Pendahuluan: Ayat Kunci Menuju Kemuliaan
Surah Al-Isra, yang dinamakan berdasarkan peristiwa monumental Perjalanan Malam Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Baitul Maqdis, merupakan surah yang kaya akan panduan moral, etika, dan landasan teologis yang mendalam. Di antara rangkaian petunjuk agung dalam surah ini, tersembunyi sebuah perintah spiritual yang menjanjikan ganjaran tertinggi bagi pelakunya, yaitu firman Allah SWT dalam ayat ke-79.
Ayat ini tidak hanya memberikan perintah spesifik mengenai bentuk ibadah tambahan, tetapi juga mengaitkannya secara langsung dengan sebuah janji surgawi yang unik, yaitu dianugerahkannya *Maqām Maḥmūd* (Kedudukan Terpuji). Memahami konteks dan kandungan Al-Isra ayat 79 memerlukan penyelaman mendalam terhadap aspek linguistik, sejarah kenabian, serta tafsir para ulama terkemuka sepanjang masa.
Ayat ini hadir setelah Allah SWT menggariskan berbagai pedoman penting, termasuk larangan syirik, anjuran berbuat baik kepada kedua orang tua, kewajiban shalat fardhu, dan tata krama dalam interaksi sosial. Setelah meletakkan pondasi moral dan ibadah wajib, Allah kemudian mengangkat standar ketaatan kepada tingkat yang lebih tinggi, yaitu ibadah sunnah yang dilakukan di waktu paling hening dan penuh berkah. Ibadah inilah yang menjadi jembatan menuju kedudukan yang tak tertandingi.
Teks dan Terjemah Al-Isra Ayat 79
Untuk memulai kajian, marilah kita perhatikan teks Arab dari ayat yang mulia ini:
Transliterasi: Wa minal-laili fa tahajjad bihi nāfilatal laka ‘asā ay yab’aṡaka rabbuka maqāmam maḥmūdā.
Terjemahan Standar (Kemenag RI): Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji (Maqām Maḥmūd).
Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci
Tiga komponen utama dalam ayat ini membutuhkan perhatian khusus untuk menguak kedalaman maknanya:
1. Tahajjud (فَتَهَجَّدْ)
Kata tahajjud berasal dari akar kata hajada, yang berarti tidur di malam hari. Namun, tahajjud (dalam bentuk tafa''ul) memiliki makna ganda, yaitu 'meninggalkan tidur' atau 'berjuang melawan tidur'. Secara syariat, Tahajjud merujuk pada shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun dari tidur malam, meski tidur itu hanya sebentar. Perintah ini datang dalam bentuk *amar* (perintah) yang menunjukkan penekanan dan urgensi dari ibadah tersebut, meskipun statusnya bagi umat Nabi Muhammad adalah sunnah muakkadah, sedangkan bagi Nabi sendiri, statusnya bersifat wajib di awal masa kenabian.
Frasa ‘Wa minal-laili’ (dan pada sebagian malam) menunjukkan bahwa shalat ini dilakukan pada waktu tertentu di malam hari, biasanya sepertiga malam terakhir, waktu yang dikenal memiliki keistimewaan luar biasa dalam pengabulan doa dan penerimaan amal.
2. Nāfilatan Laka (نَافِلَةً لَّكَ)
Kata nāfilah berarti tambahan, kelebihan, atau hadiah. Dalam konteks ibadah, ia merujuk pada amalan sunnah di luar kewajiban fardhu. Penggunaan kata nāfilah di sini memiliki dua interpretasi penting menurut para mufasir. Pertama, ia menegaskan bahwa Tahajjud adalah ibadah sunnah (tambahan) bagi umat Islam secara umum. Kedua, dan ini adalah tafsir yang lebih khusus, ia bisa berarti bahwa Tahajjud adalah *tambahan* kewajiban hanya bagi Nabi Muhammad ﷺ, di samping lima shalat fardhu yang wajib bagi seluruh umat.
Namun, apapun status hukumnya, baik sunnah bagi umat maupun kewajiban tambahan bagi Nabi, perintah tersebut mengandung nilai ibadah yang sangat tinggi, menandakan bahwa amal sunnah ini bukan sekadar pelengkap, melainkan penentu ketinggian derajat spiritual seseorang di sisi Allah SWT. Ibadah tambahan ini menunjukkan kesungguhan dan kecintaan seorang hamba untuk mendekatkan diri melebihi batas minimal kewajiban yang telah ditetapkan.
