Surah Al-Maidah: Pagar Hukum dan Janji Allah

Analisis Mendalam Mengenai Jumlah Ayat, Fiqh, dan Teologi

Wahyu Al-Maidah الماۤئدة

Ilustrasi simbolis Surah Al-Maidah sebagai pedoman hukum dan keadilan.

1. Jawaban Utama: Al Maidah Berapa Ayat?

Surah Al-Maidah, yang secara harfiah berarti "Hidangan" atau "Jamuan (Makanan)" merupakan surah ke-5 dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Surah ini diklasifikasikan sebagai surah Madaniyah, artinya diturunkan setelah Rasulullah ﷺ hijrah dari Mekah ke Madinah. Periode Madaniyah adalah periode pembentukan komunitas Islam dan penetapan sistem hukum yang komprehensif. Karena itu, Surah Al-Maidah kaya akan peraturan (hukum Fiqh) yang mengatur kehidupan sosial, peribadatan, dan tata negara.

Jawaban tegas terhadap pertanyaan "Al Maidah berapa ayat?" adalah: Surah Al-Maidah terdiri dari 120 ayat.

Penghitungan ini telah disepakati oleh mayoritas ulama tafsir dan qira'at (pembacaan Al-Qur'an) di seluruh dunia. Surah ini dikenal sebagai salah satu surah terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, bahkan beberapa ulama berpendapat bahwa Surah Al-Maidah, atau setidaknya sebagian besar isinya, diturunkan di penghujung masa kenabian, menjadikannya ringkasan final dari berbagai hukum syariat Islam.

Posisi Surah Al-Maidah sangat penting karena ia melengkapi rangkaian hukum yang dimulai pada Surah Al-Baqarah dan An-Nisa. Jika Surah An-Nisa fokus pada hukum keluarga dan warisan, Al-Maidah lebih berfokus pada perjanjian (akibat), makanan yang halal dan haram, tata cara wudu dan tayamum, serta hubungan diplomatik dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).

2. Pilar Hukum dan Pemenuhan Perjanjian (Ayat 1–40)

Surah Al-Maidah dibuka dengan penekanan luar biasa pada kewajiban memenuhi perjanjian, yang diabadikan dalam ayat pertama:

"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji (akad-akad) itu..." (QS. Al-Maidah [5]: 1)

Ayat pembuka ini menetapkan nada seluruh surah: Islam didasarkan pada pemenuhan komitmen, baik itu perjanjian dengan Allah (tauhid, ibadah), perjanjian antar manusia (muamalah), maupun perjanjian internasional. Mayoritas ulama tafsir, seperti Imam Ath-Thabari dan Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa kata "akad" (perjanjian) di sini mencakup empat jenis utama:

  1. Akad antara Allah dan Hamba: Kewajiban melaksanakan syariat, tauhid, dan ibadah.
  2. Akad antara Hamba dan Hamba: Transaksi bisnis, pernikahan, sumpah, dan kontrak sosial lainnya.
  3. Akad antar Negara/Komunitas: Perjanjian damai atau perjanjian yang melibatkan interaksi antar kelompok.
  4. Akad Khusus (Hukum Fiqh): Izin mengonsumsi hewan ternak yang sebelumnya dilarang dalam keadaan ihram (pakaian haji/umrah), pengecualian pada beberapa jenis hewan yang dibolehkan untuk dimakan.

2.1. Penetapan Hukum Makanan (Ayat 3)

Ayat ke-3 Surah Al-Maidah dianggap sebagai salah satu ayat yang paling komprehensif mengenai hukum makanan (halal dan haram). Ayat ini secara tegas melarang beberapa kategori makanan, yang kemudian menjadi dasar fundamental dalam Fiqh:

Ayat yang sama juga memuat pernyataan monumental mengenai kesempurnaan agama Islam. Ibnu Katsir mencatat bahwa ayat ini turun pada Hari Arafah saat Haji Wada' (Haji Perpisahan), menandakan puncak pewahyuan hukum:

"...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu..." (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Pernyataan ini menegaskan bahwa tidak ada lagi hukum dasar yang perlu ditambahkan setelah periode kenabian, dan bahwa semua aspek kehidupan telah dicakup oleh ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.

