Surat An-Naba' (Berita Besar)
Surat An-Naba', yang berarti "Berita Besar", adalah surat ke-78 dalam Al-Qur'an. Terdiri dari 40 ayat, surat ini tergolong Makkiyah, yaitu surat yang diturunkan di Mekkah sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW. Dinamakan An-Naba' karena merujuk pada pertanyaan besar yang menjadi perdebatan di antara kaum kafir Quraisy pada masa itu, yaitu berita tentang Hari Kebangkitan. Surat ini dengan tegas membantah keraguan mereka dengan menyajikan bukti-bukti kekuasaan Allah SWT yang terhampar di alam semesta. Dari penciptaan bumi yang terhampar, gunung sebagai pasak, hingga pergantian siang dan malam, semua menjadi saksi bisu atas kebesaran Sang Pencipta. An-Naba' kemudian menggambarkan dengan sangat jelas peristiwa dahsyat di Hari Kiamat, memisahkan antara nasib orang-orang yang bertakwa dengan mereka yang durhaka. Surat ini adalah pengingat keras tentang akuntabilitas dan sebuah janji pasti tentang kehidupan setelah kematian, yang menjadi fondasi utama dalam keimanan seorang muslim.
Bacaan Surat An Naba Latin, Terjemahan, dan Tafsirnya
Berikut adalah bacaan lengkap Surat An-Naba' dalam tulisan latin, disertai terjemahan Bahasa Indonesia dan ulasan tafsir singkat untuk memahami makna yang terkandung di setiap ayatnya.
Ayat ini dibuka dengan sebuah pertanyaan retoris yang menyindir. Allah seolah bertanya tentang apa gerangan "berita besar" yang menjadi bahan perdebatan sengit di antara orang-orang kafir Mekkah. Pertanyaan ini bukan untuk mencari jawaban, melainkan untuk menarik perhatian pada topik utama yang mereka perselisihkan, yaitu kebenaran Hari Kebangkitan dan pembalasan.
Inilah jawaban atas pertanyaan di ayat pertama. "Berita besar" itu adalah Hari Kiamat. Sesuatu yang begitu agung dan pasti terjadi, namun justru menjadi sumber keraguan dan perdebatan bagi mereka. Penggunaan kata "al-'aẓīm" (yang agung/besar) menunjukkan betapa penting dan dahsyatnya peristiwa ini, yang akan mengubah tatanan alam semesta secara total.
Ayat ini menegaskan kondisi kaum kafir. Mereka tidak memiliki satu suara. Sebagian dari mereka mengingkari total, menganggapnya sebagai dongeng belaka. Sebagian lagi ragu-ragu. Perselisihan ini menunjukkan bahwa penolakan mereka tidak didasari oleh ilmu atau argumen yang kuat, melainkan hanya berdasarkan prasangka dan hawa nafsu.
Allah membantah dengan tegas semua keraguan mereka. Kata "Kallā" (sekali-kali tidak) berfungsi sebagai sanggahan keras. Ini adalah sebuah peringatan dan ancaman. Keraguan mereka akan sirna saat mereka menyaksikan sendiri kebenaran berita itu. "Saya'lamụn" (kelak mereka akan mengetahui) menandakan kepastian yang tak terhindarkan, namun pengetahuan itu datang terlambat, saat penyesalan tiada lagi berguna.
Pengulangan kalimat ini berfungsi untuk memberikan penekanan yang lebih kuat. Ini bukan sekadar ancaman biasa, tetapi sebuah penegasan berlapis tentang kepastian datangnya hari pembalasan dan penyesalan mendalam yang akan dialami oleh para pendusta. Pengulangan ini mengisyaratkan betapa dahsyatnya pengetahuan yang akan mereka terima kelak, sebuah pengetahuan yang lahir dari penyaksian langsung akan azab.
