Jalan Menuju Kemenangan Sejati: Tafsir Mendalam Surah Al Maidah Ayat 90 & 91

Simbol Larangan Khamr, Judi, dan Syirik Ilustrasi simbolik yang menggambarkan empat larangan utama dalam Al Maidah 90: khamr, judi, berhala, dan ramalan, dikelilingi oleh lingkaran pelarangan. STOP

Surah Al Maidah, ayat 90 dan 91, merupakan salah satu puncak legislasi (tasyri') Islam yang bersifat fundamental dan transformatif. Ayat-ayat ini tidak hanya menetapkan larangan terhadap empat hal yang merusak secara spiritual dan sosial—yaitu khamr, maisir, anshab, dan azlam—tetapi juga memberikan landasan teologis yang kokoh mengapa hal-hal tersebut harus dijauhi. Larangan ini menandai fase akhir dari proses gradual pengharaman yang dirancang untuk membersihkan masyarakat Muslim dari sisa-sisa kebiasaan jahiliyah, menuntun mereka menuju kemurnian tauhid dan perilaku yang harmonis. Pemahaman yang komprehensif terhadap dua ayat ini mutlak diperlukan bagi setiap Muslim yang mendambakan al-falah (kesuksesan sejati) di dunia dan akhirat.

Ayat ini berfungsi sebagai batas tegas (hudud) antara perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT dan perbuatan yang termasuk 'amalish shaytan (perbuatan setan). Larangan ini bukan sekadar pembatasan, melainkan penjagaan atas lima prinsip dasar Syariah (Maqasid Syariah), terutama perlindungan terhadap akal (Hifzhul 'Aql) dan perlindungan terhadap harta (Hifzhul Mal).

Teks dan Terjemahan Ayat-Ayat Kunci

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (90)

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu mendapat keberuntungan (al-falah). (QS. Al Maidah: 90)

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ (91)

Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka, maukah kamu berhenti? (QS. Al Maidah: 91)

Asbabun Nuzul (Konteks Historis Penurunan Ayat)

Proses pengharaman khamr adalah contoh sempurna dari kebijaksanaan legislasi Syariah yang bersifat bertahap (tadarruj). Sebelum ayat 90 Al Maidah turun, khamr telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Arab pra-Islam. Untuk mencabut akar kebiasaan yang sudah mendarah daging, Allah SWT menurunkan larangan secara bertahap:

  1. Fase I (Peringatan Awal): Ayat An Nahl: 67, yang menyebutkan khamr bersamaan dengan rezeki yang baik, namun menekankan bahwa khamr dapat menyebabkan kerugian.
  2. Fase II (Pembatasan Waktu Shalat): Ayat An Nisa': 43, yang melarang shalat dalam keadaan mabuk, menunjukkan bahwa shalat dan mabuk adalah dua hal yang tidak bisa disatukan.
  3. Fase III (Larangan Mutlak): Al Maidah 90-91, yang datang setelahnya, menetapkan larangan secara total dan permanen, menyebutnya sebagai perbuatan setan yang wajib dijauhi secara total (fajtanibuh).

Ayat ini diturunkan di Madinah, pada periode Islam telah kuat dan komunitas Muslim siap menerima beban hukum yang lebih berat. Hadits yang masyhur menceritakan bagaimana setelah ayat ini turun, sahabat segera menumpahkan semua khamr di jalanan Madinah, hingga lembah-lembah dipenuhi oleh cairan khamr, menunjukkan kepatuhan total mereka terhadap perintah Allah SWT.

Analisis Mendalam Ayat 90: Empat Pilar Larangan Universal

Ayat 90 menggunakan gaya bahasa yang sangat kuat: "Innama" (Sesungguhnya, hanya), yang berfungsi sebagai pembatasan dan penegasan. Ini menegaskan bahwa empat hal yang disebutkan adalah eksklusif dan mutlak sebagai perbuatan yang dilarang karena sifatnya yang keji dan berasal dari setan.

