Pengantar dan Urgensi Ayat 78 Surat Al-Isra'
Surat Al-Isra' ayat 78 merupakan salah satu landasan hukum yang paling eksplisit dan mendalam dalam Al-Qur'an mengenai penetapan waktu-waktu salat fardhu. Ayat ini tidak hanya memerintahkan pelaksanaan salat, tetapi secara spesifik mengaitkannya dengan fenomena alam, yakni pergerakan matahari dan kegelapan malam, serta terbitnya fajar. Pemahaman yang komprehensif terhadap ayat ini menjadi krusial karena ia menjembatani antara perintah Ilahi yang abstrak dengan praktik ibadah sehari-hari yang konkret.
Kewajiban salat adalah tiang agama, rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Namun, perintah untuk menunaikannya harus terikat pada kerangka waktu yang ketat, yang dikenal sebagai mawāqīt. Tanpa ketepatan waktu, ibadah salat tidak akan sah atau sempurna menurut pandangan mayoritas ulama. Oleh karena itu, Al-Isra' ayat 78 berfungsi sebagai panduan kosmik, di mana Allah SWT menjadikan peredaran benda langit sebagai penanda bagi kewajiban spiritual manusia.
Ayat ini membagi waktu salat fardhu menjadi tiga poros utama: (1) Waktu setelah tergelincirnya matahari (Duluuk Asy-Syams), (2) Waktu kegelapan malam (Ghasaq Al-Lail), dan (3) Waktu Subuh (Qur'an Al-Fajr). Dari ketiga poros ini, lahirlah lima waktu salat yang kita kenal dan laksanakan hari ini: Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Subuh. Kedalaman linguistik dan tafsir dalam ayat ini memerlukan penjabaran yang sangat detail untuk mengungkap bagaimana perintah tunggal ini mencakup keseluruhan ritual harian umat Islam.
Alt Text: Ilustrasi yang menggambarkan seseorang dalam posisi sujud di dalam jam, melambangkan keterikatan salat dengan waktu.
Analisis Linguistik dan Tafsir Kata Kunci Ayat 78
Memahami Al-Isra' ayat 78 membutuhkan analisis yang cermat terhadap tiga frasa kunci yang menentukan batasan waktu salat. Para mufassir dan ahli bahasa telah memberikan penafsiran yang kaya, yang kemudian menjadi dasar bagi penetapan fiqh.
1. Duluuk Asy-Syams (دُلُوكِ ٱلشَّمْسِ): Tergelincirnya Matahari
Kata Duluuk secara bahasa berarti miring atau bergeser. Dalam konteks matahari, ini merujuk pada pergeseran matahari dari titik tertingginya (zenith). Secara umum, tafsir klasik sepakat bahwa Duluuk Asy-Syams adalah permulaan waktu salat Dzuhur.
- Pendapat Mayoritas: Duluuk adalah saat matahari mulai tergelincir ke arah Barat setelah melewati meridian (titik kulminasi). Ini adalah waktu dimulainya salat Dzuhur.
- Implikasi Fiqh: Waktu Dzuhur dimulai ketika bayangan suatu benda mulai bertambah panjang setelah mencapai panjang minimumnya pada tengah hari. Frasa ini mencakup Dzuhur dan Ashar. Sebagian kecil ulama, seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Mu’adz bin Jabal, berpendapat Duluuk bisa berarti terbenamnya matahari, namun pendapat ini dianggap minoritas dan kurang sesuai dengan tata bahasa Arab konteks ini.
- Transisi Waktu: Duluuk Asy-Syams menandai transisi dari paruh pertama hari menuju paruh kedua, di mana Dzuhur dilaksanakan pada permulaannya dan Ashar dilaksanakan di rentang waktu berikutnya sebelum matahari menguning (sebelum Ghasaq Al-Lail dimulai).
- Penafsiran Umum: Para mufassir seperti Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, dan Ath-Thabari berpendapat bahwa Ghasaq Al-Lail adalah waktu terbenamnya syafak (cahaya merah) yang masih tersisa di ufuk barat setelah matahari tenggelam.
- Kaitannya dengan Salat: Frasa ini mencakup waktu salat Maghrib dan Isya. Salat Maghrib dimulai segera setelah matahari terbenam (sebelum kegelapan pekat), dan salat Isya dimulai ketika kegelapan malam benar-benar telah menyelimuti (Ghasaq Al-Lail telah tercapai).