Bukti Kekuasaan Allah di Alam Semesta
Setelah memberikan ancaman, Allah kemudian menyajikan serangkaian argumen rasional. Allah mengajak manusia untuk merenungkan ciptaan-Nya yang terhampar di sekitar mereka. Jika Allah mampu menciptakan semua ini dari ketiadaan, maka membangkitkan kembali manusia yang telah mati tentu jauh lebih mudah bagi-Nya.
Allah memulai argumen-Nya dengan bumi, tempat manusia berpijak. Bumi dijadikan "mihādā" (hamparan) yang nyaman, laksana buaian bagi seorang bayi. Terhampar luas, stabil, dan layak untuk dihuni, memungkinkan manusia untuk hidup, berjalan, bercocok tanam, dan membangun peradaban. Ini adalah nikmat dasar yang seringkali dilupakan.
Gunung-gunung berfungsi sebagai "autādā" (pasak). Seperti pasak yang menancap ke dalam tanah untuk menstabilkan sebuah tenda, gunung memiliki akar yang menghujam ke dalam kerak bumi, berfungsi menstabilkan lempeng tektonik dan menjaga keseimbangan bumi. Ini adalah sebuah isyarat ilmiah yang luar biasa, menunjukkan bahwa gunung bukan sekadar tumpukan batu, melainkan memiliki fungsi geologis yang vital.
Dari alam makrokosmos, Allah beralih ke diri manusia (mikrokosmos). Manusia diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Dari pasangan ini, lahirlah ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Sistem ini memastikan keberlangsungan generasi manusia, sebuah desain yang sempurna dan penuh hikmah.
Tidur ("subātā") dijelaskan sebagai sarana untuk istirahat total, yang memutus segala aktivitas fisik dan kesadaran. Tidur adalah sebuah fenomena yang mirip dengan kematian kecil, di mana tubuh dan pikiran memulihkan energinya. Allah yang mampu "mematikan" manusia sejenak setiap malam melalui tidur, tentulah berkuasa untuk membangkitkannya setelah kematian yang sesungguhnya.
Malam diibaratkan sebagai "libāsā" (pakaian) yang menutupi dan menyelimuti. Kegelapannya memberikan ketenangan, menyembunyikan manusia dari pandangan, dan menciptakan suasana yang kondusif untuk beristirahat. Analogi ini sangat indah, menggambarkan fungsi malam sebagai selimut raksasa yang melindungi alam semesta.
Sebaliknya, siang ("nahār") diciptakan sebagai waktu untuk "ma'āsyā" (mencari penghidupan). Terangnya matahari memungkinkan manusia untuk bekerja, berusaha, dan beraktivitas. Pergantian teratur antara malam yang tenang dan siang yang sibuk adalah sebuah ritme kehidupan yang sempurna, menunjukkan adanya Perancang Yang Maha Bijaksana.
Pandangan kemudian diarahkan ke atas. Allah menegaskan penciptaan tujuh lapis langit yang "syidādā" (kokoh, kuat). Langit ini dibangun tanpa tiang yang terlihat, sebuah struktur raksasa yang melindungi bumi dari berbagai ancaman luar angkasa seperti meteor dan radiasi kosmik berbahaya. Kekokohannya adalah bukti kekuatan dan keagungan Sang Pencipta.
Di langit itu, Allah menempatkan "sirājaw wahhājā" (pelita yang amat terang dan panas), yaitu matahari. Matahari adalah sumber cahaya dan energi yang esensial bagi seluruh kehidupan di bumi. Panasnya menggerakkan siklus air, cahayanya memungkinkan fotosintesis pada tumbuhan. Keberadaannya dengan jarak dan ukuran yang presisi adalah sebuah keajaiban rekayasa ilahi.
Dari awan-awan yang memadat ("al-mu'ṣirāt"), Allah menurunkan air ("mā`an ṡajjājā") yang tercurah dengan deras. Siklus hidrologi, di mana air laut menguap, membentuk awan, lalu turun sebagai hujan untuk menyirami daratan yang kering, adalah sebuah sistem sempurna yang menjamin keberlangsungan hidup di darat.
