Ilustrasi simbolis kewajiban Shalat, Zakat, dan Pengawasan Ilahi (Basir).
Surah Al-Baqarah (Sapi Betina) merupakan surah terpanjang dalam Al-Qur'an dan menjadi surah yang kaya akan panduan hukum, kisah sejarah, serta prinsip-prinsip aqidah yang mendasar. Ayat 110, meskipun singkat, memuat tiga pilar utama ajaran Islam yang saling terkait erat: kewajiban ritual, tanggung jawab sosial, dan prinsip universal tentang balasan amal perbuatan. Ayat ini tidak hanya ditujukan kepada Muslim, tetapi juga mengandung pelajaran universal bagi siapa pun yang mendambakan kebaikan abadi.
"Dan tegakkanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah: 110)
Untuk memahami kedalaman ayat 110, penting untuk melihat konteksnya dalam rangkaian ayat-ayat Al-Baqarah. Ayat-ayat sebelumnya (khususnya 108 dan 109) banyak membahas tentang Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), perselisihan mereka, dan upaya mereka untuk menjauhkan kaum Muslimin dari agama mereka. Allah kemudian memerintahkan kaum Muslimin untuk meninggalkan permusuhan dan fokus pada amal saleh dan ketakwaan yang nyata. Ayat 110 hadir sebagai penegasan bahwa ibadah sejati bukanlah debat teologis yang mandul, melainkan pelaksanaan kewajiban ritual dan sosial (Salat dan Zakat), serta akumulasi amal kebaikan yang bersifat pribadi.
Setiap frasa dalam ayat ini memiliki bobot makna yang mendalam dalam bahasa Arab klasik:
Perintah untuk mendirikan salat (Iqamat as-Shalah) selalu menjadi yang pertama dalam Al-Qur'an ketika disebutkan bersama zakat. Ini menunjukkan urgensi dimensi vertikal (hubungan hamba dengan Allah) sebagai fondasi dari dimensi horizontal (hubungan antar manusia).
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa "Iqamah" (menegakkan) memiliki beberapa dimensi makna yang harus dipenuhi, melebihi sekadar menunaikan:
Menurut mayoritas fuqaha (ahli fikih), penegakan salat lima waktu adalah kewajiban individu (fardhu 'ain) yang tidak dapat digantikan atau diwakilkan. Ini adalah pembeda utama antara seorang Muslim dan non-Muslim, sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadis Nabi.
Untuk mencapai tingkat *Iqamat*, ulama fikih merinci berbagai hal yang wajib dipenuhi. Jika salah satu rukun utama ini ditinggalkan, maka salat dianggap tidak ditegakkan secara sempurna dan harus diulangi. Detail ini menunjukkan betapa seriusnya perintah dalam ayat 110 ini:
Dengan demikian, perintah dalam Al-Baqarah 110 adalah perintah untuk menegakkan sebuah sistem kehidupan, bukan sekadar serangkaian gerakan. Ia adalah tiang agama, yang tanpanya struktur keimanan seseorang akan runtuh.
Zakat adalah kewajiban sosial-ekonomi yang secara konsisten disandingkan dengan salat. Ini menunjukkan bahwa ibadah ritual tidak akan sempurna tanpa tanggung jawab sosial, dan sebaliknya, kedermawanan tidak akan dianggap sebagai ibadah tanpa fondasi ketakwaan (salat).
Kata 'Zakat' secara etimologis berarti 'tumbuh,' 'bersih,' atau 'berkembang.' Dalam konteks syariat, zakat berfungsi ganda:
Penegasan penunaian zakat dalam ayat 110, yang umumnya diyakini turun di Madinah, menandai dimulainya penataan masyarakat Islam yang berbasis keadilan ekonomi. Tafsir klasik menekankan bahwa sistem zakat bertujuan untuk:
Berbagai mazhab fikih membahas secara rinci jenis harta yang wajib dizakati (emas, perak, hasil pertanian, ternak, dan harta perniagaan), batasan minimalnya (nisab), dan jangka waktu kepemilikan (haul). Kepatuhan terhadap rincian ini adalah bagian dari "menunaikan zakat" sebagaimana diperintahkan dalam Al-Baqarah 110.
Setelah memerintahkan dua ibadah wajib yang menjadi pilar agama (Salat dan Zakat), ayat 110 kemudian beralih ke prinsip yang lebih luas: kebaikan sukarela (khair). Bagian ini adalah janji universal dan motivasi terbesar bagi seorang mukmin untuk terus berbuat baik.
Frasa *Wamā tuqaddimū li-anfusikum* (Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu) adalah metafora yang kuat. Ia menggambarkan kehidupan dunia sebagai masa penanaman dan pengiriman barang (amal) ke gudang akhirat. Jika seseorang memberi sedekah, berbuat baik kepada tetangga, menuntut ilmu, atau tersenyum ikhlas, ia sedang "mengirimkan" pahala tersebut ke rekening abadi miliknya sendiri.
