Surah Al Isra, yang juga dikenal sebagai Bani Isra'il, adalah surah yang kaya akan panduan moral, prinsip-prinsip tauhid, dan gambaran masa depan risalah kenabian. Di antara ayat-ayatnya yang mengandung permohonan yang mendalam dan memiliki implikasi universal, Ayat 80 berdiri sebagai sebuah mercusuar integritas. Ayat ini adalah sebuah doa yang diajarkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, namun esensinya berlaku bagi setiap Muslim yang menginginkan kesempurnaan dalam setiap permulaan dan pengakhiran tindakan, proyek, atau bahkan kehidupan itu sendiri.
(Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku dengan cara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.")
Ayat mulia ini, meskipun ringkas dalam redaksi, mengandung tiga pilar utama bagi keberhasilan seorang hamba di dunia dan akhirat: permulaan yang tulus (*mudkhal sidqin*), pengakhiran yang tulus (*mukhraj sidqin*), dan sokongan kekuasaan Ilahi yang membela kebenaran (*sulthānan nashīrā*). Analisis yang komprehensif terhadap permintaan ini mengungkapkan kedalaman teologis, filosofis, dan praktis yang tak terbatas, menjadikannya salah satu doa paling penting dalam menghadapi transisi kehidupan.
Untuk memahami keagungan Ayat 80, kita harus menelaah setiap frasa kuncinya, terutama fokus pada makna inti dari kata ‘sidq’ (kebenaran/ketulusan) dan ‘sulthānan nashīrā’ (kekuasaan yang menolong).
Frasa Mudkhal Sidqin secara harfiah berarti "tempat masuk yang benar" atau "cara masuk yang tulus". Dalam konteks luasnya, ini merujuk pada setiap permulaan dalam hidup. Ini bukan sekadar tentang masuk ke suatu lokasi fisik, melainkan tentang niat, landasan, dan etika saat memulai suatu perkara. Para mufasir, baik klasik maupun kontemporer, telah memberikan dimensi yang kaya terhadap interpretasi frasa ini, yang mencakup bukan hanya satu, melainkan spektrum luas dari makna spiritual dan praktis.
Permintaan akan *Mudkhal Sidqin* adalah permintaan agar pintu masuk yang kita ambil—apakah itu Hijrah, memulai dakwah baru, memasuki peran kepemimpinan, atau bahkan memulai suatu proyek kecil—dibangun di atas fondasi kebenaran mutlak. Kebenaran di sini merangkum tiga aspek fundamental: kebenaran niat (ikhlas), kebenaran cara (sesuai syariat), dan kebenaran tujuan (mencari ridha Allah). Jika salah satu dari tiga aspek ini cacat, maka ‘masuk’ tersebut tidaklah dapat disebut ‘masuk yang benar’.
Integritas pada permulaan adalah syarat utama. Ketika seorang hamba memulai sesuatu dengan niat yang suci, bebas dari kepentingan duniawi yang merusak dan dorongan hawa nafsu yang menyesatkan, maka permulaan itu telah disucikan. Masuk yang benar berarti memulai dengan pijakan yang kokoh, di mana kejujuran adalah mata uang, dan keikhlasan adalah modal utama. Jika niat memasuki suatu jabatan adalah untuk memperkaya diri, atau jika niat memasuki suatu pernikahan didasarkan pada ilusi sesaat, maka permulaan tersebut gagal memenuhi kriteria *sidq* yang diminta oleh doa ini.
Lebih jauh lagi, Mudkhal Sidqin mengajarkan kita tentang strategi dan persiapan yang harus didasarkan pada kebenaran. Bukan hanya niat, tetapi perencanaan dan pelaksanaan awal harus bebas dari penipuan, manipulasi, dan kecurangan. Nabi SAW meminta kepada Tuhannya agar langkah pertamanya selalu berada di atas landasan yang tidak akan goyah, yang hanya mungkin terjadi jika landasan itu adalah kebenaran Ilahi.
Permintaan ini menjadi sangat relevan dalam kisah kenabian, terutama terkait peristiwa Hijrah. Hijrah dari Mekah ke Madinah adalah sebuah "pintu masuk" yang monumental. Nabi SAW meminta agar pintu masuk ini, yaitu penetapan beliau di Madinah dan dimulainya era masyarakat Islam di sana, menjadi pintu masuk yang terhormat, di mana kebenaran risalahnya diakui dan ditegakkan. Keberhasilan Madinah sebagai negara kota yang Islami adalah bukti nyata dikabulkannya *Mudkhal Sidqin* ini.