2.2. Hukum Bersuci dan Wudu (Ayat 6)

Ayat ke-6 Surah Al-Maidah memberikan dasar rinci mengenai tata cara bersuci (thaharah), termasuk wudu (mencuci anggota badan) dan tayamum (bersuci dengan debu). Ayat ini bukan hanya instruksi ritual, tetapi juga mengandung pelajaran mendalam tentang niat dan kondisi. Ayat ini berbunyi:

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dengan (air), dan (basuhlah) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki..." (QS. Al-Maidah [5]: 6)

Para fuqaha (ahli hukum Islam) mengambil empat kewajiban utama wudu (fardhu wudu) dari ayat ini, serta syarat kapan tayamum (menggunakan debu) diperbolehkan, yaitu saat tidak ada air atau ada halangan medis untuk menggunakan air. Ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi kondisi darurat.

2.3. Hukuman Pidana (Ayat 38–40)

Dalam rangka menjaga harta benda dan ketertiban sosial, Surah Al-Maidah menetapkan hukuman bagi pencuri. Ayat 38 adalah ayat yang sering dikaji dalam konteks hukum pidana Islam (Hudud):

"Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah..." (QS. Al-Maidah [5]: 38)

Para ulama tafsir menekankan bahwa hukuman ini memiliki syarat yang sangat ketat dan hanya dapat diterapkan oleh otoritas yang sah, setelah melalui proses peradilan yang cermat, dan hanya untuk nilai curian yang mencapai batas minimum (nishab) tertentu. Tujuannya bukan semata-mata hukuman fisik, tetapi untuk menanamkan rasa takut terhadap kejahatan dan membersihkan jiwa si pelaku melalui penebusan di dunia.

3. Hukum, Keadilan, dan Hubungan dengan Ahli Kitab (Ayat 41–86)

Bagian terbesar dari Surah Al-Maidah didedikasikan untuk mengoreksi dan mengatur hubungan umat Islam dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Karena Madinah merupakan masyarakat plural, Surah ini memberikan prinsip-prinsip keadilan universal, bahkan ketika berhadapan dengan musuh atau mereka yang tidak beriman.

3.1. Kewajiban Menegakkan Keadilan Absolut

Ayat 42 dan 8 Surah Al-Maidah menjadi landasan utama bagi etika peradilan dalam Islam. Ayat 8 khususnya sangat sering dikutip:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa..." (QS. Al-Maidah [5]: 8)

Ini adalah perintah ilahi untuk menanggalkan emosi pribadi, permusuhan, atau bahkan perbedaan agama, demi menegakkan kebenaran. Keadilan (al-'Adl) di sini adalah nilai transenden yang harus ditegakkan di atas segalanya, bahkan jika penerapannya merugikan diri sendiri atau orang yang dicintai.

3.2. Penegasan Taurat, Injil, dan Al-Qur'an

Surah ini menegaskan bahwa Taurat (kepada Musa) dan Injil (kepada Isa) adalah wahyu dari Allah. Dalam ayat 44–47, Surah Al-Maidah memberikan penilaian keras terhadap Ahli Kitab yang menyembunyikan atau mengubah hukum dalam kitab mereka:

Konsep muhaiminan sangat penting. Al-Qur'an tidak hanya mengonfirmasi kebenaran dasar dari kitab-kitab sebelumnya, tetapi juga berfungsi sebagai pengawas dan tolok ukur, membedakan mana ajaran asli yang tetap berlaku dan mana yang telah diubah atau ditinggalkan. Oleh karena itu, umat Islam diperintahkan untuk berhukum dengan Al-Qur'an, bukan dengan versi hukum kitab sebelumnya yang mungkin telah diselewengkan.

3.3. Pelarangan Keras terhadap Minuman Keras dan Judi (Ayat 90)

Salah satu ayat hukum yang paling terkenal dalam Al-Maidah adalah Ayat 90, yang secara definitif mengharamkan khamr (minuman keras) dan perjudian (maisir). Ayat ini menandai tahap terakhir pelarangan khamr, yang diturunkan secara bertahap:

"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Maidah [5]: 90)

Pengharaman ini bersifat total dan permanen. Para ulama Fiqh, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, menyimpulkan dari ayat ini bahwa segala sesuatu yang memabukkan, terlepas dari bahan bakunya, adalah khamr dan hukumnya haram. Tujuan pelarangan ini adalah menjaga akal (salah satu dari lima kebutuhan primer dalam Maqasid Syariah).

4. Kisah Para Nabi dan Peringatan Keras (Ayat 87–120)

Bagian akhir surah ini berfokus pada peringatan, sanksi bagi pelanggar sumpah, dan terutama, kisah Nabi Isa (Yesus), yang menjadi penutup retorika tentang Ahli Kitab.

