Surah Al-Baqarah, sebagai salah satu surah terpanjang dan terpenting dalam Al-Qur'an, mengandung fondasi hukum yang sangat mendasar bagi kehidupan sosial dan spiritual umat Islam. Di antara ayat-ayatnya yang membahas tatanan sosial, terdapat satu ayat krusial yang menandai periode awal penetapan hukum harta: Ayat 180. Ayat ini secara spesifik memerintahkan kewajiban membuat wasiat. Namun, pemahaman terhadap ayat ini tidak bisa dilepaskan dari konteks historis dan perkembangan hukum Islam itu sendiri, khususnya konsep an-Naskh (abrogasi) yang kemudian mengubah lanskap hukum pewarisan secara fundamental.
Kajian mendalam mengenai Al-Baqarah 180 membawa kita pada pemahaman tentang transisi legislasi ilahiah, dari sebuah sistem yang didasarkan pada kebebasan berkehendak (wasiat) menuju sistem yang didasarkan pada ketetapan ilahiah (fara'id/waris). Perjalanan hukum ini mencerminkan kebijaksanaan Syariat dalam menyempurnakan tatanan sosial dan memastikan keadilan yang merata bagi semua ahli waris yang berhak.
Ayat 180 dari Surah Al-Baqarah berbunyi sebagai berikut:
Secara harfiah, ayat ini menggunakan frasa كُتِبَ عَلَيْكُمْ (kutiba 'alaykum), yang secara definitif bermakna 'diwajibkan atas kamu'. Ini menunjukkan bahwa pada masa awal Islam, sebelum penetapan rinci hukum waris, membuat wasiat kepada orang tua dan kerabat dekat yang tidak mendapat bagian pasti (atau yang sama sekali tidak mendapat warisan karena adanya hijab) adalah suatu keharusan agama.
Perintah ini bertujuan untuk memastikan bahwa harta yang ditinggalkan (disebut خَيْرًا - khairan, yang dimaknai sebagai harta benda/kekayaan) dapat dibagikan secara adil kepada mereka yang paling berhak dan membutuhkan, khususnya orang tua dan kerabat yang secara tradisional mungkin diabaikan dalam sistem kabilah pra-Islam. Ayat ini menjadi jembatan keadilan dalam masyarakat yang baru bertransformasi.
Ayat ini menetapkan dua syarat penting: meninggalkan khairan (harta yang banyak) dan berwasiat secara bil-ma'ruf (patut atau adil).
Memahami mengapa Al-Baqarah 180 diturunkan memerlukan tinjauan terhadap praktik pewarisan masyarakat Arab pra-Islam. Pada masa Jahiliyyah, pewarisan didominasi oleh sistem kabilah, di mana hak waris seringkali hanya diberikan kepada laki-laki dewasa yang mampu memanggul senjata dan ikut serta dalam pertempuran. Perempuan, anak-anak kecil, dan orang tua seringkali dikesampingkan.
Ketika Islam datang, Syariat memulai reformasi hukum secara bertahap. Ayat 180 merupakan langkah pertama menuju sistem yang lebih adil. Sebelum hukum waris terperinci (fara’id) diturunkan, umat Islam diperintahkan menggunakan wasiat sebagai mekanisme untuk memastikan orang tua dan kerabat dekat menerima bagian, terutama mereka yang rentan dan tidak termasuk dalam struktur waris tradisional Jahiliyyah.
Ini adalah solusi sementara yang sangat penting: menetapkan kewajiban bagi setiap Muslim untuk secara proaktif memberikan keadilan melalui kehendaknya sebelum ketetapan Allah yang lebih rinci datang. Kewajiban ini menekankan pada pertanggungjawaban individu terhadap keluarga dan kerabatnya.
Keadilan Ilahiah: Keseimbangan antara wasiat dan hukum waris.
Pembahasan mengenai Al-Baqarah 180 tidak sah tanpa membahas konsep Naskh (abrogasi atau penghapusan hukum), karena mayoritas ulama dan empat mazhab fiqih utama bersepakat bahwa hukum wajib wasiat dalam ayat ini telah digantikan atau dibatalkan oleh ayat-ayat waris yang diturunkan kemudian.
