Analisis Mendalam tentang Larangan Khamr dan Judi dalam Syariat Islam
Surah Al-Maidah, yang berarti 'Hidangan,' adalah salah satu surah Madaniyah yang kaya akan hukum-hukum syariat, etika sosial, dan ketentuan-ketentuan yang mengatur kehidupan komunitas Muslim yang telah mapan. Salah satu bagian terpenting dari surah ini adalah penetapan hukum final mengenai praktik-praktik yang merusak pondasi masyarakat dan spiritualitas individu. Di antara hukum yang ditegaskan secara mutlak adalah larangan terhadap minuman keras (*khamr*) dan perjudian (*maysir*), yang puncaknya termaktub dalam ayat 90 dan 91.
Ayat ke-91 dari Surah Al-Maidah merupakan penutup dari serangkaian ayat yang membahas pelarangan minuman memabukkan dan perjudian. Ayat ini tidak hanya mengulang pelarangan, tetapi justru memberikan argumen teologis, sosial, dan spiritual yang sangat kuat mengapa kedua praktik ini harus ditinggalkan. Ia adalah klimaks yang menuntut respons segera dan total dari kaum beriman, diakhiri dengan pertanyaan retoris yang menggugah kesadaran: “Maka, apakah kamu tidak berhenti (dari mengerjakan perbuatan itu)?”
Ilustrasi: Penghalang Spiritual yang Disebabkan Khamr dan Judi
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Ayat ini adalah karya retorika ilahi yang padat, memuat tujuan utama larangan tersebut. Setiap frasa memiliki implikasi yang mendalam, tidak hanya untuk hukum (fiqh) tetapi juga untuk psikologi sosial (sosiologi) dan spiritualitas (tazkiyah an-nafs).
Penggunaan kata *Innamā* (Sesungguhnya/Hanyalah) menunjukkan penekanan yang kuat dan pembatasan niat. Ayat ini secara eksplisit mengaitkan khamr dan judi bukan sebagai kesalahan manusia biasa semata, melainkan sebagai alat utama Iblis untuk mencapai tujuannya.
Ini adalah dampak sosial pertama dan paling nyata dari kedua perilaku ini. Allah menyebutkan permusuhan (*al-adawah*) dan kebencian (*al-baghdha’*). Meskipun keduanya tampak serupa, ahli tafsir membedakannya:
Syaitan tahu bahwa komunitas yang kuat adalah komunitas yang bersatu. Jika umat Muslim larut dalam khamr dan judi, struktur sosial mereka akan hancur dari dalam, sehingga mempermudah Syaitan untuk menguasai mereka secara kolektif.
Khamr (minuman memabukkan) dan Maysir (judi) disebutkan bersama-sama karena keduanya memiliki karakteristik utama yang sama dalam merusak individu dan masyarakat:
Setelah merusak ranah sosial, Syaitan menyerang ranah spiritual. Mengingat Allah (*Dhikrullah*) adalah bahan bakar spiritual bagi orang beriman. *Dzikir* mencakup seluruh ibadah, termasuk membaca Al-Qur'an, tasbih, dan kontemplasi atas kebesaran-Nya. Khamr dan judi, dalam cara yang berbeda, sama-sama menghambat dzikir:
Seorang penjudi terus-menerus disibukkan oleh hitungan untung rugi, rencana balas dendam, atau kekhawatiran utang. Akalnya terikat pada materi dan harapan palsu. Peminum khamr, ketika mabuk, tentu saja tidak sadar untuk berdzikir, dan bahkan setelah sadar, ia sering kali merasa lemah, malu, dan enggan kembali kepada Allah karena dosa yang baru saja dilakukan.
Inilah yang dimaksud dengan penghalang. Bukan hanya lupa sesaat, tetapi menciptakan lapisan tebal antara hati dan Penciptanya. Semakin jauh seseorang dari dzikir, semakin dekat ia dengan kelalaian total.
Shalat adalah tiang agama. Ia adalah ikatan langsung dan terpenting antara hamba dan Rabb-nya. Syaitan bertujuan untuk merusak shalat karena ia adalah benteng terakhir seorang Muslim. Bagaimana khamr dan judi merusak shalat?