Tujuan diturunkannya hujan sangat jelas: untuk menumbuhkan kehidupan. Dari air yang sama, tumbuhlah "ḥabban" (biji-bijian seperti gandum dan padi yang menjadi makanan pokok) dan "nabātā" (tumbuh-tumbuhan lain yang menjadi pakan ternak dan sayur-mayur).
Dan juga "jannātin alfāfā" (kebun-kebun yang lebat dan rindang). Air hujan tidak hanya menumbuhkan tanaman pangan, tetapi juga menciptakan keindahan melalui taman dan hutan yang rimbun, memberikan keteduhan dan menjaga ekosistem. Rangkaian bukti dari ayat 6 hingga 16 ini adalah argumen telak: Dzat yang mampu merancang dan mengelola sistem kehidupan yang begitu kompleks ini, mustahil tidak mampu untuk membangkitkan manusia kembali.
Hari Keputusan yang Telah Ditetapkan
Setelah memaparkan bukti kekuasaan-Nya, Allah kembali ke topik utama, yaitu Hari Kiamat. Allah menegaskan bahwa hari itu adalah sebuah kepastian dengan waktu yang telah ditetapkan, yang disebut sebagai "Yaumul Fashl" atau Hari Keputusan.
Ayat ini adalah sebuah proklamasi. Hari Keputusan, hari di mana segala perkara akan diputuskan dengan adil, bukanlah peristiwa acak. Ia memiliki "mīqātā", waktu yang telah ditentukan dan tidak akan maju atau mundur sedetik pun. Ini menekankan sifatnya yang pasti dan tak terelakkan.
Peristiwa besar itu akan dimulai dengan tiupan sangkakala ("aṣ-ṣūr"). Atas tiupan itu, seluruh manusia dari generasi pertama hingga terakhir akan bangkit dari kubur mereka dan datang menghadap Tuhan mereka secara "afwājā" (berkelompok-kelompok atau berbondong-bondong). Setiap umat akan datang bersama pemimpinnya.
Peristiwa kosmik yang dahsyat akan terjadi. Langit yang tampak kokoh akan terbelah dan terbuka, seolah-olah menjadi banyak gerbang ("abwābā"). Ini menandakan runtuhnya tatanan alam semesta yang kita kenal dan dimulainya dimensi kehidupan akhirat. Pintu-pintu ini adalah jalan turunnya para malaikat.
Gunung-gunung yang menjadi simbol kekokohan di dunia akan hancur lebur. Mereka "dijalankan" dari tempatnya, lalu dihancurkan hingga menjadi debu yang beterbangan, laksana "sarābā" (fatamorgana) yang tampak ada dari kejauhan namun sebenarnya tiada. Ini menggambarkan betapa totalnya kehancuran pada hari itu.
Nasib Para Pendurhaka di Neraka Jahannam
Setelah menggambarkan suasana awal Hari Kiamat, surat ini merinci nasib pertama bagi mereka yang melampaui batas dan mendustakan kebenaran di dunia.
Neraka Jahannam digambarkan sebagai "mirṣādā", yaitu tempat yang senantiasa mengintai dan menunggu mangsanya. Ia disiapkan dan selalu waspada, menantikan kedatangan para pendurhaka. Gambaran ini memberikan kesan bahwa tidak ada seorang pun yang durhaka dapat lolos darinya.
Jahannam adalah "ma`ābā" (tempat kembali) yang telah disediakan khusus bagi "aṭ-ṭāgīn", yaitu orang-orang yang melampaui batas, sombong, dan menentang hukum-hukum Allah. Ini adalah tujuan akhir dan rumah abadi bagi mereka.