3. Maqām Maḥmūd (مَّقَامًا مَّحْمُودًا)
Inilah puncak janji yang ditawarkan dalam ayat ini. Maqām berarti tempat, kedudukan, atau stasiun. Maḥmūd berarti terpuji, yang dipuji, atau yang disanjung. Secara harfiah, Maqām Maḥmūd adalah Kedudukan Terpuji. Istilah ini telah menjadi objek tafsir yang mendalam selama berabad-abad, namun mayoritas ulama sepakat bahwa ini merujuk pada kedudukan tertinggi yang akan dianugerahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ di Hari Kiamat.
Kedudukan ini secara spesifik terkait dengan hak istimewa beliau untuk memberikan *Syafa’ah Kubra* (Syafaat Agung), yakni permohonan kepada Allah agar segera dimulainya pengadilan bagi seluruh umat manusia yang telah lama menunggu di padang Mahsyar. Ini adalah momen di mana seluruh makhluk, dari nabi hingga umat biasa, akan memuji kedudukan Nabi Muhammad, sehingga menjadikannya 'Kedudukan Terpuji' bagi seluruh alam.
Tahajjud: Jembatan Menuju Maqām Maḥmūd
Ayat 79 menghubungkan secara eksplisit ibadah Tahajjud dengan perolehan *Maqām Maḥmūd*. Korelasi ini bukan kebetulan; ia adalah pelajaran bahwa pencapaian spiritual tertinggi memerlukan pengorbanan dan dedikasi di luar batas normal. Shalat Tahajjud adalah ritual yang paling menantang karena ia memerlukan perjuangan melawan hawa nafsu dan kenyamanan tidur di saat malam sedang pekat.
Keutamaan Waktu Malam
Para mufasir menjelaskan bahwa malam adalah waktu yang paling otentik untuk beribadah karena beberapa alasan. Pertama, ia adalah waktu di mana distraksi duniawi sangat minim; kesibukan siang telah usai. Kedua, ia adalah waktu yang paling sulit, sehingga ibadah yang dilakukan di dalamnya menunjukkan ketulusan dan keikhlasan yang maksimal (ikhlas) tanpa riya (pamer). Ketiga, berdasarkan hadits sahih, Allah SWT turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, menawarkan pengampunan dan menjawab doa hamba-Nya.
Tahajjud, oleh karena itu, adalah ibadah para kekasih Allah (awliya). Ia adalah latihan spiritual yang melunakkan hati, mengasah kejernihan pikiran, dan menguatkan ikatan batin dengan Sang Pencipta. Nabi ﷺ sendiri bersabda, "Seutama-utama shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam." Ini menempatkan Tahajjud pada hierarki ibadah tertinggi setelah kewajiban pokok.
Syarat dan Pelaksanaan Tahajjud
Secara fikih, shalat Tahajjud memiliki kekhususan yang membedakannya dari shalat sunnah malam lainnya, yaitu syarat telah tidur sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa waktu Tahajjud adalah setelah Isya hingga terbit fajar. Meskipun demikian, waktu paling afdhal adalah sepertiga malam terakhir, yang merupakan waktu paling tenang, di mana hati dan jiwa berada dalam kondisi paling reseptif untuk komunikasi spiritual.
Kuantitas rakaat Tahajjud bersifat fleksibel, umumnya berkisar antara dua hingga dua belas rakaat, diakhiri dengan shalat witir. Namun, inti dari perintah dalam Al-Isra 79 bukanlah jumlah rakaat, melainkan *istiqamah* (konsistensi) dan *khushu'* (kekhusyukan) dalam pelaksanaannya. Perjuangan melawan kantuk dan kehangatan tempat tidur itulah yang menjadi tanda kesiapan seorang hamba untuk diangkat ke kedudukan mulia.
Ketaatan pada perintah Tahajjud menciptakan sebuah pola pikir yang berorientasi pada akhirat. Orang yang rutin melaksanakan Tahajjud melatih dirinya untuk mendahulukan panggilan Allah di atas kebutuhan fisik dirinya sendiri. Pengorbanan inilah yang membenarkan janji Allah untuk memberikannya hasil yang tak ternilai harganya, yakni *Maqām Maḥmūd*.