Ini adalah seruan penutup yang sangat kuat dan transformatif. Pertanyaan retoris ini (yang berarti 'Berhentilah Sekarang Juga!') memiliki implikasi historis dan hukum:
Ini adalah tahapan pelarangan yang terakhir, final, dan mutlak. Ketika ayat ini turun, para sahabat yang tadinya masih ragu-ragu atau menikmati khamr segera membuang semua persediaan mereka ke jalan-jalan Madinah. Pertanyaan ini menuntut keputusan moral yang tegas. Allah telah menjelaskan seluruh keburukan—sosial, spiritual, dan emosional—dan kini hanya menunggu respons kepatuhan tanpa syarat.
Dalam konteks fiqh, kalimat ini mengakhiri perdebatan tentang status khamr dan judi: keduanya adalah haram mutlak (qath'i ad-dalalah).
Memahami Al-Maidah ayat 91 memerlukan pemahaman tentang kebijaksanaan ilahi dalam menetapkan hukum, dikenal sebagai proses Tadrij fi at-Tasyri' (bertahap dalam legislasi). Larangan khamr tidak turun sekaligus, tetapi melalui tiga fase, mencerminkan pemahaman Allah SWT terhadap kebiasaan masyarakat Arab yang telah mendarah daging:
Tahap ini menyatakan bahwa dalam khamr dan judi terdapat dosa besar dan manfaat (seperti keuntungan dagang atau kesenangan sementara), tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Ini baru menimbulkan keraguan, belum larangan total.
Allah melarang shalat dalam keadaan mabuk: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk..." Larangan ini efektif mengurangi waktu minum, karena shalat wajib harus didirikan lima kali sehari. Ini mengarahkan para sahabat untuk membatasi konsumsi khamr pada malam hari setelah shalat Isya, memastikan mereka sadar saat Subuh dan waktu shalat berikutnya.
Ini adalah pukulan telak yang memutus semua hubungan dengan khamr dan judi. Allah tidak lagi membahas manfaat atau dosa, tetapi langsung mengkategorikannya sebagai Rijs (kotoran, najis) dan perbuatan Syaitan. Ayat 91 ini berfungsi sebagai penekanan final, memberikan alasan komprehensif (sosial dan spiritual) di balik larangan tersebut, menuntut ketaatan penuh. Respon para sahabat ketika ayat ini turun adalah contoh terbaik kepatuhan: mereka berkata, "Kami berhenti, ya Rabb! Kami berhenti!" (Kami muntahūna).
Ayat ini adalah studi kasus sempurna tentang bagaimana dosa individu dapat meruntuhkan fondasi masyarakat. Mari kita telaah lebih jauh bagaimana khamr dan judi secara sistematis menghancurkan keharmonisan.
Dalam masyarakat manapun, keluarga adalah unit terkecil dan terpenting. Kedua praktik ini secara langsung menghantam keluarga:
Khamr, sebagai zat yang memabukkan, menghilangkan fungsi kognitif yang merupakan ciri khas manusia. Ini berarti bahwa keputusan yang diambil dalam keadaan mabuk seringkali merugikan, tidak etis, atau bahkan kriminal. Judi, di sisi lain, merusak akal dengan cara yang lebih halus: ia menanamkan obsesi terhadap keberuntungan, sehingga individu tersebut menolak jalan rezeki yang sah dan rasional (bekerja keras).
Syaitan tahu bahwa akal adalah benteng pertahanan terakhir. Dengan merusak akal melalui racun fisik (khamr) atau racun mental (judi), pintu menuju dosa-dosa lain terbuka lebar—mulai dari fitnah, sumpah palsu, hingga pembunuhan.
Inti dari larangan ini adalah perlindungan terhadap ibadah, khususnya shalat dan dzikr. Shalat membutuhkan kehadiran hati (khusyuk). Ketika hati disibukkan oleh:
Maka shalat berubah menjadi rutinitas mekanis tanpa makna. Syaitan berhasil merampas shalat tanpa secara fisik menghalangi seseorang pergi ke masjid. Ia merampas kualitas ibadah itu sendiri.