1. Khamr (Minuman Keras dan Zat Intoksikan Lainnya)

Secara etimologi, khamr (الْخَمْرُ) berasal dari kata khamara, yang berarti menutupi atau menyelimuti. Khamr dinamakan demikian karena ia menutupi atau menyelimuti akal. Definisi fiqh yang paling luas dan diterima, berdasarkan hadits Rasulullah SAW, adalah: "Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram."

Perluasan Konsep Khamr

Para fuqaha (ahli fiqh) dari berbagai mazhab sepakat bahwa larangan ini tidak terbatas pada minuman yang dibuat dari anggur saja, tetapi meluas kepada segala sesuatu yang memabukkan (muskir), terlepas dari bahan dasarnya (gandum, kurma, madu, atau zat kimia). Batasan hukumnya sangat jelas: baik dalam jumlah sedikit atau banyak, jika suatu zat dapat memabukkan, maka konsumsinya haram secara total. Ini adalah perlindungan maksimal terhadap akal sehat, yang merupakan alat utama manusia untuk mengenal Allah dan membedakan yang haq dan batil.

Imam Asy-Syafi'i, Imam Malik, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa pengharaman ini bersifat universal mencakup semua zat muskir. Bahkan, jika seseorang minum khamr hanya sedikit, meskipun belum mabuk, ia telah jatuh ke dalam dosa besar karena melanggar teks Alquran yang memerintahkan untuk menjauhinya secara total (fajtanibuh). Larangan ini mencakup juga produksi, distribusi, penjualan, dan pembeliannya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang mengutuk sepuluh pihak terkait khamr, dari pemeras anggur hingga pembawanya.

Khamr dan Analogi Narkotika

Di era modern, larangan khamr diperluas secara analogis (qiyas) untuk mencakup semua jenis narkotika dan obat-obatan terlarang yang merusak akal dan kesadaran, karena efeknya yang jauh lebih destruktif daripada khamr tradisional. Dasar hukumnya tetap pada illah (sebab hukum): merusak akal (hifzhul 'aql) dan menimbulkan kekejian.

2. Maisir (Perjudian)

Maisir (وَالْمَيْسِرُ) secara harfiah berarti sesuatu yang mudah diperoleh tanpa usaha keras. Dalam terminologi Syariah, maisir adalah setiap transaksi di mana keuntungan diperoleh dari hasil spekulasi atau keberuntungan murni, bukan dari hasil kerja, produksi, atau risiko bisnis yang terukur, dan di mana pihak yang kalah pasti kehilangan hartanya tanpa imbalan riil.

Penyebab Diharamkan Maisir

Perjudian dilarang karena dua alasan utama yang disebutkan dalam ayat 91:

  1. Menghancurkan Harta dan Ekonomi: Maisir melatih manusia untuk mendapatkan kekayaan secara instan tanpa nilai tambah, merusak etos kerja, dan sering kali menyebabkan kemiskinan dan keruntuhan rumah tangga.
  2. Menciptakan Permusuhan dan Kebencian: Pihak yang kalah akan menyimpan dendam atau sakit hati, sementara pihak yang menang merasa sombong, yang pada akhirnya merusak kohesi sosial dan menciptakan sengketa (sebagaimana dijelaskan dalam ayat 91).

Maisir dalam Konteks Kontemporer

Konsep maisir kini mencakup berbagai bentuk modern, seperti lotre, taruhan olahraga, sebagian besar permainan kasino, dan spekulasi finansial yang menyerupai taruhan (bukan investasi riil). Semua bentuk di mana terjadi perpindahan harta dari satu pihak ke pihak lain berdasarkan hasil yang tidak pasti dan tanpa adanya nilai tukar yang sah (gharar yang berlebihan) dianggap maisir dan haram secara mutlak.