Maqām Maḥmūd: Janji Agung di Hari Perhitungan
Istilah *Maqām Maḥmūd* adalah ganjaran yang begitu besar maknanya sehingga ia menjadi harapan tertinggi seluruh umat. Meskipun sebagian ulama tafsir awal memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai sifat persis dari kedudukan ini—apakah itu sekadar pujian universal ataukah terkait dengan kenikmatan surga—mayoritas tafsir yang diterima luas menghubungkannya secara langsung dengan peristiwa Hari Kiamat.
Syafa’ah Kubra (Syafaat Agung)
Menurut Hadits-hadits sahih, terkhusus riwayat panjang tentang Syafaat, *Maqām Maḥmūd* adalah stasiun mulia yang ditempati Nabi Muhammad ﷺ ketika beliau diizinkan oleh Allah untuk memulai Syafaat Agung. Di Padang Mahsyar, ketika seluruh manusia (termasuk para nabi dan rasul terdahulu) berada dalam kecemasan dan penantian yang tak tertahankan, mereka akan mencari seseorang untuk memohon kepada Allah agar segera memulai Hisab (Perhitungan).
Manusia akan mendatangi Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa (semoga keselamatan atas mereka semua), namun semuanya menolak karena merasa memiliki kekurangan atau dosa tertentu. Akhirnya, mereka semua akan diarahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Beliau kemudian bersujud di bawah 'Arsy, memuji Allah dengan pujian-pujian yang belum pernah diucapkan sebelumnya, hingga Allah berfirman: "Angkat kepalamu, mintalah niscaya engkau akan diberi, dan berilah syafaat niscaya engkau akan diterima syafaatmu."
Momen ini, ketika Nabi Muhammad berdiri untuk menjadi perantara bagi seluruh umat manusia di hadapan Allah, dari generasi pertama hingga terakhir, itulah yang disebut *Maqām Maḥmūd*. Pujian dan sanjungan yang didapatkan Nabi bukan hanya datang dari umatnya, tetapi dari seluruh makhluk, termasuk para malaikat, jin, dan nabi-nabi terdahulu, karena beliaulah yang mengakhiri penantian panjang yang penuh penderitaan tersebut.
Hubungan Kausalitas (Sebab Akibat)
Mengapa Tahajjud (ibadah sunnah yang bersifat pribadi dan rahasia) menjadi sebab utama perolehan kedudukan publik yang begitu agung (*Maqām Maḥmūd*)?
Keterkaitannya terletak pada konsep peningkatan derajat spiritual. Tahajjud adalah bukti tertinggi dari pengabdian yang melampaui kewajiban. Ia melahirkan kejujuran (shidq) mutlak antara hamba dan Rabb-nya. Seorang yang terbiasa berdiri di hadapan Allah saat orang lain tidur akan memiliki hati yang lebih bersih, doa yang lebih kuat, dan jiwa yang lebih siap untuk mengemban tanggung jawab besar. Maqām Maḥmūd adalah tanggung jawab kepemimpinan spiritual seluruh alam, dan hanya jiwa yang telah ditempa oleh ketaatan malam hari yang layak menerima amanah tersebut.
Seolah-olah Allah berpesan: "Jika engkau mampu meninggalkan kenyamanan tidurmu demi Aku, maka Aku akan mengangkat kedudukanmu di hadapan seluruh makhluk pada hari yang paling menakutkan." Ini adalah pelajaran universal bahwa pengorbanan tersembunyi (amal rahasia) akan menghasilkan kemuliaan yang terang-benderang (ganjaran publik).
Kedalaman Spiritualitas Tahajjud dan Dampaknya
Perintah Tahajjud dalam Al-Isra 79 bukanlah sekadar ritual mekanis. Ia adalah fondasi bagi pembentukan karakter kenabian (karakter profetik) dan merupakan sumber kekuatan spiritual bagi umat yang ingin meneladani kesabaran dan keteguhan Nabi Muhammad ﷺ. Surah Al-Isra sendiri turun pada masa-masa sulit dakwah di Makkah, di mana Nabi sangat membutuhkan sokongan batin yang kuat untuk menghadapi penolakan dan penganiayaan. Tahajjud adalah tempat beliau mencari kedamaian dan kekuatan ilahi.
