Surah Al-A'raf ayat 56 merupakan salah satu pilar fundamental dalam ajaran Islam yang menetapkan dua prinsip kehidupan utama: larangan mutlak terhadap perusakan (fasad) dan kewajiban untuk senantiasa mendekat kepada Sang Pencipta melalui doa, yang dilandasi oleh keseimbangan antara rasa takut dan harapan. Ayat ini bukan sekadar perintah etis, melainkan sebuah cetak biru kosmik untuk menjaga keharmonisan alam semesta dan masyarakat manusia.
Tiga komponen utama dalam ayat ini—larangan kerusakan, metode doa yang benar, dan janji rahmat—saling terjalin erat, membentuk sebuah siklus moral dan spiritual yang menentukan kualitas hidup seorang hamba di dunia dan akhirat. Kita akan membedah setiap elemen ini dengan detail yang mendalam, mengungkap implikasi teologis, sosiologis, dan lingkungan yang terkandung di dalamnya.
Pilar pertama ayat ini adalah: “Wa lā tufsidu fil-arḍi ba'da iṣlāḥihā” (Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya). Perintah ini memiliki bobot teologis yang luar biasa, menekankan bahwa kondisi bumi sejatinya telah disempurnakan dan siap untuk dihuni, sehingga segala bentuk tindakan yang merusak adalah pengkhianatan terhadap rancangan ilahi.
Kata Fasad (Kerusakan) dalam konteks Al-Qur'an jauh lebih luas daripada sekadar kerusakan fisik atau lingkungan. Fasad mencakup segala bentuk penyimpangan dari fitrah dan keseimbangan yang telah ditetapkan oleh Allah. Ini adalah kebalikan dari Islah (Perbaikan atau Reformasi).
Kerusakan atau fasad dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa dimensi, masing-masing menuntut perhatian dan pencegahan yang serius:
Ini adalah dimensi yang paling sering diinterpretasikan, merujuk pada segala tindakan manusia yang mengganggu ekosistem. Ini termasuk polusi, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, penggundulan hutan, pencemaran air, dan emisi yang merusak atmosfer. Tindakan-tindakan ini tidak hanya merugikan manusia saat ini tetapi juga merampas hak generasi mendatang untuk menikmati bumi yang sehat.
Fasad ekologis juga mencakup penyalahgunaan air bersih. Air adalah sumber kehidupan, dan merusaknya berarti merusak inti perbaikan bumi. Pengelolaan limbah yang buruk, pembuangan bahan kimia berbahaya ke sungai, atau privatisasi air yang berujung pada penderitaan masyarakat miskin adalah manifestasi nyata dari fasad yang dilarang keras dalam ayat ini.
Lebih jauh lagi, pemanasan global dan perubahan iklim yang disebabkan oleh ketamakan industri dan konsumsi berlebihan adalah bentuk fasad global. Ketika manusia menolak mengakui batas-batas yang telah ditetapkan oleh alam, mereka melanggar prinsip iṣlāḥ yang telah Allah ciptakan. Kehancuran terumbu karang, kepunahan spesies, dan desertifikasi lahan subur adalah bukti nyata bahwa manusia telah gagal dalam menjalankan amanah khalifah.
Kerusakan ini terjadi ketika tatanan masyarakat terdistorsi. Ini mencakup penyebaran kemaksiatan, perzinahan, perjudian, narkoba, dan segala praktik yang merusak moral individu dan keluarga. Ketika nilai-nilai keadilan dan kejujuran digantikan oleh hedonisme dan ketidakpedulian, maka masyarakat tersebut berada dalam kondisi fasad.
Contoh fasad sosial yang paling merusak adalah hilangnya rasa empati dan tanggung jawab komunal. Individualisme ekstrem, penindasan terhadap kaum lemah, dan eksploitasi pekerja adalah penyakit sosial yang menggerogoti struktur keadilan. Allah telah memperbaiki masyarakat melalui syariat, yang intinya adalah keadilan, sehingga setiap pelanggaran terhadap keadilan adalah fasad yang harus dihindari.
Penyebaran hoaks (berita palsu) dan fitnah, yang kini marak di era digital, juga merupakan fasad moral yang serius. Fitnah merusak reputasi, memecah belah persatuan, dan menciptakan kekacauan psikologis dalam masyarakat. Ini adalah senjata halus yang menghancurkan pondasi kepercayaan yang merupakan dasar dari perbaikan sosial (iṣlāḥ).
