Representasi visual prinsip *qawwamun* dan *mawaddah* dalam ikatan pernikahan.
Surah An-Nisa, yang berarti 'Perempuan', adalah surah Madaniyah yang membahas secara rinci berbagai aspek hukum keluarga, warisan, hak anak yatim, dan hubungan sosial. Ayat-ayat dalam surah ini diturunkan pada periode awal pembentukan masyarakat Islam di Madinah, di mana penataan ulang struktur sosial pasca-jahiliah sangat dibutuhkan. Ayat 34, khususnya, merupakan salah satu ayat paling fundamental dan paling sering diperdebatkan dalam diskursus hukum keluarga Islam, karena mengatur hak dan kewajiban suami istri, terutama dalam konteks mengatasi konflik dan ketidakpatuhan (nushuz) istri.
Memahami Surah An-Nisa ayat 34 tidak boleh dilepaskan dari konteks ayat-ayat sebelumnya yang menekankan keadilan, etika pergaulan (mu’asyarah bil ma’ruf), dan prinsip kasih sayang (mawaddah wa rahmah) sebagai fondasi pernikahan. Ayat ini berfungsi sebagai panduan praktis ketika fondasi ideal tersebut terancam oleh krisis internal.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka, wanita yang saleh itu ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa: 34)
Inti dari kontroversi dan kekayaan tafsir ayat ini terletak pada pemaknaan beberapa kata kunci yang memiliki spektrum arti yang sangat luas dalam bahasa Arab klasik. Memahami ayat ini memerlukan dekonstruksi setiap istilah kunci.
Kata Qawwamun berasal dari akar kata *qama* (berdiri), yang sering diartikan sebagai 'pemimpin', 'pengurus', 'pelindung', atau 'penanggung jawab'. Dalam konteks pernikahan, Qawwamun bukanlah otoritas mutlak dalam arti tiran, melainkan tanggung jawab ganda:
Ayat ini kemudian beralih mendeskripsikan ciri-ciri istri ideal, yaitu Salihah (salehah) dan Qanitat (taat). Ketaatan (*Qunut*) di sini merujuk pada ketaatan kepada Allah dan ketaatan yang wajar kepada suami dalam urusan rumah tangga, selama tidak bertentangan dengan syariat.
Frasa حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ (memelihara diri ketika suaminya tidak ada) menunjukkan perlindungan kehormatan diri, harta, dan rahasia rumah tangga. Ketaatan ini berakar pada kesalehan vertikal (kepada Allah), yang kemudian termanifestasi dalam kesalehan horizontal (kepada suami dan keluarga).
Nushuz (نُشُوز) adalah titik sentral permasalahan. Secara etimologi, nushuz berarti 'mengangkat diri' atau 'ketinggian'. Dalam konteks syariat, ini adalah perilaku istri yang menunjukkan pembangkangan, penolakan wewenang suami yang sah (dalam batas syariat), atau pengabaian kewajiban perkawinan tanpa alasan yang dibenarkan syariat.
Ayat 34 menetapkan tiga langkah progresif yang harus diikuti suami untuk mengatasi nushuz, menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai solusi bertahap dan non-kekerasan. Setiap langkah harus dipandang sebagai upaya mediasi, bukan hukuman instan.
Tahap pertama adalah komunikasi dan nasihat yang baik (mau’izah hasanah). Suami wajib mengingatkan istri tentang kewajibannya dan konsekuensi dari perilakunya, tetapi harus dilakukan dengan lembut, bijaksana, dan dalam konteks menjaga privasi hubungan. Nasihat yang bertujuan merendahkan atau mempermalukan tidak memenuhi syarat syar’i.
Jika nasihat tidak efektif, langkah kedua adalah pemisahan tempat tidur (Hajr fi al-Madaji’). Ini adalah tindakan psikologis dan emosional, bukan fisik. Tujuannya adalah menyampaikan ketidaksetujuan suami secara serius tanpa memutuskan komunikasi sepenuhnya. Al-Hajr berfungsi sebagai alarm bahwa rumah tangga berada dalam bahaya serius. Para ulama sepakat bahwa pemisahan ranjang ini harus tetap di dalam rumah yang sama, tidak meninggalkan rumah, untuk menjaga nama baik istri.
