Surat Al-Ma'idah (Hidangan)

Bacaan Lengkap dalam Teks Arab, Transliterasi Latin, Terjemahan Indonesia, dan Pembahasan Mendalam.

Mengenal Surat Al-Ma'idah

Surat Al-Ma'idah (الْمَائِدَة) adalah surat ke-5 dalam Al-Qur'an. Namanya berarti "Hidangan" atau "Perjamuan", yang diambil dari kisah para pengikut Nabi Isa 'alaihissalam yang meminta hidangan diturunkan dari langit, sebagaimana diceritakan pada ayat 112 hingga 115. Surat ini tergolong Madaniyyah, yaitu surat yang diturunkan setelah hijrahnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah. Terdiri dari 120 ayat, Al-Ma'idah merupakan salah satu surat yang paling akhir diturunkan, sehingga banyak mengandung hukum-hukum syariat yang bersifat final dan menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya.

Kandungan utama surat ini sangat kaya dan beragam, mencakup berbagai aspek kehidupan seorang Muslim. Di dalamnya dibahas secara rinci mengenai hukum-hukum halal dan haram, terutama terkait makanan. Selain itu, Al-Ma'idah juga mengatur tentang cara bersuci (wudhu dan tayamum), hukum qisas, hudud (hukuman bagi pencuri), serta kaidah-kaidah dalam bermuamalah seperti pentingnya memenuhi janji dan akad. Surat ini juga banyak mengisahkan tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), menyoroti perjanjian mereka dengan Allah, pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan, serta mengajak mereka untuk kembali kepada ajaran tauhid yang murni. Di tengah pembahasan hukum yang tegas, Al-Ma'idah senantiasa menekankan pentingnya keadilan, kesaksian yang lurus, dan larangan melampaui batas. Kehadiran bacaan Al Maidah latin menjadi jembatan penting bagi umat Islam yang sedang dalam proses belajar membaca Al-Qur'an, memungkinkan mereka untuk melafalkan ayat-ayat suci sambil terus memperlancar bacaan Arabnya.

Bacaan Surat Al-Ma'idah: Arab, Latin, dan Terjemahan

Ayat 1

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ

Yā ayyuhal-lażīna āmanū aufū bil-‘uqūd(i), uḥillat lakum bahīmatul-an‘āmi illā mā yutlā ‘alaikum gaira muḥilliṣ-ṣaidi wa antum ḥurum(un), innallāha yaḥkumu mā yurīd(u).

Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.

Ayat 2

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَاٰۤ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Yā ayyuhal-lażīna āmanū lā tuḥillū sya‘ā'irallāhi wa lasy-syahral-ḥarāma wa lal-hadya wa lal-qalā'ida wa lā āmmīnal-baital-ḥarāma yabtagūna faḍlam mir rabbihim wa riḍwānā(n), wa iżā ḥalaltum faṣṭādū, wa lā yajrimannakum syana'ānu qaumin an ṣaddūkum ‘anil-masjidil-ḥarāmi an ta‘tadū, wa ta‘āwanū ‘alal-birri wat-taqwā, wa lā ta‘āwanū ‘alal-iṡmi wal-‘udwān(i), wattaqullāh(a), innallāha syadīdul-‘iqāb(i).

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar (kesucian) Allah, jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qalā’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula mengganggu) orang-orang yang mengunjungi Baitulharam karena mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Apabila kamu telah menyelesaikan ihram, berburulah (jika mau). Janganlah sekali-kali kebencian(-mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.

Ayat 3

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Ḥurrimat ‘alaikumul-maitatu wad-damu wa laḥmul-khinzīri wa mā uhilla ligairillāhi bihī wal-munkhaniqatu wal-mauqūżatu wal-mutaraddiyatu wan-naṭīḥatu wa mā akalas-sabu‘u illā mā żakkaitum, wa mā żubiḥa ‘alan-nuṣubi wa an tastaqsimū bil-azlām(i), żālikum fisq(un), al-yauma ya'isal-lażīna kafarū min dīnikum falā takhsyauhum wakhsyaun(i), al-yauma akmaltu lakum dīnakum wa atmamtu ‘alaikum ni‘matī wa raḍītu lakumul-islāma dīnā(n), fa maniḍṭurra fī makhmaṣatin gaira mutajānifil li'iṡm(in), fa innallāha gafūrur raḥīm(un).

