Surah Al-Mumtahanah: Ujian Loyalitas, Keadilan, dan Perpisahan Iman

Ujian Loyalitas

Pengantar Surah Al-Mumtahanah

Surah Al-Mumtahanah, yang berarti 'Wanita yang Diuji' atau 'Permintaan Ujian', adalah surah Madaniyah yang terdiri dari 13 ayat. Penamaannya secara langsung merujuk pada ketentuan hukum yang terdapat dalam ayat ke-10, mengenai prosedur pengujian keimanan wanita-wanita Mukmin yang berhijrah dari wilayah kafir ke wilayah Islam, khususnya pasca Perjanjian Hudaibiyah.

Konteks turunnya surah ini sangat krusial, berlatar belakang masa transisi antara perang dan perdamaian yang tidak stabil antara kaum Muslimin di Madinah dan kaum Musyrikin di Makkah. Surah ini menetapkan batas-batas yang jelas mengenai loyalitas spiritual (al-wala' wal-bara'), membedakan antara hubungan sosial yang damai dan aliansi ideologis yang dilarang. Ini adalah pedoman etika perang dan perdamaian, serta panduan hukum keluarga yang terpengaruh oleh perbedaan keyakinan politik dan agama.

Peristiwa utama yang memicu penurunan surah ini terkait dengan kisah Hatib bin Abi Balta'ah, seorang Sahabat yang mengirim surat rahasia kepada kaum Quraisy di Makkah, memperingatkan mereka tentang rencana Nabi Muhammad ﷺ untuk menaklukkan Makkah. Meskipun Hatib adalah seorang Sahabat dan peserta Perang Badar, tindakan pengkhianatan politik ini sangat membahayakan. Allah SWT melalui surah ini menegaskan bahwa ikatan keimanan harus selalu lebih kuat daripada ikatan darah, suku, atau bahkan hutang budi masa lalu.

Ayat 1-3: Batas-Batas Loyalitas dan Ikatan Imani

Analisis Ayat 1: Larangan Mengambil Musuh sebagai Pelindung

(١) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia (Auliya’), yang kamu sampaikan kepada mereka (berita) dengan rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran (Al-Quran) yang datang kepadamu.” (QS. Al-Mumtahanah: 1)

Konteks Historis: Kisah Hatib bin Abi Balta'ah

Ayat pertama ini adalah teguran keras yang bersifat umum namun turun karena kasus spesifik Hatib bin Abi Balta'ah. Sebelum Fath Makkah (Penaklukan Makkah), Nabi Muhammad ﷺ mengatur persiapan secara rahasia. Hatib, merasa memiliki hutang budi dan khawatir keluarganya di Makkah akan terancam jika Makkah diserang, menulis surat kepada Quraisy melalui seorang wanita, yang kemudian dicegat atas perintah Nabi ﷺ melalui wahyu.

Ketika ditanyai, Hatib berdalih bahwa ia melakukannya bukan karena murtad atau meragukan Islam, melainkan murni alasan perlindungan keluarga. Ia menjelaskan, semua Muhajirin memiliki kerabat di Makkah yang akan melindungi mereka, sementara ia (Hatib) hanyalah orang asing dari suku lain, sehingga ia membutuhkan jaminan melalui 'bantuan' intelijen ini. Nabi Muhammad ﷺ menerima alasannya, tetapi Allah menegaskan bahwa tindakan itu secara fundamental salah, bahkan jika niat imannya masih ada.

Penegasan Konsep Al-Wala' wal-Bara'

Ayat ini mendefinisikan Auliya' (teman setia/pelindung) dalam konteks ideologis. Dalam Islam, ‘wala’ (loyalitas) adalah konsep utama yang harus diarahkan kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Mukminin. Meskipun Muslim diizinkan berinteraksi damai dengan non-Muslim yang tidak memusuhi (seperti yang dijelaskan di Ayat 8), menjadikan mereka sebagai *auliya* — tempat curahan hati, mitra strategi, atau sumber perlindungan yang mengalahkan loyalitas kepada umat Islam — adalah dilarang.