4.1. Hukum Pelanggaran Sumpah (Ayat 89)

Ayat 89 membahas hukuman (kaffarah) bagi orang yang melanggar sumpahnya. Kaffarah yang diwajibkan adalah memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Jika tidak mampu, maka diwajibkan berpuasa selama tiga hari. Ini adalah contoh bagaimana syariat memberikan jalan keluar dan penebusan bagi kesalahan yang terjadi, sekaligus menekankan pentingnya kehormatan sumpah.

4.2. Kisah Habil dan Qabil (Ayat 27–32)

Meskipun ditempatkan di awal surah, kisah dua putra Adam ini (Habil dan Qabil) memiliki resonansi teologis yang mendalam. Setelah Qabil membunuh Habil karena iri, Allah menggunakan insiden ini untuk memberikan hukum universal tentang pembunuhan. Ayat 32 sering dijadikan dasar etika kemanusiaan dalam Islam:

"...Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia..." (QS. Al-Maidah [5]: 32)

Ayat ini menetapkan nilai yang tak terhingga dari setiap kehidupan manusia. Para ulama menggunakan ayat ini untuk mendukung pentingnya menjaga kedamaian, menentang terorisme, dan menegakkan hukum yang sangat ketat terhadap tindak kejahatan yang menyebabkan kerusakan sosial (fasad fil ardh).

Simbol Hidangan Ilahi الْماۤئِدَة

Simbol Hidangan (Al-Maidah) yang diminta oleh pengikut Nabi Isa AS.

4.3. Mukjizat dan Dialog Nabi Isa (Ayat 110–120)

Surah ini mencapai klimaks teologisnya dengan kisah Nabi Isa AS dan ibunya, Maryam. Hal ini bertujuan untuk mengoreksi doktrin trinitas yang telah berkembang di kalangan Nasrani. Ayat-ayat ini secara rinci menyebutkan mukjizat yang diberikan Allah kepada Isa, seperti berbicara saat bayi, menyembuhkan orang buta, dan menghidupkan orang mati.

Puncak kisah ini adalah permintaan para Hawariyyun (pengikut setia Isa) akan ‘Al-Maidah’ (hidangan dari langit), yang menjadi nama surah ini. Ayat 114 menceritakan permohonan Isa:

"(Isa) berkata, 'Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan (makanan) dari langit (Al-Maidah), yang hari (turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang sekarang bersama kami maupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu..." (QS. Al-Maidah [5]: 114)

Penutup Surah ini adalah dialog agung antara Allah SWT dan Nabi Isa di Hari Kiamat (Ayat 116–118). Dalam dialog ini, Allah bertanya kepada Isa apakah ia pernah memerintahkan umatnya untuk menjadikan dirinya dan ibunya sebagai tuhan selain Allah. Isa dengan tegas menyangkal, menyatakan bahwa ia hanya menyampaikan apa yang diperintahkan Allah. Ini adalah pemurnian tauhid dan penegasan bahwa ibadah hanya milik Allah semata.

5. Kedalaman Fiqh Surah Al-Maidah: Penutup Hukum Syariat

Surah Al-Maidah dianggap sebagai gudang hukum. Karena diturunkan pada fase akhir dakwah, surah ini menetapkan banyak hukum yang bersifat permanen dan membatalkan (mansukh) beberapa aturan yang bersifat sementara. Analisis Fiqh terhadap 120 ayat ini melibatkan berbagai disiplin ilmu:

5.1. Fiqh Ibadah: Thaharah dan Tuntutan Kondisi

Selain wudu (Ayat 6), Surah Al-Maidah juga membahas thaharah dalam konteks sumpah dan nazar. Hukum terkait berburu (shaid) saat ihram juga diperinci (Ayat 94–96). Ayat ini memberikan keseimbangan antara larangan yang ketat selama ibadah haji/umrah dan izin untuk berburu di luar batas Tanah Suci, menegaskan bahwa hukum Islam sangat kontekstual dan memperhatikan keadaan hamba.

Interpretasi Ayat 6 tentang tayamum menunjukkan fleksibilitas hukum Islam (rukhshah). Jika seseorang sakit atau dalam perjalanan dan tidak menemukan air, tayamum diizinkan. Ini bukan sekadar keringanan, tetapi bukti bahwa tujuan ibadah adalah pengabdian batin, bukan sekadar pemenuhan formalitas fisik yang mustahil dilakukan.