- Rangkaian Empat Salat: Dengan demikian, bagian pertama ayat (liduluukisy-syamsi ilaa ghasaqil-lail) mencakup empat salat: Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Batas akhirnya adalah pertengahan malam atau sepertiga malam pertama, tergantung mazhab fiqh.
- Keistimewaan Bacaan: Salat Subuh adalah satu-satunya salat yang secara eksplisit diidentifikasi dengan kegiatan intinya, yaitu pembacaan Al-Qur'an. Ini menunjukkan pentingnya pemanjangan bacaan (tilawah) pada waktu tersebut, karena dilaksanakan dalam keheningan pagi.
- Waktu Pelaksanaan: Dimulai dari terbitnya fajar shadiq (fajar sejati) hingga terbitnya matahari.
- Keutamaan (Kāna Mashhūdan): Ayat ini diakhiri dengan penekanan bahwa salat Subuh itu Kāna Mashhūdan (disaksikan). Tafsir menjelaskan bahwa ia disaksikan oleh para malaikat malam yang naik dan malaikat siang yang turun, sebuah pertemuan spiritual yang meninggikan nilai ibadah di waktu tersebut.
2. Ghasaq Al-Lail (غَسَقِ ٱلَّيْلِ): Gelap Malam
Kata Ghasaq secara harfiah berarti kegelapan yang pekat, atau permulaan kegelapan yang menyelimuti. Ghasaq Al-Lail, oleh karenanya, merujuk pada waktu ketika kegelapan malam mulai dominan dan merata.
3. Qur'an Al-Fajr (وَقُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ): Bacaan Fajar (Salat Subuh)
Frasa ini secara spesifik menyebut Qur'an Al-Fajr yang secara universal ditafsirkan sebagai salat Subuh. Penggunaan kata Qur'an (bacaan) untuk merujuk pada salat Subuh memiliki makna yang dalam.
Implikasi Fiqh dari Penetapan Waktu (Mawāqīt)
Ketetapan waktu yang diberikan dalam Al-Isra' 78 menjadi fondasi utama dalam ilmu fiqh. Para fuqaha dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) menggunakan definisi linguistik ini, ditambah dengan hadis-hadis Nabi SAW, untuk merumuskan batasan waktu salat yang sangat presisi.
Rincian Waktu Berdasarkan Empat Salat yang Terkandung dalam 'Duluuk' hingga 'Ghasaq'
1. Salat Dhuhur (Permulaan Duluuk Asy-Syams)
Waktu Dhuhur dimulai persis ketika duluuk terjadi. Kesepakatan fiqh menetapkan bahwa durasi waktu Dhuhur berlanjut hingga bayangan suatu benda sama panjangnya dengan benda itu sendiri, ditambah bayangan yang ada saat matahari tergelincir (bayangan minimum). Ini memastikan adanya rentang waktu yang cukup bagi umat Islam untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan salat, bahkan di musim panas ketika hari sangat panjang.
Kajian fiqh menekankan bahwa mengakhirkan salat Dhuhur, terutama saat panas yang sangat terik (disebut Ibrād), adalah sunnah, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis. Hal ini menunjukkan fleksibilitas waktu di dalam batas yang ditetapkan oleh ayat. Konsep waktu utama (waqt fadhilah) dan waktu darurat (waqt dharūrah) sangat berlaku pada salat Dhuhur.
2. Salat Ashar (Lanjutan dari Duluuk Asy-Syams)
Waktu Ashar dimulai segera setelah berakhirnya waktu Dzuhur. Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit sebagai waktu terpisah dalam ayat 78, Ashar secara inheren terkandung dalam rentang Duluuk hingga Ghasaq. Perbedaan utama mazhab terletak pada kapan tepatnya waktu Ashar dimulai (apakah bayangan sama panjang atau dua kali lipat panjang benda). Mazhab Hanafi umumnya menggunakan definisi bayangan dua kali lipat, sementara mazhab jumhur (Maliki, Syafi'i, Hanbali) menggunakan definisi bayangan sama panjang.