Pelanggaran terbesar Hatib bukan sekadar membocorkan rahasia militer, tetapi ia melakukannya tulkunū ilayhim bil-mawaddah (menyampaikan kepada mereka dengan rasa kasih sayang/persahabatan yang mendalam). Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun kita harus bersikap adil, hati seorang Mukmin tidak boleh memberikan loyalitas terdalam kepada mereka yang menolak kebenaran mutlak yang dibawa oleh Islam.

Analisis Ayat 2-3: Konsekuensi Kedekatan yang Salah

“Jika mereka menangkapmu, niscaya mereka akan bertindak sebagai musuh bagimu, dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu untuk menyakitimu, dan mereka sangat menginginkan supaya kamu kafir. Kerabatmu dan anak-anakmu tidak akan memberi manfaat kepadamu sedikit pun pada hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mumtahanah: 2-3)

Ayat ini memberikan justifikasi rasional dan teologis atas larangan di ayat 1. Secara rasional (Ayat 2), kaum musyrikin Makkah secara aktif berusaha memurtadkan kaum Mukminin dan akan menggunakan kekuatan fisik serta lisan untuk menyakiti. Kedekatan yang dibina oleh Hatib tidak akan mengubah sifat permusuhan ideologis mereka. Mempercayai mereka sama dengan membuka diri pada bahaya.

Secara teologis (Ayat 3), loyalitas yang salah tidak hanya berbahaya di dunia, tetapi fatal di akhirat. Ikatan keluarga (kerabat dan anak-anak) yang menjadi alasan Hatib melakukan pengkhianatan, dinyatakan tidak akan berguna pada Hari Kiamat. Allah akan memisahkan antara setiap jiwa, dan setiap orang akan diadili berdasarkan loyalitas imannya.

Pelajaran yang ditekankan adalah prioritas hierarki nilai:

  1. Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.
  2. Keselamatan Umat dan Negara Islam.
  3. Hubungan duniawi, termasuk keluarga, jika bertentangan dengan dua hal di atas.

Ayat 4-6: Teladan Nabi Ibrahim dan Pemisahan Total

Model Kerasulan: Ibrahim as.

(٤) قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah Yang Maha Esa.’” (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Untuk memperkuat larangan loyalitas kepada musuh, Allah merujuk kepada kisah Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai Khalilullah (Kekasih Allah). Ibrahim harus berlepas diri (bara'ah) dari ayahnya, kaumnya, dan praktik penyembahan berhala mereka. Ini adalah contoh tertinggi dari pengorbanan ikatan darah demi ikatan tauhid.

Pengecualian dalam Teladan Ibrahim

Ayat 4 menekankan bahwa *uskah hasanah* (suri teladan yang baik) dari Ibrahim adalah prinsip al-bara'ah (pemutusan total dari syirik dan kekufuran). Namun, ayat 4 juga menyertakan pengecualian kecil yang bersifat adab:

“…kecuali perkataan Ibrahim kepada ayahnya: ‘Aku akan memohonkan ampunan bagimu, tetapi aku sama sekali tidak dapat menolak siksaan Allah sedikit pun dari kamu.’…”

Ibrahim pernah berjanji memohonkan ampunan bagi ayahnya (Azar), yang merupakan non-Mukmin. Allah menjelaskan dalam surah lain (At-Taubah: 114) bahwa permohonan ampunan ini hanya diperbolehkan sebelum Ibrahim mengetahui bahwa ayahnya adalah musuh Allah yang pasti. Ketika jelas bahwa ayahnya adalah musuh, Ibrahim pun berlepas diri. Oleh karena itu, pengecualian ini hanya berlaku sebagai manifestasi kasih sayang anak kepada orang tua, bukan sebagai model untuk loyalitas ideologis, dan bahkan permohonan ampun itu sendiri dibatalkan ketika Ibrahim menyadari keengganan ayahnya.

Pengulangan Konsep Bara’ah

Perulangan konsep pemisahan ini sangat penting: "Kami berlepas diri dari kamu," "kami ingkari (kekafiran)mu," dan "telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya." Ini menetapkan bahwa dasar hubungan antara Mukmin dan kafir yang memusuhi adalah pemisahan akidah, yang harus bertahan hingga pihak kafir tersebut beriman kepada Allah Yang Maha Esa.