3. Al-Anshab (Persembahan Berhala/Batu)

Al-Anshab (وَالْأَنصَابُ) adalah jamak dari nushb, yang berarti batu-batu yang dipancangkan di sekitar Ka'bah pada masa jahiliyah. Batu-batu ini dijadikan tempat untuk menyembelih hewan kurban sebagai persembahan kepada berhala atau tuhan-tuhan palsu mereka, bukan kepada Allah SWT. Walaupun penyembelihan ini tidak memakan waktu yang lama dan mungkin tidak disaksikan oleh orang banyak, praktik itu sendiri merupakan inti dari kemusyrikan (syirik).

Larangan terhadap Anshab adalah penegasan kembali prinsip tauhid (keesaan Allah). Segala bentuk peribadatan, kurban, atau ritual yang ditujukan kepada selain Allah, atau yang menggunakan simbol-simbol yang dapat mengarah pada penyembahan berhala, adalah terlarang. Ayat ini menghapus praktik-praktik jahiliyah yang merusak kemurnian akidah.

4. Al-Azlam (Mengundi Nasib dengan Anak Panah)

Al-Azlam (وَالْأَزْلَامُ) adalah jamak dari zalam, yaitu anak panah tanpa bulu yang digunakan oleh masyarakat jahiliyah untuk meramal nasib. Biasanya terdapat tiga jenis anak panah: satu bertuliskan ‘Perintahkan aku (lakukan)’, yang kedua bertuliskan ‘Larangan bagiku (jangan lakukan)’, dan yang ketiga kosong. Mereka mengundi panah-panah ini untuk memutuskan apakah mereka akan melakukan perjalanan, menikah, atau melakukan bisnis tertentu.

Larangan terhadap Azlam adalah larangan terhadap setiap bentuk ramalan, peramalan, astrologi (kecuali astronomi ilmiah), dan praktik-praktik takhayul yang mencari petunjuk dari sumber selain Allah SWT. Ini bertentangan dengan konsep tawakkal (penyerahan diri) dan ikhtiar (usaha), karena menggantungkan keputusan hidup pada kebetulan atau kekuatan gaib yang tidak berdasar adalah melemahkan iman dan akal.

Hukum Teologis: Rijsun min 'Amalish Shaytan

Ayat 90 mengklasifikasikan keempat hal tersebut sebagai rijsun min 'amalish shaytan (perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan). Pemilihan kata ini sangat krusial:

Setelah menyatakan status hukum dan sumbernya, Allah SWT memberikan perintah mutlak: "Fajtanibuh" (فَاجْتَنِبُوهُ), yang berarti "Maka jauhilah ia (secara total)." Perintah ini lebih kuat daripada sekadar 'jangan lakukan' (laa taqrabu). Ia menuntut umat Islam untuk menciptakan jarak yang aman antara diri mereka dan perbuatan haram tersebut, termasuk lingkungan, sarana, dan segala hal yang dapat mengarah padanya (sadd adz-dzara'i).

Analisis Mendalam Ayat 91: Tujuan dan Dampak Larangan

Ayat 91 menjelaskan hikmah (kebijaksanaan) di balik larangan tersebut, menanggapi potensi pertanyaan dari para Sahabat mengenai mengapa larangan ini begitu ketat. Hikmah ini berfokus pada dua dampak destruktif utama:

1. Menimbulkan Permusuhan dan Kebencian (Al-'Adawah wal Baghdha')

Setan ingin "an yuqi'a bainakumul 'adawata wal baghdhaa'a fil khamri wal maisir" (menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamr dan judi). Dampak sosial-destruktif ini sangat terlihat jelas:

Dalam konteks Khamr, minuman keras menyebabkan hilangnya akal sehat, yang seringkali berujung pada pertengkaran, perselisihan, kekerasan domestik, dan bahkan pembunuhan. Orang yang mabuk tidak dapat mengendalikan emosinya dan tindakannya. Dalam konteks Maisir (Judi), seseorang yang kehilangan hartanya akan membenci pihak yang menang. Hutang judi seringkali memicu pertikaian hebat, kebangkrutan, perceraian, dan konflik berkepanjangan antar keluarga atau suku. Dengan melarang kedua hal ini, Islam memelihara keharmonisan sosial dan menguatkan ikatan persaudaraan (ukhuwah).