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlām (anak panah, karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Ayat 4

يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَآ اُحِلَّ لَهُمْۗ قُلْ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَلِّمُوْنَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّٰهُ فَكُلُوْا مِمَّآ اَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهِۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

Yas'alūnaka māżā uḥilla lahum, qul uḥilla lakumuṭ-ṭayyibāt(u), wa mā ‘allamtum minal-jawāriḥi mukallibīna tu‘allimūnahunna mimmā ‘allamakumullāh(u), fa kulū mimmā amsakna ‘alaikum ważkurusmallāhi ‘alaih(i), wattaqullāh(a), innallāha sarī‘ul-ḥisāb(i).

Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Yang dihalalkan bagimu adalah (makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah Allah ajarkan kepadamu. Maka, makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, sebutlah nama Allah (waktu melepasnya), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”

Ayat 5

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْۖ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْۖ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗۖ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Al-yauma uḥilla lakumuṭ-ṭayyibāt(u), wa ṭa‘āmul-lażīna ūtul-kitāba ḥillul lakum, wa ṭa‘āmukum ḥillul lahum, wal-muḥṣanātu minal-mu'mināti wal-muḥṣanātu minal-lażīna ūtul-kitāba min qablikum iżā ātaitumūhunna ujūrahunna muḥṣinīna gaira musāfiḥīna wa lā muttakhiżī akhdān(in), wa may yakfur bil-īmāni fa qad ḥabiṭa ‘amaluhū, wa huwa fil-ākhirati minal-khāsirīn(a).

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan (muhsanah) di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan (muhsanah) di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu, apabila kamu membayar mahar mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan perempuan piaraan. Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.

Ayat 6

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُۗ مَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Yā ayyuhal-lażīna āmanū iżā qumtum ilaṣ-ṣalāti fagsilū wujūhakum wa aidiyakum ilal-marāfiqi wamsaḥū biru'ūsikum wa arjulakum ilal-ka‘bain(i), wa in kuntum junuban faṭṭahharū, wa in kuntum marḍā au ‘alā safarin au jā'a aḥadum minkum minal-gā'iṭi au lāmastumun-nisā'a falam tajidū mā'an fa tayammamū ṣa‘īdan ṭayyiban famsaḥū biwujūhikum wa aidīkum minh(u), mā yurīdullāhu liyaj‘ala ‘alaikum min ḥarajiw wa lākiy yurīdu liyuṭahhirakum wa liyutimma ni‘matahū ‘alaikum la‘allakum tasykurūn(a).

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan salat, basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, sapulah kepalamu, dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.

Ayat 32

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ

Min ajli żālika katabnā ‘alā banī isrā'īla annahū man qatala nafsam bigairi nafsin au fasādin fil-arḍi fa ka'annamā qatalan-nāsa jamī‘ā(n), wa man aḥyāhā fa ka'annamā aḥyan-nāsa jamī‘ā(n), wa laqad jā'athum rusulunā bil-bayyināti ṡumma inna kaṡīram minhum ba‘da żālika fil-arḍi lamusrifūn(a).

Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah membunuh orang lain atau karena telah berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Sebaliknya, siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sungguh, rasul-rasul Kami benar-benar telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudian, sesungguhnya banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.