Ini berkaitan dengan ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan kekuasaan. Praktik riba (bunga), penimbunan (ihtikar), korupsi, suap, dan segala bentuk pencurian uang rakyat adalah fasad ekonomi par excellence. Korupsi, secara khusus, adalah bentuk fasad yang menghambat segala upaya perbaikan (iṣlāḥ), karena ia merusak sistem hukum, menghabiskan sumber daya, dan menzalimi jutaan orang.
Di arena politik, fasad terjadi ketika pemimpin menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, menindas oposisi, dan memanipulasi hukum. Keadilan politik, yang merupakan bagian dari perbaikan ilahi, menuntut pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab. Ketika seorang pemimpin gagal menjunjung tinggi amanah ini, dia telah menyebarkan fasad di bumi.
Sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elit, sementara mayoritas hidup dalam kemiskinan struktural, adalah gambaran modern dari fasad. Ayat ini menantang umat manusia untuk membangun sistem ekonomi yang berbasis pada pemerataan, zakat, dan keadilan transaksi, bukan pada eksploitasi dan akumulasi kekayaan tanpa batas.
Frasa “ba'da iṣlāḥihā” adalah kunci teologis dalam ayat ini. Ini menegaskan bahwa Allah SWT tidak menciptakan kekacauan; Dia menciptakan keteraturan, kesempurnaan, dan keseimbangan (mizan). Bumi ini, dalam kondisi aslinya, telah diperbaiki—dipersiapkan untuk kehidupan dan kemakmuran.
Menurut para mufasir, "diperbaikinya bumi" dapat diartikan dalam dua makna:
Implikasi dari frasa ini sangat berat: setiap perusakan yang kita lakukan adalah kejahatan ganda. Pertama, karena merusak; kedua, karena merusak sesuatu yang sudah sempurna dan sudah susah payah diperbaiki. Ini menunjukkan arogansi manusia yang menolak untuk berterima kasih atas karunia tatanan yang telah ada.
Jika kita dilarang merusak (fasad), maka secara implisit kita diperintahkan untuk menjadi agen perbaikan (iṣlāḥ). Tugas khalifah di bumi adalah mempertahankan dan meningkatkan perbaikan yang sudah ada. Ini adalah jihad kontemporer yang mencakup segala upaya konstruktif:
Kesimpulannya, bagian pertama ayat 56 ini menetapkan bahwa perusakan, dalam segala bentuknya—fisik, moral, sosial, dan spiritual—adalah kejahatan terhadap tatanan yang telah ditetapkan Allah. Tanggung jawab kita adalah menjaga warisan perbaikan ini.
Pilar kedua ayat ini mengajarkan cara berinteraksi yang benar dengan Tuhan: “Wad'ūhu khawfan wa ṭama'an” (dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan). Perintah ini menyeimbangkan antara spiritualitas dan psikologi ibadah, memastikan bahwa hamba tidak terjatuh ke dalam kesombongan (karena terlalu percaya diri dengan amal) atau keputusasaan (karena merasa terlalu berdosa).
Khawf (ketakutan) di sini bukanlah rasa takut yang melumpuhkan, melainkan rasa hormat, kewaspadaan, dan kesadaran mendalam akan keagungan Allah dan kemungkinan hukuman-Nya (atau ketidakberkenannya amal). Rasa takut ini memicu ketaatan dan pencegahan dari dosa.
Rasa takut yang pertama adalah pengakuan bahwa Allah adalah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Sempurna, dan bahwa seluruh alam semesta tunduk pada kehendak-Nya. Takut ini menghasilkan kerendahan hati dan menghilangkan arogansi. Ketika seseorang berdoa dengan rasa takut, dia mengakui bahwa tanpa rahmat Allah, usahanya sia-sia. Ini mengingatkan kita pada ancaman fasad yang kita bahas sebelumnya; takutlah akan akibat dari perbuatan fasad.
Implikasi praktis dari khawf dalam doa adalah adanya ketelitian dalam pelaksanaan ibadah. Khawf membuat seorang hamba tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena ia sadar bahwa pelanggaran sekecil apa pun dapat menarik murka Ilahi. Khawf juga memotivasi introspeksi mendalam, menyebabkan hamba terus menerus mengevaluasi niat (ikhlas) dan kualitas amalnya.