2. Menghalangi dari Mengingat Allah dan Shalat

Tujuan utama setan adalah "wa yashuddakum 'an dzikrillaahi wa 'anish shalaati" (dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat). Ini adalah dampak spiritual-destruktif yang paling parah.

Shalat adalah tiang agama dan koneksi langsung antara hamba dan Penciptanya. Minuman keras dan judi sama-sama mengalihkan fokus dan waktu seseorang dari ibadah. Peminum khamr kehilangan kesadaran dan ketaatan. Penjudi menjadi terobsesi dengan permainan, menghabiskan waktu berjam-jam, menunda atau meninggalkan shalat, dan hati mereka dipenuhi dengan ketamakan atau penyesalan atas kerugian materi, sehingga dzikirullah (mengingat Allah) terlupakan.

Panggilan Ketaatan: Fahal Antum Muntahun?

Ayat 91 diakhiri dengan pertanyaan retoris yang tegas: "Fahal antum muntahun?" (فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ), yang berarti "Maka, maukah kamu berhenti?" atau "Apakah kamu akan menghentikan (perbuatan itu)?".

Dalam konteks legislasi Islam, pertanyaan retoris ini berfungsi sebagai penekanan perintah yang paling kuat. Setelah semua penjelasan mengenai kekejian (rijs), sumbernya (setan), dan dampaknya (permusuhan dan terhalang dari ibadah), umat Islam didorong untuk memberikan respons ketaatan yang mutlak, segera, dan tanpa ragu. Jawaban yang diharapkan, dan yang diberikan oleh para Sahabat pada waktu itu, adalah ketaatan total.

Implikasi Fiqhiyah: Penerapan Hukum Larangan

Larangan dalam Al Maidah 90-91 melahirkan sejumlah hukum fiqhiyah yang sangat ketat, mencerminkan perlindungan Syariah terhadap akal, harta, dan agama.

A. Hukum Pidana (Hadd) untuk Khamr

Karena khamr diklasifikasikan sebagai dosa besar yang merusak akal, konsumsinya dikenakan hukuman Hadd (hukuman yang ditetapkan secara spesifik oleh Syariah). Meskipun Alquran tidak menyebutkan hukuman cambuk secara eksplisit, ijma' (konsensus) ulama dan praktik Rasulullah SAW serta Khulafaur Rasyidin menetapkan hukuman cambuk. Awalnya, hukuman cambuk untuk peminum khamr adalah 40 kali, namun Umar bin Khattab RA, setelah berkonsultasi dengan para Sahabat, menetapkannya menjadi 80 kali cambuk, sebagai tindakan pencegahan yang lebih efektif (ta'zir).

Larangan yang Meluas

Berdasarkan Hadits, larangan khamr mencakup seluruh rantai produksinya. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melaknat sepuluh golongan terkait khamr: pembuatnya, yang meminta dibuatkan, peminumnya, pembawanya, yang meminta dibawakan, penuangnya, penjualnya, pemakan hasil penjualannya, pembelinya, dan yang meminta dibelikan. Ini menunjukkan bahwa segala bentuk partisipasi dalam industri zat memabukkan adalah haram.