Ibadah dalam Sunyi dan Keikhlasan
Salah satu nilai terbesar Tahajjud adalah kesempatan untuk mencapai tingkat keikhlasan yang murni. Ketika seseorang berdiri shalat di tengah malam, tidak ada pandangan mata manusia yang mengawasi. Tidak ada pujian yang diharapkan, tidak ada penilaian sosial yang dicari. Ini adalah ibadah murni (ibadah khalisah) yang hanya disaksikan oleh Allah dan para malaikat. Keikhlasan ini menjadi pupuk yang menyuburkan amal, membuat bobotnya di sisi Allah jauh lebih berat daripada amal yang dilakukan di siang hari yang rentan terhadap riya.
Shalat malam membersihkan hati dari kotoran materialistik yang menumpuk sepanjang hari. Ini adalah proses detoksifikasi spiritual. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa Tahajjud adalah "mi’raj bagi orang-orang mukmin," sebuah kesempatan untuk naik dan berdialog langsung dengan Sang Pencipta, menjalin hubungan yang intim dan mendalam yang tidak bisa didapatkan pada waktu lain.
Tahajjud sebagai Penyuci Dosa
Nabi Muhammad ﷺ sering menganjurkan umatnya untuk melaksanakan Tahajjud, tidak hanya sebagai sarana meraih kedudukan tinggi, tetapi juga sebagai penebus dosa dan penangkal penyakit hati. Beliau bersabda: "Hendaklah kamu bangun malam (Tahajjud), sesungguhnya ia adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kamu, dan ia mendekatkan diri kepada Tuhanmu, menghapus kejahatan, dan mencegah dosa."
Keterangan ini memperjelas bahwa Maqām Maḥmūd tidak hanya berbicara tentang kemuliaan di akhirat, tetapi juga tentang kemuliaan karakter di dunia. Seseorang yang jiwanya dibersihkan melalui Tahajjud akan tercermin dalam perilaku dan interaksi sosialnya. Kesabaran, ketenangan, dan kebijaksanaan yang diasah di malam hari akan menjadi modal utama dalam menghadapi tantangan hidup di siang hari.
Dimensi Lain Maqām Maḥmūd bagi Umat
Meskipun mayoritas tafsir menegaskan bahwa *Maqām Maḥmūd* secara eksklusif dan primer dianugerahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui Syafa’ah Kubra, para ulama juga membahas bagaimana janji ini dapat memberikan resonansi dan harapan bagi umatnya.
Pencapaian Derajat ‘Maḥmūd’ yang Relatif
Tidak semua umat Islam akan mencapai *Maqām Maḥmūd* yang sama seperti Nabi Muhammad, tetapi konsep 'kedudukan terpuji' adalah tujuan yang dapat dikejar oleh setiap mukmin dalam tingkatannya masing-masing. Seorang hamba yang konsisten dengan Tahajjudnya dijanjikan kedudukan yang terpuji di mata Allah dan makhluk-Nya.
Kedudukan terpuji ini bisa terwujud dalam beberapa bentuk:
- Kedudukan di Dunia: Diangkatnya martabat dan reputasi baik di mata manusia karena keikhlasan dan keshalehan yang terpancar.
- Kedudukan Saat Kematian: Kematian yang baik (husnul khatimah) dan pujian dari para malaikat.
- Kedudukan di Surga: Ditempatkan di derajat Surga yang tinggi (Firdaus al-A’la), dekat dengan kedudukan Nabi Muhammad ﷺ.
Intinya, Tahajjud adalah investasi spiritual yang tidak akan pernah merugi. Ia adalah kunci untuk membuka pintu-pintu kemuliaan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Janji Allah dalam ayat ini bersifat mutlak: barang siapa yang berusaha keras dalam ketaatan yang bersifat sunnah, ia akan mendapatkan balasan yang melampaui batas kewajibannya.
Doa Setelah Azan dan Maqām Maḥmūd
Menariknya, salah satu hadits yang paling sering dikaitkan dengan perolehan *Maqām Maḥmūd* adalah doa yang diucapkan setelah mendengar Azan. Nabi ﷺ bersabda: "Barang siapa yang ketika mendengar azan mengucapkan (doa khusus), maka ia berhak mendapatkan syafaatku pada hari Kiamat."