Ayat 48

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ

Wa anzalnā ilaikal-kitāba bil-ḥaqqi muṣaddiqal limā baina yadaihi minal-kitābi wa muhaiminan ‘alaihi faḥkum bainahum bimā anzalallāhu wa lā tattabi‘ ahwā'ahum ‘ammā jā'aka minal-ḥaqq(i), likullin ja‘alnā minkum syir‘ataw wa minhājā(n), wa lau syā'allāhu laja‘alakum ummataw wāḥidataw wa lākil liyabluwakum fī mā ātākum fastabiqul-khairāt(i), ilallāhi marji‘ukum jamī‘an fa yunabbi'ukum bimā kuntum fīhi takhtalifūn(a).

Kami telah menurunkan kitab suci (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan (membawa) kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya dan sebagai penjaganya (acuan kebenaran terhadapnya). Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah dianugerahkan-Nya kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan.

Ayat 90

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Yā ayyuhal-lażīna āmanū innamal-khamru wal-maisiru wal-anṣābu wal-azlāmu rijsum min ‘amalisy-syaiṭāni fajtanibūhu la‘allakum tufliḥūn(a).

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.

Tafsir dan Kandungan Penting Surat Al-Ma'idah

Surat Al-Ma'idah, sebagai salah satu surat Madaniyyah yang turun di akhir periode kenabian, memuat banyak sekali hukum dan aturan final yang menjadi pilar masyarakat Islam. Memahami kandungan ayat-ayatnya secara mendalam akan memberikan panduan komprehensif dalam menjalani kehidupan. Berikut adalah pembahasan beberapa tema kunci yang terkandung dalam surat mulia ini.

Tema 1: Fondasi Muamalah - Pentingnya Memenuhi Janji dan Akad (Ayat 1)

Surat ini dibuka dengan perintah yang fundamental: "Yā ayyuhal-lażīna āmanū aufū bil-‘uqūd" (Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji!). Kata 'uqūd' (bentuk jamak dari 'aqd') memiliki makna yang sangat luas. Ia tidak hanya berarti kontrak atau perjanjian bisnis antar manusia, tetapi mencakup segala bentuk ikatan dan komitmen.

Para ulama tafsir membaginya ke dalam tiga kategori utama:

  1. Janji kepada Allah SWT: Ini adalah akad yang paling agung, yaitu ikrar keimanan dan ketundukan seorang hamba kepada Penciptanya. Syahadat adalah bentuk akad primordial yang menegaskan bahwa kita mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Konsekuensi dari akad ini adalah kewajiban untuk menjalankan segala perintah-Nya (shalat, puasa, zakat) dan menjauhi segala larangan-Nya. Melanggar perintah-Nya berarti mengingkari akad ini.
  2. Janji kepada Sesama Manusia: Ini mencakup segala bentuk interaksi sosial, ekonomi, dan politik. Mulai dari akad nikah, perjanjian jual-beli, utang-piutang, kontrak kerja, hingga perjanjian antar negara. Islam menekankan bahwa setiap janji, sekecil apapun, harus ditepati. Menepati janji adalah cermin dari keimanan dan integritas seseorang. Sebuah masyarakat yang anggotanya memegang teguh janji akan menjadi masyarakat yang stabil, adil, dan penuh kepercayaan.
  3. Janji kepada Diri Sendiri: Termasuk di dalamnya adalah nazar atau komitmen yang dibuat seseorang untuk melakukan suatu kebaikan. Jika seseorang bernazar untuk melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariat, ia wajib memenuhinya sebagai bentuk disiplin diri dan komitmen kepada Allah.

Ayat ini diletakkan di awal surat untuk menegaskan bahwa seluruh hukum yang akan dijabarkan setelahnya—baik tentang makanan, ibadah, maupun hukum pidana—berdiri di atas fondasi integritas dan amanah. Tanpa prinsip menepati janji, aturan-aturan tersebut akan kehilangan ruh dan maknanya.

Tema 2: Kesempurnaan Agama dan Batasan Halal-Haram (Ayat 3)

Ayat ke-3 dari Surat Al-Ma'idah adalah salah satu ayat yang paling monumental dalam Al-Qur'an. Di dalamnya terkandung dua pesan besar: rincian makanan yang diharamkan dan deklarasi kesempurnaan agama Islam.