5.2. Fiqh Muamalah: Kesaksian dan Wasiat

Surah Al-Maidah juga mencakup hukum wasiat (perjanjian atau wasiat terakhir), khususnya bagi mereka yang akan melakukan perjalanan dan khawatir ajalnya tiba (Ayat 106–108). Hukum ini mengatur bagaimana kesaksian harus dilakukan, bahkan jika saksi tersebut berasal dari Ahli Kitab, selama mereka bersumpah atas nama Allah setelah salat (menurut tafsir beberapa ulama). Ini menyoroti inklusivitas sistem hukum Islam dalam mencari kebenaran, bahkan dari non-Muslim, dalam situasi tertentu.

Ayat 106 memberikan aturan ketat mengenai prosedur kesaksian untuk menjamin hak-hak pewaris, menunjukkan betapa Surah ini mencakup detail praktis kehidupan. Prosedur sumpah yang rinci ini disebut al-Qasamah dalam Fiqh, yang merupakan sumpah untuk membuktikan kebenaran suatu klaim.

5.3. Fiqh Jinayat (Pidana): Qisas dan Kefasadan

Kisah Habil dan Qabil (Ayat 27–32) berlanjut pada penetapan hukuman bagi mereka yang berbuat kerusakan di muka bumi (fasad fil ardh) atau memerangi Allah dan Rasul-Nya (Ayat 33):

"Sesungguhnya balasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)..."

Ayat ini adalah dasar bagi hukuman berat (Hudud) terhadap kejahatan terorganisir, perampokan bersenjata, dan terorisme. Para ulama berpendapat bahwa hukuman-hukuman ini bersifat preventif (pencegahan) dan restoratif (pemulihan tatanan sosial). Imam Asy-Syafi'i dan Imam Malik memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai kapan hukuman mana yang harus diterapkan, tetapi semua sepakat pada otoritas negara untuk memilih hukuman yang paling sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.

6. Kontribusi Teologis dan Gaya Retorika Surah Al-Maidah

Selain hukum, Surah Al-Maidah memiliki gaya retorika yang kuat, terutama dalam menegaskan Tauhid (keesaan Allah) dan menolak politeisme. Ia berfungsi sebagai jembatan antara umat terdahulu dan umat Muhammad ﷺ.

6.1. Penegasan Kedaulatan Mutlak (Tauhid Uluhiyyah)

Dialog penutup dengan Nabi Isa (Ayat 116–118) adalah salah satu penegasan tauhid paling dramatis dalam Al-Qur'an. Ini bukan hanya sebuah laporan sejarah, tetapi sebuah deklarasi bahwa status kenabian, meskipun ditinggikan, tidak pernah mencapai tingkat ketuhanan.

Ayat 118, "Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana," menunjukkan penyerahan total Isa kepada kehendak Allah. Ini membongkar landasan teologi trinitas dan menekankan kemahakuasaan Allah (Al-Aziz) dan kemahabijaksanaan-Nya (Al-Hakim).

6.2. Penggunaan Panggilan 'Yaa Ayyuhallaziina Aamanu'

Surah Al-Maidah dikenal karena frekuensi tinggi penggunaan frasa "Wahai orang-orang yang beriman" (Yaa ayyuhallaziina aamanu). Panggilan ini, yang muncul sebanyak 16 kali, menandakan bahwa apa yang mengikuti adalah perintah atau larangan hukum yang harus dipatuhi oleh komunitas Muslim. Setiap kali panggilan ini muncul, ia menyertakan tanggung jawab baru, menunjukkan kematangan komunitas Madinah dalam menerima beban syariat.

Sebagai contoh, setelah panggilan di Ayat 90 (pelarangan khamr dan judi), ia diikuti dengan argumen rasional bahwa hal-hal tersebut hanya menimbulkan permusuhan dan menghalangi mengingat Allah. Hukum dalam Al-Maidah selalu didasarkan pada logika dan tujuan yang jelas (Maqasid Syariah), bukan sekadar kepatuhan buta.

6.3. Konsep 'Taghut' dan 'Hukm al-Jahiliyah'

Surah ini memperingatkan keras terhadap kembali kepada hukum Jahiliyah (hukum ketidaktahuan) atau berhukum dengan taghut (penguasa tiran atau sistem yang menentang Allah). Ayat 44 dan 50 memberikan peringatan keras kepada mereka yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Ayat 50 berbunyi: "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?"

Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah sering menggunakan ayat-ayat ini untuk membahas kewajiban berhukum pada syariat. Mereka menjelaskan bahwa berhukum dengan syariat adalah salah satu aspek tauhid, sedangkan meninggalkannya berarti cenderung pada sistem yang dibuat manusia yang cacat dan tidak adil.

7. Kesimpulan: Surah Al-Maidah sebagai Pondasi Komunitas Ideal

Surah Al-Maidah, dengan 120 ayatnya yang padat, berdiri sebagai monumen legislatif dalam Al-Qur'an. Ia adalah surah yang menutup banyak bab penting dalam Fiqh, menyempurnakan hukum-hukum terkait ibadah, muamalah, pidana, makanan, dan hubungan diplomatik.

Dari penegasan pemenuhan akad di ayat pertama hingga dialog teologis dengan Nabi Isa di ayat penutup, surah ini memberikan pedoman lengkap bagi komunitas yang ingin mencapai keadilan total (adil), ketertiban sosial, dan penyerahan diri (Islam) yang murni kepada Sang Pencipta.

Studi mendalam terhadap Surah Al-Maidah bukan hanya sekadar memahami hukum mana yang halal dan mana yang haram, tetapi juga menyerap etos keadilan absolut yang menjadi ciri khas Islam—keadilan yang harus ditegakkan tanpa memandang agama, ras, atau dendam pribadi, demi mencapai kedekatan yang hakiki kepada takwa. Kekayaan isinya menjelaskan mengapa surah ini memiliki bobot yang sedemikian besar dalam tradisi keilmuan Islam, menjadikannya salah satu pilar utama dalam pemahaman syariat.

8. Elaborasi Tafsir Tematik Mendalam (Tafsir Ahkam)

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif atas surah 120 ayat ini, perlu dikaji secara spesifik bagaimana ulama Fiqh memanfaatkan ayat-ayat Al-Maidah untuk menyusun kerangka hukum Islam yang detail.

8.1. Kasus Khusus Hewan Hasil Buruan (Ayat 94–96)

Ayat 94 hingga 96 memberikan detail terkait perburuan, terutama bagi orang yang sedang ihram. Allah menguji hamba-Nya dengan membuat hewan buruan mudah ditangkap di dekat mereka. Larangan ini bukan hanya ritual; ia menguji ketaatan seseorang untuk menahan diri dari kesenangan duniawi saat berfokus pada ibadah haji/umrah.

Ayat 95 menetapkan hukuman bagi pelanggaran ini: memberikan ganti rugi (fidyah) yang setara dengan hewan yang diburu (dinilai oleh dua orang adil), atau menggantinya dengan memberi makan orang miskin, atau berpuasa. Para ahli Fiqh, khususnya dari mazhab Syafi’i dan Maliki, menghabiskan banyak energi untuk menentukan nilai setara (mitsl) dari setiap jenis hewan buruan yang terbunuh, menunjukkan betapa rinci hukum yang diambil dari ayat ini.

8.2. Hukum Memakan Makanan Ahli Kitab (Ayat 5)

Ayat 5 adalah salah satu ayat yang paling sering dibahas dalam konteks hubungan antar agama dan makanan: “...Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka…”

Ayat ini memberikan izin unik bagi Muslim untuk mengonsumsi daging yang disembelih oleh Yahudi atau Nasrani, dengan asumsi mereka menyembelih sesuai dengan prinsip dasar yang diwahyukan kepada mereka (yaitu menyebut nama Tuhan, meskipun cara penyebutan nama Tuhan ini menjadi subjek perdebatan). Ulama menafsirkan ini sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap keabsahan dasar agama-agama samawi tersebut, selama tidak ada bukti bahwa penyembelihan dilakukan atas nama selain Allah (misalnya, berhala).

Namun, Fiqh modern sering memperdebatkan sejauh mana izin ini berlaku, terutama di era di mana banyak daging diproses secara mekanis tanpa pemenuhan syarat syar’i atau keagamaan. Ayat ini, bagaimanapun, tetap menjadi landasan toleransi dan interaksi muamalah yang luas.

8.3. Larangan Mengangkat Ahli Kitab sebagai Pemimpin Absolut (Ayat 51)

Ayat 51 sering disalahpahami, tetapi konteksnya sangat spesifik, berkaitan dengan aliansi politik dan keamanan komunitas Muslim di Madinah pada masa perang. Ayat tersebut berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin (auliya'); sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain...”