Ayat 5-6: Doa dan Pengulangan Sifat Allah

“Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami, ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah: 5-6)

Setelah menetapkan standar yang sangat tinggi untuk loyalitas, surah ini mengajarkan doa yang diucapkan oleh Ibrahim dan pengikutnya. Doa ini adalah pengakuan atas kelemahan manusia dan kebutuhan akan perlindungan ilahi. Permintaan agar tidak dijadikan fitnah bagi orang-orang kafir berarti: "Jangan biarkan kami gagal dalam iman kami sehingga mereka (orang kafir) berkata, 'Lihatlah, iman mereka tidak bermanfaat bagi mereka,' atau jangan biarkan kami jatuh ke dalam perangkap mereka sehingga mereka menjadi penguasa kami." Ini menekankan perlunya kekuatan internal umat Islam.

Ayat ini menutup dengan menyebut sifat Allah: Al-’Aziz (Yang Maha Perkasa) yang memiliki kekuatan untuk melindungi umat-Nya, dan Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana) yang menetapkan hukum-hukum loyalitas ini demi kebaikan hamba-Nya.

Ayat 7-9: Keseimbangan Keadilan dan Hubungan Damai

Setelah menetapkan batas tegas terhadap musuh ideologis, Surah Al-Mumtahanah segera memberikan klarifikasi penting. Islam bukanlah agama yang memerintahkan kebencian total terhadap semua non-Muslim. Ada pembedaan mendalam antara musuh yang memerangi umat Islam dan non-Muslim yang hidup damai.

Ayat 7: Harapan Akan Kasih Sayang

(٧) عَسَى اللَّهُ أَن يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُم مِّنْهُم مَّوَدَّةً ۚ وَاللَّهُ قَدِيرٌ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara kamu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka (orang-orang kafir itu). Allah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Mumtahanah: 7)

Ayat ini memberikan harapan optimis (ʿasā) bahwa permusuhan yang ada bisa berakhir, terutama melalui hidayah atau perdamaian politik. Ayat ini diturunkan pada periode ketika beberapa kaum Quraisy, yang dahulu musuh, mulai menunjukkan tanda-tanda kecondongan terhadap Islam atau setidaknya keinginan untuk berdamai. Harapan ini terwujud sepenuhnya dengan Fath Makkah, di mana banyak musuh lama masuk Islam dan menjadi saudara seiman.

Ayat 8-9: Prinsip Kebaikan (Al-Birr) dan Keadilan (Al-Qist)

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik (tabarrū) dan berlaku adil (tuqsiṭū) terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah: 8-9)

Keadilan Universal dan Batas Permusuhan

Ayat ini adalah fondasi bagi hukum Islam mengenai hubungan internasional dan koeksistensi. Surah ini membagi non-Muslim menjadi dua kategori utama:

  1. **Non-Muslim yang tidak memusuhi (غير محاربين):** Mereka yang tidak memerangi umat Islam atas dasar agama dan tidak bersekutu dengan pihak yang mengusir umat Islam. Terhadap mereka, Allah memerintahkan dua hal: Al-Birr (berbuat baik, manifestasi kasih sayang sosial, membantu mereka yang membutuhkan) dan Al-Qist (berlaku adil tanpa pandang bulu).
  2. **Non-Muslim yang memusuhi (محاربين):** Mereka yang memerangi umat Islam, mengusir dari negeri, dan bersekutu melawan umat Islam. Terhadap mereka, larangan mengambil mereka sebagai *auliya* (teman setia/pelindung) tetap berlaku ketat.

Pembedaan ini menunjukkan kebijaksanaan syariat. Permusuhan harus didasarkan pada tindakan agresif terhadap umat Islam dan agama mereka, bukan sekadar perbedaan keyakinan. Keadilan adalah nilai universal yang harus diterapkan kepada semua, bahkan dalam keadaan konflik ideologis, selama tidak ada agresi fisik atau politik.

Ayat 10-11: Hukum Al-Mumtahanah (Ujian Wanita dan Ketentuan Nikah)

Ayat ke-10 adalah ayat hukum yang paling kompleks dalam surah ini, yang darinya surah ini mendapatkan namanya. Ayat ini mengatur situasi unik yang muncul akibat hijrahnya wanita-wanita Mukminah dari Makkah (Darul Kufur) ke Madinah (Darul Islam) sementara suami mereka tetap dalam kekafiran.