Alat utama yang menasakh (mengabrogasi) Al-Baqarah 180 adalah ayat-ayat Waris yang terperinci di Surah An-Nisa (ayat 7, 11, 12, dan 176). Ayat-ayat ini secara eksplisit menetapkan porsi (furudh) yang pasti dan tetap bagi ahli waris tertentu, termasuk orang tua (ayah dan ibu) dan kerabat dekat lainnya.
Contohnya, Surah An-Nisa ayat 11 menetapkan: "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh (harta). Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan..."
Ketika Allah menetapkan bagian pasti untuk orang tua (seperenam), maka kewajiban untuk membuat wasiat yang bersifat sukarela (atau wajib) kepada mereka menjadi tidak relevan, karena mereka sudah memiliki hak tetap dari Allah. Para fuqaha berargumen bahwa tidak mungkin Syariat menetapkan dua hukum wajib yang saling bertentangan: wasiat kepada orang tua dan warisan wajib kepada orang tua. Hukum yang lebih baru dan lebih rinci (fara'id) menggantikan hukum yang lebih umum dan awal (wasiat wajib).
Abrogasi ini juga dikuatkan oleh Hadis Nabi Muhammad ﷺ yang terkenal. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasa'i, dan At-Tirmidzi, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak akan haknya. Oleh karena itu, tidak ada wasiat bagi ahli waris." (HR. Abu Daud, Tirmidzi)
Hadis ini merupakan konfirmasi kenabian terhadap prinsip Naskh. Jika orang tua atau kerabat dekat sudah ditetapkan sebagai ahli waris dengan bagian tertentu (melalui ayat An-Nisa), maka mereka tidak perlu lagi diberi wasiat. Wasiat hanya diperbolehkan untuk pihak yang bukan ahli waris dan tidak melebihi sepertiga harta.
Para ulama dari berbagai generasi, termasuk para Sahabat Nabi seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, telah mencapai ijma' (konsensus) bahwa Al-Baqarah 180 telah dinasakh (diabrogasi) berkaitan dengan kewajiban berwasiat kepada ahli waris. Konsensus ini menjadi salah satu pilar utama dalam pemahaman hukum waris Islam. Ketika suatu masalah telah mencapai ijma', ia menjadi hukum yang sangat kuat dan dipertahankan oleh seluruh mazhab fiqih.
Namun, perlu ditekankan, yang dinasakh adalah kewajiban membuat wasiat kepada orang tua dan ahli waris, bukan hukum wasiat secara keseluruhan. Hukum wasiat (sepertiga harta kepada non-ahli waris) tetap berlaku dan merupakan sunnah, selama tidak bertujuan merugikan ahli waris sah.
Meskipun terdapat ijma' mengenai naskh, rincian argumen yang digunakan oleh empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) dalam memahami transisi hukum ini patut dikaji secara mendalam. Perbedaan kecil dalam interpretasi ini memengaruhi bagaimana mereka memandang pengecualian wasiat.
Mazhab Hanafi secara tegas menerima Naskh. Mereka berpendapat bahwa Al-Baqarah 180 adalah hukum awal yang bersifat umum, sementara ayat-ayat An-Nisa bersifat spesifik dan pasti (taqsir). Hukum spesifik ini secara otomatis membatasi dan menggantikan hukum umum. Mereka menekankan bahwa Hadis "Tidak ada wasiat bagi ahli waris" berfungsi sebagai penjelas dan penguat terhadap implikasi Naskh dari ayat Waris.
Para fuqaha Hanafi sangat konservatif dalam membatasi wasiat. Jika seseorang berwasiat kepada ahli waris, wasiat tersebut dianggap batal kecuali jika seluruh ahli waris lainnya menyetujuinya setelah kematian pewasiat.
Maliki juga mengakui Naskh, tetapi mereka cenderung melihat proses ini sebagai penentuan prioritas. Mereka berpendapat bahwa hak ahli waris yang ditetapkan Allah (fara'id) harus diprioritaskan di atas kehendak pewasiat (wasiat). Ayat-ayat Waris tidak hanya membatalkan kewajiban berwasiat, tetapi juga melarang pemberian wasiat yang secara langsung mengurangi hak waris yang telah ditetapkan.
Dalam Mazhab Maliki, fokus diletakkan pada konsep Darurat (kebutuhan). Wasiat wajib pada dasarnya sudah tidak ada, tetapi jika ada kerabat yang sangat miskin dan tidak mendapatkan warisan, wasiat sukarela kepadanya dianggap sangat dianjurkan, asalkan tidak melanggar batas sepertiga.