Jika kedua langkah sebelumnya gagal, ayat menyebutkan langkah ketiga: وَاضْرِبُوهُنَّ (*wadribuhunna*). Inilah kata yang paling kontroversial dan memerlukan analisis paling ekstensif.
Kata kerja Daraba (ض ر ب) dalam bahasa Arab adalah polisemik (memiliki banyak arti), yang artinya bervariasi bergantung pada konteks penggunaannya. Dalam Al-Qur'an, kata ini digunakan dalam lebih dari 12 konteks berbeda, termasuk:
Interpretasi mengenai Ad-Darb terbagi menjadi tiga mazhab utama:
Mayoritas ulama klasik (seperti Imam Syafi’i, Malik, dan Hanbali) menafsirkan *daraba* di sini sebagai memukul secara fisik. Namun, mereka menetapkan batasan yang sangat ketat yang hampir menghilangkan unsur kekerasan:
Ulama modernis (abad ke-19 dan 20) dan kontemporer (seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan banyak ahli fiqh kontemporer) menolak interpretasi fisik secara mutlak atau memandangnya sebagai izin yang sangat terbatas dan hampir tidak berlaku.
Beberapa teolog dan cendekiawan feminis Islam (seperti Amina Wadud dan Asma Barlas) menolak penafsiran literal karena dianggap bertentangan dengan semangat Al-Qur'an secara keseluruhan mengenai kesetaraan spiritual dan keadilan. Mereka berargumen bahwa ayat tersebut harus dibaca dalam bingkai historisitasnya (konteks sosial abad ke-7 yang mengizinkan tindakan yang sangat terbatas tersebut), namun hukum yang berlaku universal adalah keadilan dan non-kekerasan. Dalam konteks modern, *daraba* tidak dapat diimplementasikan, dan jika suami sampai pada tahap ini, rumah tangga harus dibubarkan melalui perceraian atau mediasi pihak ketiga (Hakamain, sesuai QS. An-Nisa: 35).
Ayat 34 tidak boleh dibaca secara terisolasi. Ayat selanjutnya, An-Nisa: 35, menegaskan bahwa jika konflik antara suami istri tidak dapat diselesaikan secara internal, maka langkah selanjutnya adalah intervensi pihak ketiga (Hakim):
Integrasi kedua ayat ini menunjukkan bahwa tindakan individual suami (tiga tahapan di Ayat 34) adalah upaya terakhir sebelum konflik diserahkan kepada pengadilan atau arbitrase. Dalam sistem hukum Islam modern, penggunaan kekerasan sangat dibatasi, dan pengadilan sering kali menyarankan langkah mediasi (Hakamain) sebagai jalan keluar yang lebih syar’i dan adil sebelum perceraian.
Hukum Keluarga di banyak negara Muslim (seperti Indonesia, Mesir, dan Malaysia) telah membatasi atau menghapus hak suami untuk melakukan tindakan fisik. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) didefinisikan sebagai kejahatan. Dalam konteks ini, tafsir yang mengutamakan simbolisme atau pelarangan absolut terhadap kekerasan fisik menjadi lebih relevan dan sesuai dengan tujuan syariat (Maqashid Shariah) modern.
Ayat 34 menutup prosedur penanganan nushuz dengan peringatan keras: “Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” Bagian ini sangat krusial karena ia membatalkan seluruh hak suami untuk melakukan tindakan disipliner setelah istri kembali taat. Kepatuhan istri harus disambut dengan penerimaan dan pengampunan total. Mencari-cari kesalahan atau mengungkit masa lalu dianggap sebagai pelanggaran terhadap perintah Allah.
Ulama Fiqh menekankan bahwa tujuan dari semua tahapan disiplin ini adalah Islah (perbaikan), bukan intiqam (balas dendam) atau idhrar (penyusahan). Setelah tujuan perbaikan tercapai, suami harus kembali kepada prinsip mu'asyarah bil ma'ruf (pergaulan yang baik).
Ayat ditutup dengan: “Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا).” Penutup ini adalah peringatan ganda yang ditujukan kepada suami yang mungkin tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaannya (qawwamun).