Ayat 10: Ujian Keimanan dan Pembatalan Pernikahan

(١٠) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan mukminah yang berhijrah, maka hendaklah kamu menguji (memtahinūhunna) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) mukminah, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami) orang-orang kafir. Mereka (wanita-wanita mukminah itu) tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada suami-suami mereka (orang kafir itu) mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada (tali) pernikahan dengan wanita-wanita kafir, dan hendaklah kamu meminta kembali mahar yang telah kamu berikan, dan hendaklah mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Prosedur Pengujian (Al-Imtihan)

Ketika seorang wanita berhijrah dari Darul Kufur ke Darul Islam tanpa izin suaminya yang kafir, statusnya tidak dapat langsung diterima. Wanita itu harus diuji (fumtahinūhunna). Para ulama (seperti Ibn Abbas dan Az-Zuhri) menjelaskan bahwa pengujian ini dilakukan dengan mengambil sumpah (bai'at) di hadapan pemimpin Muslim untuk memastikan bahwa hijrahnya murni karena iman, bukan karena melarikan diri dari suami, masalah ekonomi, atau alasan duniawi lainnya.

Ujian ini mencakup pengikraran bahwa ia berhijrah bukan karena benci suaminya, bukan karena mencintai negeri, bukan karena ingin mencari kekayaan di Madinah, tetapi semata-mata karena kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Hukum Fiqh I: Pemutusan Pernikahan

Jika pengujian menunjukkan keimanan yang sejati, maka pernikahan antara wanita Mukminah dan suaminya yang kafir secara otomatis batal. Ketentuan ini membatalkan hukum-hukum Perjanjian Hudaibiyah yang mengatur pengembalian individu ke Makkah. Dalam kasus ini, hukum iman mengalahkan perjanjian politik. Ayat tersebut dengan tegas menyatakan: "lā hunna ḥillul lahum wa lā hum yaḥillūna lahunn" (Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka).

Hukum Fiqh II: Penggantian Mahar (Mahr)

Karena pemutusan pernikahan ini terjadi bukan karena perceraian, tetapi karena perbedaan keyakinan yang fundamental dan hijrah, Islam menetapkan prinsip keadilan finansial. Pemerintah Muslim (Madinah) wajib mengembalikan mahar (*mahr*) yang telah diberikan suami kafir kepada wanita tersebut. Ini memastikan bahwa pemutusan hubungan tersebut tidak merugikan pihak suami secara finansial, menjaga etika transaksi dan menghormati hak kepemilikan.

Hukum Fiqh III: Pernikahan Baru

Setelah status pernikahannya putus, wanita Mukminah tersebut bebas dinikahi oleh pria Muslim, asalkan:

  1. Telah menyelesaikan masa iddah (penantian) jika diperlukan.
  2. Suami Muslim baru memberikan mahar yang sah (*ajūrahun*).
Ini membuka peluang bagi wanita Mukminah yang berhijrah untuk kembali membangun kehidupan baru dalam masyarakat Islam.

Hukum Fiqh IV: Kewajiban terhadap Istri Kafir

Ayat 10 juga memberikan instruksi kepada pria Muslim yang memiliki istri di Makkah (Darul Kufur) yang tetap dalam kekafiran: "Dan janganlah kamu tetap berpegang pada (tali) pernikahan dengan wanita-wanita kafir (‘iṣam al-kawāfir)". Ini adalah perintah untuk menceraikan (atau membatalkan) pernikahan mereka. Ikatan pernikahan antara Muslim dan musyrikah (kecuali ahli kitab, berdasarkan Surah Al-Ma'idah) di Darul Kufur tidak sah secara syar'i, terutama jika istri tersebut memusuhi Islam atau menolak berhijrah.

Pria Muslim berhak meminta kembali mahar yang telah ia berikan kepada istrinya yang kafir (yang memisahkan diri), dan pihak kafir juga berhak meminta kembali mahar yang telah mereka berikan kepada wanita Mukminah yang berhijrah. Ini adalah sistem pertukaran finansial yang adil yang disebut mu'awadhah (kompensasi timbal balik).