Imam Syafi'i adalah ulama yang sangat vokal dalam menyusun teori Naskh. Beliau berargumen bahwa Al-Baqarah 180 dinasakh oleh ayat-ayat waris (An-Nisa) dan diperkuat oleh sunnah yang mutawatir (Hadis "Tidak ada wasiat bagi ahli waris"). Syafi'i melihat hukum Waris sebagai penyempurnaan yang mutlak atas hukum Wasiat.
Syafi'iyyah membagi kerabat menjadi dua: kerabat yang berhak waris (dzawil furudh dan ashabah) dan kerabat yang tidak berhak waris (dzawil arham dalam kondisi tertentu, atau kerabat terhijab). Wasiat hanya diperbolehkan untuk kelompok kedua. Bagi Syafi'iyyah, wasiat yang ditujukan kepada ahli waris yang sah adalah batal demi hukum, bahkan jika itu bertujuan untuk kebaikan.
Mazhab Hanbali sejalan dengan tiga mazhab lainnya mengenai Naskh. Ahmad bin Hanbal menekankan bahwa hukum yang ditetapkan Allah adalah yang paling adil, sehingga campur tangan manusia (melalui wasiat kepada ahli waris) ditiadakan. Mereka juga sangat berpegang pada Hadis Nabi ﷺ. Pengecualian pada dasarnya tidak ada, kecuali persetujuan ahli waris setelah pewafat.
Para Hanbali, seperti mazhab lainnya, menafsirkan bahwa wasiat pada dasarnya hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang tidak memiliki hubungan sebab-akibat dengan warisan, yaitu non-ahli waris (ajanib).
Meskipun terdapat ijma' bahwa Al-Baqarah 180 telah dinasakh terkait wasiat wajib kepada orang tua, ayat ini menemukan interpretasi baru dalam hukum Islam modern di beberapa negara, termasuk Indonesia, melalui konsep Wasiyah Wajibah (Wasiat Wajib).
Isu utama yang memunculkan Wasiyah Wajibah adalah nasib cucu yang ayahnya meninggal sebelum kakeknya (pewaris utama). Dalam hukum waris Islam klasik (fara'id), cucu ini terhijab (terhalang) oleh keberadaan paman atau bibi mereka (anak-anak pewaris yang masih hidup). Cucu yatim ini, yang paling berhak mendapat kasih sayang dan perlindungan finansial dari kakeknya, justru tidak mendapat bagian warisan sama sekali.
Untuk mengatasi ketidakadilan sosial ini, para ulama kontemporer di beberapa yurisdiksi Islam (terutama Mesir, Suriah, Kuwait, dan juga di Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam/KHI) menghidupkan kembali semangat keadilan Al-Baqarah 180.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia, Wasiyah Wajibah ditetapkan untuk cucu yang orang tuanya (anak pewaris) meninggal lebih dahulu. KHI menentukan bahwa cucu tersebut berhak atas wasiat wajib sebesar maksimal bagian yang seharusnya diterima oleh orang tua mereka, namun tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan.
Dasar hukum implementasi Wasiyah Wajibah di Indonesia adalah upaya re-interpretasi terhadap tujuan Syariat (Maqashid Syariah) dan penggunaan kembali semangat keadilan dalam Al-Baqarah 180, bukan sebagai hukum wajib yang bersifat umum, melainkan sebagai solusi hukum yang bersifat spesifik untuk kasus cucu terhijab.
Argumen yang mendukung Wasiyah Wajibah meliputi:
Penerapan Wasiyah Wajibah bukanlah tanpa perdebatan. Beberapa ulama konservatif menolak Wasiyah Wajibah karena dianggap melanggar ijma' mengenai Naskh dan Hadis "Tidak ada wasiat bagi ahli waris." Mereka berargumen bahwa mencampurkan wasiat dan warisan tanpa persetujuan ahli waris dapat membuka pintu ketidakpastian hukum.
Namun, pendukung Wasiyah Wajibah membalas bahwa ini bukan wasiat dalam arti tradisional, melainkan hak yang diberikan oleh penguasa (ulil amri) berdasarkan interpretasi yang sah terhadap Al-Qur'an dan Sunnah, untuk mencapai keadilan yang lebih tinggi. Ini adalah contoh dinamis bagaimana hukum Islam dapat beradaptasi terhadap perubahan sosial sambil tetap berpegang pada nash-nash dasar.