Urgensi waktu Ashar sangat ditekankan, sering disebut sebagai Al-Salat Al-Wusta (salat pertengahan) dalam ayat lain. Mengakhirkan Ashar hingga matahari menguning (waktu Karāhah/dibenci) dianggap makruh, kecuali ada uzur yang sah, dan berakhir mutlak saat matahari terbenam.
3. Salat Maghrib (Permulaan Ghasaq Al-Lail)
Maghrib dimulai seketika setelah matahari terbenam. Ayat ini merujuk pada kegelapan yang dimulai. Waktu Maghrib sangat sempit, menjadikannya unik di antara salat harian. Pendapat Syafi'i dan Hanbali menunjukkan bahwa waktu Maghrib hanya berlangsung selama syafak (mega merah) belum hilang, yang biasanya berkisar antara 60 hingga 90 menit.
Kajian mendalam tentang Ghasaq Al-Lail seringkali berfokus pada sifat waktu Maghrib yang cepat berlalu. Keterlambatan Maghrib tanpa alasan syar’i dianggap sangat berbahaya dalam fiqh, karena waktu utama ibadah ini pendek dan langsung bergeser ke waktu Isya saat kegelapan pekat benar-benar tiba.
4. Salat Isya (Tercapainya Puncak Ghasaq Al-Lail)
Waktu Isya dimulai ketika Ghasaq Al-Lail tercapai, yakni hilangnya mega merah (syafak) di ufuk barat. Ini adalah pertanda malam telah benar-benar gelap.
Rentang waktu Isya adalah yang terpanjang kedua setelah Dhuhur/Ashar gabungan. Fiqh menetapkan waktu utamanya hingga pertengahan malam. Mengakhirkan salat Isya hingga sepertiga malam atau pertengahan malam adalah sunnah, sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Batas akhir Isya adalah terbitnya fajar shadiq, yang menandakan dimulainya Qur'an Al-Fajr.
Keistimewaan Qur'an Al-Fajr: Dimensi Spiritual Salat Subuh
Ayat 78 memberikan penekanan khusus pada salat Subuh melalui frasa Qur'an Al-Fajr dan penyebutan keutamaannya: "Inna Qur'aanal-Fajri kaana mashhuudan." (Sesungguhnya bacaan Subuh itu disaksikan).
Fenomena Mashhūd (Disaksikan)
Apa makna "disaksikan" dalam konteks ayat ini? Para ulama tafsir memberikan beberapa pandangan yang saling melengkapi:
- Disaksikan oleh Malaikat: Ini adalah tafsir yang paling populer. Malaikat yang bertugas pada malam hari dan malaikat yang bertugas pada siang hari bertemu dan berkumpul tepat pada waktu Subuh. Ketika seorang hamba melaksanakan salat Subuh, mereka mencatat amalannya pada saat pergantian shift. Hal ini meningkatkan nilai pahala salat tersebut secara eksponensial.
- Disaksikan oleh Allah dan Rasul-Nya: Meskipun semua salat disaksikan oleh Allah, penekanan khusus pada Subuh menunjukkan kedekatan dan kemuliaan ibadah di waktu tersebut, saat jiwa manusia paling bersih dari hiruk pikuk duniawi.
- Disaksikan oleh Umat Islam: Dalam konteks berjamaah, salat Subuh adalah penanda keimanan yang kuat, karena membutuhkan perjuangan melawan kantuk dan dingin. Jamaah yang hadir saat Subuh menjadi saksi atas keikhlasan dan keteguhan iman sesama Muslim.
Filosofi Waktu Fajar
Fajar adalah awal mula hari, titik pemisahan antara kegelapan total dan cahaya. Pelaksanaan salat pada waktu ini melambangkan penyerahan diri total sebelum memulai aktivitas dunia. Hal ini secara psikologis dan spiritual menyiapkan individu untuk menghadapi tantangan hari dengan landasan takwa yang kokoh. Ayat ini mengajarkan bahwa hari seorang Muslim harus dimulai dengan komitmen spiritual yang disaksikan oleh entitas suci.
Keindahan dan ketenangan waktu Fajar memungkinkan konsentrasi (khusyu') yang lebih mendalam, yang menjelaskan mengapa Al-Qur'an secara spesifik menamai salat ini dengan "Bacaan Fajar," menyiratkan kualitas bacaan dan lamanya berdiri harus ditingkatkan di waktu ini.