Sejajar dengan pentingnya permulaan, Ayat 80 menekankan pentingnya pengakhiran. Mukhraj Sidqin berarti "tempat keluar yang benar" atau "cara keluar yang tulus/terhormat". Jika *Mudkhal* berbicara tentang inisiasi, maka *Mukhraj* berbicara tentang konsekuensi, penyelesaian, dan penutupan.
Pengakhiran yang benar berarti bahwa suatu tindakan, misi, atau fase kehidupan diselesaikan dengan cara yang mulia, meninggalkan warisan yang positif, dan bebas dari cacat moral atau kegagalan yang memalukan. Ini adalah permohonan agar Allah menjamin kesudahan yang baik, di mana usaha yang telah dilakukan diakui secara jujur dan hasilnya dipertanggungjawabkan dengan integritas penuh.
Dalam konteks Hijrah, Mukhraj Sidqin merujuk pada keberangkatan Nabi SAW dari Mekah. Meskipun beliau keluar karena terdesak dan terancam, beliau keluar dengan kehormatan dan kemuliaan, tidak ada sedikitpun cela yang menodai perjuangannya. Beliau keluar dengan meninggalkan pesan tauhid yang tak terhapuskan, dan janji Ilahi bahwa beliau akan kembali dengan kemenangan. Keluarnya beliau bukanlah kekalahan, melainkan langkah strategis yang didasarkan pada kebenaran janji Allah.
Di level personal, *Mukhraj Sidqin* adalah doa untuk *husnul khatimah*—akhir yang baik. Ini adalah permintaan yang mencakup akhir dari proyek, akhir dari sebuah persahabatan, akhir dari peran kepemimpinan, dan yang paling utama, akhir dari kehidupan di dunia ini. Ketika seseorang mengakhiri masa jabatannya, apakah ia meninggalkannya dengan pujian yang tulus atas integritasnya, ataukah ia keluar dengan meninggalkan skandal dan penyesalan? Doa ini meminta agar kesudahan kita selalu bersih dari celaan, dan diterima di sisi Ilahi.
Korelasi antara *Mudkhal Sidqin* dan *Mukhraj Sidqin* sangat erat. Seorang hamba yang memulai sesuatu dengan kebenaran (sidq) akan cenderung mengakhirinya dengan kebenaran pula. Kebenaran pada permulaan menghasilkan keteguhan hati yang memungkinkan pengakhiran yang terhormat, karena ia tidak pernah bergeser dari landasan moralnya, meskipun menghadapi kesulitan di tengah jalan.
Pilar ketiga, Wa ij’al lī min ladunka sulthānan nashīrā, adalah puncaknya. Setelah meminta integritas dalam permulaan dan pengakhiran, Nabi SAW memohon sesuatu yang lebih besar: "dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong."
Kata Sulthān di sini tidak hanya berarti kekuasaan politik atau kekuatan fisik. Dalam konteks Al-Qur’an, Sulthān sering diartikan sebagai hujjah (bukti), argumen yang kuat, atau otoritas moral yang tak terbantahkan. Nashīrā berarti yang menolong, yang mendukung, atau yang membela.
Oleh karena itu, Sulthānan Nashīrā adalah otoritas yang membela kebenaran dan didukung secara langsung oleh Allah. Ini adalah otoritas yang berasal dari Tuhan (*min ladunka*), bukan dari manusia, popularitas, atau kekayaan. Permintaan ini menyiratkan bahwa bahkan integritas yang paling murni (sidq) tidak akan berhasil tanpa dukungan dan pertolongan Ilahi yang menghasilkan kekuatan moral tak tertandingi.
Kekuasaan penolong ini adalah manifestasi dari janji Allah untuk membela hamba-hamba-Nya yang berjuang di jalan kebenaran. Itu adalah kemampuan untuk menghadapi kesulitan tanpa runtuh, kekuatan untuk tetap teguh saat dunia menekan, dan bukti yang jelas bagi para penentang bahwa risalah yang dibawa adalah benar. Ini adalah pertolongan yang datang dalam bentuk kemenangan spiritual, penegasan wahyu, dan kemampuan untuk menegakkan keadilan, bahkan ketika sumber daya manusia terbatas.