Pertama, Allah merinci secara tegas apa saja yang haram untuk dikonsumsi: bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah, serta hewan yang mati karena tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, atau diterkam binatang buas. Hikmah di balik pengharaman ini sangatlah dalam, mencakup aspek kesehatan, kebersihan, dan spiritual. Mengonsumsi bangkai atau darah, misalnya, berisiko menularkan berbagai penyakit. Pengharaman daging babi memiliki dimensi kesehatan dan kepatuhan. Sementara larangan menyembelih atas nama selain Allah adalah untuk menjaga kemurnian tauhid dan membersihkan praktik ibadah dari segala bentuk syirik.

Pesan kedua, yang turun saat Nabi Muhammad ﷺ melaksanakan Haji Wada' (haji perpisahan), adalah pernyataan agung: "Al-yauma akmaltu lakum dīnakum wa atmamtu ‘alaikum ni‘matī wa raḍītu lakumul-islāma dīnā" (Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu). Ayat ini merupakan penegasan bahwa risalah Islam telah paripurna. Tidak akan ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ, dan tidak akan ada lagi syariat baru yang diturunkan. Syariat Islam yang tertuang dalam Al-Qur'an dan Sunnah sudah lengkap dan cukup untuk menjadi panduan hidup manusia hingga akhir zaman. Ini adalah nikmat terbesar bagi umat Islam, karena mereka memiliki pedoman yang jelas, final, dan tidak akan berubah, yang menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat bagi siapa saja yang mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Ayat ini sekaligus menutup pintu bagi inovasi dalam urusan akidah dan ibadah (bid'ah), karena agama telah sempurna.

Tema 3: Syariat Thaharah sebagai Kunci Ibadah (Ayat 6)

Ayat ke-6 menjabarkan secara rinci tata cara bersuci (thaharah) yang merupakan syarat sahnya shalat, ibadah utama seorang Muslim. Ayat ini menjelaskan dua jenis bersuci: wudhu dan tayamum.

Wudhu adalah bersuci dari hadas kecil dengan menggunakan air. Allah menetapkan rukun wudhu yang wajib, yaitu: membasuh wajah, membasuh kedua tangan hingga siku, mengusap sebagian kepala, dan membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Wudhu bukan sekadar ritual pembersihan fisik. Ia memiliki makna spiritual yang mendalam, yaitu mempersiapkan diri secara lahir dan batin untuk menghadap Sang Pencipta. Setiap anggota tubuh yang dibasuh diharapkan dapat menggugurkan dosa-dosa kecil yang pernah dilakukannya.

Kemudian, ayat ini juga memberikan solusi atau keringanan (rukhsah) bagi mereka yang tidak dapat menggunakan air. Jika seseorang dalam kondisi sakit (yang akan bertambah parah jika terkena air), sedang dalam perjalanan jauh (musafir), atau tidak menemukan air, maka ia diperbolehkan melakukan tayamum. Tayamum adalah bersuci menggunakan debu yang suci, dengan cara mengusapkannya ke wajah dan kedua tangan. Adanya syariat tayamum menunjukkan betapa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan. Allah tidak ingin menyulitkan hamba-Nya, melainkan ingin memberikan jalan agar ibadah tetap dapat dilaksanakan dalam kondisi apapun. Pesan utamanya adalah Allah hendak membersihkan (liyuṭahhirakum) dan menyempurnakan nikmat-Nya agar hamba-hamba-Nya senantiasa bersyukur.

Tema 4: Keadilan Mutlak Tanpa Pandang Bulu (Ayat 8)

Prinsip keadilan adalah salah satu pilar utama dalam ajaran Islam. Dalam ayat 8, Allah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa."