Penutup ini berfungsi sebagai rem moral. Jika suami menggunakan hak *qawwamun* secara sewenang-wenang atau melanggar batasan yang telah ditetapkan dalam penanganan daraba, ia akan berhadapan langsung dengan kebesaran dan keadilan Allah SWT.
Walaupun keempat mazhab Sunni utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) mengakui tiga tahapan dalam Ayat 34, penekanan dan penerapannya memiliki perbedaan signifikan, terutama pada batasan Ad-Darb.
Hanafi cenderung paling moderat dalam penanganan nushuz. Mereka menekankan bahwa daraba harus dilakukan sangat ringan dan hanya ketika terbukti bahwa istri tidak dapat dibina melalui nasihat dan pisah ranjang. Dalam praktik sejarah Hanafi, mereka lebih toleran terhadap penolakan istri terhadap daraba jika hal itu akan membahayakan keharmonisan, mengutamakan mediasi.
Mazhab Maliki, yang dominan di Afrika Utara, cenderung memberikan otoritas lebih kepada suami dalam konteks daraba, tetapi juga sangat ketat dalam mendefinisikan batasannya. Mereka mengizinkan pukulan dengan tangan, asalkan tidak menyakitkan dan dimaksudkan sebagai pelajaran. Menariknya, Maliki juga memberikan hak kepada istri untuk mencari perceraian (fasakh) jika suaminya melakukan kekerasan berlebihan yang melanggar batas syar’i.
Kedua mazhab ini sepakat bahwa *daraba* adalah izin yang dapat digunakan. Namun, mereka sama-sama menekankan batasan Rasulullah ﷺ yang melarang memukul wajah dan menyakiti. Mereka menegaskan bahwa jika suami merasa bahwa memukul justru akan memperburuk situasi atau melanggar prinsip mu'asyarah bil ma'ruf, maka ia wajib meninggalkannya. Konsensus di antara fukaha adalah bahwa tindakan meninggalkan daraba karena khawatir akan dampak negatifnya lebih utama daripada melakukannya.
Dalam perspektif Maqashid Syariah (Tujuan Hukum Islam), kelima tujuan utama (pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) harus diutamakan. Para ulama kontemporer berargumen bahwa izin *daraba*, meskipun ada di teks, harus dinilai berdasarkan dampaknya terhadap pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs) dan pemeliharaan keturunan (dengan menjaga keharmonisan). Karena kekerasan fisik terbukti merusak jiwa dan keharmonisan keluarga secara luas di zaman modern, interpretasi yang memprioritaskan non-kekerasan menjadi wajib demi mencapai tujuan syariah yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, dalam konteks sosial dan hukum kontemporer, penafsiran yang paling aman dan paling sesuai dengan semangat keadilan Islam adalah menafsirkan *daraba* sebagai sebuah dispensasi yang sangat terbatas yang hampir tidak mungkin dipenuhi tanpa melanggar batasan yang ditetapkan oleh Nabi, atau menafsirkannya secara simbolis sebagai isolasi, bukan kekerasan fisik.
Surah An-Nisa ayat 34 adalah teks yang kompleks yang menuntut pembacaan yang komprehensif, tidak terpisah dari ayat-ayat keadilan lainnya dalam Al-Qur'an. Ayat ini menetapkan struktur tanggung jawab (qawwamun) yang didasarkan pada pengorbanan finansial dan perlindungan, bukan kekuasaan semata.
Dalam menghadapi konflik (nushuz), Islam menawarkan solusi bertahap yang menekankan mediasi, komunikasi, dan pertimbangan psikologis (nasihat dan pisah ranjang) sebelum mempertimbangkan tindakan yang sangat restriktif dan kontroversial (daraba). Bahkan jika daraba diizinkan, ulama klasik dan modern sepakat bahwa batasannya sedemikian ketat sehingga hampir tidak dapat dibedakan dari simbolisme atau teguran non-fisik.
Pesan penutup ayat, yang mengingatkan suami tentang kebesaran Allah, berfungsi sebagai penjaga keadilan tertinggi. Integritas hubungan pernikahan dalam Islam didasarkan pada kasih sayang (mawaddah) dan rahmat (rahmah). Setiap tindakan yang merusak fondasi ini, termasuk kekerasan yang melampaui batas syar’i yang ditentukan, adalah pelanggaran yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah.