Analisis Komprehensif Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 90

Surah Al-Maidah ayat 90 merupakan salah satu fondasi utama dalam sistem hukum Islam (Syariah), terutama yang berkaitan dengan perlindungan akal (Hifz al-Aql) dan perlindungan harta (Hifz al-Mal). Ayat ini secara tegas dan mutlak mengharamkan empat pilar kemaksiatan yang dianggap merusak tatanan sosial, spiritual, dan fisik manusia. Pemahaman mendalam terhadap makna dan konsekuensi ayat ini sangat penting bagi setiap Muslim.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)

I. Konteks dan Urgensi Pengharaman

Pengharaman yang terkandung dalam Al-Maidah ayat 90 datang pada fase akhir perkembangan hukum Islam di Madinah. Pengharaman khamr, khususnya, tidak terjadi sekaligus, melainkan melalui beberapa tahapan yang bijaksana dan progresif. Tahapan ini mencerminkan metodologi Islam dalam mengubah kebiasaan masyarakat yang telah mengakar kuat:

  1. Tahap Peringatan Awal: (QS. An-Nahl: 67) yang menyebut khamr dan rezeki yang baik.
  2. Tahap Pertanyaan: (QS. Al-Baqarah: 219) yang menjelaskan bahwa pada khamr dan judi terdapat dosa besar, meskipun ada manfaat (duniawi) bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar.
  3. Tahap Larangan Saat Shalat: (QS. An-Nisa: 43) melarang shalat dalam keadaan mabuk.
  4. Tahap Pengharaman Mutlak: (QS. Al-Maidah: 90-91) yang menyatakan bahwa keempat perbuatan tersebut adalah ‘Rijs’ (keji) dan mutlak harus dijauhi.

Konteks historis menunjukkan bahwa khamr dan maisir adalah bagian integral dari kehidupan sosial, ekonomi, dan rekreasi masyarakat Arab pra-Islam. Oleh karena itu, penetapan larangan mutlak memerlukan otoritas ilahi yang kuat dan justifikasi yang tidak terbantahkan, yang tertuang dalam diksi tegas ayat ini.

II. Analisis Tafsir Kata Kunci (Rijs dan Amal Syaitan)

Dua istilah kunci yang memberikan bobot hukum dan spiritual yang sangat berat pada ayat ini adalah Al-Khamr, Al-Maisir, Al-Ansab, wa Al-Azlam dikategorikan sebagai Rijs (رجس) dan Amal al-Syaitan (عمل الشَّيْطَانِ).

Rijs (Keji, Kotor, Najis)

Secara bahasa, Rijs merujuk pada kekotoran, baik fisik maupun spiritual. Dalam konteks ayat ini, Rijs adalah najis maknawi atau spiritual. Pengharaman ini memiliki implikasi bahwa empat perbuatan tersebut tidak hanya sekadar dosa, tetapi juga sumber kekejian yang menodai jiwa dan akal. Penggunaan kata Rijs menegaskan bahwa keberadaan perbuatan ini adalah pencemaran, menjauhkan pelakunya dari kesucian dan rahmat Allah SWT. Ini adalah peringatan keras bahwa perbuatan tersebut tidak memiliki sisi baik sedikit pun dari perspektif Syariah.

Amal al-Syaitan (Perbuatan Setan)

Keterangan bahwa empat hal ini adalah "perbuatan setan" menunjukkan bahwa tujuannya adalah merusak, menyesatkan, dan memicu permusuhan. Syaitan bekerja melalui perbuatan-perbuatan ini untuk mencapai dua tujuan utama yang dijelaskan pada ayat berikutnya (QS. Al-Maidah: 91):

  1. Menghalangi manusia mengingat Allah (zikrullah).
  2. Menghalangi manusia dari menunaikan shalat.

Dengan mengaitkannya langsung dengan setan, ayat ini memberikan motivasi spiritual yang mendalam bagi umat Islam untuk menghindarinya, karena menjauhi perbuatan setan adalah bagian integral dari upaya mencapai ketakwaan dan keberuntungan (tuflihun).

Larangan Besar: Khamr dan Maisir Ilustrasi simbolis larangan minuman keras dan perjudian. Khamr (Minuman Keras) Maisir (Judi)

Ilustrasi 1: Simbol Pengharaman Khamr dan Maisir.

III. Empat Pilar Kemaksiatan dalam Al-Maidah 90

Ayat ini secara spesifik menyebutkan empat kategori yang harus dijauhi. Detail mengenai masing-masing larangan ini membentuk kerangka hukum moralitas Islam yang kuat.

1. Al-Khamr (Minuman Keras dan Intoksikan)

Secara etimologis, Khamr berasal dari kata dasar yang berarti 'menutupi' atau 'menggelapkan'. Khamr dinamakan demikian karena ia menutupi atau menggelapkan akal. Definisi syar’i khamr tidak terbatas pada minuman keras dari anggur saja, tetapi mencakup semua zat yang memabukkan dan menghilangkan kesadaran akal, terlepas dari bahan dasarnya (gandum, kurma, beras, atau lainnya) dan bentuknya (cair, padat, atau gas). Kaidah fundamental yang disepakati oleh seluruh ulama (Ijma') adalah: "Kullu muskirin khamrun, wa kullu khamrin haramun." (Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram).

Implikasi Fiqih Khamr

Keharaman khamr adalah keharaman zatnya, bukan hanya efeknya. Sekecil apapun dosisnya tetap haram. Hadis Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa jika suatu zat memabukkan dalam jumlah besar, maka jumlah kecilnya pun haram. Pengharaman ini meluas ke seluruh rantai pasok dan interaksi yang mendukung konsumsi khamr:

Dampak Khamr dalam Perspektif Maqasid Syariah

Tujuan utama pengharaman khamr adalah Hifz al-Aql (memelihara akal). Akal adalah anugerah terbesar dan landasan bagi tanggung jawab (taklif) manusia di hadapan Tuhan. Ketika akal hilang karena mabuk, manusia kehilangan kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan buruk, menjalankan ibadah, dan mengambil keputusan yang bertanggung jawab. Dampak sosial dan kesehatan dari khamr sangat masif:

Kajian mendalam tentang khamr dalam Syariah tidak pernah lekang oleh waktu. Seiring berkembangnya jenis-jenis intoksikan baru, para fukaha terus menegaskan bahwa intisari dari larangan ini—yaitu kerusakan akal—adalah parameter utama. Oleh karena itu, hukum terhadap narkoba jenis baru, meskipun tidak dikenal pada masa Nabi, tetap diukur dengan kaidah khamr karena efek merusaknya terhadap akal jauh lebih destruktif. Kebijaksanaan Syariah dalam hal ini terlihat jelas: ia tidak kaku pada nama zat, tetapi fokus pada fungsi dan dampak zat tersebut terhadap kemaslahatan umat.

Penghargaan Islam terhadap akal manusia adalah fundamental. Seluruh ajaran, mulai dari tauhid hingga tata cara muamalah, dibangun di atas premis bahwa manusia adalah makhluk berakal yang mampu memilih dan bertanggung jawab. Khamr meruntuhkan premis ini, mengubah manusia menjadi tidak lebih dari makhluk yang digerakkan oleh insting tak terkendali. Oleh karena itu, pengharamannya menempati posisi yang sangat tinggi, sejajar dengan larangan syirik dan pembunuhan.

2. Al-Maisir (Perjudian)

Maisir berasal dari kata yusr yang berarti kemudahan atau mendapatkan sesuatu dengan mudah tanpa usaha keras. Secara syar’i, maisir adalah setiap transaksi yang melibatkan taruhan antara dua pihak atau lebih, di mana pihak yang menang mengambil harta pihak yang kalah, sementara kemenangan itu tergantung pada spekulasi atau keberuntungan (faktor yang tidak dapat dikendalikan).

Maisir dan Kerusakan Ekonomi

Pengharaman maisir berakar pada prinsip Hifz al-Mal (memelihara harta). Maisir adalah transaksi zero-sum game yang merusak etos kerja dan konsep kepemilikan harta dalam Islam. Islam mendorong manusia mencari rezeki melalui usaha, keringat, dan kerja keras (kasb), sedangkan judi adalah bentuk ‘memakan harta orang lain dengan cara yang batil’ (أكل مال بالباطل). Kerugian yang ditimbulkan oleh maisir meliputi:

Ayat ini mencakup semua bentuk perjudian modern, mulai dari lotre, taruhan olahraga, hingga bentuk-bentuk investasi spekulatif yang menyerupai taruhan murni tanpa adanya nilai tambah ekonomi yang riil. Batasan utama adalah adanya unsur taruhan yang ditentukan oleh faktor kebetulan (gharar) tanpa adanya kontribusi nyata.

Diskusi tentang maisir harus diperluas hingga mencakup fenomena modern. Di era digital, judi mengambil bentuk baru melalui permainan daring, taruhan kripto yang sangat spekulatif, dan lotre nasional. Fiqh kontemporer berjuang keras untuk menarik garis tegas antara investasi yang sah (yang berdasarkan analisis, risiko terukur, dan bagi hasil) dan maisir (yang berdasarkan keberuntungan murni). Prinsip Syariah tetap teguh: jika harta diperoleh tanpa menanggung risiko yang sah atau tanpa memberikan kontribusi ekonomi, dan pihak lain pasti merugi, maka ia termasuk maisir.

3. Al-Ansab (Berhala atau Tempat Persembahan Berhala)

Ansab (jamak dari Nushub) secara harfiah berarti batu-batu tegak yang didirikan dan digunakan oleh kaum jahiliyah untuk tempat menyembelih kurban sebagai persembahan kepada berhala atau dewa-dewa. Dalam konteks yang lebih luas, Ansab merujuk pada segala bentuk berhala, patung, atau objek pemujaan yang disembah selain Allah SWT.

Ansab dan Tauhid

Larangan terhadap Ansab adalah penegasan fundamental Tauhid (keesaan Allah). Syirik (menyekutukan Allah) adalah dosa terbesar dan tidak terampuni jika pelakunya meninggal dalam keadaan itu. Keharaman Ansab berfungsi untuk membersihkan masyarakat dari segala bentuk politeisme (kesyirikan) dan menegaskan bahwa ibadah hanya ditujukan kepada Allah SWT semata.

Meskipun pada zaman modern ansab berupa patung pemujaan mungkin kurang umum di kalangan Muslim, konsep ini meluas menjadi 'Syirik Kecil' atau syirik yang tersembunyi, yaitu:

Dengan demikian, larangan Ansab adalah benteng pertahanan spiritual yang menjaga keotentikan akidah Islam dari penyimpangan.

Larangan Syirik dan Ramalan Ilustrasi simbolis larangan berhala (ansab) dan mengundi nasib (azlam). Ansab (Berhala/Sesajen) Azlam (Mengundi Nasib)

Ilustrasi 2: Simbol Pengharaman Ansab dan Azlam.

4. Al-Azlam (Mengundi Nasib dengan Panah)

Azlam (jamak dari Zalam) merujuk pada panah-panah yang digunakan oleh bangsa Arab jahiliyah untuk meramalkan nasib atau keputusan. Mereka menggunakan panah tanpa bulu yang biasanya memiliki tulisan 'Lakukan', 'Jangan Lakukan', atau 'Kosong'. Panah ini sering digunakan sebelum bepergian, berperang, atau membuat keputusan penting, menggantikan nalar dan Tawakkul (berserah diri) kepada Allah.

Azlam dan Tawakkul

Larangan Azlam bertujuan melindungi akidah dari kepercayaan takhayul dan menguatkan prinsip Tawakkul. Dalam Islam, ketika seseorang dihadapkan pada kebimbangan, ia diajarkan untuk menggunakan akal, bermusyawarah, dan kemudian melaksanakan Shalat Istikharah (memohon petunjuk dari Allah). Azlam (ramalan) adalah kebalikan dari Istikharah.

Keharaman Azlam meluas ke semua bentuk ramalan dan perdukunan modern:

Nabi Muhammad SAW secara tegas menyatakan bahwa barang siapa yang mendatangi peramal dan membenarkan ucapannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada beliau. Ini menunjukkan betapa seriusnya bahaya azlam terhadap akidah dan keimanan pada Qada' dan Qadar (ketetapan Allah).

Larangan terhadap Azlam adalah penegasan terhadap keutamaan akal dan ikhtiar. Seorang Muslim wajib berikhtiar semaksimal mungkin, menggunakan data dan fakta yang ada, bukan menyerahkan keputusan penting kepada kebetulan atau praktik takhayul. Ramalan menyesatkan manusia, membuat mereka bergantung pada kekuatan gaib yang tidak berlandaskan wahyu, dan pada akhirnya mengurangi kebergantungan murni kepada Sang Pencipta.

Kontemporerisasi Azlam mencakup kritik terhadap budaya mistisisme dan takhayul yang merajalela. Meskipun media modern sering menyajikan horoskop dan ramalan sebagai hiburan ringan, bahayanya tetap mengintai karena secara halus merusak fondasi tauhid. Ketika seseorang mulai meyakini bahwa bintang atau ramalan memiliki kekuatan prediktif terhadap hidupnya, ia telah memindahkan sebagian keimanannya dari Allah kepada sesuatu yang batil. Ayat 90 ini mengajarkan umat untuk menjauhi segala hal yang menyeret mereka kembali ke lubang kepercayaan jahiliyah.

IV. Tujuan Syariah: Maqasid Ayat 90

Ayat Al-Maidah 90 adalah manifestasi sempurna dari Maqasid Syariah (tujuan-tujuan Syariah), yang bertujuan menjaga lima kebutuhan dasar manusia (Ad-Daruriyyat Al-Khams). Ayat ini secara langsung melindungi dua pilar utama, dan secara tidak langsung, tiga pilar lainnya.

1. Hifz al-Aql (Memelihara Akal)

Ini adalah tujuan utama pengharaman khamr. Akal adalah alat untuk mengenal Allah, memahami wahyu, dan membedakan hukum. Khamr menghancurkan akal, sehingga status akal harus dijaga dari segala bentuk kerusakan.

2. Hifz al-Mal (Memelihara Harta)

Tujuan utama pengharaman maisir dan azlam. Maisir (judi) menghabiskan harta dengan cara batil. Azlam (ramalan) sering melibatkan pembayaran kepada dukun, yang juga merupakan pemborosan harta. Kedua hal ini merusak stabilitas ekonomi individu dan komunitas.

3. Hifz ad-Din (Memelihara Agama)

Tujuan utama pengharaman ansab dan azlam. Kedua perbuatan ini adalah bentuk syirik, yang merupakan perusak agama yang paling fatal. Menjauhi ansab dan azlam adalah menjaga kemurnian tauhid.

4. Hifz an-Nafs (Memelihara Jiwa)

Khamr, dengan efeknya yang memicu agresi, kecelakaan, dan penyakit, secara tidak langsung mengancam jiwa. Seringkali, pemabuk menjadi pelaku atau korban tindak kekerasan dan kematian. Dengan melarang khamr, Syariah melindungi nyawa.

5. Hifz an-Nasl (Memelihara Keturunan)

Maisir dan khamr merusak stabilitas keluarga (permusuhan, perceraian) yang pada akhirnya mengancam keberlangsungan dan pendidikan keturunan yang baik. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang dirusak oleh kecanduan memiliki potensi masa depan yang lebih suram.

Keterkaitan antara keempat larangan dalam ayat 90 tidak hanya kebetulan, melainkan suatu kesatuan tematik. Mereka semua adalah gerbang utama menuju kekacauan sosial dan spiritual. Khamr menghilangkan akal yang mencegah tindakan dosa; maisir menghancurkan kekayaan yang merupakan amanah; ansab menghancurkan agama (tauhid); dan azlam merusak tawakkul dan ikhtiar. Keempatnya dikombinasikan sebagai Rijs yang harus dijauhi secara total.

V. Dimensi Hukum dan Sosial Penjauhan

Ayat 90 ditutup dengan perintah yang sangat tegas: "Fajtanibuh" (Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu). Diksi 'jauhilah' (اجتنبوه) dalam bahasa Arab menunjukkan perintah untuk menjauhi secara mutlak dan total, bahkan menjauhi lingkungan atau situasi yang bisa mengarah kepada perbuatan tersebut, bukan sekadar larangan untuk melakukan. Ini adalah bentuk pencegahan (Saddu ad-Dhara'i) yang sangat kuat.

Penjauhan Total (Ijtinab)

Perintah Ijtinab mengharuskan seorang Muslim untuk membangun jarak yang aman dari pintu gerbang menuju maksiat. Misalnya, dalam konteks khamr:

Tingkat perintah ini menunjukkan bahwa Islam tidak mentolerir zona abu-abu dalam masalah inti yang merusak akal dan akidah. Pengharaman ini bersifat permanen dan tidak dapat dicabut dalam keadaan apapun, kecuali dalam kondisi darurat yang mengancam nyawa (namun hal ini sangat jarang berlaku untuk khamr atau judi, karena keduanya bukan kebutuhan pokok).

Konsekuensi Hukum (Uqubat)

Dalam sejarah fiqh Islam, hukuman (Had) yang ditetapkan untuk peminum khamr adalah cambuk, meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah cambuk yang spesifik. Hukuman ini berfungsi sebagai pencegahan keras untuk melindungi akal masyarakat. Meskipun tidak ada Had yang secara spesifik disebutkan dalam Al-Qur'an untuk maisir, ansab, dan azlam, perbuatan ini dapat dikenakan hukuman Ta'zir (hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kemaslahatan) karena termasuk dosa besar yang merusak tatanan sosial dan spiritual.

Kajian mendalam tentang Uqubat (hukuman) menegaskan bahwa tujuan utama Syariah bukan terletak pada pelaksanaan hukuman itu sendiri, melainkan pada pencegahan yang efektif. Dengan menjatuhkan hukuman bagi peminum khamr dan bagi pelaku maisir tingkat tinggi, negara Islam bertujuan untuk mengirimkan pesan yang jelas mengenai betapa berharganya akal dan harta dalam pandangan Ilahi. Hukuman tersebut menjadi tameng sosial yang mencegah penyebaran kebiasaan merusak dan melindungi generasi mendatang dari warisan budaya yang toksik.

VI. Memetik Keberuntungan (Tuflihun)

Ayat 90 diakhiri dengan janji: "la'allakum tuflihun" (agar kamu mendapat keberuntungan/kesuksesan). Ini adalah motivasi puncak dari ketaatan. Keberuntungan yang dimaksud di sini adalah keberuntungan yang komprehensif, meliputi:

Khamr, maisir, ansab, dan azlam semuanya menjanjikan kepuasan instan atau kekayaan yang cepat, tetapi pada akhirnya membawa kehancuran dan penyesalan. Jalan menuju keberuntungan sejati (falah) justru terletak pada kesabaran, kerja keras, penjagaan akal, dan kemurnian tauhid.

Dengan menjauhi empat hal yang keji ini, seorang Muslim tidak hanya menjalankan perintah, tetapi juga memilih jalur hidup yang paling rasional, sehat, dan bermartabat, memastikan bahwa akalnya tetap berfungsi optimal untuk berzikir dan menunaikan kewajiban-kewajiban spiritualnya kepada Sang Pencipta.

Pengulangan janji keberuntungan ini di akhir ayat memberikan perspektif yang optimis dan transformatif. Kepatuhan terhadap larangan-larangan ini bukan sekadar beban, melainkan investasi jangka panjang untuk kesuksesan abadi. Dalam pandangan Islam, orang yang bebas dari belenggu kecanduan (khamr), kekalahan finansial (maisir), dan khurafat (ansab dan azlam) adalah individu yang secara fundamental lebih siap untuk memimpin dan membangun masyarakat yang adil dan beradab. Mereka adalah contoh nyata dari individu yang mampu mencapai puncak kemanusiaan.

VII. Penjelasan Fiqih Terperinci Mengenai Khamr

Mengingat besarnya dampak khamr dan luasnya definisi intoksikan di era modern, penting untuk mengulas lebih lanjut detail fiqih terkait larangan ini. Para ulama dari empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) sepakat atas keharaman khamr. Namun, pembahasan meluas pada apa yang dikenal sebagai "nabidh" (minuman dari kurma atau kismis yang difermentasi ringan).

Perbedaan Definisi Khamr Awal dan Perluasannya

Di masa awal Islam, khamr secara spesifik merujuk pada minuman fermentasi dari anggur. Namun, hadis-hadis Nabi SAW kemudian memperluas cakupannya. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, "Setiap minuman yang memabukkan adalah haram." Perluasan ini menutup celah hukum (hilah) di mana orang mungkin mencoba membuat minuman memabukkan dari bahan lain dan mengklaimnya tidak haram karena bukan "khamr anggur."

Ijma' tentang Sanksi dan Jual Beli

Ijma' ulama menegaskan bahwa khamr adalah najis (kotor) secara maknawi dan hukum. Oleh karena itu, sanksi bagi peminumnya di zaman Nabi dan para sahabat ditetapkan melalui hadis dan praktik (Sunnah Fi'liyah), yaitu dicambuk 40 atau 80 kali, yang merupakan hukuman had. Lebih lanjut, menjual, membeli, memproduksi, atau mengangkut khamr juga haram. Hadis masyhur menyebutkan laknat bagi sepuluh golongan terkait khamr, menekankan bahwa partisipasi sekecil apapun dalam industri ini dilarang keras. Nilai jual khamr pun dianggap tidak bernilai (mal mutaqawwim) dalam pandangan Syariah; jika seseorang merusaknya, tidak ada ganti rugi yang wajib dibayarkan.