Dalam kisah Nabi Muhammad SAW, Sulthānan Nashīrā terwujud dalam kemenangan beliau atas musuh-musuh Mekah, penegakan negara Madinah, dan penyebaran Islam secara luas. Itu adalah kekuasaan yang bukan didasarkan pada penindasan, melainkan pada kebenaran yang menaklukkan hati dan pikiran. Permintaan ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada dukungan Tuhan, bukan pada banyaknya pengikut atau besarnya harta benda.
Ayat 80 diyakini kuat oleh sebagian besar ulama tafsir terkait erat dengan peristiwa besar dalam sejarah Islam: Hijrah. Ayat ini diturunkan pada periode akhir di Mekah, ketika tekanan terhadap umat Muslim telah mencapai puncaknya dan izin untuk beremigrasi ke Madinah (Yatsrib) akan segera diberikan.
Pada saat ayat ini diwahyukan, Nabi Muhammad SAW berada dalam masa paling kritis. Beliau telah berjuang selama bertahun-tahun di Mekah, tetapi dakwahnya semakin ditentang. Kaum Quraisy berusaha memadamkan api risalah dengan segala cara, termasuk ancaman pembunuhan, boikot, dan penganiayaan. Ini adalah periode transisi yang penuh risiko, di mana 'keluar' dari Mekah (Mukhraj) harus dilakukan dengan terhormat dan 'masuk' ke Madinah (Mudkhal) harus memastikan kelangsungan misi Ilahi.
Hijrah bukanlah sekadar pelarian fisik; itu adalah permulaan dan pengakhiran yang strategis. Mudkhal Sidqin di sini secara spesifik diartikan sebagai masuknya Nabi ke Madinah dengan aman, disambut dengan hormat, dan memiliki dasar yang kuat untuk mendirikan negara yang berlandaskan syariat. Sebaliknya, Mukhraj Sidqin berarti keluarnya beliau dari Mekah, meninggalkan tanah kelahiran, namun melakukannya dengan martabat dan kebenaran, tanpa sedikit pun keraguan akan jalan yang beliau tempuh.
Konteks ini menunjukkan betapa pentingnya Sulthānan Nashīrā. Tanpa kekuasaan penolong dari Allah, upaya transisi ini bisa saja berakhir dengan kegagalan total, di mana Nabi SAW hanya akan menjadi pelarian tanpa tujuan. Doa ini adalah pengakuan bahwa keberhasilan dalam menghadapi penindasan total hanya dapat dicapai melalui otoritas moral dan perlindungan yang disediakan langsung oleh Sang Pencipta. Doa ini menjadi jembatan spiritual yang menjamin kemenangan risalah dalam fase baru.
Memahami konteks Hijrah membantu kita menyadari bahwa Ayat 80 adalah pengakuan atas keterbatasan manusia. Nabi Muhammad SAW, meskipun memiliki keteguhan luar biasa, tetaplah manusia yang membutuhkan pertolongan Tuhannya. Beliau tidak meminta kekuasaan duniawi yang cepat, melainkan kekuasaan yang bersifat fundamental: kekuasaan berbasis kebenaran yang menolong dan menjamin integritas misi beliau.
Ayat ini mengajarkan kepada para pemimpin, aktivis, dan siapa pun yang berada di tengah perjuangan bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari sumber daya material, melainkan dari ketulusan niat (sidq) dan kehadiran dukungan Ilahi (sulthānan nashīrā). Ketika kedua aspek ini bersatu, bahkan gerakan minoritas yang terpinggirkan pun dapat menjadi kekuatan yang mengubah sejarah.
Konsep Sidq (kebenaran, ketulusan) adalah jantung dari Ayat 80. Memahami Sidq dalam konteks ini memerlukan pendalaman yang melampaui makna harfiahnya. Ia adalah prinsip kosmik yang mengatur hubungan antara hamba dengan Penciptanya dan hamba dengan sesama.
Kebenaran yang diminta dalam Ayat 80 adalah kebenaran yang menyeluruh: keselarasan sempurna antara batin (niat) dan lahir (tindakan). Seseorang yang masuk dengan mudkhal sidqin berarti niatnya (alasan batinnya untuk bertindak) sesuai dengan tindakan lahiriahnya, dan keduanya sesuai dengan kehendak Ilahi. Ini adalah standar integritas tertinggi yang membedakan mukmin sejati dari munafik, di mana munafik selalu memiliki 'masuk' dan 'keluar' yang cacat, dibangun di atas kepalsuan dan tipu daya.