Rasa takut ini terkait dengan ketidaksempurnaan amal manusia. Meskipun seseorang telah berusaha melakukan kebaikan (iṣlāḥ), ia tetap takut jika niatnya ternodai, amalannya cacat, atau ibadahnya tidak sesuai dengan tuntunan. Ketakutan ini menjaga hamba dari sikap ujub (bangga diri) dan riya (pamer).
Para ulama salaf seringkali berdoa sambil menangis, bukan karena mereka buruk, tetapi karena takut amalan mereka yang telah dilakukan dengan susah payah ternyata tidak memenuhi standar keagungan Allah. Rasa takut ini adalah pendorong spiritual yang tak ternilai harganya, memastikan seorang mukmin selalu berada dalam mode peningkatan diri (tazkiyatun nafs).
Ṭama' (harapan) adalah optimisme yang kuat terhadap kemurahan, kasih sayang, dan rahmat Allah. Harapan ini mencegah hamba dari keputusasaan (qunut), yang dianggap sebagai dosa besar dalam Islam.
Allah SWT memperkenalkan diri-Nya sebagai Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang). Harapan yang sejati didasarkan pada keyakinan tak tergoyahkan akan janji-janji Allah. Bahkan setelah melakukan fasad, jika seorang hamba bertaubat dengan tulus, dia harus memiliki harapan bahwa rahmat Allah lebih besar daripada dosanya.
Harapan (tama') memberikan energi positif. Jika khawf (takut) berfungsi sebagai rem yang menghentikan dari kemaksiatan, tama' (harapan) berfungsi sebagai gas yang mendorong menuju ketaatan. Tanpa harapan, seseorang akan berhenti beramal karena merasa sudah terlalu jauh tersesat. Dengan harapan, setiap hari adalah kesempatan baru untuk memulai perbaikan (iṣlāḥ) dan mendapatkan pengampunan.
Dalam konteks menjaga bumi (melawan fasad), harapan berarti keyakinan bahwa upaya kita untuk memperbaiki masyarakat, lingkungan, dan diri sendiri tidak akan sia-sia. Kita menanam pohon, membersihkan sungai, melawan korupsi, dan mendidik anak-anak, dengan harapan bahwa Allah akan memberkahi upaya tersebut dan mengubah kondisi buruk yang ada.
Harapan yang berlebihan tanpa amal adalah kebodohan (ghurur), tetapi harapan yang didukung oleh amal adalah fondasi iman yang kuat. Tama' mengharuskan tindakan, bukan hanya lamunan. Tama' mewajibkan kita untuk terus menerus beramal saleh (berbuat baik) karena kita yakin bahwa pahala dan hasil dari kebaikan itu pasti akan kita tuai.
Para ulama sepakat bahwa ibadah yang benar harus didasarkan pada kedua emosi ini secara seimbang, sering disebut sebagai dua sayap burung. Jika hanya ada rasa takut (khawf), hamba akan putus asa dan berhenti berharap rahmat. Jika hanya ada harapan (tama'), hamba akan merasa aman dari siksa, yang dapat mendorongnya melakukan kemaksiatan (ghurur).
Keseimbangan antara Khawf dan Tama' memastikan konsistensi dalam ketaatan. Ini juga menjamin bahwa upaya memerangi fasad di bumi dilakukan bukan hanya karena takut azab (motivasi eksternal), tetapi juga karena berharap balasan surga dan rida-Nya (motivasi internal yang positif).
Inilah yang membedakan pendekatan Islam dengan filsafat spiritual lain; Islam menuntut kita untuk mengakui keagungan Allah secara penuh (menghadirkan Khawf) sambil merangkul kasih sayang-Nya yang tak terbatas (menghadirkan Tama'). Ketika seorang hamba berdoa dengan kesadaran ini, doanya menjadi berkualitas, mendalam, dan transformatif, menjadikannya layak menerima pilar ketiga ayat ini: Rahmat Allah.
Ayat ini ditutup dengan janji agung: “Inna raḥmata Allāhi qarībun mina l-muḥsinīn” (Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik/muhsinin). Janji ini adalah buah dari menunaikan dua perintah sebelumnya (meninggalkan fasad dan berdoa dengan khauf-tama').