Konteks Perintah Salat dan Periodisasi Turunnya Ayat
Al-Isra' adalah surat Makkiyah, yang berarti ayat ini turun sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Periode Makkiyah dikenal sebagai periode penanaman akidah dan fondasi ibadah yang kuat, di tengah tekanan hebat dari kaum Quraisy.
Penetapan salat lima waktu secara formal terjadi saat peristiwa Isra' Mi'raj, yang merupakan latar belakang dari penamaan surat ini (Al-Isra', perjalanan malam). Ayat 78 ini berfungsi sebagai legalisasi dan penguatan syariat waktu salat yang diterima Nabi SAW secara langsung di langit. Ayat ini menunjukkan bahwa penentuan waktu ibadah bukan sekadar tradisi, tetapi sebuah ketetapan kosmis yang abadi, terikat pada pergerakan alam semesta.
Sebelum Isra' Mi'raj, salat sudah dilakukan, namun bentuk dan waktunya masih belum terstruktur seperti lima waktu yang baku. Ayat 78 ini, yang turun setelah Mi'raj, memberikan kerangka waktu yang definitif (Duluuk, Ghasaq, Qur'an Al-Fajr) yang kemudian dirincikan oleh praktik (Sunnah) Nabi SAW. Tanpa rincian dari hadis-hadis, kita mungkin hanya akan memahami tiga waktu besar, bukan lima salat wajib.
Integrasi antara Al-Qur'an dan As-Sunnah
Perluasan makna ayat 78 menjadi lima salat wajib menunjukkan peran vital Sunnah sebagai penjelas dan pelaksana Al-Qur'an. Jika ayat Al-Isra' 78 adalah prinsip umum, maka hadis-hadis mengenai Jibril yang mengajarkan Nabi SAW waktu awal dan akhir setiap salat adalah implementasi praktisnya. Misalnya, ayat hanya menyebut "Duluuk Asy-Syams," tetapi Sunnah memisahnya menjadi Dhuhur dan Ashar. Ini adalah contoh sempurna dari kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa Sunnah berfungsi menjelaskan (bayān) Al-Qur'an.
Alt Text: Ilustrasi pembagian waktu (siang dan malam) yang menunjukkan keterkaitan ibadah dengan pergerakan kosmik.
Konsentrasi dan Khusyu' dalam Keterbatasan Waktu
Perintah untuk mendirikan salat pada waktu-waktu yang telah ditentukan (aqimis-salāta) bukan sekadar perintah untuk melakukan gerakan fisik, tetapi untuk membangun kesadaran (khusyu') dalam kerangka waktu yang terbatas. Ayat 78 mengajarkan disiplin waktu sebagai bagian integral dari disiplin spiritual.
Disiplin Diri di Waktu Duluuk
Waktu Dhuhur dan Ashar berada di tengah hari kerja, di mana aktivitas duniawi mencapai puncaknya. Perintah untuk menghentikan sejenak aktivitas di waktu Duluuk (tergelincirnya matahari) adalah ujian terhadap prioritas. Apakah seorang Muslim lebih mencintai pekerjaannya atau panggilan Tuhannya? Keterikatan waktu di sini berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa segala kesuksesan duniawi harus dibangun di atas fondasi ketaatan spiritual.
Khusyu' yang dicapai pada waktu-waktu ini memerlukan usaha yang lebih besar, yaitu kemampuan melepaskan diri dari tuntutan pekerjaan dan fokus sepenuhnya pada ibadah. Kegagalan mencapai khusyu' di waktu yang sibuk dapat dianggap sebagai kelemahan dalam disiplin spiritual yang diamanatkan oleh ayat 78.
Ketulusan di Waktu Ghasaq
Waktu Maghrib dan Isya, yang dicakup oleh Ghasaq Al-Lail, adalah waktu transisi menuju istirahat. Maghrib menjadi penutup aktivitas hari dan pembuka malam dengan ucapan syukur. Karena waktunya sempit, Maghrib memaksa seorang hamba untuk segera bertindak dan tidak menunda, menanamkan sifat ketegasan dan ketepatan waktu dalam jiwa.
Sementara Isya, yang dilaksanakan saat malam telah larut, adalah waktu perenungan dan persiapan untuk tidur. Ibadah di waktu ini adalah penutup hari yang khusyuk, membersihkan jiwa dari kotoran hari itu. Keterlambatan Maghrib atau Isya menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap batas waktu suci yang telah ditetapkan dalam ayat 78.