Narkotika dan Zat Psikoaktif

Dalam fiqih kontemporer, narkotika, ganja, heroin, kokain, dan zat psikoaktif lainnya yang merusak akal digolongkan di bawah hukum khamr, bahkan dengan tingkatan bahaya yang lebih tinggi. Meskipun secara teknis bukan minuman, fungsi dan dampak intoksikasinya jauh lebih merusak. Kaidah yang digunakan tetap sama: 'Segala yang memabukkan (muskir) dan yang menghilangkan akal (mukhaddir) adalah haram.' Pengharaman ini juga mencakup rokok elektrik (vape) dan produk tembakau lainnya jika terbukti secara medis menimbulkan kerusakan setara atau mengarah kepada intoksikan, meskipun para ulama cenderung menggolongkannya sebagai makruh tahrim atau haram karena dampak kesehatannya yang masif (Hifz an-Nafs).

VIII. Fiqih Kontemporer tentang Maisir (Judi)

Maisir memiliki bentuk yang sangat beragam di abad ke-21. Fiqih kontemporer harus berjuang membedakan antara maisir, investasi sah, dan kompetisi yang diperbolehkan.

Batas Maisir dan Transaksi Keuangan

Maisir selalu melibatkan unsur gharar (ketidakpastian berlebihan) dan taruhan yang merugikan salah satu pihak secara pasti. Contoh modern meliputi:

  1. Asuransi Konvensional: Sebagian ulama menganggap asuransi konvensional sebagai maisir karena adanya ketidakpastian (gharar) dalam pembayaran premi dan manfaat, dan seringkali bersifat zero-sum game.
  2. Futures dan Derivatif Spekulatif: Transaksi pasar modal yang tidak didasarkan pada aset riil dan hanya murni spekulasi jangka pendek sering dikategorikan sebagai maisir.
  3. Lotre dan Kuis Berhadiah Taruhan: Semua bentuk undian yang mewajibkan peserta membayar uang (membeli tiket) dengan harapan mendapatkan hadiah besar berdasarkan keberuntungan murni adalah bentuk maisir yang haram.

Pengecualian dalam Kompetisi

Islam memperbolehkan kompetisi (musabaqah) dan bahkan hadiah (ju'alah) jika tujuannya adalah mempromosikan keterampilan yang bermanfaat bagi umat (seperti memanah, balap kuda, atau berenang), atau jika hadiahnya berasal dari pihak ketiga, bukan dari uang taruhan peserta. Jika kompetisi tersebut melibatkan taruhan antara peserta, maka ia berubah menjadi maisir dan haram.

Maisir, lebih dari sekadar kerugian finansial, menciptakan masyarakat yang berorientasi pada hasil cepat tanpa usaha, merusak fondasi etika kerja yang ditekankan Islam. Pelarangan judi adalah upaya protektif terhadap moral dan stabilitas sosial.

IX. Kesinambungan Larangan Ansab dan Azlam

Larangan terhadap Ansab (berhala) dan Azlam (ramalan) seringkali dianggap sebagai masalah masa lalu, namun keduanya memiliki perwujudan psikologis dan sosial yang abadi.

Ansab dan Idola Modern

Dalam masyarakat yang sangat sekuler atau materialistis, konsep berhala bergeser. Berhala modern bisa berupa penyembahan terhadap status, harta, teknologi, atau bahkan ideologi politik tertentu. Ketika cinta dan pengabdian terhadap hal-hal ini melebihi cinta dan pengabdian kepada Allah, ia mengambil peran Ansab. Tuntutan untuk menjauhi Ansab adalah tuntutan untuk meninjau kembali prioritas dan memastikan bahwa Tauhid tetap murni dan tidak tercemari oleh kecintaan duniawi yang berlebihan.

Azlam dan Ilmu Semu (Pseudoscience)

Azlam di masa kini terkait erat dengan kepercayaan kepada ilmu semu atau praktik yang mengklaim dapat memprediksi masa depan dengan dasar yang tidak rasional atau ilmiah. Ini termasuk:

Semua praktik ini adalah bentuk azlam karena mengalihkan kebergantungan (tawakkul) dari Allah kepada kekuatan yang tidak memiliki otoritas ilahi. Islam menuntut rasionalitas dalam keputusan (ikhtiar) dan kepasrahan kepada Allah setelah usaha maksimal, bukan menunggu petunjuk dari panah takdir atau kartu tarot.

Integrasi keempat larangan ini menunjukkan bahwa Syariah adalah sistem yang menyeluruh, menangani masalah tidak hanya dari aspek hukum (fiqih), tetapi juga dari aspek spiritual (akidah) dan etika (akhlak). Ketika akidah rusak (ansab/azlam), akal terganggu (khamr), dan harta terbuang (maisir), maka keberuntungan (falah) akan mustahil tercapai.

🏠 Kembali ke Homepage