorbanan ego dan kecintaan terhadap harta. Dalam perspektif Islam, infaq memiliki peran ganda:
Infaq, oleh karena itu, bukan sekadar transfer dana, melainkan transfer hati dari mencintai dunia fana menuju mencintai akhirat yang kekal.
Ayat ini menetapkan batas waktu yang tak bisa ditawar: sebelum ruh meninggalkan jasad. Kematian (*Al-Mawt*) adalah kepastian yang tidak mengenal penundaan. Di sinilah terletak urgensi *Al-Mubadarah* (kecepatan bertindak).
Dalam ajaran Islam, waktu hidup di dunia adalah modal investasi yang sangat terbatas. Setiap detik yang berlalu mengikis modal tersebut. Jika modal tersebut tidak diinvestasikan dalam bentuk amal saleh, kerugian yang ditanggung bersifat abadi. Tafsir klasik menegaskan bahwa perintah ini merupakan motivasi proaktif. Manusia sering menunda amal saleh dengan alasan 'besok' atau 'setelah saya kaya'. Ayat ini meruntuhkan ilusi penundaan tersebut, sebab 'besok' mungkin tidak pernah datang.
Syaikh As-Sa'di menjelaskan, kesempatan beramal hanya ada saat nafas masih berdetak. Setelah tanda-tanda kematian muncul, pintu taubat dan amal akan tertutup. Inilah masa krisis di mana manusia menyadari nilai sebenarnya dari setiap kesempatan yang pernah ia miliki.
Bagian kedua ayat ini adalah narasi dramatis tentang apa yang terjadi di ambang kematian. Ini adalah dialog antara hamba yang sekarat dan Tuhannya, sebuah dialog yang penuh keputusasaan.
Orang yang menghadapi kematian tidak meminta umur panjang yang berpuluh-puluh tahun. Dia hanya meminta *'ilaa ajalin qarib'* (sampai waktu yang dekat). Mengapa hanya waktu yang singkat? Karena pada detik-detik terakhir itu, realitas akhirat sudah mulai tersingkap. Dia tahu waktu yang diberikan tidak akan lama, namun ia berharap cukup waktu hanya untuk satu tujuan: memperbaiki kerusakan besar yang telah ia lakukan semasa hidup.
Permintaan ini adalah pengakuan total atas kerugian. Selama hidup, ia mungkin menunda infaq karena merasa waktu masih banyak. Namun, di hadapan Malaikat Maut, penyesalan menguasai dirinya, dan ia sadar bahwa waktu yang singkat itu jauh lebih berharga daripada seluruh harta yang ia kumpulkan.
Permohonan penangguhan tersebut memiliki dua tujuan spesifik yang diungkapkan secara eksplisit, yang menunjukkan inti dari kehidupan yang bermakna:
Tindakan pertama dan paling utama yang ingin dilakukan oleh orang yang sekarat ini adalah bersedekah (*fa'assaddaqa*). Mengapa sedekah, dan bukan shalat, haji, atau puasa? Para ulama tafsir mengajukan beberapa pandangan:
Ibnu Abbas ra. menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan 'fa'assaddaqa' di sini adalah ia ingin menunaikan kewajiban zakat, haji, atau ibadah lain yang terlewatkan. Namun, penafsiran yang lebih kuat adalah keinginan untuk melakukan infaq sunnah, karena ia ingin meraih derajat yang lebih tinggi, yang hanya bisa dicapai melalui kebaikan yang melampaui kewajiban dasar.
Tujuan akhir dari sedekah bukanlah sekadar memberi, melainkan mencapai predikat *As-Salihin* (orang-orang yang saleh). Kesalehan (*Ash-Shalah*) adalah istilah komprehensif yang mencakup kesempurnaan iman dan amal. Orang yang mati menyadari bahwa tanpa infaq dan amal nyata, ia tidak akan pernah mencapai derajat kesalehan sejati.
Kesalehan di mata Allah bukan hanya tentang ritual pribadi, tetapi juga tentang memberikan manfaat kepada sesama. Orang yang kikir, meskipun shalatnya rajin, tidak akan pernah sempurna kesalehannya. Dengan bersedekah, ia berharap dapat menyeimbangkan neraca amalnya dan diakui sebagai hamba yang bermanfaat.
Ayat **al munafiqun ayat 10** tidak hanya menyinggung penyesalan individu, tetapi juga mengungkap mekanisme psikologis yang mendasari kemunafikan, yaitu penundaan. Kemunafikan adalah penyakit yang tumbuh dari penundaan antara perkataan (iman) dan perbuatan (amal saleh).
Manusia cenderung hidup seolah-olah kematian adalah takdir orang lain. Kita menunda infaq karena kita yakin masih ada waktu untuk menghasilkan lebih banyak lagi, dan menunda taubat karena kita yakin masih ada kesempatan untuk menikmati kesenangan duniawi. Ayat ini menghancurkan ilusi tersebut. Kematian tidak peduli dengan rencana keuangan, target karier, atau janji-janji taubat 'nanti'.
Dalam tafsir kontemporer, penundaan ini disebut sebagai 'Sindrom Fir'aun' – hanya beriman atau bertindak benar ketika bencana sudah di depan mata. Namun, bagi seorang mukmin, amal harus dilakukan di saat kondisi sedang lapang dan sehat, bukan di saat nyawa sudah di tenggorokan.
Salah satu sifat dominan kaum munafik yang dibahas dalam surah ini adalah kekikiran dan ketakutan akan kemiskinan (ayat 7). Mereka enggan mengeluarkan harta karena khawatir hartanya akan habis, padahal Allah-lah yang menjamin rezeki.
Kekikiran di dunia adalah akar dari penyesalan di akhirat. Orang yang sekarat memohon kesempatan bersedekah karena ia menyadari betapa murahnya harga kesempatan itu dibandingkan dengan harga abadi di akhirat. Ia menyesali setiap sen yang ia kumpulkan dan tahan dari jalan Allah, sementara di hadapannya terbentang pahala tak terbatas dari infaq yang ia abaikan.
Seorang ulama berkata, "Jika engkau ingin melihat apa yang paling bernilai di sisi Allah, lihatlah apa yang paling diinginkan oleh orang yang telah meninggal." Dan yang paling diinginkan adalah bersedekah.
Allah SWT menutup ayat 11 Surah Al-Munafiqun (ayat berikutnya) dengan penegasan bahwa tidak ada satu pun jiwa yang akan ditangguhkan kematiannya jika ajalnya telah tiba. Penolakan permintaan dalam ayat 10 adalah mutlak, dan hal ini mengajarkan kita tentang konsep *Ajal* (ketetapan waktu kematian).
Ayat ini berfungsi sebagai pengajaran fundamental tentang *Qada' wa Qadar*. Waktu kematian seseorang sudah ditetapkan. Tidak ada doa, tidak ada tangisan, dan tidak ada permohonan yang dapat mengubahnya, bahkan jika permohonan itu adalah untuk melakukan amal yang paling dicintai Allah (sedekah).
Jika Allah mengizinkan penangguhan hanya karena seseorang ingin bersedekah, maka setiap orang kafir dan pendosa di ambang kematian akan meminta hal yang sama, dan akhirat tidak akan ada artinya. Ujian terletak pada tindakan yang dilakukan saat kita sehat, mampu, dan memiliki pilihan untuk menunda.
Begitu nafas terhenti, penyesalan yang diungkapkan dalam **al munafiqun ayat 10** berubah menjadi realitas Barzakh (alam kubur). Di alam kubur, manusia akan disibukkan dengan dua hal, jika ia meninggal dalam keadaan merugi:
Regret (penyesalan) yang dijelaskan dalam ayat 10 bukan hanya perasaan, tetapi adalah siksa awal. Siksa ini adalah karena melihat peluang kebaikan yang telah dilewatkan, padahal peluang itu adalah kunci kebahagiaan abadi.
Mengapa orang yang sekarat secara spesifik menyebut sedekah sebagai jembatan untuk mencapai status *As-Salihin*? Kita perlu memperluas pemahaman tentang infaq dan hubungannya dengan kesalehan sosial.
Infaq yang dimaksud dalam ayat ini sangat erat kaitannya dengan *Sadaqah Jariyah* (sedekah yang berkelanjutan). Sedekah jenis inilah yang paling sering didambakan oleh ahli kubur, karena pahalanya terus mengalir bahkan setelah kematian.
Contoh Sadaqah Jariyah:
Penundaan infaq berarti menunda investasi yang menjanjikan pengembalian abadi. Orang yang kikir meninggal tanpa meninggalkan jejak kebaikan yang akan memberinya pahala berkelanjutan. Infaq, saat dilakukan dengan niat ikhlas di dunia, menjamin bahwa ketika kematian datang, akun pahala tidak akan terputus.
Kesalehan adalah keseimbangan sempurna antara hak Allah (*Huqūqullāh*) dan hak manusia (*Huqūqul 'ibād*). Ritual pribadi (shalat, puasa) memenuhi hak Allah, tetapi infaq dan sedekah memenuhi hak manusia.
Seorang yang hanya menjalankan ritual tetapi kikir tidaklah saleh secara paripurna. Sebaliknya, orang yang menggunakan hartanya untuk meringankan beban orang lain, berjuang di jalan Allah dengan hartanya, dan membantu kaum lemah—ia telah mengorbankan hal yang paling ia cintai untuk mencapai ridha Allah.
Oleh karena itu, ketika orang yang sekarat berharap menjadi *As-Salihin*, ia menyadari bahwa sedekah adalah satu-satunya tindakan yang dapat ia lakukan saat itu untuk membuktikan pengorbanannya dan menyeimbangkan neraca amal sosialnya yang selama ini kosong.
Ayat **al munafiqun ayat 10** adalah landasan filosofi waktu dalam Islam. Konsep *Al-Mubadarah* (inisiatif/kecepatan) harus menjadi gaya hidup seorang mukmin. Mengingat janji kematian yang pasti, penundaan amal saleh adalah bentuk kesombongan terhadap takdir.
Kematian adalah penghentian mutlak dari seluruh aktivitas, termasuk potensi beramal. Tidak ada transfer dana, tidak ada pertemuan bisnis, dan tidak ada lagi peluang untuk mengucapkan kalimat istighfar dengan niat taubat yang sempurna.
Hanya ada dua jenis manusia saat kematian datang:
Rasulullah SAW bersabda, *“Ambillah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.”* Ayat 10 ini adalah tafsir sempurna dari hadis ini, di mana orang tersebut memohon kembali kehidupan sebelum kematiannya.
Dalam fikih, ada perbedaan besar antara berinfaq di masa hidup dan berwasiat di masa sekarat. Jika seseorang meninggal dan meninggalkan wasiat sedekah, wasiat itu hanya boleh mencakup maksimal sepertiga hartanya, dan seringkali niatnya tidak sekuat infaq yang dilakukan saat ia masih sehat.
Infaq yang didorong oleh ayat **al munafiqun ayat 10** adalah infaq yang dilakukan di puncak kesehatan dan kesibukan, di mana kecintaan terhadap harta masih kuat. Pengeluaran harta saat itu adalah bukti iman yang paling otentik, karena ia melawan dorongan alami jiwa yang kikir.
Untuk menghindari penyesalan abadi yang digambarkan dalam ayat 10 Surah Al-Munafiqun, seorang mukmin harus mengimplementasikan strategi anti-penundaan yang melibatkan manajemen harta, waktu, dan niat.
Jadikan infaq sebagai bagian integral dari pengeluaran bulanan, bukan sekadar sisa-sisa harta. Ini harus dilakukan sebelum kebutuhan tersier lainnya dipenuhi. Prinsipnya adalah mengeluarkan dari rezeki terbaik, bukan dari yang terburuk. Allah SWT berfirman: *“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai…”* (QS. Ali Imran: 92).
Infaq yang dilakukan dari harta yang dicintai akan menghasilkan derajat kesalehan yang tinggi, yang justru menjadi cita-cita orang yang sekarat dalam Al-Munafiqun: 10.
Banyak orang menunda infaq atau amal saleh karena merasa amal yang mereka lakukan terlalu kecil. Mereka menunggu momen besar, proyek megah, atau jumlah harta yang melimpah. Padahal, Allah menilai keikhlasan, bukan kuantitas.
Orang yang sekarat dalam ayat ini tidak meminta untuk membangun masjid agung, tetapi hanya memohon waktu yang singkat untuk bersedekah. Ini menunjukkan bahwa bahkan satu sedekah kecil yang tulus di saat hidup, jauh lebih berharga daripada janji ratusan sedekah setelah kematian.
Jangan pernah meremehkan infaq dalam bentuk waktu (membantu sesama), tenaga (ikut kerja bakti), atau ilmu (mengajar). Semua adalah pintu menuju status *As-Salihin*.
Obat mujarab untuk mengatasi penundaan adalah sering mengingat kematian. Mengingat kematian bukanlah upaya untuk menjadi pesimis, melainkan upaya untuk menyelaraskan prioritas hidup. Jika seseorang menyadari bahwa ia bisa meninggal dalam satu jam ke depan, ia tidak akan menunda infaq, shalat, atau permohonan maaf.
Mengingat penyesalan yang tergambar dalam **al munafiqun ayat 10** akan mendorong kita untuk bertindak segera, mengisi setiap waktu luang, dan menggunakan setiap kelebihan rezeki di jalan yang benar.
Ayat ini adalah kritikan tajam terhadap filosofi hidup yang menjadikan akumulasi harta sebagai tujuan utama. Kekayaan, dalam pandangan Islam, adalah alat ujian. Ayat 10 mengajarkan bahwa kekayaan yang ditahan bukan hanya gagal menjadi pahala, tetapi justru menjadi sumber penyesalan terbesar.
Ketika seseorang meninggal, semua harta bendanya akan diwariskan. Ia hanya membawa amal yang ia keluarkan dari harta itu. Orang yang kikir meninggal dalam keadaan banknya penuh, tetapi buku amalnya kosong. Ia menyadari bahwa ia telah bekerja keras untuk orang lain (ahli waris), tetapi ia gagal berbuat baik untuk dirinya sendiri (akhirat).
Penyesalan orang dalam ayat 10 adalah penyesalan pedagang yang gagal. Ia memiliki modal (harta), ia memiliki pasar (dunia), tetapi ia gagal berdagang (beramal) dan akhirnya rugi besar.
Meskipun Islam memperbolehkan wasiat sepertiga harta, wasiat yang dilakukan di ambang kematian seringkali berasal dari hati yang terpaksa, bukan tulus. Itu adalah tindakan defensif untuk menghindari siksa, bukan tindakan proaktif yang dilandasi kecintaan pada Allah.
Kontrasnya, infaq yang dilakukan di masa sehat, di tengah kuatnya nafsu dan harapan hidup, adalah sedekah yang paling mulia. Sedekah inilah yang membedakan seorang mukmin sejati dari kaum munafik yang hanya akan memberi jika terpaksa atau takut kehilangan muka.
**Al Munafiqun ayat 10** bukanlah sekadar cerita penyesalan masa lampau, melainkan sebuah peta jalan yang menunjukkan ke mana arah kita jika kita memilih menunda amal saleh. Ayat ini adalah panggilan darurat Illahi yang meminta kita untuk bertindak sekarang, saat kesehatan dan harta masih ada dalam genggaman.
Penyesalan di ujung waktu tidak ada gunanya. Permintaan untuk ditangguhkan akan ditolak dengan tegas, karena saat hidup adalah waktu beramal, dan setelah mati adalah waktu perhitungan. Marilah kita jadikan infaq—semua bentuk pemberian yang tulus—sebagai bukti nyata bahwa kita adalah hamba yang menghargai modal waktu yang diberikan Allah, dan berusaha keras untuk diakui sebagai *As-Salihin*, sebelum kita mengucapkan permohonan yang sama, yang pasti akan terlambat.