Kesadaran Penuh di Waktu Qur'an Al-Fajr
Salat Subuh menuntut khusyu' tertinggi karena ia mengalahkan kebutuhan biologis (tidur). Perintah untuk mendirikan salat saat fajar adalah investasi spiritual terbesar di awal hari. Kesadaran bahwa ibadah ini "disaksikan" (mashhūdan) meningkatkan kualitas kehadiran hati, membuat setiap bacaan dan gerakan lebih bermakna. Khusyu' di Subuh menjadi barometer keberhasilan disiplin spiritual sepanjang hari.
Penafsiran Ayat 78 dalam Konteks Sains dan Kronologi
Ayat 78 Al-Isra' adalah mukjizat ilmiah karena ia mendasarkan perintah ibadah pada ilmu falak (astronomi), sebuah pengetahuan yang belum sepenuhnya dipahami pada saat Al-Qur'an diturunkan.
Ilmu Falak dan Waktu Salat
Penentuan waktu salat—Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Subuh—seluruhnya bergantung pada posisi sudut Matahari (altitude) relatif terhadap horizon, yang dikenal sebagai waqt atau mawāqīt.
- Duluuk Asy-Syams (Dzuhur): Secara ilmiah, ini adalah titik ketika Matahari mulai menurun dari meridian, dan sudut Matahari terhadap horizon mulai berkurang. Ini adalah momen yang dapat dihitung dengan presisi menggunakan kalkulasi astronomi.
- Ghasaq Al-Lail (Maghrib/Isya): Kegelapan malam dimulai ketika Matahari berada beberapa derajat di bawah horizon. Maghrib dimulai pada 0 derajat di bawah horizon (terbenam). Isya dimulai ketika Matahari mencapai sudut depresi tertentu (biasanya antara 15 hingga 18 derajat di bawah horizon), di mana cahaya senja (syafak) benar-benar hilang.
- Qur'an Al-Fajr (Subuh): Fajar shadiq dimulai ketika Matahari berada pada sudut depresi yang sama dengan Isya, tetapi di pagi hari. Cahaya putih (fajar) mulai menyebar di ufuk timur.
Keterikatan ibadah dengan pergerakan kosmik ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang universal dan abadi, tidak terikat pada tradisi lokal, tetapi terikat pada hukum-hukum alam yang ditetapkan oleh Sang Pencipta. Dimensi waktu ini memastikan bahwa salat dapat dilaksanakan oleh umat Islam di seluruh dunia, meskipun jam dan zona waktu berbeda, karena acuannya adalah Matahari dan Fajar.
Manfaat Biologis (Chronobiology)
Para peneliti modern telah menyoroti bahwa waktu salat sangat selaras dengan ritme sirkadian (jam biologis) tubuh manusia:
- Subuh: Bangun sebelum fajar mengaktifkan sistem tubuh, meningkatkan kewaspadaan, dan menyeimbangkan hormon kortisol (hormon stres) yang puncaknya terjadi di pagi hari.
- Dzuhur: Salat di tengah hari memberikan jeda penting untuk mengistirahatkan pikiran dari stres kerja dan mengembalikan fokus spiritual.
- Ashar: Waktu Ashar adalah saat tubuh mulai merasa lelah; salat saat ini memberikan dorongan energi spiritual dan fisik baru sebelum paruh akhir hari.
- Maghrib/Isya: Ibadah di malam hari membantu menurunkan laju metabolisme dan mempersiapkan tubuh serta pikiran untuk istirahat malam.
Al-Isra' ayat 78, dengan menetapkan waktu berdasarkan pergerakan kosmik, secara implisit telah mengatur ulang jadwal biologis manusia agar selaras dengan ketenangan dan energi optimal, yang merupakan bagian dari rahmat dan hikmah syariat.
Konsekuensi Meninggalkan Salat dan Pentingnya Qadha
Karena salat terikat erat dengan waktu yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Isra' 78, konsekuensi meninggalkan salat, baik secara sengaja maupun karena uzur, memiliki bobot yang signifikan dalam fiqh.