Kata Al-Muḥsinīn (orang-orang yang berbuat baik) berasal dari kata ihsan. Ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam agama, setelah Islam (tunduk) dan Iman (percaya). Ihsan didefinisikan oleh Rasulullah SAW sebagai menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka yakinlah Dia melihatmu.
Seseorang dikatakan muhsinin jika perbuatannya, baik yang berkaitan dengan Allah (ibadah) maupun yang berkaitan dengan makhluk (muamalah), dilakukan dengan kualitas terbaik, kesungguhan, dan keikhlasan. Dalam konteks Al-A'raf 56:
Frasa “qarībun” (dekat) menandakan bahwa rahmat Allah bukanlah hadiah yang sulit diraih, tetapi sebuah konsekuensi logis yang cepat didapatkan bagi mereka yang memenuhi syarat ihsan. Kedekatan rahmat ini memiliki dua implikasi:
Penting untuk dicatat bahwa rahmat itu "dekat" (qarībun), bukan "otomatis" atau "dijamin." Kedekatan ini menuntut tindakan aktif yang berkelanjutan dari muhsinin. Rahmat tidak akan menghampiri mereka yang pasif atau yang hanya menunggu tanpa melakukan usaha perbaikan.
Ayat Al-A'raf 56 mengajarkan sebuah sistem kehidupan yang terintegrasi. Tiga pilar tersebut tidak dapat dipisahkan:
Tinggalkan FASAD → Doa dengan KHAUF & TAMA' → Raih status MUHSININ → Dapatkan RAHMAT yang Dekat
Kerusakan (fasad) menarik murka, dan hanya melalui doa yang tulus dan amal perbaikan (islah) seseorang dapat menarik rahmat. Perbuatan baik (ihsan/muhsinin) adalah jembatan yang menghubungkan larangan dan janji Ilahi.
Dalam konteks modern, larangan fasad menjadi semakin relevan dan mendesak. Globalisasi, teknologi, dan kapitalisme telah menciptakan bentuk-bentuk fasad baru yang lebih canggih dan merusak. Pemahaman mendalam tentang fasad kontemporer adalah kunci untuk melaksanakan islah di era digital.
Teknologi informasi, meskipun menawarkan kemudahan, telah menjadi ladang subur bagi fasad moral dan sosial. Penyebaran pornografi, konten yang merusak akidah, dan penggunaan AI (Kecerdasan Buatan) untuk tujuan manipulasi politik adalah contoh fasad di ranah digital. Ketika platform digital digunakan untuk memecah belah, menyebarkan kebencian, atau menipu, mereka merusak tatanan sosial yang telah diperbaiki.
Fasad digital juga termasuk pengawasan massal dan pelanggaran privasi, yang mengikis rasa aman dan kebebasan individu. Tuntutan islah di sini adalah menggunakan teknologi sebagai alat untuk kebaikan (dakwah, edukasi, efisiensi), dan bukan sebagai sarana untuk mendominasi atau merusak moralitas publik.
Sistem konsumerisme global mendorong produksi dan pembuangan yang tidak berkelanjutan, menciptakan gunung-gunung sampah dan polusi yang tak terkelola. Ini adalah fasad ekonomi yang berakar pada ketamakan. Ayat Al-A'raf 56 menuntut kita untuk hidup sederhana, menghindari pemborosan (israf), dan mengadopsi gaya hidup yang menghormati sumber daya alam, mengingat bahwa setiap tetes air dan setiap hektar tanah adalah titipan (amanah).
Penggunaan plastik sekali pakai secara masif adalah manifestasi fasad. Sampah plastik mencemari lautan, membunuh biota laut, dan bahkan kembali ke rantai makanan manusia. Upaya perbaikan (islah) menuntut adanya revolusi dalam perilaku konsumsi dan dukungan terhadap kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan (sustainable living).
Kerusakan tidak hanya terjadi di luar diri, tetapi juga di dalam. Meningkatnya kasus kesehatan mental—depresi, kecemasan, dan bunuh diri—sering kali disebabkan oleh fasad sosial; tekanan persaingan yang tidak sehat, isolasi akibat teknologi, dan kehilangan makna hidup. Kebaikan (ihsan) dalam konteks ini adalah memberikan dukungan emosional, menciptakan komunitas yang inklusif, dan mengajarkan cara hidup yang seimbang, berpegang teguh pada nilai-nilai spiritual, yang dapat melawan kekosongan modern.