Setiap detik yang kita miliki adalah peluang untuk bersedekah, setiap rezeki yang kita dapat adalah kesempatan untuk berinfaq, dan setiap nafas adalah izin untuk meraih derajat kesalehan yang sempurna. Jangan biarkan kekikiran dan penundaan menjadi ciri khas kemunafikan yang kita bawa ke hadapan Allah. Berinfaklah, saat ini juga, agar kita tidak termasuk golongan yang menyesal di hari yang tidak ada lagi penangguhan.
***
Pencapaian status As-Salihin (orang-orang yang saleh) yang didambakan di detik-detik akhir hayat menunjukkan bahwa kesalehan tidak hanya terukur dari panjangnya shalat atau cepatnya puasa, melainkan dari seberapa besar manfaat yang diberikan seseorang kepada lingkungannya. Infaq adalah jembatan menuju manfaat sosial ini. Ketika seseorang berinfak, ia tidak hanya membersihkan hartanya, tetapi juga berkontribusi pada penegakan keadilan sosial dan kasih sayang di bumi. Ini adalah implementasi langsung dari ajaran Nabi yang menekankan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Seorang yang menahan infaq, meskipun beribadah secara ritual, ibarat pohon yang tidak berbuah. Meskipun akarnya kokoh (imannya ada), ia tidak memberikan manfaat kepada siapapun. Keinginan untuk bersedekah di akhir hayat adalah pengakuan bahwa ia telah gagal dalam dimensi sosial imannya. Ia menyadari bahwa amal personal mungkin hanya menyelamatkannya dari neraka, tetapi amal sosial, seperti infaq, adalah tiket untuk mendapatkan derajat tinggi di surga, bergabung dengan para nabi dan syuhada.
Dalam konteks modern, infaq tidak hanya berarti memberi uang kepada fakir miskin. Infaq mencakup pendanaan penelitian ilmiah yang bermanfaat, beasiswa pendidikan, pelestarian lingkungan, dan semua bentuk investasi yang membawa kebaikan jangka panjang bagi umat manusia. Setiap kali kita menunda investasi ini, kita menunda pahala yang seharusnya bisa terus mengalir hingga hari kiamat.
Penundaan (taswīf) adalah penyakit hati yang paling akut yang diserang oleh **al munafiqun ayat 10**. Penundaan berakar pada dua hal: harapan palsu akan masa depan yang lebih baik (lebih kaya, lebih luang) dan rasa aman yang palsu dari kematian. Setan memainkan peran besar dalam membisikkan bahwa amal saleh bisa ditunda, sementara kenikmatan dunia harus disegerakan.
Imam Al-Ghazali sangat menekankan bahaya taswīf, menyebutnya sebagai senjata utama iblis. Ayat 10 memperlihatkan hasil akhir dari taswīf: penyesalan total tanpa adanya kesempatan kedua. Orang tersebut selama hidup memiliki tiga modal: harta, waktu, dan kesehatan. Ia menahan hartanya karena takut miskin. Ia menunda waktu karena merasa waktu masih banyak. Akhirnya, ketika kesehatan hilang dan waktu habis, barulah ia menyadari kesalahan fatalnya.
Kesalehan sejati membutuhkan disiplin mental untuk melawan dorongan menunda. Ini adalah pertarungan melawan diri sendiri untuk mengeluarkan sebagian harta ketika dompet masih penuh, bukan ketika sudah ditetapkan sebagai wasiat atau harta warisan yang sudah bukan lagi miliknya.
Pertimbangan mengapa Allah menolak permintaan penangguhan (walaupun sebentar) adalah karena keadilan-Nya yang sempurna. Jika penangguhan diberikan, maka tujuan utama ujian kehidupan—yaitu beramal di saat kita bisa memilih untuk tidak beramal—akan sia-sia. Keadilan Ilahi mengharuskan amal dilakukan atas dasar *ikhtiyar* (pilihan bebas), bukan *idtirar* (keterpaksaan di ambang kematian).
Orang yang sekarat dalam ayat ini tidak meminta waktu untuk hidup, tetapi meminta waktu untuk memperbaiki masa lalu. Ini adalah hal yang mustahil. Jika ia benar-benar ingin bersedekah dan menjadi saleh, ia seharusnya sudah melakukannya saat Allah memberinya rezeki dan waktu. Penolakan ini adalah konfirmasi bahwa pintu taubat ditutup ketika nyawa sudah sampai di tenggorokan (*gharqarah*).