Untuk memahami kompleksitas Al-Baqarah 180 dan transisinya ke hukum waris, penting untuk menelaah secara mendalam istilah-istilah kunci yang muncul dalam konteks legislasi ini.
Secara terminologi fiqih, Wasiyah didefinisikan sebagai pemberian hak milik yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga setelah kematian pemberi wasiat. Wasiat memiliki sifat sukarela (tabarru'), berbeda dengan warisan (fara’id) yang bersifat wajib dan otomatis.
Ketika Al-Baqarah 180 diturunkan, wasiat diberi status wajib. Ini adalah anomali hukum. Dalam sejarah legislasi Islam, ini adalah satu-satunya kasus di mana wasiat diwajibkan, dan status ini kemudian dihapus. Peralihan status dari wajib kembali menjadi sunnah (dianjurkan) menunjukkan pergeseran dari ketergantungan pada kehendak individu untuk mencapai keadilan, menjadi ketergantungan penuh pada ketetapan Allah.
Fokus utama wasiat adalah memberikan kesempatan kepada pewasiat untuk menebus kekurangan semasa hidup, membayar utang, atau memberikan bantuan kepada non-ahli waris. Pembatasan sepertiga memastikan keseimbangan antara hak pewasiat dan hak ahli waris. Rasulullah ﷺ bersabda, "Sepertiga, dan sepertiga itu banyak." Ini menunjukkan pentingnya mempertahankan sebagian besar harta untuk keturunan dan ahli waris sah.
Memahami Naskh Al-Baqarah 180 memerlukan pembedaan yang jelas antara dua konsep distribusi harta ini:
Ayat An-Nisa dinilai menasakh Al-Baqarah 180 karena ia mengubah status penerima (orang tua) dari yang berhak atas wasiat (pada masa awal) menjadi yang berhak atas warisan (hukum tetap). Dengan hak waris tetap, kewajiban wasiat secara logis terbatalkan.
Sumber Hukum: Al-Qur'an sebagai pedoman legislasi.
Transisi hukum yang terjadi antara Al-Baqarah 180 dan An-Nisa menunjukkan tiga prinsip penting dalam ilmu ushul fiqih (prinsip jurisprudensi Islam):
Kasus Al-Baqarah 180 adalah contoh sempurna dari "penghapusan hukum tetapi tetap mempertahankan tilawah (bacaan)". Ayat tersebut tetap dibaca dan menjadi bagian integral dari mushaf Al-Qur'an, menunjukkan bahwa ia adalah wahyu dari Allah. Namun, status hukum wajib yang dibawanya telah dibatalkan oleh wahyu yang datang kemudian. Hikmah di balik ini adalah untuk menunjukkan sejarah perkembangan Syariat dan kebijaksanaan Allah dalam menetapkan hukum secara bertahap.
Kehadiran ayat yang dinasakh dalam mushaf berfungsi sebagai pengingat akan kesempurnaan hukum yang dicapai melalui proses evolusi legislasi. Ini juga menunjukkan betapa beratnya tanggung jawab yang diletakkan pada umat Islam di masa awal (kewajiban berwasiat) sebelum sistem waris yang sempurna diturunkan.
Penggunaan kata Khairan (kebaikan/harta) dalam ayat 180 sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa fokus hukum awal adalah pada distribusi kekayaan yang berlebihan. Ketika hukum waris (An-Nisa) diturunkan, tidak ada lagi syarat bahwa harta harus banyak. Warisan harus dibagi, sekecil apapun harta itu, karena warisan adalah hak absolut yang ditetapkan oleh Allah. Kontras ini memperkuat teori Naskh, bahwa hukum yang lebih detail dan tanpa syarat menggantikan hukum yang lebih umum dan bersyarat.
Dalam teori ushul fiqih, Hadis Nabi ﷺ memiliki peran vital dalam Naskh. Dalam kasus ini, Hadis "Tidak ada wasiat bagi ahli waris" berfungsi sebagai Bayan an-Naskh (penjelasan abrigasi). Meskipun ayat An-Nisa secara implisit membatalkan Al-Baqarah 180, Hadis tersebut memberikan pembatalan yang eksplisit dan mutlak dari Rasulullah ﷺ sendiri. Ini menegaskan otoritas Sunnah sebagai sumber hukum yang sah, bahkan dalam konteks abrigasi Al-Qur'an.
Jika tanpa Hadis, mungkin akan muncul perbedaan pendapat yang lebih besar mengenai apakah ayat An-Nisa hanya membatasi atau sepenuhnya menghapus. Tetapi melalui sabda Nabi, keraguan tersebut hilang, dan ijma' dapat tercapai.
Perubahan mendasar dari kewajiban wasiat (Al-Baqarah 180) ke penetapan waris tetap (An-Nisa) bukanlah sekadar perubahan teknis, tetapi manifestasi hikmah dan tujuan Syariat yang lebih tinggi.
Hukum wasiat, meskipun wajib pada awalnya, bergantung pada kehendak individu. Jika seseorang meninggal tanpa sempat membuat wasiat, atau membuat wasiat yang tidak adil (tidak *bil-ma'ruf*), maka keadilan sulit tercapai. Sistem Fara'id (hukum waris) menghilangkan subjektivitas manusia. Allah sendiri yang menetapkan porsi 1/2, 1/4, 1/8, 1/6, 1/3, dan 2/3, memastikan bahwa pembagian tersebut adil berdasarkan kedekatan hubungan, beban ekonomi, dan prioritas generasi.
Dengan penetapan porsi yang pasti, pertengkaran dan sengketa antar ahli waris dapat diminimalisir, karena hak masing-masing pihak telah dijamin oleh wahyu ilahi.
Sistem waris yang ditetapkan dalam An-Nisa secara cermat menyeimbangkan kebutuhan. Misalnya, anak perempuan yang cenderung memiliki tanggungan ekonomi lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki (yang bertanggung jawab menafkahi keluarganya) mendapat bagian yang lebih kecil. Orang tua mendapat bagian tetap, memastikan penghidupan mereka terjamin di usia senja, terlepas dari kehendak anak mereka.
Transisi ini mencerminkan Syariat yang tidak hanya memerintahkan kebaikan, tetapi juga menjamin kebaikan itu terjadi melalui mekanisme hukum yang bersifat wajib dan mengikat.
Kasus Al-Baqarah 180 dan An-Nisa menunjukkan bahwa Syariat Islam mencapai puncaknya melalui proses. Para ulama menyebut ini sebagai Tadarruj fi al-Tasyri’ (gradualisme dalam legislasi). Hukum-hukum yang bersifat umum dan sementara (seperti wasiat wajib) diberikan terlebih dahulu untuk menyiapkan mentalitas umat, sebelum hukum yang bersifat rinci, sempurna, dan permanen diturunkan.
Kehadiran hukum waris yang rinci menghilangkan kebutuhan akan wasiat wajib kepada ahli waris, karena hak mereka sudah melekat dan tidak dapat dibatalkan oleh kehendak pewasiat. Ini adalah perlindungan maksimal terhadap hak-hak keluarga.
Dampak abrigasi Al-Baqarah 180 meluas jauh melampaui sekadar pembagian harta. Ia membentuk dasar bagi seluruh struktur sosial ekonomi Islam.
Setelah Naskh, wasiat tidak lagi bersifat wajib kepada ahli waris, tetapi justru dilarang kepada ahli waris. Pembatasan wasiat maksimal sepertiga harta menjadi fondasi fiqih yang sangat kuat. Batasan ini penting untuk mencegah tindakan yang bertujuan merugikan ahli waris, misalnya, seorang yang sakit parah membuat wasiat besar-besaran kepada non-ahli waris atau ahli waris tertentu, sehingga menyisakan sedikit bagi yang lain. Hukum Islam menganggap harta peninggalan sebagai hak milik komunal keluarga setelah kematian pewasiat, dan wasiat hanya boleh mengurangi hak tersebut secara minimal.
Dalam konteks wasiat dan waris, terdapat kerabat yang disebut Dzawil Arham (kerabat yang memiliki hubungan darah tetapi tidak mendapat bagian pasti atau ashabah). Sebelum hukum fara'id rinci turun, kerabat jauh ini termasuk dalam cakupan "wal-aqrabin" (kerabat dekat) yang wajib diwasiati berdasarkan Al-Baqarah 180.