Mereka akan tinggal di dalamnya "aḥqābā". Kata ini merupakan bentuk jamak yang menunjukkan periode waktu yang sangat panjang, zaman setelah zaman, tanpa akhir. Ini menekankan kekekalan azab yang akan mereka terima sebagai balasan atas penolakan mereka yang sesaat di dunia.
Di dalam neraka, tidak ada kenikmatan sedikit pun. Mereka tidak akan merasakan "bardan" (kesejukan) untuk meredakan panasnya api, dan tidak pula mendapatkan "syarābā" (minuman) yang dapat menghilangkan dahaga. Ini adalah gambaran penderitaan fisik yang total.
Satu-satunya "minuman" yang tersedia adalah "ḥamīm" (air yang mendidih hingga puncaknya) dan "gassāqā" (cairan dingin yang busuk dan kotor, seperti nanah atau keringat penduduk neraka). Minuman ini justru menambah siksaan, bukan meredakannya. Air mendidih akan menghancurkan organ dalam mereka, sementara nanah adalah minuman yang menjijikkan.
Allah menegaskan bahwa siksaan yang mengerikan ini bukanlah bentuk kezaliman. Ini adalah "jazā`aw wifāqā", sebuah balasan yang adil dan setimpal dengan perbuatan mereka. Mereka mengingkari nikmat di dunia, maka mereka diharamkan dari segala bentuk kenikmatan di akhirat. Mereka menyakiti kebenaran, maka mereka disiksa dengan penderitaan yang hakiki.
Inilah akar dari kedurhakaan mereka. Mereka hidup seolah-olah tidak akan pernah ada "ḥisāb" (perhitungan amal). Mereka tidak takut dan tidak pernah mengira akan dimintai pertanggungjawaban. Keyakinan sesat inilah yang membuat mereka berani berbuat semena-mena di dunia.
Selain tidak meyakini adanya hisab, mereka juga secara aktif "każżabụ... kiżżābā", yaitu mendustakan dengan sebenar-benarnya dan penuh kesombongan ayat-ayat Allah, baik yang tertulis dalam kitab suci maupun yang terhampar di alam semesta. Penolakan mereka bersifat total dan tanpa kompromi.
Allah membantah anggapan mereka bahwa perbuatan akan dilupakan. Segala sesuatu, sekecil apa pun, telah dicatat dengan sangat teliti ("aḥṣaināhu") dalam sebuah kitab catatan amal. Tidak ada yang terlewat, baik perkataan, perbuatan, maupun niat yang tersembunyi di dalam hati. Semua tercatat rapi dan akan menjadi bukti di hari pengadilan.
Ini adalah puncak dari kecaman dan vonis bagi mereka. Perintah "fa żụqụ" (maka rasakanlah!) adalah bentuk penghinaan. Allah kemudian menyatakan bahwa penderitaan mereka tidak akan pernah berkurang atau berakhir. Sebaliknya, setiap kali kulit mereka hangus, akan diganti dengan kulit baru agar mereka terus merasakan azab yang tiada henti-hentinya bertambah pedih.
Ganjaran Penuh Berkah Bagi Orang Bertakwa
Setelah kontras yang mengerikan tentang nasib para pendurhaka, Al-Qur'an selalu menyajikan sisi sebaliknya, yaitu balasan yang indah bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa. Ini memberikan harapan dan motivasi.
Bagi "al-muttaqīn" (orang-orang yang bertakwa), yaitu mereka yang menjaga diri dari murka Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, telah disediakan "mafāzā". Kata ini berarti kemenangan, kesuksesan, dan tempat yang menyelamatkan mereka dari segala keburukan dan penderitaan neraka.
Kemenangan itu dirincikan. Pertama, mereka akan mendapatkan "ḥadā`iq" (kebun-kebun atau taman-taman surga) yang sangat indah. Secara spesifik disebut "a'nābā" (buah anggur), yang pada masa itu merupakan salah satu buah termewah dan paling digemari, sebagai simbol kenikmatan yang luar biasa.