Fasad psikis terjadi ketika manusia mengabaikan kebutuhan spiritualnya dan hanya fokus pada aspek material. Ini adalah kerusakan pada diri (nafs) yang harus diperbaiki melalui dzikir, refleksi, dan kembali kepada ajaran agama yang menenangkan.
Ketika berbagai bentuk fasad ini—ekonomi, lingkungan, moral, dan teknologi—berjalan simultan, kerusakan yang dihasilkan bersifat eksponensial. Lingkungan yang rusak memicu kemiskinan (fasad ekonomi), yang kemudian memicu konflik sosial dan moral (fasad sosial). Hanya dengan memahami bahwa semua jenis fasad saling terhubung, kita dapat menyusun strategi islah yang komprehensif, berdasarkan pedoman ayat Al-A'raf 56 ini.
Perintah untuk berdoa dengan rasa takut (khawf) dan harapan (tama') adalah intisari dari Tauhid (keesaan Tuhan). Kualitas doa mencerminkan kualitas pengenalan kita terhadap Allah. Ayat 56 ini memberikan panduan psikologis dan teologis untuk mencapai kedekatan maksimal dengan Sang Khaliq.
Rasa takut yang dituntut dalam ayat ini berfungsi sebagai mekanisme muhasabah (introspeksi) yang tiada henti. Ketika kita merasa takut, kita secara otomatis memeriksa tindakan kita. Apakah ada fasad yang kita lakukan? Apakah kita menzalimi orang lain? Apakah niat kita ikhlas?
Khawf mengharuskan hamba untuk selalu berada di batas antara kebanggaan dan keputusasaan. Ia membebaskan hamba dari keterikatan pada pujian manusia. Jika hamba melakukan islah hanya agar dipuji, maka rasa takut akan penolakan Allah (khawf) akan mengembalikan fokusnya pada niat murni. Khawf adalah pemurni amal.
Menurut Imam Al-Ghazali, ketakutan (khawf) sejati muncul dari pengetahuan yang mendalam tentang Allah dan pengetahuan tentang cacat diri sendiri. Khawf terhadap Allah adalah kebijaksanaan tertinggi karena ia menjaga kita dari melakukan apa pun yang dapat merusak hubungan spiritual kita, termasuk fasad di bumi.
Harapan (tama') bukanlah pasif. Tama' adalah optimisme yang dibuktikan dengan tindakan. Harapan bahwa Allah akan mengampuni mendorong kita untuk segera bertaubat. Harapan bahwa Allah akan memperbaiki kondisi kita mendorong kita untuk terus berjuang melawan fasad meskipun tantangan tampak besar.
Ketika seorang muhsinin (pelaku kebaikan) melihat ketidakadilan dan kerusakan, tama' mencegahnya menyerah. Ia yakin bahwa jika ia menjalankan tugas islah dengan ihsan, Allah akan mewujudkan perbaikan tersebut, bahkan jika hasilnya tidak terlihat dalam waktu singkat. Tama' adalah bahan bakar untuk kesabaran (sabr) dan ketekunan (istiqamah).
Tama' juga mencakup harapan akan balasan terbaik (Surga Firdaus) sebagai tujuan akhir. Harapan ini membuat segala pengorbanan yang dilakukan dalam perjuangan melawan fasad dan mempertahankan islah terasa ringan. Harapan yang benar harus selalu lebih besar daripada rasa takut, agar hamba termotivasi untuk terus bergerak maju.
Syariat menempatkan Khawf dan Tama' sebagai penjaga terhadap dua penyakit hati berbahaya:
Ayat Al-A'raf 56 mengajarkan metodologi spiritual yang seimbang: ketika beramal, hadirkan tama'; ketika merenung tentang dosa, hadirkan khawf. Keseimbangan ini adalah ciri khas muhsinin yang rahmat Allah sangat dekat dengannya.
Rahmat Allah adalah hadiah yang dijanjikan, tetapi ia terikat pada predikat Al-Muḥsinīn. Untuk menjadi muhsinin, seseorang harus menerapkan prinsip ihsan dalam semua aspek kehidupan. Ihsan adalah kualitas pelaksanaan yang mencerminkan kesadaran penuh akan kehadiran Allah.