Ayat 11: Konsekuensi Jika Pihak Kafir Tidak Mengganti Rugi

“Dan jika ada sesuatu dari istri-istrimu (yang kafir) lari (murtad) kepada orang-orang kafir lalu kamu (kaum Mukminin) mengadakan penyerangan (ghanimah), maka berikanlah kepada orang-orang (suami-suami) yang istri-istri mereka lari itu (sejumlah) yang telah mereka bayar. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu beriman.” (QS. Al-Mumtahanah: 11)

Ayat ini mengatur situasi sebaliknya: jika seorang wanita Muslimah murtad dan melarikan diri ke Darul Kufur, dan suaminya di Madinah belum sempat mendapatkan kembali maharnya melalui sistem kompensasi. Ayat ini menetapkan bahwa kerugian mahar suami Muslim harus diganti dari harta rampasan perang (*ghanīmah*) yang diperoleh Muslim. Ini adalah jaminan finansial dari negara kepada warga negara yang dirugikan oleh perbedaan keyakinan.

Ayat 10 dan 11 secara bersama-sama menciptakan sistem hukum keluarga yang unik di mana ikatan iman menjadi syarat mutlak keberlangsungan pernikahan, bahkan dengan biaya kompensasi ekonomi yang diatur oleh negara.

Ayat 12: Bai'at An-Nisa' (Janji Setia Kaum Wanita)

Ayat ke-12 turun pasca Fath Makkah. Ketika banyak pria Makkah masuk Islam, diikuti oleh wanita-wanita mereka. Ayat ini menetapkan prosedur bagi wanita yang ingin masuk Islam dan bersumpah setia (Bai’at) kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Ayat 12: Enam Poin Janji Setia

(١٢) يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَىٰ أَن لَّا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ ۖ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Wahai Nabi! Apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia (bai’at), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak mereka, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka (tuduhan palsu), dan tidak akan mendurhakaimu dalam hal yang makruf, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Mumtahanah: 12)

Substansi Bai’at dan Urgensinya

Bai’at ini bukan sekadar pengakuan keimanan lisan, tetapi janji untuk menaati syariat secara praktis dan moral. Ini mencerminkan dosa-dosa utama yang tersebar luas di masyarakat Jahiliyah Makkah dan yang harus ditinggalkan sepenuhnya oleh kaum wanita yang baru memeluk Islam:

  1. **Tidak Mempersekutukan Allah (Syirik):** Fondasi utama Islam.
  2. **Tidak Mencuri (Sariqah):** Larangan terhadap pelanggaran hak milik, penting untuk masyarakat yang stabil.
  3. **Tidak Berzina (Zina):** Larangan terhadap pelanggaran moralitas seksual dan kebersihan garis keturunan.
  4. **Tidak Membunuh Anak-Anak Mereka (Wa'd):** Merujuk pada praktik membunuh bayi perempuan karena takut kemiskinan atau aib. Ini adalah reformasi sosial yang mendasar.
  5. **Tidak Berbuat Dusta/Tuduhan Palsu (Buhtān):** Frasa "antara tangan dan kaki mereka" sering ditafsirkan sebagai tuduhan palsu terhadap suami, atau mengklaim anak hasil zina sebagai anak suami yang sah. Ini melindungi integritas keluarga dan silsilah.
  6. **Tidak Mendurhakai Nabi dalam Hal Ma’ruf (Kebaikan):** Ini adalah klausul umum yang mencakup semua perintah dan larangan syariat lainnya yang tidak termasuk dalam daftar spesifik di atas. Ketaatan harus dalam hal yang *ma’rūf* (dikenal sebagai kebaikan/syariat), menunjukkan bahwa ketaatan bukanlah kepatuhan buta, melainkan kepatuhan pada kebenaran.

Pelaksanaan Bai’at

Menurut riwayat, Nabi Muhammad ﷺ mengambil bai’at ini secara lisan, dengan para wanita mengulangi janji-janji tersebut. Ditegaskan bahwa Nabi ﷺ tidak pernah menyentuh tangan wanita non-mahram saat mengambil bai’at, namun menggunakan cara lisan atau melalui perantara (seperti bejana air atau kain).