Setelah Naskh, pandangan Mazhab Hanafi (yang memasukkan Dzawil Arham ke dalam ahli waris jika tidak ada Dzawil Furudh dan Ashabah) berbeda dengan pandangan mayoritas (Syafi'i, Maliki, Hanbali) yang menempatkan mereka di luar ahli waris utama. Bagi mazhab yang mengesampingkan Dzawil Arham, mereka menjadi pihak yang sangat dianjurkan untuk diberikan wasiat, menghidupkan kembali semangat kebaikan yang terkandung dalam Al-Baqarah 180, namun kini dalam bentuk sunnah (dianjurkan) dan bukan wajib.
Munculnya konsep Wasiyah Wajibah di era modern adalah pengakuan terhadap peran ulil amri (pemerintah) atau lembaga peradilan dalam memastikan Maqashid Syariah (tujuan Syariat) tercapai, bahkan melalui interpretasi hukum yang dinamis. Jika hukum klasik, meskipun adil dalam lingkupnya, menghasilkan ketidakadilan sosial yang nyata dalam kasus spesifik (seperti cucu yatim), maka Syariat memberikan ruang untuk Ijtihad baru. KHI di Indonesia adalah implementasi Ijtihad yang berakar pada semangat Al-Baqarah 180.
Wasiyah Wajibah mencerminkan dialog berkelanjutan dalam fiqih kontemporer: bagaimana mempertahankan ketetapan nash (ayat waris) sambil juga memenuhi prinsip keadilan (ayat wasiat awal). Keputusan untuk menetapkan wasiat wajib bagi cucu adalah solusi yang berusaha menempatkan kebaikan (khairan) pada tempatnya yang *ma'ruf* (patut).
Dalam konteks ini, Al-Baqarah 180 tidak hilang relevansinya; ia bertransformasi dari hukum yang mengatur distribusi wajib kepada ahli waris, menjadi prinsip moral dan dasar bagi Ijtihad untuk menjamin hak-hak kerabat yang terhijab.
Ayat Al-Baqarah 180 merupakan titik balik monumental dalam sejarah legislasi Islam. Ayat ini menegaskan pentingnya tanggung jawab individu terhadap distribusi kekayaan sebelum kedatangan hukum waris yang pasti. Kewajiban berwasiat kepada orang tua dan kerabat dekat adalah jaminan keadilan sementara di masa transisi. Ketika ayat-ayat Surah An-Nisa turun dengan menetapkan porsi warisan yang tetap, hukum yang lebih umum ini dinasakh dan digantikan oleh sistem yang lebih rinci dan abadi.
Ijma' para ulama menetapkan bahwa wasiat bagi ahli waris adalah terlarang, demi menjaga keadilan yang telah ditetapkan Allah SWT. Namun, semangat keadilan dan perlindungan terhadap kerabat yang lemah yang terkandung dalam Al-Baqarah 180 tetap hidup. Di era modern, semangat ini diwujudkan kembali melalui konsep Wasiyah Wajibah, yang menunjukkan fleksibilitas fiqih untuk merespon kebutuhan sosial tanpa meniadakan nash Al-Qur'an.
Memahami Al-Baqarah 180 memungkinkan kita menghargai kedalaman dan kebijaksanaan Syariat, yang secara bertahap memimpin umat manusia dari tatanan hukum yang didasarkan pada kehendak pribadi menuju sistem keadilan yang ditetapkan secara ilahiah, sebuah sistem yang menjamin bahwa harta benda akan terdistribusi secara *ma'ruf*—adil dan patut—sebagai kewajiban mutlak bagi setiap orang yang bertakwa.
Kajian atas ayat ini mengingatkan setiap Muslim bahwa harta adalah ujian, dan kewajiban untuk mendistribusikannya dengan adil, baik melalui wasiat yang bersifat sunnah kepada non-ahli waris (maksimal sepertiga) maupun melalui hukum waris yang bersifat wajib, adalah puncak ketakwaan.
Sejatinya, proses Naskh Al-Baqarah 180 bukanlah penghapusan, melainkan sebuah elevasi hukum; perpindahan dari perintah yang bersifat umum dan bersyarat menjadi ketetapan yang bersifat spesifik dan universal. Ini adalah tanda kesempurnaan hukum Allah yang berlaku sepanjang masa.