Hukum Meninggalkan Salat Sengaja
Meninggalkan salat fardhu di dalam batasan waktu yang ditetapkan ayat 78 tanpa uzur syar'i (seperti lupa atau tidur) dianggap dosa besar, bahkan sebagian ulama menganggapnya sebagai kekufuran (pendapat Imam Ahmad dan sebagian ulama Salaf), sementara jumhur ulama menganggapnya sebagai dosa fasiq yang sangat besar.
Inti dari hukum ini adalah pelanggaran terhadap mawāqīt. Salat harus dilaksanakan lī waqtihā (pada waktunya). Ketika batas waktu yang ditentukan oleh Duluuk, Ghasaq, atau Qur'an Al-Fajr telah terlewati, maka hak Allah SWT atas ibadah pada waktu itu telah diabaikan. Ini menunjukkan betapa sakralnya batas waktu yang digariskan dalam ayat 78.
Hukum Qadha (Mengganti) Salat
Bagi mereka yang tertinggal salat karena lupa, tertidur, atau uzur yang sah, kewajiban untuk mengganti (qadha) salat itu tetap berlaku. Para ulama sepakat bahwa qadha harus dilakukan segera setelah uzur tersebut hilang. Dasar hukum ini juga terkait dengan penghormatan terhadap waktu yang telah ditentukan, di mana walau salat tidak dapat dilaksanakan di waktu utama, ia harus dilaksanakan di waktu pengganti sebagai bentuk pengakuan atas kewajiban tersebut.
Namun, bagi yang sengaja meninggalkan salat, terdapat perdebatan sengit di kalangan ulama: apakah qadha untuk salat yang ditinggalkan secara sengaja dapat diterima. Mazhab jumhur (Hanafi, Syafi'i, Maliki, Hanbali) mewajibkan qadha, meskipun mereka menekankan bahwa qadha tidak akan menghapus dosa meninggalkan salat tersebut, tetapi hanya memenuhi kewajiban yang terutang. Sementara itu, sebagian ulama modern berpendapat bahwa salat yang sengaja ditinggalkan tidak dapat diqadha karena ia telah kehilangan sifat waqtīyah (keterikatan waktu) yang disyaratkan dalam Al-Isra' 78.
Menghadirkan Kesadaran Waktu
Keseluruhan diskusi fiqh mengenai qadha dan uzur kembali menegaskan tujuan utama Al-Isra' 78: menanamkan kesadaran kronologis dan disiplin dalam ibadah. Seorang Muslim harus hidup dengan kesadaran bahwa ia terus bergerak dari satu waktu salat ke waktu salat berikutnya, di mana setiap detik di antara dua waktu salat adalah kesempatan untuk mempersiapkan diri bagi panggilan spiritual selanjutnya.
Penutup: Keabadian Perintah dan Hikmah Waktu
Surat Al-Isra' ayat 78 adalah pilar agung yang menopang struktur kewajiban salat harian. Ia bukan hanya sebuah kalimat, melainkan sebuah peta jalan yang menghubungkan waktu manusia yang fana dengan waktu kosmik yang abadi. Dari tergelincirnya matahari (Duluuk Asy-Syams) hingga kegelapan malam (Ghasaq Al-Lail), dan akhirnya pada keheningan fajar (Qur'an Al-Fajr), Allah SWT telah memberikan kerangka waktu yang sempurna untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Hikmah dari penetapan waktu yang presisi ini sangatlah luas. Ia mengajarkan umat Islam tentang nilai disiplin, konsistensi, dan ketepatan janji. Kehidupan seorang Muslim, ketika diatur oleh lima panggilan salat, menjadi terstruktur, terhindar dari kekacauan, dan senantiasa berorientasi pada tujuan akhir.
Pemahaman mendalam terhadap ayat ini memandu kita tidak hanya dalam menentukan kapan harus sujud, tetapi juga bagaimana kita harus menghargai setiap detik dalam hidup ini. Karena salat subuh itu disaksikan (mashhūdan), maka setiap salat harian lainnya yang lahir dari ayat ini juga menjadi saksi atas ketaatan kita di hadapan Tuhan, memastikan bahwa setiap hari kita dimulai, dijalankan, dan diakhiri dengan mengingat Sang Pencipta.