Kata auliya’ (pemimpin/pelindung/teman dekat yang loyal) di sini ditafsirkan oleh sebagian besar ulama klasik sebagai larangan untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin politik yang menentukan nasib umat, terutama dalam konteks di mana mereka mungkin bersekutu dengan musuh Islam. Tafsir kontemporer menekankan bahwa ini adalah peringatan terhadap loyalitas absolut yang mengorbankan kepentingan dan keamanan komunitas Muslim, bukan larangan total untuk bersikap adil atau berinteraksi secara damai (yang diizinkan oleh Ayat 8).

9. Detail Teologis Kisah Para Nabi dalam Al-Maidah

Surah ini menggunakan kisah-kisah historis sebagai alat untuk menegakkan prinsip tauhid dan moralitas, khususnya melalui kisah Isa AS dan Musa AS.

9.1. Permintaan Al-Maidah: Ujian Keimanan

Permintaan hidangan dari langit oleh Hawariyyun bukan sekadar permintaan makanan, melainkan ujian untuk keimanan mereka yang sudah diperingatkan oleh Isa. Isa berkata, "Bertakwalah kepada Allah jika kamu benar-benar orang beriman." (Ayat 112). Hal ini menunjukkan bahwa mukjizat seharusnya meningkatkan keimanan, bukan menjadi prasyarat untuk beriman. Ketika hidangan itu diturunkan (walaupun detailnya tidak dijelaskan Al-Qur'an, hanya dinamakan surah), ia menjadi tanda yang sangat jelas—penolakan setelah melihat tanda tersebut akan mendatangkan hukuman yang luar biasa berat.

9.2. Pengingat Kisah Musa dan Bani Israil (Ayat 20–26)

Surah Al-Maidah memasukkan kisah Musa AS dan Bani Israil yang menolak memasuki Tanah Suci karena takut menghadapi penduduk yang kuat. Respons mereka, “Pergilah kamu dan Tuhanmu, dan berperanglah, biarlah kami di sini saja,” menunjukkan kelemahan iman dan kegagalan mereka mematuhi perintah kenabian.

Sebagai hukuman, Allah menghukum mereka dengan pengembaraan (tih) selama 40 tahun di padang pasir (Ayat 26). Kisah ini berfungsi sebagai peringatan bagi umat Muhammad ﷺ tentang bahaya ketidakpatuhan, ketakutan yang tidak beralasan, dan pentingnya kepemimpinan yang taat kepada wahyu.

10. Hukum Sanksi dalam Al-Maidah: Penjagaan Maqasid Syariah

Semua sanksi yang diatur dalam Surah Al-Maidah bertujuan untuk melindungi lima tujuan utama (Maqasid Syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

10.1. Penjagaan Akal (Hifzhul Aql)

Ayat 90 (Khamr dan Judi) secara langsung melindungi akal. Alkohol dan judi merusak kemampuan manusia untuk berpikir jernih, mengendalikan diri, dan beribadah dengan khusyuk. Larangan ini bukan hanya moral, tetapi juga kesehatan publik dan ketertiban sosial. Ulama sepakat bahwa penjagaan akal adalah pondasi untuk semua tanggung jawab hukum (taklif) lainnya dalam Islam.

10.2. Penjagaan Jiwa (Hifzhun Nafs)

Ayat 32 (Pembunuhan) dan Ayat 33 (Fasad fil Ardh) melindungi jiwa. Hukuman yang berat bagi pembunuh dan perusak sosial bertujuan untuk memastikan bahwa setiap individu merasa aman dalam masyarakat. Konsep qisas (pembalasan setimpal) dan hukuman bagi perusak menunjukkan bahwa sistem hukum Islam sangat menghargai kehidupan dan menuntut pertanggungjawaban penuh atas pelanggaran terhadapnya.

10.3. Penjagaan Harta (Hifzhul Mal)

Ayat 38 (Pencurian) melindungi harta benda. Meskipun hukuman potong tangan tampak berat, ia merupakan penjamin bagi sistem ekonomi yang stabil. Para ulama selalu menekankan bahwa hukuman ini hanya diterapkan dalam kondisi sosial yang ideal, di mana kebutuhan dasar warga negara (seperti makanan dan pekerjaan) telah terpenuhi, sehingga pencurian benar-benar murni didorong oleh keserakahan, bukan kebutuhan.