Filsafat Islam menekankan bahwa kebenaran (sidq) adalah fondasi moral yang tanpanya amal perbuatan tidak akan diterima. Jika kita memulai suatu proyek dengan niat yang salah—misalnya, bertindak baik di hadapan publik hanya untuk pujian—maka permulaan kita telah dicemari. Demikian pula, jika kita mengakhiri suatu tugas dengan menipu atau memanipulasi hasilnya, maka pengakhiran kita tidak akan mencapai tingkat *mukhraj sidqin*.
Ayat ini mengajak kita untuk melakukan introspeksi mendalam pada setiap fase kehidupan. Apakah kita jujur pada diri sendiri tentang motivasi kita? Apakah kita jujur kepada Tuhan tentang komitmen kita? Permintaan akan sidq dalam permulaan dan pengakhiran adalah permintaan untuk hidup dalam keadaan kejujuran spiritual yang berkelanjutan, dari nafas pertama hingga nafas terakhir dari suatu usaha.
Universalitas doa ini memungkinkan penerapannya pada setiap peristiwa transisi dalam hidup, baik mikro maupun makro:
Memasuki proses belajar (Mudkhal Sidqin) berarti melakukannya dengan niat murni untuk mencari kebenaran dan menghilangkan kebodohan, bukan hanya untuk mendapatkan gelar atau kekayaan. Keluar dari proses belajar (Mukhraj Sidqin) berarti mengamalkan ilmu yang didapat dengan jujur dan menyebarkannya tanpa menyembunyikan kebenaran. Otoritas penolong (Sulthānan Nashīrā) di sini adalah kemampuan untuk membela ilmu dan kebenaran ilmiah yang telah ditemukan, bahkan ketika itu bertentangan dengan kepentingan pribadi atau sosial.
Ketika seorang individu memasuki posisi kekuasaan, ia memohon *Mudkhal Sidqin* agar ia memimpin demi keadilan dan kesejahteraan umat, bukan demi keuntungan pribadi. Ketika ia meninggalkan jabatan itu (Mukhraj Sidqin), ia memohon agar ia keluar tanpa skandal, tanpa merusak amanah, dan meninggalkan warisan kebaikan yang tulus. Dalam konteks ini, Sulthānan Nashīrā adalah dukungan Ilahi yang memberinya keberanian untuk menolak korupsi dan menegakkan kebenaran di tengah tekanan politik.
Memulai hubungan (pernikahan, persahabatan, kemitraan bisnis) dengan *Mudkhal Sidqin* berarti memulai dengan janji tulus dan komitmen yang jujur. Mengakhiri hubungan (perceraian, perpisahan, pembubaran) dengan *Mukhraj Sidqin* berarti melakukannya dengan kehormatan, keadilan, dan tanpa merugikan pihak lain, menjaga martabat semua yang terlibat. Dalam semua ini, yang menolong adalah otoritas hati nurani yang didukung oleh bimbingan agama.
Mengingat konteks kenabian, permintaan ini bukanlah permintaan biasa. Ia adalah formulasi doa yang disempurnakan yang mencerminkan pemahaman mendalam Nabi SAW tentang tantangan dalam menjalankan risalah. Doa ini adalah template bagi umatnya untuk memohon kekuatan spiritual dan dukungan transenden dalam setiap perjuangan.
Frasa ‘min ladunka’ ("dari sisi-Mu") dalam permintaan Sulthānan Nashīrā membedakan kekuasaan ini dari kekuasaan duniawi. Kekuasaan yang datang dari manusia bisa berubah, rapuh, dan rentan terhadap korupsi. Kekuasaan yang datang dari sisi Allah adalah absolut, tidak terbatas, dan selalu berada di pihak kebenaran. Ini adalah inti dari tauhid dalam kepemimpinan: mengakui bahwa otoritas tertinggi dan pertolongan sejati hanya berasal dari Sumber yang Maha Kekal.
Permintaan ini menunjukkan bahwa Nabi SAW memahami bahwa untuk mendirikan peradaban yang berlandaskan kebenaran, beliau tidak dapat hanya mengandalkan strategi militer atau kecerdasan diplomatik manusia semata. Beliau memerlukan campur tangan Ilahi yang menghasilkan kekuasaan moral yang melampaui logika duniawi, memungkinkan kebenaran risalahnya menyebar meskipun dengan sumber daya yang minim dan ancaman yang masif.