Imam Mujahid, salah seorang tabi'in terkemuka, menjelaskan bahwa frasa ini mencakup semua jenis amal saleh yang tidak termasuk dalam fardhu 'ain (seperti salat dan zakat wajib). Ini termasuk:
Pesan intinya: setiap kebaikan yang dilakukan, sekecil apa pun, adalah investasi langsung bagi masa depan spiritual seseorang. Kebaikan itu tidak akan dinikmati oleh orang lain, melainkan akan ditemukan kembali secara utuh oleh pelakunya sendiri di hari perhitungan.
Janji *tajidūhu ‘indallāh* mengandung makna keamanan dan kesempurnaan. Dalam urusan dunia, hasil investasi bisa hilang, rusak, atau berkurang nilainya. Namun, janji Allah menjamin bahwa amal yang disimpan di sisi-Nya adalah:
Konsep ini mendorong mukmin untuk tidak terpengaruh oleh pujian manusia atau pengakuan duniawi. Sebab, nilai sejati suatu amal terletak pada tempat penyimpanannya, yaitu di sisi Allah Yang Maha Mulia.
Penutup ayat 110 adalah afirmasi teologis yang sangat kuat, yaitu penyebutan sifat Allah *al-Basīr* (Maha Melihat). Frasa penutup ini berfungsi sebagai penutup, motivasi, sekaligus peringatan.
Sifat *Basīr* tidak hanya berarti Allah melihat gerakan fisik (salat, memberi zakat), tetapi juga melihat apa yang tersembunyi, yaitu niat dan kualitas hati. Para mufassir menekankan bahwa *Basīr* di sini mencakup:
Kesadaran akan pengawasan Ilahi ini disebut sebagai *Muraqabah*. *Muraqabah* adalah stasiun spiritual tertinggi yang harus dicapai oleh seorang hamba, karena ia menuntun pada perbaikan kualitas ibadah secara otomatis.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan, "Allah mengetahui semua yang kamu kerjakan, baik yang besar maupun yang kecil, dan tidak ada satu pun amal baik yang kamu simpan untuk dirimu, melainkan Dia mengetahuinya dan akan membalasnya dengan sebaik-baik balasan."
Karena Allah Maha Melihat (Basir), maka segala perdebatan tentang niat atau keraguan atas penerimaan amal menjadi tidak relevan. Yang terpenting adalah berbuat kebaikan, dan biarkan Allah yang menjadi penilai dan penyimpan. Ketika seorang Muslim menyadari bahwa Allah melihat setiap sen uang yang disalurkan, setiap gerakan dalam salat, dan setiap ucapan lembut yang diberikan kepada sesama, ia akan termotivasi untuk melakukan yang terbaik (Ihsan), bahkan ketika tidak ada manusia lain yang menyaksikan.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk meninjau bagaimana ulama tafsir besar menguraikan ayat ini, khususnya dalam menggabungkan dimensi hukum dan dimensi spiritual.
At-Tabari fokus pada aspek hukum dan kewajiban. Beliau menafsirkan *Iqamat as-Shalah* sebagai pemenuhan segala batasan dan syarat-syaratnya secara sempurna. Mengenai zakat, beliau menyertakan pandangan para sahabat dan tabi'in yang sepakat bahwa perintah ini mewajibkan penunaian zakat yang sah dan terstruktur. At-Tabari menegaskan bahwa ayat ini adalah perintah umum yang mencakup kewajiban bagi setiap mukmin untuk mengumpulkan sebanyak mungkin bekal (khair) sebelum bertemu dengan Tuhannya.
Ar-Razi, dengan pendekatan rasional dan filosofisnya, membedah korelasi antara tiga bagian ayat:
Ar-Razi juga melihat ayat ini sebagai penutup yang logis bagi perdebatan dengan kaum Ahli Kitab, menunjukkan bahwa keunggulan umat Islam terletak pada kualitas amal dan pengabdian (salat dan zakat) mereka, bukan pada silsilah atau klaim teologis semata.
Ibnu Katsir menguatkan makna *tajidūhu ‘indallāh* dengan banyak hadis yang menegaskan bahwa Allah akan memelihara amal kebaikan hamba-Nya. Beliau mencontohkan hadis tentang sedekah yang disimpan oleh Allah dan dikembangkan di sisi-Nya, seolah-olah hamba itu memelihara anak kuda, hingga menjadi sebesar gunung Uhud. Ini menegaskan bahwa amal saleh, meskipun kecil di dunia, akan diperbesar balasannya di akhirat, asalkan dilakukan dengan ikhlas.