B. Hukum Perdata dan Sosial Maisir

Larangan maisir memiliki dampak besar pada hukum kontrak (muamalat):

  1. Pembatalan Kontrak: Semua kontrak perjudian atau transaksi yang didasarkan pada spekulasi murni (tanpa adanya nilai tukar yang sah) dinyatakan batal demi hukum (fasid). Harta yang diperoleh dari judi dianggap haram (mal haram).
  2. Konsep Gharar: Maisir sangat terkait dengan gharar (ketidakpastian yang berlebihan). Meskipun tidak semua gharar dilarang, maisir melibatkan gharar yang tinggi di mana keuntungan didapatkan tanpa usaha yang jelas, yang dilarang Syariah karena merugikan salah satu pihak secara mutlak.
  3. Pengembalian Harta: Jika seseorang memenangkan uang dari judi, uang tersebut tidak sah untuk dimilikinya. Menurut banyak mazhab, uang tersebut harus dikembalikan kepada pemilik asalnya. Jika sulit dilacak, uang tersebut harus didistribusikan untuk kepentingan umum (kemaslahatan umat), tidak boleh dinikmati oleh pemenang.

Pengecualian Fiqhiyah: Perlombaan Diizinkan

Syariah mengizinkan perlombaan (seperti pacuan kuda, panahan, atau lomba pengetahuan) di mana hadiah (iwadh) diberikan. Namun, untuk menghindari unsur maisir, hadiah harus berasal dari pihak ketiga (pemerintah atau sponsor), atau jika berasal dari peserta, maka hanya pihak yang menang yang mendapatkan hadiah, sementara pihak yang kalah tidak kehilangan uang mereka (kecuali biaya pendaftaran yang wajar). Jika semua peserta menyumbangkan uang dan hanya satu yang mengambil seluruh uang (all-or-nothing), maka itu menjadi maisir.

Maqasid Syariah: Tujuan Agung di Balik Larangan

Ayat 90 dan 91 merupakan fondasi hukum yang secara langsung melindungi tiga dari lima tujuan utama Syariah (Dharuriyyat):

1. Hifzhul 'Aql (Perlindungan Akal)

Ini adalah alasan utama larangan khamr. Akal adalah karunia terbesar Allah yang membedakan manusia dari hewan, dan merupakan prasyarat untuk menerima beban taklif (kewajiban agama). Ketika akal hilang atau terganggu oleh intoksikan, kemampuan seseorang untuk beribadah, mengambil keputusan moral, dan menjalankan tanggung jawab sosialnya akan lenyap. Larangan khamr bersifat mutlak untuk menjaga akal manusia agar selalu berfungsi secara optimal dan rasional.

2. Hifzhul Mal (Perlindungan Harta)

Ini adalah alasan utama larangan maisir. Maisir menghancurkan harta kekayaan tanpa sebab yang sah, merusak stabilitas ekonomi individu dan komunitas. Islam menghargai harta yang diperoleh melalui cara yang jujur, produktif, dan adil. Perjudian dianggap sebagai pemborosan dan pembelanjaan harta pada jalan yang batil (membakar uang secara sia-sia).

3. Hifzhud Din (Perlindungan Agama)

Ini adalah alasan utama larangan anshab dan azlam, serta konsekuensi dari khamr dan maisir (terhalang dari mengingat Allah dan shalat). Anshab dan azlam adalah manifestasi dari syirik (menyekutukan Allah) dan takhayul, yang secara fundamental merusak pondasi agama (tauhid). Sementara khamr dan maisir, melalui perusakan akal dan fokus, secara tidak langsung melemahkan komitmen seseorang terhadap ibadah dan ketaatan.

Peran 'Al-Falah' (Keberuntungan Sejati) sebagai Puncak Tujuan

Ayat 90 ditutup dengan janji: "la'allakum tuflihun" (agar kamu mendapat keberuntungan). Kata al-falah (الفلاح) dalam bahasa Arab memiliki makna yang sangat kaya, melampaui sekadar 'sukses' di dunia. Falah adalah keberuntungan yang komprehensif, mencakup kebahagiaan di dunia dan keselamatan abadi di akhirat.