Ayat ini menetapkan standar keadilan yang luar biasa tinggi. Seorang Muslim diperintahkan untuk berlaku adil tidak hanya kepada teman atau sesama Muslim, tetapi juga kepada musuh atau kaum yang dibenci. Emosi pribadi, seperti kebencian atau permusuhan, tidak boleh sedikit pun mempengaruhi objektivitas dalam bersikap dan memutuskan suatu perkara. Keadilan harus ditegakkan semata-mata karena Allah (qawwāmīna lillāh), bukan karena tendensi pribadi atau kelompok.

Menariknya, Allah mengaitkan langsung antara berlaku adil dengan ketakwaan (i'dilū, huwa aqrabu lit-taqwā). Ini menunjukkan bahwa keadilan bukanlah sekadar konsep hukum atau sosial, melainkan bagian integral dari spiritualitas dan keimanan seseorang. Seseorang tidak bisa disebut bertakwa jika ia masih berlaku zalim atau tidak adil kepada siapapun, bahkan kepada orang yang memusuhinya. Perintah ini menjadi fondasi bagi terciptanya tatanan masyarakat yang damai, di mana hak setiap individu dihormati dan hukum ditegakkan tanpa diskriminasi.

Tema 5: Menjaga Kesucian Jiwa Manusia (Ayat 32)

Setelah menceritakan kisah pembunuhan pertama di muka bumi oleh putra Nabi Adam (Qabil terhadap Habil), Allah menurunkan sebuah kaidah universal tentang nilai kehidupan manusia. Dalam ayat 32, Allah menetapkan, "...barangsiapa membunuh seseorang bukan karena (orang itu) membunuh orang lain atau karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia."

Pernyataan ini adalah deklarasi paling kuat tentang kesucian nyawa (ḥifẓun-nafs) dalam Islam. Membunuh satu jiwa yang tidak bersalah disamakan dengan membunuh seluruh umat manusia. Mengapa demikian? Karena tindakan tersebut merusak tatanan sosial, menyebarkan ketakutan, dan menunjukkan pengabaian total terhadap hak hidup yang merupakan anugerah terbesar dari Allah. Pelaku pembunuhan telah membuka pintu kejahatan yang jika tidak dihentikan, dapat menghancurkan seluruh peradaban.

Sebaliknya, menyelamatkan satu nyawa—baik dengan cara menolong korban kecelakaan, memberikan pengobatan, atau mencegah terjadinya pembunuhan—dinilai setara dengan menyelamatkan seluruh umat manusia. Tindakan ini meneguhkan kembali prinsip kasih sayang, kepedulian, dan penghormatan terhadap kehidupan. Ayat ini memberikan pesan yang jelas bahwa Islam sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia yang paling dasar, yaitu hak untuk hidup, dan mengutuk segala bentuk agresi dan pertumpahan darah tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.

Tema 6: Berlomba dalam Kebaikan sebagai Jalan Menuju Allah (Ayat 48)

Dalam konteks hubungannya dengan umat beragama lain, khususnya Ahli Kitab, Al-Qur'an dalam Surat Al-Ma'idah ayat 48 memberikan sebuah perspektif yang sangat bijaksana. Allah menyatakan bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur'an sebagai pembenar dan penjaga (muhaimin) bagi kitab-kitab suci sebelumnya. Kemudian, Allah menjelaskan bahwa setiap umat memang diberi aturan (syir'ah) dan jalan (minhaj) yang berbeda.

Perbedaan syariat ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan bagian dari kehendak dan ujian Allah. Seandainya Allah mau, tentu Dia bisa menjadikan seluruh manusia sebagai satu umat dengan satu syariat. Namun, keragaman ini dimaksudkan untuk menguji manusia (liyabluwakum fī mā ātākum), siapa di antara mereka yang paling taat dan paling baik amalnya.