Kajian ini menegaskan bahwa perintah aqimis-salāta (dirikanlah salat) adalah perintah untuk mendirikan sebuah sistem hidup yang teratur dan penuh makna, yang akarnya tertanam kuat dalam fenomena alam, sebagaimana dijelaskan secara puitis dan presisi dalam Al-Qur'an Surat Al-Isra' ayat 78. Keteguhan dalam menjaga waktu salat adalah cerminan dari keteguhan iman itu sendiri.
***
Rincian mendalam mengenai tata cara pengukuran dan perhitungan waktu salat telah menjadi warisan intelektual Muslim selama berabad-abad, mulai dari astrolab kuno hingga kalender hijriah modern. Setiap perhitungan menit dalam kalender salat harian adalah penghormatan terhadap perintah Ilahi yang tersemat dalam frasa Duluuk, Ghasaq, dan Qur'an Al-Fajr. Kepatuhan pada kerangka waktu ini adalah kunci untuk memperoleh keberkahan spiritual yang dijanjikan dalam ayat tersebut.
Sebagai penutup dari analisis komprehensif ini, kita mengingat bahwa salat adalah komunikasi langsung dengan Khaliq, dan komunikasi yang efektif harus dilakukan pada waktu yang telah ditetapkan. Al-Isra' ayat 78 memastikan komunikasi ini terjalin lima kali sehari, mengikat bumi dengan langit melalui disiplin waktu yang suci.
***
Ekspansi Fiqh Lanjutan: Penggabungan Salat (Jamak)
Meskipun ayat 78 menekankan waktu yang terpisah, fiqh juga membahas kondisi pengecualian yang memungkinkan penggabungan salat (jamak) antara Dhuhur-Ashar, dan Maghrib-Isya. Konsep jamak, yang diterapkan dalam perjalanan atau kondisi darurat lainnya, tidak membatalkan penetapan waktu dalam ayat 78, melainkan merupakan dispensasi (rukhsah) yang diberikan oleh syariat.
Jamak salat menunjukkan bahwa fleksibilitas syariat hanya berlaku ketika ada uzur yang sah, bukan sebagai kelonggaran permanen. Bahkan ketika dijamak, salat tetap terikat pada pasangan waktunya: Dhuhur dan Ashar harus dilaksanakan dalam rentang Duluuk Asy-Syams, dan Maghrib serta Isya dalam rentang Ghasaq Al-Lail. Subuh, atau Qur'an Al-Fajr, tidak pernah dapat dijamak dengan salat lainnya, menegaskan keistimewaan dan kekhususan waktunya yang disaksikan oleh para malaikat.
***
Ketetapan waktu ini juga menjadi penentu sah atau tidaknya ibadah-ibadah lain, seperti puasa (dimulai sebelum Fajar/Qur'an Al-Fajr) dan haji (penetapan waktu wukuf). Dengan demikian, Al-Isra' ayat 78 merupakan poros waktu sentral dalam seluruh sistem ibadah Islam.
***
Detail-detail perhitungan astronomis modern yang digunakan oleh lembaga-lembaga keagamaan di seluruh dunia, yang menentukan sudut depresi matahari untuk fajar dan isya (seperti 18 derajat, 15 derajat, atau 12 derajat), semuanya adalah upaya untuk merealisasikan secara praktis makna harfiah dari Duluuk Asy-Syams, Ghasaq Al-Lail, dan Qur'an Al-Fajr dalam konteks geografis yang beragam.
Maka, kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Isra' 78 adalah ayat waktu, ayat disiplin, dan ayat kesadaran, yang harus terus direnungkan oleh setiap Muslim dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ketaatan yang terukur dan terencana.
***
Perintah untuk mendirikan salat pada waktu yang ditentukan juga memiliki dimensi sosial. Ketika seluruh komunitas terikat pada kerangka waktu yang sama, hal itu menciptakan ritme sosial yang terpadu. Seruan adzan yang membelah waktu Duluuk dan Ghasaq adalah panggilan untuk mengesampingkan perbedaan dan bersatu dalam barisan yang sama. Dalam konteks ini, waktu salat bukan hanya kewajiban individual, tetapi juga katalisator bagi persatuan umat (ukhuwah islamiyah), sebuah realitas yang tak terpisahkan dari inti ajaran Islam yang diamanatkan sejak periode Makkiyah melalui Surat Al-Isra'.