Seorang muhsinin memerangi fasad sosial dengan menerapkan ihsan dalam interaksi. Ini berarti:
Prinsip ihsan mewajibkan seseorang untuk memberikan hak orang lain secara sempurna, bahkan melebihi yang seharusnya. Ketika seluruh masyarakat berperilaku seperti muhsinin, maka otomatis kondisi bumi akan berada dalam keadaan iṣlāḥ (perbaikan) dan fasad akan tereduksi hingga batas minimal.
Ihsan dalam kaitannya dengan lingkungan (melawan fasad ekologis) berarti:
Ihsan adalah implementasi tertinggi dari konsep kekhalifahan di bumi. Khalifah yang muhsinin adalah penjaga bumi yang adil, yang memastikan kelangsungan hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk semua yang berbagi ruang hidup.
Rahmat yang dekat (qarībun) kepada muhsinin adalah konfirmasi ilahi bahwa ketika manusia mematuhi kerangka kerja ini—menghindari fasad dan beribadah dengan khawf-tama'—mereka akan menuai hasil yang positif. Rahmat ini termanifestasi dalam:
Pertama, Keberkahan dalam Waktu dan Usaha: Meskipun menghadapi kesulitan, muhsinin akan merasakan keberkahan yang membuat usahanya berbuah manis. Usaha islah yang kecil dapat menghasilkan dampak besar.
Kedua, Hidayah yang Stabil: Rahmat Allah memberikan ketenangan batin dan hidayah yang berkelanjutan, menjaga muhsinin agar tidak tersesat kembali ke jalur fasad setelah mendapatkan perbaikan. Hidayah ini adalah kunci untuk istiqamah (konsistensi).
Ketiga, Pengakuan dari Allah: Rahmat adalah tanda bahwa Allah menerima usaha hamba-Nya. Penerimaan ini jauh lebih bernilai daripada kesuksesan material apa pun di dunia.
Dalam dunia yang ditandai oleh kecepatan informasi dan interkoneksi global, melawan fasad dan menegakkan islah menjadi tugas yang monumental. Ayat 56 Surah Al-A'raf memberikan fondasi spiritual yang kokoh untuk menghadapi tantangan ini.
Saat ini, fasad tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga dilembagakan oleh struktur kekuasaan dan korporasi multinasional. Mereka yang menyebarkan polusi atau ketidakadilan ekonomi seringkali adalah entitas besar yang sulit dijangkau oleh hukum lokal. Tugas muhsinin di sini adalah membangun kesadaran kolektif, menuntut transparansi, dan menggunakan kekuatan kolektif untuk reformasi struktural global.
Melawan fasad struktural membutuhkan keberanian, kesabaran (sabr), dan kepemimpinan yang berintegritas. Ini adalah jihad islah yang memerlukan kecerdasan (hikmah) dan kekuatan organisasi. Muhsinin harus mampu mengidentifikasi akar fasad, bukan hanya gejalanya, dan mengajukan solusi yang berkelanjutan dan adil.
Misalnya, fasad hutang negara berkembang yang disebabkan oleh riba dan perjanjian yang tidak adil adalah contoh nyata dari kerusakan sistemik. Islah menuntut kita untuk membangun sistem keuangan yang berbasis etika Islam, bebas dari riba dan spekulasi yang merugikan masyarakat.
Perjuangan melawan fasad harus dimulai dari pendidikan. Pendidikan yang berbasis ihsan mengajarkan anak-anak dan generasi muda untuk menghargai keseimbangan (mizan) alam, untuk berlaku adil, dan untuk memelihara khawf dan tama' dalam hati mereka sejak dini. Jika pendidikan gagal menanamkan nilai-nilai islah, maka generasi berikutnya akan menjadi agen fasad, baik disadari maupun tidak.
Pendidikan islah tidak hanya tentang menghafal larangan, tetapi tentang menumbuhkan kesadaran ekologis dan etis yang mendalam. Ini adalah proses pembentukan karakter yang menghasilkan individu yang bertanggung jawab, yang memahami bahwa setiap tindakan kecil memiliki implikasi kosmik.
