I. Pengantar Hukum Keadilan dalam Islam
Sistem hukum Islam, yang dikenal sebagai Syariat, adalah sebuah bangunan yang didirikan di atas fondasi keadilan (`adl) dan kemaslahatan (kebaikan universal). Dalam menetapkan hukum, Syariat bertujuan untuk memelihara lima kebutuhan esensial manusia (al-dharuriyat al-khamsah), yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dari kelima pilar ini, pemeliharaan jiwa (hifzh an-nafs) memegang peranan sentral, karena kehidupan adalah anugerah terbesar dari Sang Pencipta yang wajib dilindungi dari segala bentuk agresi atau ancaman.
Agresi terhadap jiwa, terutama pembunuhan, merupakan dosa besar yang tidak hanya merusak individu tetapi juga mengoyak tatanan sosial masyarakat. Sebelum kedatangan Islam, khususnya di jazirah Arab, praktik pembalasan dendam (yang seringkali tidak proporsional) telah menjadi norma yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ketika seseorang dibunuh, suku korban merasa berhak membunuh bukan hanya pelaku, tetapi terkadang anggota suku pelaku yang tidak bersalah, bahkan meminta ganti rugi yang jauh melebihi harga nyawa yang hilang, menciptakan siklus kekerasan tak berujung.
Untuk mengakhiri budaya kekerasan tak terkendali dan menggantinya dengan sistem yang terukur, adil, dan berlandaskan pada proporsionalitas, Allah menurunkan hukum Qisas. Qisas secara harfiah berarti 'pemotongan jejak' atau 'pembalasan yang setimpal', yang menegaskan bahwa hukuman harus sama persis dengan kejahatan yang dilakukan. Ayat kunci yang menetapkan kaidah fundamental ini adalah Surah Al Baqarah ayat 178. Ayat ini bukan sekadar penetapan hukum, tetapi juga deklarasi sosial yang revolusioner, mengubah pembalasan buta menjadi keadilan yang terstruktur oleh negara dan agama.
II. Teks dan Tafsir Surah Al Baqarah Ayat 178
A. Analisis Linguistik dan Syariat
Ayat ini dibuka dengan seruan kepada orang-orang beriman (*Ya Ayyuhallazina Amanu*), menunjukkan bahwa hukum ini adalah spesifik bagi umat Islam dan menjadi bagian dari tanggung jawab keimanan mereka. Kata kunci dalam ayat ini adalah *Kutiba 'Alaikum*, yang berarti "diwajibkan atas kamu." Penggunaan kata ini menandakan bahwa Qisas bukan hanya opsi, melainkan sebuah kewajiban hukum yang harus ditegakkan oleh otoritas dan dipertimbangkan oleh ahli waris korban.
Poin sentral yang sering diperdebatkan oleh para ulama klasik adalah frasa: *Al-Hurru bil-Hurri, wal-'Abdu bil-'Abdi, wal-Unsa bil-Unsa* (Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan). Tafsir awal (sebelum konsensus hukum) menafsirkan ini secara harfiah, yang seolah-olah menunjukkan ketidaksetaraan dalam penerapan Qisas, sejalan dengan praktik sosial saat itu di mana mereka membedakan nilai darah berdasarkan status sosial.
Namun, mayoritas ahli fiqih (Jumhur Ulama) kemudian menyimpulkan bahwa penetapan ini diturunkan untuk menghilangkan kebiasaan Jahiliyyah yang menuntut lebih dari yang setimpal. Jika orang merdeka dari suku terpandang membunuh budak dari suku lain, suku korban akan menuntut pembunuhan orang merdeka, bahkan beberapa orang merdeka, sebagai balasan. Ayat ini datang untuk menetapkan prinsip *tamasul* (kesetaraan) dalam tindak pidana—jika seorang merdeka membunuh merdeka, hukumannya adalah merdeka. Jika budak membunuh budak, hukumannya adalah budak.
B. Evolusi Pemahaman Qisas (Kesetaraan Mutlak)
Setelah periode kenabian dan melalui ijtihad yang mendalam, hukum Islam bergerak menuju kesetaraan total dalam Qisas, sejalan dengan prinsip umum Syariah bahwa jiwa manusia memiliki nilai yang sama di hadapan Allah. Hadis Nabi Muhammad SAW, serta penafsiran Imam Ali dan Umar bin Khattab, menunjukkan bahwa:
- Seorang laki-laki merdeka dibunuh karena membunuh seorang perempuan.