Kekuasaan penolong ini adalah manifestasi rahmat Allah yang diberikan kepada mereka yang berjuang dengan integritas. Ia adalah senjata pamungkas bagi orang-orang yang telah memastikan permulaan dan pengakhiran mereka dengan *sidq*. Setelah seseorang melakukan segala upaya manusiawi untuk memastikan ketulusannya, barulah ia berhak memohon pertolongan yang bersifat transenden ini.
Secara teologis, Sulthānan Nashīrā adalah janji kekuasaan yang selalu dikaitkan dengan penegakan keadilan dan pembelaan kebenaran. Ia bukanlah kekuatan yang digunakan untuk menindas, melainkan kekuatan yang digunakan untuk membebaskan manusia dari penindasan. Kekuatan ini mengeliminasi kepalsuan dan menegaskan hujjah Allah di muka bumi.
Dalam sejarah Islam, kita melihat manifestasi Sulthānan Nashīrā dalam berbagai momen, dari kemenangan Perang Badar (ketika pasukan kecil mengalahkan yang besar karena dukungan Ilahi) hingga penaklukkan Mekah (ketika kota itu direbut tanpa pertumpahan darah besar-besaran, membuktikan otoritas moral kenabian). Setiap kemenangan ini adalah bukti bahwa ketika permulaan dan pengakhiran dilakukan dengan kebenaran mutlak, Allah akan menyediakan kekuasaan penolong yang melampaui ekspektasi manusia.
Karena sidq adalah poros utama dari Ayat 80, penting untuk menggali lebih jauh bagaimana para ulama klasik mendefinisikan dan mengklasifikasikan kebenaran yang diminta dalam doa ini. Sidq memiliki berbagai tingkatan yang harus dipenuhi oleh seorang mukmin agar 'masuk' dan 'keluar'nya dianggap 'benar'.
Tingkatan dasar dari sidq adalah kejujuran lisan. Seorang hamba yang meminta mudkhal sidqin harus memastikan bahwa setiap kata yang ia ucapkan saat memulai atau mengakhiri suatu tindakan adalah benar. Tidak ada kebohongan, tidak ada janji palsu, dan tidak ada upaya untuk menyesatkan orang lain dengan kata-kata manis yang menyembunyikan niat buruk. Ini adalah landasan moral publik; tanpa kejujuran lisan, integritas tidak mungkin dicapai. Kebohongan pada permulaan pasti akan menghasilkan pengakhiran yang memalukan. Integritas dimulai dari kontrol terhadap lidah, memastikan bahwa apa yang diucapkan sejalan dengan realitas yang dimaksudkan.
Kejujuran lisan ini memerlukan konsistensi yang ketat. Seseorang yang memulai suatu perjanjian dengan perkataan yang benar, ia harus memastikan bahwa sepanjang durasi perjanjian tersebut, semua komunikasinya tetap jujur, dan ketika ia keluar dari perjanjian itu, ia harus memberikan laporan yang jujur dan transparan mengenai apa yang telah terjadi dan apa yang telah dicapai. Permintaan Nabi SAW terhadap sidq mencakup seluruh spektrum komunikasi ini, memastikan bahwa kejujuran lisan berfungsi sebagai penjamin dari integritas tindakan.
Ini adalah tingkatan yang paling esensial dan berkaitan langsung dengan Mudkhal Sidqin. Kebenaran niat berarti ikhlas, yaitu memurnikan tujuan dari segala kotoran syirik kecil (riya', sum'ah) dan menjadikan keridhaan Allah sebagai satu-satunya tujuan. Jika niat memasuki ibadah, pekerjaan, atau perjuangan didasarkan pada motivasi selain Allah—misalnya, mencari ketenaran, pujian manusia, atau kekayaan haram—maka niat itu telah cacat, dan permulaan itu tidak akan menjadi *mudkhal sidqin*.
Para sufi menekankan bahwa niat adalah gerbang menuju amal. Niat yang tulus menciptakan fondasi yang kokoh, sementara niat yang tercampur akan menghasilkan bangunan yang rapuh. Permintaan akan *Mudkhal Sidqin* adalah sebuah upaya untuk memagari niat agar tetap murni. Seorang hamba harus secara konstan memeriksa motivasinya: "Mengapa aku melakukan ini? Apakah karena aku takut pada Tuhan atau takut pada manusia?" Hanya ketika jawaban itu sepenuhnya mengarah kepada Allah, barulah pintu masuk itu dapat dikatakan benar.