Ketika tantangan fasad tampak tak tertanggulangi, perintah untuk berdoa dengan khawf dan tama' menjadi sumber kekuatan utama. Doa (du'a) bukan sekadar permohonan, tetapi pengakuan akan kelemahan diri dan ketergantungan total pada Allah. Dengan khawf, kita mengakui kegagalan kita sendiri. Dengan tama', kita memohon bantuan Allah untuk mengatasi kelemahan kita dan memperbaiki kondisi yang rusak.
Para muhsinin menggunakan doa sebagai alat paling ampuh dalam melawan fasad. Mereka berdoa agar hati para perusak dilembutkan, agar keadilan ditegakkan, dan agar masyarakat kembali pada jalan islah. Doa, yang dilakukan dengan ihsan, adalah setengah dari perjuangan melawan fasad.
Ayat Al-A'raf 56 merupakan penegasan ulang terhadap amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia. Amanah ini bukan hak istimewa untuk menguasai tanpa batas, melainkan tanggung jawab moral dan spiritual untuk memelihara. Kita adalah penjaga, bukan pemilik bumi.
Al-Qur'an menjelaskan di tempat lain bahwa fasad yang dilakukan manusia akan kembali kepada mereka dalam bentuk bencana dan kesulitan. Allah SWT berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41). Ayat ini melengkapi Al-A'raf 56 dengan menjelaskan konsekuensi langsung dari kegagalan melaksanakan islah: kesulitan hidup, krisis lingkungan, dan keruntuhan moral.
Setiap gempa bumi, setiap banjir besar yang disebabkan oleh penggundulan hutan, setiap pandemi yang muncul dari pelanggaran batas-batas alam, adalah pengingat bahwa hukum ilahi tentang fasad dan islah bekerja dengan sempurna. Fasad menciptakan ketidakseimbangan, dan alam merespons untuk mencari keseimbangan baru, sering kali dengan cara yang merugikan manusia.
Oleh karena itu, larangan fasad bukanlah larangan yang sewenang-wenang, melainkan sebuah hukum alam dan hukum spiritual yang menjamin kelangsungan hidup dan kemakmuran jangka panjang. Melawan fasad adalah bentuk terbaik dari perlindungan diri dan jaminan masa depan bagi keturunan.
Rahmat yang dijanjikan bagi muhsinin berfungsi sebagai hadiah dan juga sebagai penguat iman. Dalam perjuangan islah yang panjang dan melelahkan, kepastian akan rahmat Allah yang dekat memberikan motivasi tak terbatas. Jika kita merasakan kedamaian batin (sakinah) di tengah kekacauan dunia, itu adalah tanda bahwa rahmat Allah telah menyentuh hati kita sebagai balasan atas upaya kita menjadi muhsinin.
Muhsinin adalah mereka yang hidup dalam kesadaran ganda: kesadaran akan tanggung jawab (khawf akan kegagalan dalam amanah) dan kesadaran akan dukungan Ilahi (tama' akan pertolongan dan balasan-Nya). Mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak pernah berhenti berbuat baik, meski sepi dari pengakuan manusia, karena mereka hanya mencari pengakuan dari Zat yang Rahmat-Nya tak berjarak.
Kajian Al-A'raf 56 mengajarkan bahwa kehidupan adalah siklus abadi antara memerangi fasad dan menegakkan islah, didorong oleh doa yang seimbang antara khawf dan tama', menuju predikat muhsinin. Tugas ini tidak pernah selesai selama manusia masih hidup di bumi.
Kita harus senantiasa melakukan evaluasi terhadap diri, masyarakat, dan lingkungan: Di mana letak fasad yang masih tersisa? Bagaimana kita dapat meningkatkan kualitas islah kita? Dan bagaimana kita dapat menjaga keseimbangan spiritual dalam doa kita? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan membawa kita lebih dekat kepada rahmat Allah.
Dengan memegang teguh pesan Al-A'raf 56, umat manusia memiliki peta jalan yang jelas untuk mencapai peradaban yang adil, harmonis, dan berkelanjutan, di mana fasad terkikis, islah berjaya, dan rahmat Ilahi menjadi naungan bagi seluruh penghuninya.
Maka, mari kita jadikan hidup ini sebagai manifestasi ihsan, menjauhi segala bentuk kerusakan, dan memanggil Rahmat-Nya dalam setiap langkah perbaikan.