Hubungan antara menghindari empat larangan ini dan mencapai falah sangatlah eksplisit:

  1. Jalan Falah adalah Jalan Pemurnian: Falah hanya dapat dicapai melalui pemurnian diri (tazkiyatun nafs) dari kekejian (rijs) yang berasal dari setan.
  2. Falah Membutuhkan Akal Sehat: Tanpa akal yang jernih (Hifzhul 'Aql) yang bebas dari khamr, manusia tidak dapat memahami perintah Allah dan menempuh jalan yang benar.
  3. Falah Membutuhkan Ketertiban Sosial: Tanpa menghindari maisir, masyarakat akan hancur oleh permusuhan dan kebencian, sehingga sulit mencapai kedamaian yang merupakan prasyarat ibadah.

Oleh karena itu, perintah untuk menjauhi khamr, maisir, anshab, dan azlam bukanlah sekadar daftar 'yang boleh' dan 'yang tidak boleh', melainkan sebuah peta jalan teologis dan sosial. Kepatuhan terhadap larangan-larangan ini adalah prasyarat untuk memasuki kategori 'orang-orang yang beruntung' yang sering disebut dalam Alquran (seperti dalam permulaan Surah Al Mu’minun).

Perbandingan dan Penekanan Ulang Konsep Rijs

Penting untuk memahami kedalaman istilah rijs. Dalam Alquran, istilah ini digunakan untuk hal-hal yang najis secara spiritual dan moral. Misalnya, ia digunakan untuk menggambarkan patung-patung (Al Hajj: 30) dan hipokrisi (At Tawbah: 125). Dengan menempatkan khamr dan maisir dalam kategori yang sama dengan syirik (anshob), Alquran menaikkan status larangan ini ke tingkat yang sangat serius.

Dalam pandangan fiqih Mazhab Syafi'i dan lainnya, khamr dianggap najis zat (najis 'aini) dan bukan hanya najis hukmi (najis moral). Ini menguatkan perintah fajtanibuh. Jika sesuatu adalah najis zat, maka segala sesuatu yang bersentuhan dengannya menjadi najis, yang harus dicuci. Meskipun terdapat perbedaan pandangan tentang najis zat ini, penekanan moral bahwa khamr dan judi adalah kekejian adalah universal. Jika sesuatu adalah rijs, maka ia wajib ditinggalkan seutuhnya, tanpa pengecualian.

Hikmah Larangan yang Melebihi Sekadar Dosa Pribadi

Ayat 91 membuktikan bahwa larangan ini bukan hanya demi keselamatan individu, tetapi juga demi keselamatan kolektif (maslahah ammah). Seringkali, dosa dipandang sebagai masalah antara individu dan Tuhannya. Namun, khamr dan maisir secara eksplisit digambarkan sebagai alat setan untuk merusak hubungan horizontal (antar manusia) dan hubungan vertikal (dengan Allah).

Ketika setan berhasil menanamkan permusuhan melalui judi, ia merusak pondasi ukhuwah Islamiyah. Ketika ia berhasil menghalangi shalat melalui mabuk, ia merusak tiang agama komunitas. Oleh karena itu, larangan ini bersifat publik dan memiliki konsekuensi hukum yang tegas (hadd dan ta'zir) untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan dari dampak kekejian ini.

Penerapan Azlam Kontemporer: Menjauhi Klenik dan Ramalan

Meskipun anak panah (azlam) mungkin tidak lagi digunakan di zaman modern, larangan terhadap Azlam meluas ke segala bentuk praktik yang bertujuan mengetahui masa depan atau mencari petunjuk gaib tanpa dasar wahyu atau ilmu pengetahuan yang sah. Ini mencakup:

Larangan ini melindungi akidah dari kontaminasi syirik kecil (seperti percaya pada jimat) dan syirik besar (seperti percaya penuh pada peramal). Keputusan Muslim harus didasarkan pada ilmu, akal sehat, musyawarah, dan yang terpenting, istikharah (memohon petunjuk kepada Allah).