Ini adalah kebenaran dalam pelaksanaan tindakan. Setelah niat ditetapkan dan perkataan diucapkan, tindakan harus mencerminkan komitmen itu secara penuh. Ini berarti menunaikan amanah dengan sempurna, bekerja keras, dan tidak mengurangi timbangan atau mengabaikan tanggung jawab. Jika seseorang memulai suatu pekerjaan dengan niat baik, tetapi di tengah jalan ia malas atau berkhianat, maka ia telah gagal dalam Sidq al-Wafd, dan pengakhirannya (Mukhraj) akan tercemar oleh kegagalan ini.
Kebenaran dalam penunaian amanah menjadi sangat penting dalam konteks kepemimpinan. Pemimpin yang meminta *mudkhal sidqin* harus menjalankan kekuasaannya dengan adil dan efisien, menjauhkan diri dari nepotisme dan korupsi. Integritas dalam penunaian tugas ini menjamin bahwa saat ia 'keluar' dari jabatannya, ia akan keluar dengan kehormatan dan tanpa meninggalkan utang atau kekacauan yang disengaja. Ini adalah manifestasi *sidq* dalam bentuk profesionalitas dan etika kerja yang tinggi.
Tingkatan tertinggi dari sidq adalah menjadi jujur dalam setiap keadaan spiritual yang dialami. Jujur dalam rasa takut, jujur dalam harapan, jujur dalam kesabaran, dan jujur dalam syukur. Ketika seorang hamba berada dalam kesulitan, Sidq al-Maqāmāt berarti ia benar-benar bersabar dan tidak mengeluh. Ketika ia diberi nikmat, ia benar-benar bersyukur dan tidak sombong. Ini adalah keteguhan hati yang memungkinkan seorang mukmin untuk melalui setiap transisi kehidupan (masuk dan keluar dari berbagai keadaan) tanpa kehilangan pegangan spiritualnya.
Seorang yang mencapai Sidq al-Maqāmāt memiliki jiwa yang kokoh. Ketika ia memasuki masa ujian, ia memasukinya dengan keyakinan yang benar (Mudkhal Sidqin). Ketika ia keluar dari ujian itu, ia keluar dengan iman yang tidak berkurang dan pelajaran yang tulus (Mukhraj Sidqin). Tingkat kebenaran inilah yang paling layak menerima Sulthānan Nashīrā, karena ia membuktikan ketahanan spiritual hamba tersebut di hadapan Allah.
Ayat 80 tidak hanya berlaku untuk dua titik statis (awal dan akhir), melainkan mengajarkan sifat siklus dari kehidupan. Hidup manusia adalah serangkaian 'masuk' dan 'keluar' yang tak berkesudahan.
Setiap pagi kita 'masuk' ke dalam hari, memulai aktivitas, pekerjaan, atau tugas baru. Doa ini mengajarkan kita untuk memasuki hari itu dengan niat yang benar (Mudkhal Sidqin). Malam hari, kita 'keluar' dari aktivitas dunia dan kembali kepada istirahat atau tidur (Mukhraj Sidqin), memohon agar penyelesaian hari kita terhormat, diakhiri dengan amal baik, dan dipertanggungjawabkan dengan jujur di hadapan Allah. Kekuasaan penolong (Sulthānan Nashīrā) adalah perlindungan dan bimbingan yang diberikan Allah sepanjang hari untuk memastikan kita tetap berada di jalur yang benar.
Pintu masuk terbesar adalah kelahiran ke dunia ini. Kita memohon agar keberadaan kita (Mudkhal) didasarkan pada kebenaran fitrah dan tauhid. Pintu keluar terbesar adalah kematian, di mana kita memohon Mukhraj Sidqin, yaitu mati dalam keadaan iman yang utuh, diterima dengan baik di sisi Tuhan, dan terbebas dari siksa. Seluruh perjalanan hidup di antara dua titik ini adalah perjuangan untuk mempertahankan Sidq, dengan harapan mendapatkan Sulthānan Nashīrā sebagai saksi dan pembela kita di hari perhitungan.