11. Konteks Historis dan Asbabun Nuzul Utama Al-Maidah

Pemahaman mengenai kapan dan mengapa 120 ayat ini diturunkan membantu kita menghargai signifikansi hukumnya. Sebagian besar surah ini diturunkan pada tahun-tahun terakhir Nabi Muhammad ﷺ, setelah Fathu Makkah (Pembebasan Mekah) dan pada saat kekuasaan Muslim telah mapan.

11.1. Kasus Pelarangan Khamr

Ayat 90 adalah klimaks dari tahapan pelarangan khamr. Sebelumnya, ada ayat yang menyebutkan bahwa manfaat khamr lebih kecil daripada dosanya (Al-Baqarah 219), dan kemudian ayat yang melarang salat saat mabuk (An-Nisa 43). Al-Maidah 90 mengakhiri perdebatan, menjadikannya haram secara mutlak. Hal ini menunjukkan kebijaksanaan Allah dalam mendidik umat secara bertahap dalam hukum-hukum yang sulit ditinggalkan.

11.2. Alasan Penamaan Surah

Meskipun surah ini membahas begitu banyak hukum, ia dinamai Al-Maidah (Hidangan) karena keajaiban hidangan yang turun dari langit kepada Nabi Isa AS. Penamaan ini secara retoris mengingatkan umat Islam bahwa mukjizat dan anugerah ilahi telah diberikan kepada umat sebelumnya dan akan terus diberikan, tetapi kepatuhan dan pemenuhan perjanjianlah yang menjadi ujian sejati. Nama surah ini berfungsi sebagai pengingat akan kemampuan mutlak Allah untuk memberikan rezeki dan hukuman.

12. Implikasi Akhlak dari Hukum Al-Maidah

Hukum-hukum yang terkandung dalam Surah Al-Maidah tidak hanya mengatur tindakan lahiriah, tetapi juga membersihkan batin dan moral.

12.1. Memerangi Kemunafikan (Nifaq)

Surah ini berulang kali memperingatkan tentang bahaya kemunafikan, terutama dalam konteks peradilan dan perjanjian. Orang munafik adalah mereka yang secara lahiriah menyatakan iman tetapi batiniahnya cenderung bersekutu dengan musuh. Ayat 52 dan selanjutnya menggambarkan bagaimana orang-orang munafik berusaha mencari perlindungan dan loyalitas dari Yahudi dan Nasrani karena takut masa depan Islam tidak pasti. Peringatan ini menuntut integritas moral yang total dalam diri setiap Muslim.

12.2. Etika Sumpah dan Nazar

Kewajiban memenuhi sumpah (Ayat 89) mengajarkan pentingnya menghargai kata-kata dan komitmen. Dalam budaya Arab, sumpah memiliki bobot sosial yang besar. Islam menegaskan bobot spiritualnya. Kaffarah (penebusan) yang diberikan menunjukkan bahwa meskipun kesalahan terjadi, ada jalan untuk perbaikan melalui tindakan amal (memberi makan/pakaian) atau ibadah (puasa), yang menekankan kasih sayang dan tanggung jawab sosial.

13. Penutup Hukum Surah Al-Maidah: Kesempurnaan Akhir

Ayat 3, yang menyatakan kesempurnaan agama, adalah kunci untuk memahami seluruh Surah Al-Maidah. Karena ayat ini turun di penghujung wahyu, setiap hukum yang dikandung oleh 120 ayat Surah Al-Maidah dipandang oleh para ulama sebagai hukum yang tidak akan pernah di-mansukh (dibatalkan) oleh wahyu lain. Ia adalah kata akhir dari legislasi Ilahi.

Surah ini mendorong umat Islam untuk hidup dalam kejujuran total (sidq), keadilan mutlak ('adl), dan kepatuhan yang konsisten (istiqamah). Al-Maidah mengajarkan bahwa keimanan sejati tercermin dalam cara kita memenuhi janji, cara kita menyembelih makanan, cara kita bersuci, cara kita memperlakukan orang asing, dan cara kita menegakkan kebenaran di ruang sidang, bahkan jika kebenaran itu pahit.

Dengan jumlah 120 ayat, Surah Al-Maidah merupakan fondasi syariat yang kokoh, menuntun umat dari sekadar kepercayaan menuju peradaban yang berlandaskan hukum dan etika Ilahi.

🏠 Kembali ke Homepage