Ayat 110 Al-Baqarah adalah sumber utama bagi banyak ketetapan fikih, terutama mengenai urgensi ibadah yang terstruktur dan keterkaitannya dengan kewajiban ekonomi.
Ayat ini menetapkan bahwa salat dan zakat adalah bagian dari *haqqu Allah* (hak Allah) yang wajib dilaksanakan. Dalam fikih, jika seseorang melalaikan salat, ia telah melakukan dosa besar. Jika ia menolak zakat, ia bukan hanya berdosa tetapi juga membahayakan stabilitas masyarakat Islam.
Ayat ini juga menjadi dasar hukum (dalil) bagi para fuqaha yang menekankan bahwa selain zakat wajib, umat Islam didorong untuk berinfak (sedekah sunnah) sebanyak mungkin, karena semuanya termasuk dalam kategori *min khairin* (dari kebaikan), dan semuanya akan ditemukan di sisi Allah. Hal ini membuka pintu bagi berbagai institusi filantropi modern seperti wakaf, sedekah produktif, dan dana sosial non-zakat.
Dalam konteks modern, prinsip *Wamā tuqaddimū li-anfusikum min khairin* meluas hingga mencakup segala aspek kehidupan. Kebaikan (khair) tidak hanya terbatas pada sedekah uang atau puasa sunnah, tetapi juga mencakup:
Dalam setiap tindakan, kesadaran bahwa *Innallāha bimā ta‘malūna baṣīr* harus menjadi filter utama. Artinya, kita harus memilih tindakan yang tidak hanya memenuhi standar manusia (legal) tetapi juga memenuhi standar Ilahi (moral dan ikhlas).
Dari sudut pandang tasawwuf, ayat 110 memberikan pelajaran mendalam tentang kualitas batiniah yang harus menyertai amal zahir (luar).
Seorang sufi memandang perintah salat dan zakat sebagai sarana untuk mencapai pemurnian diri. Salat yang ditegakkan harus mencapai tingkat *khusyuk* yang membawa hamba pada rasa kehambaan total. Zakat harus dikeluarkan dengan kerelaan hati, tanpa mengharapkan balasan atau pujian dari penerima.
Frasa *li-anfusikum* (bagi dirimu sendiri) adalah kunci ikhlas. Amal yang dilakukan bukan untuk orang lain, melainkan murni untuk kepentingan spiritual abadi si pelaku. Jika kebaikan dilakukan hanya untuk mendapatkan pujian, maka pahala yang diterima di sisi Allah akan berkurang, bahkan hilang sama sekali.
Penyebutan sifat *Basīr* di akhir ayat adalah pelajaran utama tentang *Muraqabah* (merasa diawasi oleh Allah). Tingkatan *muraqabah* ini merupakan fondasi bagi tingkatan *Ihsan*, yaitu menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.
Seorang yang mengamalkan *muraqabah* akan secara otomatis memperbaiki kualitas amalnya. Dia tidak akan terburu-buru dalam salatnya, tidak akan mengurangi takaran zakatnya, dan tidak akan membatalkan sedekahnya dengan riya' atau ucapan yang menyakitkan, karena ia tahu bahwa Penilai tertingginya selalu mengawasi, bahkan terhadap bisikan hati yang paling samar.
Para arif billah mengatakan bahwa seluruh ayat ini mengajarkan keseimbangan sempurna antara:
Keseimbangan ini menjamin kemaslahatan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Ayat 110 Surah Al-Baqarah adalah formula ringkas namun padat bagi kehidupan yang sukses di dunia dan akhirat. Ia berfungsi sebagai pengingat yang berulang-ulang, terlepas dari tantangan dan fitnah dunia, fokus utama seorang mukmin harus selalu tertuju pada akumulasi amal saleh.
Kekuatan ayat ini terletak pada janji definitifnya: Kebaikan yang kamu kirimkan hari ini akan kamu temukan kembali esok hari di sisi Allah. Hal ini memposisikan setiap tindakan kedermawanan, setiap detik khusyuk dalam salat, dan setiap usaha kebaikan, bukan sebagai beban, melainkan sebagai keuntungan yang pasti dan abadi.
Jika umat Islam mampu secara konsisten melaksanakan kedua pilar wajib (Salat dan Zakat) dengan sempurna, dan secara proaktif mencari peluang untuk berbuat kebaikan (Khair), didorong oleh kesadaran bahwa Allah Maha Melihat (Basir) niat mereka, maka mereka akan mencapai tingkat kejayaan spiritual dan kemakmuran sosial yang dijanjikan dalam Al-Qur'an. Ini adalah makna mendalam dari Al-Baqarah 110: ibadah adalah tindakan nyata, investasi yang pasti, dan sebuah proses yang selalu berada dalam pengawasan sempurna dari Sang Pencipta alam semesta.
Hak cipta spiritual dilindungi oleh keikhlasan niat.