Ayat lain yang memperkuat konsep ini adalah Surah Al-Muminun ayat 99-100, di mana seorang pendosa memohon, "Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku beramal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan." Dan jawaban Allah adalah: "Sekali-kali tidak!" Permintaan dalam Al-Munafiqun: 10 hanyalah versi yang lebih spesifik dan tragis dari penolakan tersebut.
Ayat **al munafiqun ayat 10** mengajarkan kepada kita tentang nilai infaq yang paling tinggi. Sedekah yang paling dicintai Allah adalah sedekah yang dikeluarkan ketika jiwa masih merasakan kecintaan yang mendalam terhadap harta, dan ketika ada kekhawatiran finansial. Inilah sedekah yang dilakukan oleh mereka yang percaya penuh pada janji Allah bahwa harta yang diinfaqkan tidak akan mengurangi rezeki.
Rasulullah SAW pernah ditanya sedekah apakah yang paling utama. Beliau menjawab, *“Engkau bersedekah saat engkau sehat, rakus terhadap harta, mengharap kekayaan dan khawatir kemiskinan…”* (HR. Bukhari). Orang yang sekarat dalam ayat 10 justru melakukan kebalikannya; ia menunggu hingga ia tidak lagi berkuasa atas hartanya, dan ketakutan miskinnya telah digantikan oleh ketakutan terhadap api neraka.
Untuk mencapai status *As-Salihin*, kita harus meniru perilaku para sahabat yang berinfaq secara rutin, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Kisah Abu Bakar yang menyerahkan seluruh hartanya menunjukkan puncak infaq yang didorong oleh keikhlasan saat sehat, bukan keterpaksaan saat sekarat.
***
Bagaimana seorang mukmin dapat memastikan bahwa ia tidak akan mengucapkan penyesalan tragis dalam **al munafiqun ayat 10**? Jawabannya terletak pada transformasi pandangan terhadap harta dan waktu.
Harta harus dipandang sebagai alat transportasi menuju akhirat. Jika harta digunakan untuk infaq dan amal saleh, ia menjadi kendaraan yang cepat dan aman. Jika harta ditimbun dan ditahan, ia menjadi beban berat yang akan menarik pemiliknya ke bawah. Setiap rupiah yang diterima harus langsung dipisahkan porsinya untuk Allah, sebelum ia terlanjur melekat di hati.
Lakukan introspeksi (muhasabah) setiap malam. Apakah hari ini saya telah berinfaq, baik materi maupun non-materi? Apakah saya telah menggunakan waktu luang saya untuk amal yang mendekatkan saya pada derajat *As-Salihin*? Akuntabilitas ini membantu melawan penundaan dan memastikan bahwa setiap hari diakhiri dengan saldo amal yang positif.
Meskipun ayat 10 menyerang amal yang dilakukan saat sekarat, mempersiapkan wasiat (seperti *waqaf* atau *sadaqah jariyah* yang sudah direncanakan saat sehat) adalah tindakan proaktif. Hal ini memastikan bahwa jika ajal datang tiba-tiba, ada sebagian harta yang secara otomatis akan mengalir sebagai amal berkelanjutan, memenuhi harapan "agar aku dapat bersedekah" meskipun jasad telah tiada.
Ayat **al munafiqun ayat 10** adalah mercusuar. Ia tidak menghukum, melainkan memberi tahu kita konsekuensi dari pilihan kita. Pilihan ada di tangan kita: menjalani hidup sebagai orang yang berinfak secara proaktif dan meraih kesalehan di dunia, atau menahan harta dan menanggung penyesalan abadi ketika kematian telah menutup semua pintu kesempatan.
Marilah kita bergegas menginfakkan apa yang kita cintai, sebelum datang saat di mana harta yang tersisa bukan lagi milik kita, dan permohonan waktu, meskipun hanya sebentar, ditolak dengan tegas. Jadilah orang saleh sekarang, bukan nanti.