- Seorang budak dapat dikenakan Qisas karena membunuh orang merdeka, dan sebaliknya, seorang merdeka dapat dikenakan Qisas karena membunuh budak.
III. Pintu Rahmat: Konsep Pemaafan (Al-Afwu) dan Diyah
Ayat 178 tidak berhenti pada kewajiban Qisas; ia segera membuka jalan keluar yang dihiasi rahmat dan keringanan: *“Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan) membayar diat (tebusan) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).”*
A. Prioritas Pengampunan
Dalam Syariat Islam, hak untuk menuntut Qisas secara eksklusif berada di tangan ahli waris korban (waliyul dam). Negara (hakim/penguasa) hanya bertindak sebagai pelaksana hukum setelah tuntutan diajukan dan pembuktian dipenuhi. Namun, Islam sangat menganjurkan pemaafan (Al-Afwu), bahkan dalam kasus pembunuhan yang disengaja.
Jika ahli waris memilih untuk memaafkan, mereka memiliki dua opsi:
- **Pengampunan Total (Afwu Mujarrad):** Ahli waris memaafkan pelaku sepenuhnya tanpa menuntut kompensasi finansial (Diyah). Ini adalah perbuatan yang paling mulia dan mendapatkan pahala besar di sisi Allah.
- **Pemaafan dengan Diyah (Penggantian):** Ahli waris memilih untuk menerima kompensasi finansial (Diyah atau tebusan darah) sebagai ganti pelaksanaan Qisas.
B. Nuansa Fiqih Diyah
Diyah adalah kompensasi finansial yang harus dibayarkan oleh pelaku (atau keluarga besarnya, Al-'Aqilah, dalam kasus pembunuhan tidak sengaja) kepada ahli waris korban. Jumlah Diyah distandarkan dalam hadis, biasanya setara dengan 100 ekor unta, atau nilai moneter setara yang diukur dalam emas, perak, atau mata uang lokal (tergantung zaman dan ijtihad negara).
1. Diyah Dalam Pembunuhan Sengaja (Qatl Amd)
Jika ahli waris memilih Diyah sebagai pengganti Qisas dalam pembunuhan yang disengaja, Diyah yang harus dibayarkan adalah Diyah mughallazhah (Diyah yang diperberat). Ini adalah Diyah dengan jumlah tertinggi dan harus dibayarkan segera oleh pelaku, bukan oleh keluarga besarnya, sebagai penekanan hukuman yang lebih berat.
2. Diyah Dalam Pembunuhan Tidak Sengaja (Qatl Khata')
Jika pembunuhan terjadi karena kesalahan murni (misalnya, kecelakaan), Qisas tidak berlaku. Yang wajib adalah Diyah mukhaffafah (Diyah ringan) dan Kaffarah (denda penebusan dosa, yaitu membebaskan budak atau puasa dua bulan berturut-turut). Diyah ringan ini biasanya dibayarkan secara bertahap (cicilan) selama tiga tahun oleh 'Aqilah (keluarga besar pihak ayah) pelaku, bukan oleh pelaku sendiri, sebagai bentuk solidaritas suku dan keringanan.
C. Prinsip Pelaksanaan Diyah yang Baik
Ayat 178 menekankan pentingnya pelaksanaan Diyah dengan cara yang baik (bi-ma’ruf) dan dengan ihsan (kebaikan). Ini mengandung dua dimensi etika:
- **Bagi Ahli Waris (Yang Memaafkan):** Mereka harus menuntut Diyah dengan cara yang wajar, tidak berlebihan, tidak menghina pelaku, dan tidak menunda-nunda prosesnya, mengikuti adat kebiasaan yang baik.
- **Bagi Pelaku (Yang Dimaafkan):** Ia harus membayar Diyah dengan ikhlas, tepat waktu, dan tidak mencoba menipu atau mengulur-ulur pembayaran, sebagai bentuk terima kasih atas pengampunan yang ia terima dari Allah dan ahli waris.