Setelah Bai’at, Nabi diperintahkan untuk memohon ampunan bagi mereka. Ini menunjukkan penerimaan dan pengakuan formal mereka sebagai bagian dari Umat Muslim, menghapuskan dosa-dosa masa lalu mereka yang dilakukan di masa Jahiliyah.

Ayat 13: Kesimpulan dan Peringatan Keras

Ayat 13: Konsekuensi Loyalitas yang Salah

(١٣) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ قَدْ يَئِسُوا مِنَ الْآخِرَةِ كَمَا يَئِسَ الْكُفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُورِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan sebagai teman akrab (tawallaw) suatu kaum yang dimurkai Allah. Sungguh, mereka telah berputus asa terhadap akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada di dalam kubur berputus asa.” (QS. Al-Mumtahanah: 13)

Surah ini ditutup dengan pengulangan yang kuat terhadap tema awal: larangan loyalitas kepada musuh-musuh Allah. Kali ini, penekanan diletakkan pada kaum yang dimurkai Allah (ghadiba Allāhu ‘alayhim), yang oleh sebagian mufasir diidentifikasi sebagai kaum Yahudi yang memecah janji di Madinah atau bisa juga merujuk secara umum kepada semua kaum kafir yang menentang kebenaran setelah jelas bagi mereka.

Sifat Kaum yang Dimurkai

Ciri khas kaum ini adalah mereka telah berputus asa terhadap akhirat. Mereka hidup sepenuhnya terikat pada dunia, tanpa keyakinan atau persiapan apa pun untuk kehidupan setelah mati. Keputusasaan mereka diibaratkan dengan keputusasaan orang-orang kafir yang sudah berada di kuburan, yang telah melihat kebenaran namun sudah terlambat untuk bertobat.

Ayat ini berfungsi sebagai peringatan terakhir. Jika kaum Mukminin memilih kaum yang putus asa terhadap akhirat sebagai teman setia dan sekutu strategis, maka kaum Mukminin itu sendiri akan terancam jatuh ke dalam keputusasaan dan kehilangan pandangan akhirat. Loyalitas harus didasarkan pada visi akhirat, bukan semata-mata keuntungan duniawi atau perlindungan yang bersifat sementara (seperti kasus Hatib bin Abi Balta'ah).

Penafsiran Mendalam dan Penerapan Hukum dalam Surah Al-Mumtahanah

I. Fiqh Al-Wala' wal-Bara' (Loyalitas dan Pemisahan)

Surah ini adalah teks kunci dalam mendefinisikan hubungan antara Darul Islam (Negara Islam) dan Darul Kufur (Negara Kafir). Loyalitas di sini dibagi menjadi beberapa tingkatan:

II. Analisis Keseimbangan Hukum dan Etika

Surah ini menunjukkan sintesis sempurna antara hukum yang tegas dan etika universal. Ketika menetapkan hukum keras mengenai pemutusan pernikahan (Ayat 10), syariat tidak mengabaikan keadilan finansial. Pemerintah Muslim harus mengganti rugi mahar, menunjukkan bahwa Islam menghargai hak finansial, bahkan hak musuh dalam perjanjian.

Penggantian rugi mahar (mu’awadhah) ini adalah prinsip taswiyyah (penyetaraan). Jika seorang Muslimah memilih iman dan suaminya kafir dirugikan, pihak Muslim harus mengganti. Jika sebaliknya, seorang Muslim dirugikan karena istrinya murtad, negara Muslim menjamin kompensasi dari harta rampasan. Ini menciptakan tatanan yang adil terlepas dari perbedaan keyakinan.

III. Konteks Pernikahan dan Perubahan Sosial

Ayat 10 mereformasi hukum pernikahan secara radikal. Sebelum turunnya ayat ini, seorang Muslim boleh mempertahankan pernikahan dengan musyrikah (non-Ahli Kitab) yang tinggal di Darul Kufur. Ayat 10 secara definitif melarang Muslimah dinikahi oleh kafir dan sebaliknya, Muslimah dinikahi oleh kafir. Hal ini disebabkan oleh prinsip bahwa dalam pernikahan, suami memiliki kepemimpinan (qawwamah) dan loyalitas istri akan terpecah atau terpaksa tunduk pada otoritas kafir. Islam menjamin bahwa wanita Mukminah harus hidup di bawah perlindungan dan otoritas seorang Mukmin.