Kehidupan adalah serangkaian peran yang kita masuki dan tinggalkan. Kita 'masuk' sebagai pelajar, lalu 'keluar' menjadi pekerja. Kita 'masuk' menjadi anak, lalu 'keluar' menjadi orang tua. Setiap transisi ini harus dicirikan oleh integritas mutlak. Tanpa kesadaran akan siklus ini, kita mungkin berhasil dalam 'masuk' tetapi gagal total dalam 'keluar', atau sebaliknya. Ayat 80 menuntut kesempurnaan dalam kedua fase tersebut secara simultan.
Lebih dari sekadar doa, Ayat 80 adalah pernyataan etis yang mendalam mengenai bagaimana seorang mukmin harus menjalankan hidupnya. Ia adalah manual untuk mencapai integritas yang total, baik di mata manusia maupun di sisi Tuhan.
Permintaan akan *Mudkhal* dan *Mukhraj Sidqin* menciptakan standar akuntabilitas yang ekstrem. Seseorang harus selalu bertanya: "Apakah permulaanku benar?" dan "Apakah aku akan dapat mempertanggungjawabkan pengakhiranku?" Hal ini menumbuhkan kebiasaan refleksi diri dan muhasabah (introspeksi) yang konstan, mencegah seseorang dari penyimpangan. Seorang hamba yang menerapkan ayat ini tidak akan pernah menganggap enteng permulaan, juga tidak akan pernah lalai dalam penyelesaian. Setiap langkah harus dipertimbangkan dengan cermat dan ditimbang dengan neraca kebenaran.
Akuntabilitas ini bersifat internal sebelum menjadi eksternal. Bahkan jika tidak ada manusia yang mengetahui niat dan tindakan kita, Allah Maha Mengetahui permulaan dan pengakhiran kita. Kesadaran ini mendorong etika yang mandiri, di mana integritas dipertahankan bukan karena takut pada hukuman manusia, melainkan karena kesadaran akan pengawasan Ilahi. Ini adalah etos yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat modern yang sering kali mengorbankan kejujuran demi keuntungan sesaat.
Ayat ini secara tajam menentang kemunafikan. Kemunafikan dicirikan oleh 'masuk' yang palsu dan 'keluar' yang licik. Orang munafik menampilkan kepalsuan pada permulaan tindakannya dan meninggalkan kekacauan atau pengkhianatan di akhirnya. Sebaliknya, mukmin yang sejati, yang berdoa dengan Ayat 80, menolak segala bentuk kepalsuan. Ia berjuang untuk konsistensi, sehingga batinnya selaras dengan lahirnya, dan permulaannya selaras dengan pengakhirannya.
Dalam pertarungan antara kebenaran dan kepalsuan, Sulthānan Nashīrā adalah senjata yang diberikan kepada mereka yang berpegang teguh pada sidq. Kekuatan penolong ini memastikan bahwa pada akhirnya, kebenaran akan menang dan kepalsuan akan hilang. Sebagaimana firman Allah pada ayat setelahnya (Al Isra: 81): "Katakanlah, 'Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.' Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap." Kemenangan kebenaran ini dijamin hanya bagi mereka yang telah memasukkan dan mengeluarkan dirinya dengan integritas total.
Kita telah membahas Sulthānan Nashīrā dalam konteks fisik dan kepemimpinan (Hijrah, kemenangan). Namun, kekuasaan penolong ini memiliki dimensi spiritual yang jauh lebih dalam, terkait dengan perjuangan batin melawan hawa nafsu.
Pertempuran terbesar seorang hamba adalah pertempuran melawan dirinya sendiri (jihad al-akbar). Dalam konteks ini, Sulthānan Nashīrā adalah dukungan Ilahi yang memberikan kekuatan kepada jiwa untuk mengalahkan dorongan negatif, menjaga diri dari godaan, dan tetap istiqamah. Kekuasaan penolong ini adalah kemampuan untuk menguasai diri, mengontrol emosi, dan memimpin hati menuju ketaatan.
Ketika seseorang berusaha keras untuk memulai suatu ibadah dengan tulus (Mudkhal Sidqin), seperti puasa atau qiyamul lail, ia membutuhkan Sulthānan Nashīrā untuk membantunya bertahan dan mengakhiri ibadah itu dengan khusyuk (Mukhraj Sidqin). Kekuasaan ini adalah keteguhan yang mencegahnya menyerah di tengah jalan, atau merusak pahala ibadahnya dengan kesombongan setelah menyelesaikannya.