Para ulama tafsir berulang kali menekankan bahwa shalat yang khusyuk adalah penjamin dari perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-Ankabut: 45). Jika khamr dan judi merusak shalat, maka seluruh sistem moral individu tersebut akan ikut rusak.
Ayat 91 Surah Al-Maidah menjadi landasan utama bagi penetapan hukum haram (larangan mutlak) terhadap khamr dan maysir dalam seluruh mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali). Pelarangan ini bersifat pasti dan tidak dapat dibantah.
Dalam bahasa Arab pra-Islam, *khamr* sering diartikan sebagai minuman yang dibuat dari anggur. Namun, berdasarkan dalil-dalil lain (seperti hadits Nabi SAW: "Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram"), para ulama sepakat bahwa definisi *khamr* meluas mencakup segala zat atau minuman yang memiliki efek memabukkan atau menutupi akal, terlepas dari bahan dasarnya (gandum, kurma, beras, atau zat kimia modern).
Maysir atau Qimar (judi) didefinisikan secara luas sebagai setiap transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) di mana pihak yang kalah kehilangan hartanya, sementara pihak yang menang mendapatkan harta itu tanpa upaya atau timbal balik yang setara.
Judi tidak terbatas pada permainan kartu tradisional. Ia mencakup segala bentuk spekulasi yang melanggar hukum syariat, seperti lotre, undian berhadiah dengan pembayaran, dan beberapa bentuk transaksi finansial modern yang berbasis spekulasi murni (bukan investasi riil).
Pengecualian: Kegiatan yang mengandung unsur taruhan tetapi dikecualikan oleh Nabi SAW karena bertujuan memperkuat umat (seperti pacuan kuda, panahan, dan balap unta) tidak termasuk maysir karena tujuannya adalah peningkatan kekuatan dan pertahanan Islam, bukan hanya keuntungan harta.
Karena khamr dan judi dikategorikan sebagai dosa besar, syariat Islam menetapkan hukuman (had) untuk pelaku. Meskipun hukuman cambuk untuk peminum khamr adalah hukum yang ditetapkan oleh Ijma’ sahabat, perhatian utama ayat 91 adalah pada aspek pencegahan dan penghindaran total. Tujuan syariat adalah menghilangkan akar kerusakan sosial tersebut.
Ayat 91 memberikan penekanan yang berulang pada niat Syaitan, yaitu menanamkan kebencian dan menghalangi ibadah. Mari kita analisis bagaimana dua hal ini saling memperkuat dalam lingkaran setan yang dibuat oleh Iblis:
Syaitan menggunakan khamr dan judi untuk memecah belah persaudaraan (*ukhuwwah*). Ketika persaudaraan retak, umat menjadi lemah, dan mereka kurang memiliki dukungan moral untuk melakukan ibadah secara konsisten.
Sebagai contoh, jika A memenangkan uang B dalam perjudian, A mungkin dibenci oleh B. Ketika mereka bertemu di masjid, kebencian itu menghalangi shalat mereka berdua. A mungkin merasa bersalah, B merasa dendam. Khusyuk hilang, dan persatuan Muslim hancur. Kebencian ini adalah racun yang merusak amal saleh, bahkan jika mereka secara teknis telah berhenti minum atau berjudi.
Penghalang utama dari shalat dan dzikir adalah kelalaian (*ghaflah*). Khamr dan judi adalah mesin penghasil kelalaian massal. Keduanya menawarkan pemuasan nafsu instan dan pengalihan dari realitas hidup. Ketika seseorang terbiasa lari dari masalah ke botol atau meja judi, ia kehilangan kemampuan untuk menghadapi masalahnya secara spiritual, yaitu dengan sabar dan shalat (QS. Al-Baqarah: 45).
Inti dari larangan ini adalah memelihara kesadaran (yaqzhah) dan kehadiran hati (hudhur). Allah menginginkan hamba-Nya sadar sepenuhnya saat berinteraksi dengan-Nya. Zat adiktif dan perilaku adiktif menghilangkan kesadaran ini, menjadikannya sasaran empuk Syaitan.