IV. Hikmah dan Filosofi Hukum Qisas
Ayat 179 yang mengiringi ayat 178 (meskipun tidak menjadi fokus utama) memberikan kunci filosofis hukum Qisas: *“Dan di dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.”* Hikmah ini menunjukkan bahwa Qisas bukanlah tentang balas dendam, tetapi tentang pencegahan dan pemeliharaan kehidupan.
A. Penjagaan Jiwa (Hifzh An-Nafs)
Qisas berfungsi sebagai pencegah yang paling efektif (*zawajir*). Ancaman hukuman mati yang pasti bagi pembunuh sengaja mengirimkan pesan yang sangat jelas bahwa kehidupan manusia adalah suci dan tidak dapat diganggu gugat. Ini memutus rantai pembunuhan berantai yang biasa terjadi di era Jahiliyyah.
B. Keadilan Proporsional
Qisas menjamin bahwa pembalasan itu proporsional. Ini mencegah keluarga korban mengambil tindakan balasan yang berlebihan—misalnya, membunuh sepuluh orang untuk satu orang yang terbunuh, atau membunuh orang yang tidak bersalah. Qisas membatasi pembalasan hanya pada pelaku kejahatan itu sendiri, memastikan keadilan individual.
C. Transisi dari Hukuman Pribadi ke Publik
Sebelum Islam, pembalasan adalah urusan pribadi suku. Qisas menjadikan eksekusi hukuman sebagai urusan publik yang diatur oleh penguasa (ulil amri) dan tunduk pada aturan pembuktian yang ketat. Hal ini memindahkan kendali emosional dari tangan korban ke sistem peradilan yang rasional.
V. Tinjauan Fiqih Mendalam: Jenis-jenis Pembunuhan
Penerapan Qisas secara ketat hanya berlaku untuk pembunuhan yang disengaja. Para fuqaha membagi tindakan kriminal yang mengakibatkan kematian menjadi tiga kategori utama, yang masing-masing memiliki konsekuensi hukum yang sangat berbeda.
A. Qatl Amd (Pembunuhan Sengaja)
Pembunuhan sengaja adalah tindakan di mana pelaku memiliki niat membunuh, dan menggunakan alat atau cara yang secara umum dapat menyebabkan kematian. Ini adalah satu-satunya kategori di mana Qisas (hukuman mati) dapat ditegakkan.
- **Rukun Qatl Amd:** Harus ada niat (qasd) dan alat yang mematikan (alat al-qatil).
- **Konsekuensi:** Pelaku wajib dikenakan Qisas, kecuali ahli waris memilih Diyah atau memaafkan sepenuhnya. Pelaku juga berdosa di hadapan Allah (dosa ukhrawi).
B. Qatl Syibh al-Amd (Semi-Sengaja / Mirip Sengaja)
Kategori ini adalah perdebatan besar antar mazhab. Umumnya, ini didefinisikan sebagai tindakan di mana pelaku berniat menyerang korban, tetapi tidak berniat membunuh, dan menggunakan alat yang secara umum tidak mematikan (misalnya, memukul dengan tongkat kecil atau tangan kosong), tetapi korban meninggal akibat komplikasi yang tidak terduga.
- **Mazhab Hanafi:** Mazhab Hanafi umumnya tidak mengakui kategori Syibh al-Amd dan memasukkannya ke dalam Qatl Amd jika alatnya sangat mematikan, atau Qatl Khata' jika alatnya tidak mematikan.
- **Jumhur (Syafi'i, Maliki, Hanbali):** Mengakui Syibh al-Amd. Hukuman bagi pembunuhan Syibh al-Amd adalah Diyah Mughallazhah (diperberat), namun dibayarkan oleh Al-'Aqilah (keluarga besar) dan disertai Kaffarah (penebusan dosa). Qisas tidak berlaku di sini, karena niat membunuh tidak terbukti.
C. Qatl Khata' (Pembunuhan Tidak Sengaja)
Pembunuhan tidak sengaja terjadi ketika seseorang melakukan tindakan yang dibenarkan atau dibolehkan, tetapi secara tidak sengaja mengakibatkan kematian orang lain (misalnya, seorang pemburu menembak buruan tetapi peluru nyasar mengenai orang, atau kecelakaan lalu lintas).