Para ulama menjelaskan bahwa doa setelah azan merupakan bentuk pengakuan dan permohonan agar Nabi Muhammad diberikan *Maqām Maḥmūd*. Hubungan antara Tahajjud dan doa setelah azan adalah sinergis. Tahajjud adalah amal perbuatan yang mengantarkan kepada kedudukan, sedangkan doa setelah azan adalah pengakuan dan harapan umat agar kedudukan itu terwujud bagi Nabi. Keduanya menegaskan sentralitas *Maqām Maḥmūd* dalam eskatologi Islam.
Implikasi Praktis dan Tantangan Kontemporer
Di era modern ini, di mana waktu tidur sering terganggu oleh tuntutan pekerjaan atau hiburan digital, menjalankan perintah Tahajjud yang konsisten menjadi tantangan yang semakin besar. Ayat 79 Surah Al-Isra menuntut sebuah penataan ulang prioritas hidup. Ia menantang kaum mukminin untuk mendefinisikan kembali apa arti 'kesuksesan' dan 'kenyamanan'.
Menyelaraskan Dunia dan Akhirat
Tahajjud mengajarkan keseimbangan yang vital. Perintah ini datang setelah serangkaian perintah tentang etika sosial dan moralitas ekonomi di siang hari. Ini menunjukkan bahwa ibadah malam bukanlah pelarian dari tanggung jawab duniawi, melainkan sumber kekuatan untuk memikul tanggung jawab tersebut. Ibadah yang dilakukan dalam kesunyian malam memberikan perspektif yang jernih, membantu pengambilan keputusan yang lebih baik, dan mengurangi stres serta kecemasan yang ditimbulkan oleh kehidupan modern.
Orang yang mengisi malamnya dengan Tahajjud akan mendapati berkah (barakah) pada waktunya di siang hari. Ia tidak hanya mendapatkan keutamaan spiritual tetapi juga efisiensi dan produktivitas yang meningkat, karena ia memulai hari dengan jiwa yang telah terhubung dengan Sumber Kekuatan Tertinggi.
Membangun Kebiasaan Istiqamah
Kunci keberhasilan dalam menjalankan Tahajjud, dan pada akhirnya meraih janji *Maqām Maḥmūd* dalam artian yang relevan bagi seorang hamba, adalah *istiqamah* (konsistensi), bahkan jika itu hanya dua rakaat. Nabi ﷺ sangat menyukai amalan yang sedikit tetapi dilakukan secara terus-menerus. Memaksakan diri untuk shalat banyak rakaat tetapi hanya sesekali lebih rendah nilainya daripada dua rakaat yang dilakukan setiap malam tanpa terputus.
Tahajjud harus dilihat sebagai investasi jangka panjang. Ia bukan hanya tentang membersihkan dosa masa lalu, tetapi juga tentang pembangunan spiritual di masa depan. Setiap rakaat adalah tangga menuju ketinggian rohani. Keikhlasan, kekhusyukan, dan kesungguhan dalam dua rakaat di sepertiga malam lebih bernilai daripada shalat yang panjang namun terburu-buru.
Refleksi Mendalam Terhadap Harapan (عَسَىٰ)
Perhatikan kembali frasa kunci dalam ayat ini: ‘asā ay yab’aṡaka rabbuka maqāmam maḥmūdā (mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji). Penggunaan kata ‘asā (mudah-mudahan/semoga) dalam konteks Al-Qur'an, khususnya ketika diucapkan oleh Allah, seringkali ditafsirkan oleh ulama sebagai janji yang pasti dan tidak terelakkan.
Ketika harapan (‘asā) datang dari Yang Maha Kuasa, itu berarti kepastian. Namun, pemilihan kata ‘asā juga mengandung hikmah mendalam bagi hamba. Ia mengajarkan kita agar tidak pernah merasa aman atau berpuas diri dengan amal. Meskipun perintah Tahajjud telah dilaksanakan, hamba harus tetap merasa rendah hati dan selalu berharap (berdoa) agar Allah sudi menerima amalnya dan menganugerahkan kedudukan mulia tersebut.
Ini adalah pelajaran tentang khauf (takut) dan raja’ (harapan). Kita melaksanakan ibadah dengan penuh harap akan janji-Nya, tetapi kita tetap takut jika amal kita tidak diterima karena kekurangan dalam keikhlasan atau kekhusyukan. Sikap spiritual inilah yang menjaga seorang mukmin agar selalu berada dalam jalur ketaatan dan kerendahan hati.