Ayat ini juga menyoroti status *iddah* (masa tunggu). Para ulama berpendapat bahwa karena pemutusan pernikahan (fasakh) terjadi bukan karena talak, tetapi karena perbedaan keyakinan fundamental yang permanen (dan diyakini tidak akan berubah), maka masa iddah hanya diwajibkan sebagai bentuk penantian untuk memastikan tidak adanya kehamilan (istibra’ al-raḥim) sebelum ia menikah kembali dengan seorang Muslim.

IV. Urgensi Kepatuhan Moral (Bai’at An-Nisa')

Perincian Bai’at pada Ayat 12 menunjukkan bahwa Islam menekankan pembentukan karakter moral yang kuat, terutama pada wanita yang merupakan inti dari pembentukan generasi. Larangan mencuri, berzina, dan membunuh anak bukanlah sekadar larangan ritual, tetapi pilar pembangunan masyarakat yang beradab. Penyebutan larangan buhtān (tuduhan palsu) secara spesifik menyoroti pentingnya kejujuran dan menjaga reputasi dalam masyarakat Islam.

Janji untuk tidak mendurhakai Nabi dalam hal yang *ma’rūf* adalah pengakuan terhadap otoritas legislatif kenabian. Ini memastikan bahwa konversi ke Islam bukan hanya perpindahan identitas, tetapi pengakuan total terhadap sistem hukum dan etika Islam yang diwakilkan oleh Rasulullah ﷺ.

V. Implementasi Nilai-Nilai Al-Mumtahanah dalam Kehidupan Kontemporer

Meskipun konteks politik Surah Al-Mumtahanah terkait dengan permusuhan langsung antara Makkah dan Madinah, prinsip-prinsipnya tetap berlaku:

Inti dari Surah Al-Mumtahanah adalah penetapan garis batas yang jelas: garis loyalitas spiritual tidak boleh kabur, dan ia merupakan garis terpenting. Namun, garis keadilan sosial (al-qist) harus selalu terbuka, memastikan bahwa permusuhan kita adalah permusuhan yang berlandaskan prinsip, bukan sekadar kebencian buta.

VI. Penekanan Linguistik pada Pilihan Kata

Kekuatan Surah Al-Mumtahanah terletak pada penggunaan istilah yang spesifik dan berbeda untuk berbagai jenis hubungan:

1. **Auliya’ (Ayat 1):** Mengacu pada pemimpin, pelindung, atau teman setia yang berbagi rahasia dan strategi. Larangan utama adalah menjadikan musuh sebagai Auliya'.

2. **Mawaddah (Ayat 1):** Kasih sayang hati yang mendalam. Dilarang ditujukan kepada musuh ideologis. Namun, Ayat 7 menggunakan kata yang sama, mawaddah, dalam konteks harapan bahwa Allah akan mengubah permusuhan menjadi persahabatan sejati (melalui hidayah).

3. **Tabarrū (Ayat 8):** Berbuat kebaikan. Ini adalah tingkat hubungan etis yang diizinkan dan dianjurkan kepada non-Muslim yang tidak memusuhi. Kata ini berasal dari *birr* (kebaikan), menunjukkan tingkat perlakuan yang tinggi.

4. **Tuqsiṭū (Ayat 8):** Berlaku adil. Keadilan adalah wajib untuk semua manusia, tanpa kecuali, dalam segala transaksi dan penilaian.

Pembedaan leksikal yang cermat ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam mengatur hubungan manusia, menjunjung tinggi tauhid sambil menjamin keadilan universal. Surah Al-Mumtahanah adalah manifestasi dari Syariah yang tegas dalam keyakinan namun toleran dalam muamalah.

Dengan demikian, Surah ini berdiri sebagai panduan fundamental bagi setiap Mukmin dalam menavigasi kompleksitas loyalitas dalam dunia yang terbagi, memastikan bahwa inti dari setiap keputusan, baik pribadi, sosial, atau politik, adalah iman kepada Allah Yang Maha Esa.

🏠 Kembali ke Homepage