Kenikmatan surga juga mencakup aspek sosial dan pasangan hidup. Mereka akan ditemani oleh "kawā'ib" (gadis-gadis dengan pesona kemudaan) yang "atrābā" (seusia atau sebaya). Ini menggambarkan keserasian, kesempurnaan, dan keharmonisan dalam hubungan di surga, jauh dari masalah penuaan dan kecemburuan duniawi.
Mereka akan disuguhi "ka`san dihāqā", yaitu gelas-gelas piala yang senantiasa penuh dengan minuman surga yang lezat. Minuman ini tidak memabukkan dan tidak menimbulkan efek negatif apa pun. Gelas yang selalu penuh melambangkan kenikmatan yang terus-menerus, tidak pernah terputus, dan melimpah ruah.
Kenikmatan surga bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis dan spiritual. Di dalamnya, mereka tidak akan mendengar "lagwan" (perkataan yang sia-sia, omong kosong, atau menyakitkan) dan tidak pula "kiżżābā" (dusta). Lingkungan surga adalah lingkungan yang penuh dengan kejujuran, kedamaian, dan ucapan yang baik. Ini adalah kedamaian jiwa yang hakiki.
Semua ganjaran ini adalah "jazā`am mir rabbika", balasan dari Tuhanmu. Namun, ia juga merupakan "'aṭā`an ḥisābā", sebuah anugerah dan pemberian yang melimpah, cukup, dan memuaskan. Ini menunjukkan bahwa balasan surga jauh melebihi amal perbuatan manusia. Ia adalah kombinasi antara keadilan (balasan) dan kasih sayang (anugerah) Allah SWT.
Peringatan Terakhir dan Penutup
Surat ini ditutup dengan penegasan kembali tentang keagungan Allah SWT, kedahsyatan hari kiamat, dan sebuah penyesalan akhir bagi orang-orang kafir.
Allah menegaskan kembali status-Nya sebagai "Rabbis-samāwāti wal-arḍ" (Tuhan pemelihara seluruh alam semesta). Dia adalah "Ar-Raḥmān" (Yang Maha Pengasih), namun sifat kasih-Nya tidak menafikan keagungan-Nya. Pada hari itu, saking dahsyatnya wibawa Allah, tidak ada satu makhluk pun yang berani dan mampu berbicara kepada-Nya tanpa izin.
Ayat ini melukiskan suasana pengadilan ilahi. "Ar-Rūḥ" (Ruh, yang ditafsirkan sebagai malaikat Jibril atau makhluk agung lainnya) dan seluruh malaikat berdiri berbaris dengan khidmat. Semua terdiam. Tidak ada yang berani berbicara untuk memberi syafaat atau pembelaan, kecuali mereka yang telah mendapat izin dari Allah dan ucapannya pun pasti "ṣawābā" (benar dan tepat).
Setelah semua penjelasan, Allah menyimpulkan: "żālikal-yaumul-ḥaqq" (itulah hari yang benar-benar nyata). Ini bukan dongeng atau ilusi. Karena itu adalah sebuah kepastian, maka pintu pilihan masih terbuka saat ini di dunia. "Fa man syā`a" (barangsiapa yang mau), hendaklah ia mengambil jalan kembali kepada Tuhannya melalui iman dan amal saleh.
Surat ini ditutup dengan peringatan pamungkas. Allah telah memperingatkan manusia akan azab yang "qarībā" (dekat). Meskipun terasa jauh, sejatinya kematian dan kiamat sangatlah dekat. Pada hari itu, setiap orang akan melihat dengan mata kepalanya sendiri seluruh catatan amal perbuatannya. Saat itulah, orang kafir yang dulu sombong dan mengingkari, akan mencapai puncak penyesalan dan berandai-andai, "Yā laitanī kuntu turābā" (Duhai, andai saja aku hanya menjadi tanah), agar tidak perlu menghadapi hisab dan siksa yang mengerikan ini.