Sulthānan Nashīrā juga dapat diinterpretasikan sebagai Nur (cahaya) Ilahi yang menuntun hati. Kekuasaan penolong ini adalah karunia pemahaman yang jelas, hikmah yang mendalam, dan hidayah yang tak terputus. Kekuatan ini memampukan seorang hamba untuk melihat kebenaran meskipun diselimuti keraguan, dan untuk membuat keputusan yang benar meskipun menghadapi tekanan yang luar biasa. Ini adalah kekuasaan yang datang melalui hati yang telah disucikan oleh sidq.
Ketika hati seorang mukmin telah dipenuhi kejujuran (sidq) baik pada saat ia 'masuk' dalam perenungan maupun 'keluar' dalam tindakan, maka Allah menjanjikan baginya sulthānan nashīrā—suatu otoritas batin yang kuat. Ini adalah kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah (furqan), yang merupakan hasil langsung dari ketulusan niat dan amal. Kekuatan ini adalah jaminan bahwa hamba tersebut tidak akan tersesat, karena petunjuk yang ia terima adalah pertolongan langsung dari sisi Allah.
Ayat 80 memberikan kerangka kerja strategis bagi kehidupan yang berhasil. Ini adalah pengingat bahwa kesuksesan sejati tidak diukur dari hasil yang dicapai, melainkan dari integritas prosesnya.
Sebelum memulai proyek apa pun, seorang mukmin harus menginvestasikan waktu untuk memurnikan niatnya. Ia harus bertanya, "Apa yang kuinginkan dari ini?" Jika jawabannya adalah sesuatu yang fana dan tidak murni, maka ia harus menunda atau mengubah niatnya hingga mencapai sidq. Fase 'masuk' memerlukan perencanaan yang etis, menghindari cara-cara yang meragukan, dan memastikan bahwa semua dasar hukum serta moral terpenuhi. Ketidakjujuran sedikit pun di awal akan menjadi benih kehancuran di akhir.
Bahkan dalam hal-hal kecil, seperti memasuki rumah, kita diajarkan untuk mengucapkan salam (yang merupakan permulaan yang tulus dan berkah). Nabi SAW mengajarkan kita bahwa setiap permulaan harus disucikan dengan niat yang benar dan zikir kepada Allah, memastikan bahwa kita memulai di bawah naungan mudkhal sidqin.
Fase 'keluar' adalah ujian sejati. Seringkali, manusia tergoda untuk mengorbankan integritas di akhir, misalnya, dengan memalsukan laporan akhir, meninggalkan utang yang belum terbayar, atau lari dari tanggung jawab. Mukhraj Sidqin menuntut kita untuk menyelesaikan tugas dengan sempurna, menunaikan semua janji yang tersisa, memberikan hak setiap orang, dan menerima hasil (sukses atau gagal) dengan kerendahan hati dan kepatuhan terhadap takdir Allah.
Bagi seorang pemimpin, pengakhiran yang benar adalah ketika ia menyerahkan kekuasaannya tanpa ambisi untuk tetap mengontrol di balik layar, tanpa menimbulkan perpecahan, dan tanpa menggunakan kekuasaannya di menit-menit terakhir untuk kepentingan pribadi. Ia keluar dengan bersih, meninggalkannya dalam keadaan lebih baik dari saat ia memasukinya.
Meskipun kita berjuang untuk mencapai sidq dalam 'masuk' dan 'keluar', kita tidak boleh lupa bahwa kekuatan kita adalah terbatas. Oleh karena itu, kita menutup doa dengan memohon Sulthānan Nashīrā. Ini adalah pengakuan kerendahan hati bahwa integritas terbesar pun membutuhkan bantuan mutlak dari Yang Maha Kuasa. Menggantungkan diri pada pertolongan Allah adalah puncak dari tawakkal (kepercayaan), yang menjadi kunci untuk membuka pintu keberhasilan yang abadi.
Doa yang agung dalam Surah Al Isra Ayat 80 ini merupakan ringkasan sempurna dari jalan hidup seorang hamba yang beriman. Ia menuntut kejujuran paripurna dalam setiap transisi, mengaitkan keberhasilan etika manusiawi dengan janji dukungan Ilahi. Ia adalah kompas moral yang menuntun umat untuk senantiasa mencari keridhaan Allah dalam setiap langkah, memastikan bahwa setiap permulaan dan pengakhiran kita selalu dihiasi dengan kemuliaan kebenaran.