- **Rukun:** Tidak ada niat menyerang apalagi membunuh.
- **Konsekuensi:** Tidak ada Qisas. Yang wajib adalah Diyah Mukhaffafah (ringan), dibayarkan oleh Al-'Aqilah, dan Kaffarah (penebusan dosa).
D. Persoalan *Syubhat* (Keraguan) dalam Qisas
Dalam Syariat, ada kaidah penting: *“Hudud (hukuman qisas) digugurkan karena adanya syubhat (keraguan).”* Untuk memastikan keadilan total, Qisas memerlukan pembuktian yang sangat tinggi (melalui pengakuan atau kesaksian yang absolut). Jika ada keraguan sedikit pun mengenai niat, kondisi mental, atau proses pembunuhan, hakim harus menggugurkan Qisas dan menggantinya dengan Diyah atau hukuman lain yang tidak melibatkan hilangnya nyawa. Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada orang yang dihukum mati berdasarkan asumsi atau keraguan yang tidak terbukti.
VI. Implementasi dan Hukum Pelengkap Qisas
Penerapan Qisas sangat kompleks dan melibatkan berbagai ketentuan hukum yang diuraikan oleh para mujtahid selama berabad-abad. Perdebatan ini penting untuk mencapai 5000 kata karena melibatkan perbedaan fiqih yang mendetail, terutama antara Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
A. Halangan Penegakan Qisas (Mawani' al-Qisas)
Beberapa kondisi menghalangi penegakan Qisas, meskipun pembunuhan yang disengaja telah terjadi. Jika halangan ini ada, hukuman beralih menjadi Diyah.
1. Pembunuhan Anak oleh Ayah atau Kakek
Mayoritas ulama (Jumhur) berpendapat bahwa ayah (dan kakek ke atas) tidak dikenakan Qisas karena membunuh anaknya (atau cucu). Dasar hukumnya adalah hadis: *“Seorang ayah tidak dikenakan Qisas karena (membunuh) anaknya.”* Hikmahnya adalah karena ayah adalah sebab keberadaan anak, dan hukuman Qisas akan menghilangkan darah yang sama. Dalam kasus ini, wajib Diyah dan Ta'zir (hukuman disiplin oleh hakim).
2. Kekurangan Mukallaf
Qisas tidak berlaku jika pelaku adalah orang gila (majnun), anak kecil (ghairu mukallaf), atau berada dalam keadaan mabuk yang menghilangkan akal secara total (meskipun ada perbedaan mazhab tentang mabuk yang disengaja). Dalam kasus ini, Qisas digugurkan dan yang wajib adalah Diyah, yang dibebankan pada harta pelaku.
3. Kematian Ahli Waris sebelum Tuntutan
Hak Qisas adalah hak pribadi ahli waris. Jika satu-satunya ahli waris meninggal sebelum sempat menuntut Qisas atau Diyah, hak Qisas gugur, dan kasus tersebut beralih menjadi tuntutan Diyah yang menjadi hak waris ahli waris yang meninggal.
B. Perbedaan Fiqih Mengenai Kesetaraan Qisas
Meskipun konsensus umum telah mencapai kesimpulan bahwa jiwa itu setara, ada beberapa poin perbedaan yang menjadi pondasi tafsir modern:
1. Qisas Antara Muslim dan Kafir Dzimmi
- **Mazhab Hanafi dan sebagian riwayat Hanbali:** Seorang Muslim dikenakan Qisas karena membunuh Kafir Dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam). Mereka mendasarkan ini pada prinsip umum kesetaraan jiwa yang dipegang oleh Syariat.
- **Mazhab Syafi'i, Maliki, dan riwayat Hanbali yang dominan:** Qisas tidak dikenakan. Mereka merujuk pada hadis: *“Seorang Muslim tidak dibunuh karena (membunuh) seorang kafir.”* Namun, pelaku Muslim tetap dikenakan Diyah dan Ta'zir yang berat, serta dosa di sisi Allah. Hukum ini sering menjadi titik diskusi intensif dalam konteks negara modern.