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa hikmah dilarangnya khamr dan judi adalah karena keduanya adalah penyebab langsung dari hilangnya akal dan pengabaian shalat. Tidak ada keburukan yang lebih besar bagi seorang mukmin daripada meninggalkan shalat dan dzikrullah, sebab itulah jaminan keselamatannya di dunia dan akhirat.
Meskipun ayat ini turun pada abad ke-7, prinsip-prinsipnya bersifat abadi. Di era modern, kita dihadapkan pada bentuk-bentuk baru dari *khamr* dan *maysir* yang menuntut kewaspadaan yang sama.
Khamr, dalam definisinya yang luas (segala sesuatu yang memabukkan), mencakup seluruh jenis narkotika dan psikotropika modern. Dampak dari zat-zat ini—kehancuran akal, kehancuran keluarga, dan peninggalan shalat—bahkan jauh lebih parah daripada khamr tradisional. Oleh karena itu, hukumnya haram secara qiyās awlawī (analogi prioritas).
Selain zat fisik, ulama kontemporer juga melihat adiksi perilaku ekstrem yang merusak akal (misalnya, pornografi dan penggunaan gawai berlebihan) sebagai sesuatu yang memiliki efek serupa: menghilangkan kesadaran, memicu kelalaian dari dzikir, dan merusak hubungan sosial.
Teknologi telah memudahkan akses ke maysir. Kasino online, taruhan olahraga, dan bentuk-bentuk perjudian berkedok investasi (seperti trading mata uang atau saham berisiko tinggi tanpa dasar riil) telah menghancurkan banyak rumah tangga Muslim.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh judi online seringkali lebih cepat dan tersembunyi. Seseorang dapat kehilangan seluruh hartanya dalam hitungan jam tanpa harus meninggalkan rumah, yang mempercepat permusuhan keluarga, utang ribawi, dan kelalaian total dari shalat. Perintah Fa Hal Antum Muntahūna hari ini harus diserukan kepada mereka yang terjebak dalam lubang digital ini.
Khamr dan judi adalah representasi dari nafsu untuk mendapatkan kenikmatan atau keuntungan instan. Prinsip ayat 91 adalah mengajarkan kesabaran, kerja keras yang halal, dan ketergantungan pada Allah, bukan pada keberuntungan atau zat adiktif. Muslim harus mencari kebahagiaan sejati melalui ketaatan (*tha’ah*) dan dzikir, bukan pelarian sementara.
Pertanyaan "Maka, apakah kamu tidak berhenti?" adalah ujian kepatuhan (imtiḥān). Ia menguji seberapa besar cinta seorang Muslim kepada Allah melebihi cintanya kepada hawa nafsu. Dalam konteks modern, ujian ini adalah apakah kita mampu mematikan aplikasi judi, membuang zat adiktif, dan kembali kepada shalat, meskipun godaannya sangat kuat dan tersedia di mana-mana.
Surah Al-Maidah ayat 91 tidak hanya tentang daftar larangan, tetapi tentang fondasi pembentukan karakter dan komunitas yang bertakwa. Ketika seorang Muslim menjauhkan diri dari khamr dan judi, ia sesungguhnya sedang melindungi tiga hal suci:
Ayat ini mengajarkan bahwa dosa-dosa ini adalah pintu gerbang menuju dosa yang lebih besar, karena ia membuka celah bagi Syaitan untuk menaburkan benih perpecahan dan kelalaian. Kepatuhan total terhadap perintah Fa Hal Antum Muntahūna adalah manifestasi dari taqwa sejati, sebuah janji untuk menjaga hati agar selalu waspada dan jiwa agar selalu terhubung dengan sumber kehidupan spiritual, yaitu dzikir dan shalat.
Apabila komunitas Muslim bersatu, bersih dari racun kebencian akibat sengketa materi dan mabuk akal, niscaya mereka akan menjadi mercusuar keadilan dan kedamaian, sebagaimana yang dikehendaki oleh syariat Islam.
فَهَلْ أَنتُم مُّنْتَهُونَ