Kesempurnaan perintah dalam Al Maidah 90-91 terletak pada kesinambungan logisnya: perbuatan haram (khawmr, maisir, anshab, azlam) adalah rijs, rijs berasal dari setan, setan bertujuan merusak ibadah dan persatuan, maka jauhilah, dan dengan menjauhinya, niscaya kamu akan beruntung (tuflihun).

Penghayatan terhadap ayat-ayat ini harus mendorong umat Islam untuk tidak hanya menjauhi konsumsi khamr dan judi, tetapi juga membersihkan diri dari lingkungan, institusi, dan bahkan pemikiran yang dapat menyeret ke arah kekejian tersebut. Ini adalah perjuangan yang berkelanjutan untuk menjaga kemurnian tauhid, integritas akal, dan harmoni sosial, yang semuanya merupakan syarat utama untuk meraih falah yang dijanjikan Allah SWT.

Ketaatan yang dituntut oleh ayat ini adalah ketaatan yang tulus dari lubuk hati, sebagaimana dicontohkan oleh para Sahabat yang segera menghentikan kebiasaan mereka begitu seruan "Fahal antum muntahun?" bergema. Seruan tersebut tetap relevan hari ini, menantang umat Islam untuk sepenuhnya meninggalkan sisa-sisa perilaku yang merusak dan menyesatkan, demi mencapai derajat muttaqin (orang-orang yang bertakwa) dan mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab.

Dalam konteks modern yang penuh dengan godaan dan hiburan yang seringkali menyerupai maisir dan khamr, pemahaman mendalam tentang Al Maidah 90-91 menjadi benteng pertahanan spiritual. Baik dalam bentuk virtual (perjudian daring) maupun nyata (konsumsi zat adiktif baru), prinsip rijsun min 'amalish shaytan tetap berlaku, menuntut kehati-hatian, penolakan total, dan penegasan kembali komitmen untuk menjaga akal dan agama di atas segala-galanya.

Kesuksesan sejati dalam Islam tidak diukur dari perolehan materi yang tidak bersih atau kenikmatan sesaat yang melalaikan, melainkan dari kemampuan untuk mempertahankan akal sehat (kesadaran akan Allah) dan menjalin hubungan yang damai dengan sesama, jauh dari permusuhan dan kebencian. Itulah inti dari pesan abadi dalam Surah Al Maidah ayat 90 dan 91.

Maka, kewajiban umat Muslim adalah memelihara lingkungan yang bebas dari kekejian ini, memastikan bahwa transaksi ekonomi mereka bebas dari unsur maisir, dan bahwa keputusan hidup mereka murni didasarkan pada tawakal kepada Allah dan bukan pada ramalan atau takhayul. Dengan demikian, jalan menuju keberuntungan yang hakiki—kebaikan dunia dan akhirat—akan terbuka lebar.

Larangan khamr, maisir, anshab, dan azlam, yang ditegaskan sebagai rijs, bukan hanya sekadar daftar hitam; ia adalah mekanisme pertahanan sosial dan spiritual yang menjamin bahwa umat Islam mempertahankan standar moral dan rasionalitas tertinggi. Setiap elemen dalam ayat ini, mulai dari definisi yang memabukkan (khamr) hingga pertanyaan retoris (fahal antum muntahun), dirancang untuk mencapai satu tujuan tertinggi: kesempurnaan ketaatan dan keselamatan abadi. Ayat ini adalah cerminan dari rahmat Allah yang ingin melindungi hamba-Nya dari kerusakan yang disebabkan oleh musuh abadi manusia, yaitu setan. Penerapan syariah yang benar, yang berakar pada pemahaman ayat ini, akan menghasilkan masyarakat yang kuat, adil, dan senantiasa terhubung dengan Tuhannya.

🏠 Kembali ke Homepage