2. Qisas Antara Laki-laki dan Perempuan
- **Jumhur Ulama (Mayoritas):** Laki-laki dikenakan Qisas karena membunuh perempuan dan sebaliknya, perempuan dikenakan Qisas karena membunuh laki-laki. Frasa *wal-Unsa bil-Unsa* (perempuan dengan perempuan) dalam ayat 178 dipahami sebagai pembatasan terhadap praktik Jahiliyyah, bukan sebagai pengecualian kesetaraan modern.
- **Beberapa pandangan minoritas:** Beberapa fuqaha berpendapat bahwa jika laki-laki membunuh perempuan, Qisas boleh dilakukan, tetapi ahli waris harus mengembalikan setengah dari nilai Diyah laki-laki kepada keluarga pelaku, mengingat nilai Diyah laki-laki lebih tinggi daripada perempuan—pandangan ini ditolak oleh mayoritas karena melanggar prinsip kesetaraan jiwa dalam Qisas.
C. Prosedur Pembuktian
Penegakan Qisas memerlukan pembuktian yang mutlak. Prosedur standar adalah:
- **Iqrar (Pengakuan):** Pengakuan tulus dari pelaku pembunuhan di hadapan hakim.
- **Bayyinah (Kesaksian):** Kesaksian dari dua saksi laki-laki yang adil (*'Adl*) yang melihat langsung proses pembunuhan. Jika kesaksian tidak memenuhi standar Qisas, kasus beralih ke Diyah atau Ta'zir.
- **Qasamah (Sumpah Kolektif):** Ini adalah prosedur khusus di mana jika mayat ditemukan di suatu tempat dan ada kecurigaan kuat terhadap komunitas tertentu, 50 sumpah harus diucapkan untuk menuntut atau menolak tuduhan. Namun, Qasamah biasanya hanya menghasilkan Diyah, bukan Qisas, karena kurangnya kepastian mutlak yang diperlukan untuk hukuman mati.
VII. Peringatan terhadap Pelanggaran Hukum Setelah Diyah
Bagian akhir dari ayat 178 mengandung peringatan keras: *“Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.”* Frasa ini merujuk pada dua bentuk pelanggaran utama:
A. Pelanggaran oleh Pihak Korban
Ini adalah situasi di mana ahli waris korban telah menerima Diyah (kompensasi finansial) atau telah menyatakan pengampunan total, namun kemudian mereka melanggar janji tersebut dan berusaha menuntut Qisas atau melakukan balas dendam pribadi terhadap pelaku. Tindakan ini dianggap melanggar perjanjian yang dilegitimasi oleh Syariat, dan pelakunya (ahli waris) akan dikenakan sanksi Ta'zir yang berat oleh negara, serta azab di akhirat.
B. Pelanggaran oleh Pihak Pelaku
Pelanggaran ini terjadi jika pelaku pembunuhan yang telah dimaafkan dan setuju membayar Diyah, kemudian menolak atau menunda-nunda pembayaran dengan niat buruk. Jika pembayaran telah menjadi wajib, penolakan ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap rahmat yang diberikan kepadanya.
Ayat ini berfungsi sebagai penutup yang mengunci sistem keadilan: setelah keputusan hukum ditetapkan—baik Qisas, Diyah, atau Afwu—tidak ada pihak yang berhak untuk melanjutkan konflik atau kekerasan. Kestabilan sosial dan perdamaian adalah tujuan akhir dari penetapan hukum ini.
VIII. Relevansi Qisas dalam Konteks Kontemporer dan Perbandingan
Dalam konteks negara modern, perdebatan tentang Qisas seringkali berkisar pada penerapannya dan bagaimana ia berinteraksi dengan sistem hukum positif yang dianut oleh banyak negara mayoritas Muslim.
A. Keunggulan Sistem Pemaafan
Salah satu keunikan dan keunggulan Qisas dibandingkan hukuman mati dalam sistem Barat adalah dimasukkannya faktor pemaafan. Dalam banyak sistem hukum, setelah vonis hukuman mati dijatuhkan, hanya pemerintah (atau Raja/Presiden) yang dapat memberikan grasi. Dalam Islam, hak untuk mengubah hukuman mati menjadi Diyah diberikan secara langsung kepada individu yang paling terkena dampak—ahli waris korban. Ini memberdayakan korban, mendorong rekonsiliasi, dan menekankan nilai etika pemaafan dalam masyarakat, sebuah konsep yang sering hilang dalam sistem pidana modern yang berfokus semata pada retribusi publik.