Oleh karena itu, alih-alih terjebak dalam perdebatan yang tak berujung tentang perbedaan, Allah memerintahkan: "fastabiqul-khairāt" (maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan). Inilah esensi dari ajaran Islam. Fokus seorang Muslim seharusnya adalah menjadi yang terdepan dalam melakukan amal saleh, menebar manfaat bagi sesama, menegakkan keadilan, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Perselisihan dan perbedaan keyakinan akan diadili oleh Allah di hari kiamat kelak. Tugas manusia di dunia adalah membuktikan keimanannya melalui tindakan nyata yang positif dan konstruktif. Perintah untuk "berlomba-lomba dalam kebaikan" ini menjadi seruan universal untuk semua manusia agar mereka menyalurkan energi mereka pada hal-hal yang membangun peradaban dan mendatangkan keridaan Tuhan.

Tema 7: Larangan Tegas terhadap Perusak Akal dan Harta (Ayat 90)

Ayat ke-90 merupakan puncak dari proses pengharaman khamr (minuman keras) dalam Islam. Setelah tahapan sebelumnya yang hanya menyebutkan dosanya lebih besar dari manfaatnya (Al-Baqarah: 219) dan larangan shalat dalam keadaan mabuk (An-Nisa: 43), ayat ini turun dengan larangan yang tegas dan final.

Allah SWT menyebutkan empat hal secara bersamaan: al-khamr (minuman keras), al-maisir (berjudi), al-anṣāb (berkurban untuk berhala), dan al-azlām (mengundi nasib). Keempatnya disebut sebagai "rijsun min ‘amalisy-syaiṭān" (perbuatan keji termasuk perbuatan setan). Kata rijs berarti sesuatu yang kotor, najis, dan menjijikkan, baik secara fisik maupun maknawi. Menyandingkan khamr dan judi dengan praktik penyembahan berhala menunjukkan betapa besar dosa dan bahaya dari kedua perbuatan tersebut.

Mengapa dilarang? Karena khamr merusak akal, padahal akal adalah karunia terbesar yang membedakan manusia dari makhluk lain. Seseorang yang mabuk kehilangan kontrol diri, berpotensi melakukan kejahatan, menelantarkan kewajiban, dan merusak hubungan sosial. Judi (maisir) merusak harta dan tatanan ekonomi. Ia menciptakan permusuhan, kemalasan, dan angan-angan kosong untuk kaya secara instan dengan cara merugikan orang lain. Keduanya adalah pintu masuk bagi setan untuk menabur kebencian dan permusuhan di antara manusia, serta menghalangi mereka dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat (sebagaimana dijelaskan di ayat 91). Perintah untuk menjauhinya (fajtanibūhu) lebih kuat dari sekadar 'jangan lakukan', menunjukkan bahwa seorang Muslim harus menjaga jarak sejauh-jauhnya dari hal-hal tersebut dan segala sarana yang bisa mengarah kepadanya.

Pelajaran dan Kesimpulan

Surat Al-Ma'idah adalah samudra ilmu yang berisi panduan lengkap bagi umat Islam dalam membangun peradaban yang berlandaskan hukum ilahi. Dari surat ini, kita belajar bahwa inti dari keimanan adalah kepatuhan yang diwujudkan dalam pemenuhan janji, baik kepada Allah maupun sesama manusia. Kita diajarkan untuk menjaga kesucian diri melalui thaharah, mengonsumsi yang halal dan baik, serta menjauhi segala yang haram dan merusak.

Lebih dari itu, Al-Ma'idah menanamkan nilai-nilai luhur seperti keadilan tanpa kompromi, penghargaan setinggi-tingginya terhadap nyawa manusia, dan semangat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Surat ini menegaskan kesempurnaan Islam sebagai risalah penutup yang paripurna, sekaligus memberikan pedoman dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Membaca Al Maidah latin, memahami terjemahannya, dan merenungi tafsirnya adalah langkah krusial untuk menginternalisasi pesan-pesan agung ini, sehingga kita dapat menjadi Muslim yang kaffah, yang perilakunya mencerminkan keindahan dan keadilan ajaran Al-Qur'an.

🏠 Kembali ke Homepage