Tahajjud Sebagai Perjuangan Jati Diri
Dalam konteks yang lebih luas, perintah Tahajjud dalam Al-Isra 79 adalah simbolisasi dari perjuangan spiritual (jihad an-nafs). Perjuangan terbesar bagi seorang hamba bukanlah melawan musuh dari luar, melainkan melawan kemalasan, kelalaian, dan keinginan diri sendiri untuk terus beristirahat. Kemenangan atas diri sendiri di tengah keheningan malam adalah kemenangan hakiki yang mendahului kemenangan atas godaan duniawi di siang hari.
Orang yang berhasil menaklukkan kenyamanan tidurnya adalah orang yang memiliki kendali penuh atas dirinya. Karakter ini sangat fundamental dalam Islam, karena Islam menuntut ketaatan yang total (taslim) dan kontrol diri (taqwa). Tanpa disiplin malam, disiplin siang hari akan sulit dicapai.
Kesimpulan: Panggilan untuk Elevasi Spiritual
Surah Al-Isra Ayat 79 adalah salah satu ayat paling inspiratif dalam Al-Qur'an yang secara jelas menghubungkan ibadah sunnah yang sangat spesifik—yaitu Shalat Tahajjud—dengan pencapaian martabat tertinggi di sisi Allah SWT: *Maqām Maḥmūd*.
Meskipun kedudukan tertinggi, Syafaat Agung, adalah anugerah eksklusif bagi Nabi Muhammad ﷺ yang telah melaksanakan Tahajjud sebagai kewajiban tambahan dan telah menyempurnakan ibadah ini sepanjang hidupnya, janji ini tetap relevan bagi setiap mukmin. Ia memberikan peta jalan menuju derajat kehormatan, ketenangan, dan kesempurnaan spiritual.
Tahajjud adalah waktu penempaan jiwa, di mana kita membangun kembali fondasi spiritual yang mungkin terkikis oleh hiruk-pikuk kehidupan. Ia adalah momen rahasia di mana kita menanam benih amal yang akan dituai sebagai kemuliaan yang terang-benderang di hari yang tidak ada lagi manfaat harta dan anak-anak, kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat (qalb salīm).
Marilah kita menyambut panggilan ilahi ini. Ketika dunia terlelap dalam kegelapan dan keheningan, kita diajak untuk bangkit, berjuang melawan kantuk, dan memenangkan pertempuran batin demi meraih apa yang dijanjikan oleh Tuhan kita—sebuah kedudukan terpuji, yang merupakan puncak dari segala upaya ketaatan dan pengabdian yang kita korbankan di sepanjang malam-malam hening kita.
Tahajjud bukan hanya shalat; ia adalah manifestasi dari kerinduan abadi seorang hamba kepada Penciptanya, sebuah ibadah yang secara harfiah membuka pintu ke Maqām Maḥmūd, kedudukan yang dipuji oleh seluruh alam semesta.
Ketahuilah, bahwa setiap kali kita berjuang untuk melaksanakan Tahajjud, kita sedang mencontoh sunnah para nabi, meniru ketaatan para shalihin, dan menabung modal besar untuk hari penantian. Kesungguhan yang kita berikan dalam melaksanakan Tahajjud adalah cerminan dari kesiapan kita untuk menerima janji ilahi, janji tentang kedudukan yang paling mulia, sebuah kedudukan yang membuat seluruh umat manusia berharap untuk mencapainya. Ini adalah janji yang menghapus segala keraguan tentang nilai dari setiap tetes air mata yang jatuh dalam kekhusyukan shalat malam, dan setiap rasa kantuk yang kita tahan demi panggilan-Nya.
Dalam sejarah Islam, Tahajjud selalu menjadi rahasia kekuatan kaum muslimin. Para pahlawan, para ulama, dan para reformis besar selalu memiliki kebiasaan Tahajjud yang teguh. Mereka memahami bahwa kemenangan di medan pertempuran atau keberhasilan dalam dakwah tidak mungkin terwujud tanpa kemenangan spiritual pribadi yang diraih di sepertiga malam terakhir. Inilah pelajaran fundamental dari Al-Isra 79: kekuatan sejati berasal dari sumber yang tak terlihat, dikerjakan dalam kesunyian, dan dibayar dengan kemuliaan di hadapan publik alam semesta. Maka, jadikanlah Tahajjud sebagai poros utama kehidupan, niscaya Allah akan menjadikan hidup kita terpuji dan berlimpah berkah.