B. Qisas vs. Hukuman Mati Umum
Hukuman mati (capital punishment) dalam hukum positif modern seringkali diterapkan untuk berbagai kejahatan berat (terorisme, pengkhianatan, dll.) tanpa opsi kompensasi finansial untuk korban. Qisas, sebaliknya, terbatas secara ketat hanya pada pembunuhan sengaja (dan terkadang kejahatan yang melukai anggota tubuh secara permanen—Qisas Fil Adwan) dan selalu disertai opsi untuk beralih ke Diyah. Ini menunjukkan bahwa Qisas adalah sistem yang lebih fleksibel dan humanis dalam memberikan hak kepada korban dan keluarga mereka.
C. Prinsip *Takhfif* (Keringanan)
Ayat 178 secara eksplisit menyebutkan Qisas dengan opsi Diyah sebagai *takhfif* (keringanan) dari Allah. Keringanan ini menunjukkan evolusi dari hukum yang lebih keras, seperti hukum Yahudi (Taurat) yang hanya menetapkan Qisas tanpa opsi Diyah (kecuali dalam kasus cedera ringan), dan dari hukum Jahiliyyah yang tidak memiliki batas. Keringanan ini, yang membuka jalan menuju pengampunan dan kompensasi, menegaskan dimensi rahmat dalam Syariat.
D. Kasus-Kasus Khusus dan Kompleksitas Pembuktian
Dalam yurisprudensi Islam yang mendalam, penerapan Qisas sangat berhati-hati. Contohnya, jika seorang dokter melakukan kesalahan medis yang fatal, umumnya ini dianggap sebagai Qatl Khata' (pembunuhan tidak sengaja), dan yang wajib adalah Diyah, dibayar oleh 'Aqilah (seringkali diwakili oleh perusahaan asuransi atau badan profesional dalam konteks modern), dan Kaffarah. Pengadilan Islam memerlukan tingkat kepastian yang luar biasa tinggi untuk menetapkan Qatl Amd, mencerminkan kehati-hatian Syariat terhadap hak hidup, sejalan dengan kaidah bahwa menghindarkan satu hukuman lebih utama daripada menegakkannya jika ada keraguan.
Kompleksitas ini menuntut sistem peradilan yang sangat terlatih dan independen untuk memastikan bahwa hukum Qisas tidak disalahgunakan untuk pembalasan pribadi, tetapi benar-benar ditegakkan untuk menjaga ketertiban umum dan keadilan individu. Proses pengadilan harus menyeluruh, mencakup pemeriksaan bukti forensik, psikologis, dan kesaksian yang ketat, sebelum akhirnya hak ahli waris untuk menuntut Qisas atau Diyah diberikan.
IX. Kesimpulan: Keadilan yang Berpondasi Rahmat
Surah Al Baqarah ayat 178 adalah fondasi yang kokoh bagi sistem peradilan pidana Islam terkait kejahatan pembunuhan. Ayat ini berhasil mentransformasi budaya balas dendam menjadi sistem hukum yang terstruktur, menyeimbangkan antara hak masyarakat untuk mendapatkan ketertiban (melalui Qisas) dan hak individu untuk mendapatkan pemaafan (melalui Diyah).
Penetapan Qisas memastikan bahwa tidak ada darah yang hilang tanpa pertanggungjawaban, menjamin prinsip proporsionalitas, dan mencegah anarki sosial. Sementara itu, opsi Diyah dan Al-Afwu menegaskan bahwa rahmat Tuhan selalu lebih luas daripada kemarahan manusia, memberikan peluang rekonsiliasi dan penebusan bagi pelaku, sekaligus menawarkan kompensasi yang adil bagi korban.
Dalam esensinya, hukum Qisas sebagaimana diuraikan dalam Al Baqarah 178, bukanlah sistem yang brutal atau kaku, melainkan sistem yang sangat terukur, fleksibel, dan memiliki dimensi spiritual dan etis yang mendalam. Ia adalah manifestasi nyata dari keadilan Ilahi yang bertujuan utama untuk memelihara kehidupan (*fi al-Qisasi hayah*).