Konsep ihsan dan rahmat dalam konteks ayat ini menuntut pemahaman yang sangat detail mengenai hubungan kausalitas spiritual. Ketika seorang hamba memilih jalan islah, ia secara metafisik menata ulang energi di sekitarnya. Perlawanan terhadap fasad, sekecil apapun, adalah sebuah investasi spiritual yang menghasilkan dividen rahmat. Rahmat ini adalah manifestasi dari nama-nama Allah seperti Al-Lathif (Yang Maha Lembut) dan Al-Wadud (Yang Maha Mencintai).
Muhsinin tidak hanya melakukan kebaikan sesekali, tetapi menjadikannya sebagai gaya hidup. Istiqamah (konsistensi) adalah ciri khas ihsan. Misalnya, melawan korupsi sekali adalah tindakan baik, tetapi melawan korupsi secara berkelanjutan dan membangun sistem yang anti-korupsi adalah ihsan. Konsistensi inilah yang membuat rahmat menjadi 'dekat'. Rahmat Allah tidak datang kepada hamba yang bersifat musiman dalam kebaikannya, melainkan kepada mereka yang gigih menjaga kualitas amal mereka. Istiqamah memerlukan dosis khawf yang memadai untuk mencegah kelalaian dan dosis tama' yang kuat untuk menjaga semangat di saat kelelahan. Tanpa keseimbangan ini, istiqamah sulit dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, hubungan antara khawf, tama', dan ihsan adalah hubungan yang saling menguatkan dan vital bagi keberhasilan perjuangan islah.
Fasad di tingkat mikro sering diabaikan. Ini termasuk menyia-nyiakan waktu, mengabaikan kesehatan, atau gagal mendidik diri sendiri. Semua ini adalah bentuk fasad terhadap amanah diri. Ayat 56 mengajarkan bahwa islah harus dimulai dari dalam. Memperbaiki hati (qalb) dari penyakit iri, dengki, dan riya adalah fondasi islah yang paling mendasar. Jika hati masih rusak (fasad), maka upaya memperbaiki dunia luar hanyalah kepalsuan sementara. Muhsinin memahami bahwa perang terbesar melawan fasad adalah perang melawan hawa nafsu yang menyesatkan.
Rahmat yang dekat juga berfungsi sebagai penenang di tengah badai fasad dunia. Ketika seorang muhsinin menghadapi kesulitan hidup, kesadaran bahwa dia telah berusaha menjauhi fasad dan berdoa dengan tulus memberikan keyakinan bahwa kesulitan tersebut bukanlah hukuman melainkan ujian yang akan menghasilkan rahmat yang lebih besar. Filosofi inilah yang menjaga mentalitas seorang mukmin dari kehancuran total di hadapan krisis yang disebabkan oleh kerusakan manusia.
Konsep islah yang terkandung dalam ayat 56 ini berakar pada filsafat Mizan (Keseimbangan). Allah menciptakan segala sesuatu dengan takaran yang tepat. Fasad adalah pelanggaran terhadap Mizan ini. Ketika Mizan dilanggar, kekacauan terjadi. Tugas muhsinin adalah mengembalikan Mizan melalui tindakan islah yang tepat sasaran. Ini bukan hanya tentang menanam pohon, tetapi tentang menata ulang masyarakat agar beroperasi sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan yang ilahi. Keadilan ekonomi (tidak ada riba, tidak ada penimbunan), keadilan sosial (hak yang sama bagi semua), dan keadilan lingkungan (menghormati ekosistem) adalah tiga pilar Mizan yang harus ditegakkan sebagai implementasi nyata dari perintah "janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya".
Rahmat Allah menjadi penjamin bahwa usaha mengembalikan Mizan tidak sia-sia. Bahkan, rahmat adalah energi kosmik yang mendukung setiap upaya perbaikan yang tulus. Tanpa dukungan rahmat, manusia akan kelelahan melawan derasnya arus fasad. Dengan rahmat, tugas khalifah terasa mungkin untuk dilaksanakan.
Oleh karena itu, setiap napas kehidupan seorang muhsinin adalah sebuah ibadah yang mengintegrasikan larangan fasad dengan kewajiban beribadah yang seimbang (khawf dan tama'), menghasilkan kedekatan dengan rahmat Sang Pencipta. Ayat ini, dengan segala kedalamannya, adalah panduan abadi menuju kehidupan yang bermakna dan diberkahi.