Surah Al-Araf Ayat 172 merupakan salah satu ayat terpenting dan paling mendasar dalam kerangka pemahaman akidah Islam. Ayat ini membahas tentang sebuah perjanjian universal, yang dikenal sebagai **Perjanjian Alast** (Mitsaq al-Azali) atau Perjanjian Primordial. Perjanjian ini diadakan oleh Allah SWT dengan seluruh keturunan Adam, jauh sebelum mereka dilahirkan ke dunia fisik.
Ayat ini berfungsi sebagai fondasi utama bagi konsep pertanggungjawaban individu, keesaan Tuhan (Tauhid), dan hakikat Fitrah yang murni. Pemahaman yang mendalam terhadap Al-Araf 172 adalah kunci untuk membuka rahasia mengapa manusia, meskipun dihadapkan pada godaan dan penyimpangan, memiliki naluri bawaan untuk mengakui eksistensi dan keesaan Sang Pencipta. Perjanjian ini menetapkan bahwa setiap jiwa telah bersaksi tentang ketuhanan Allah, sehingga tidak ada alasan bagi siapa pun untuk mengingkari Tauhid pada Hari Kiamat.
Kajian mendalam tentang ayat ini membawa kita melintasi batas-batas waktu dan ruang, memasuki alam arwah (alam roh) di mana ruh manusia pertama kali dihadapkan pada realitas keilahian. Perjanjian ini bukan sekadar narasi sejarah purba, melainkan janji aktif yang senantiasa mengikat kesadaran moral dan spiritual setiap insan.
Untuk memahami sepenuhnya makna ayat ini, penting untuk membedah beberapa frasa dan kata kunci yang digunakan dalam konteks bahasa Arab klasik:
Kata ini merujuk pada tindakan Allah SWT yang mengeluarkan. Dalam konteks ayat ini, 'mengambil' memiliki makna metafisik, yaitu mengeluarkan semua ruh atau benih keturunan Bani Adam dari 'sulbi' (ظُهُورِهِمْ, *dzuhurihim*) mereka. Ini menunjukkan proses penciptaan massal yang terjadi dalam dimensi spiritual, sebelum pembentukan fisik di rahim ibu. Para mufassir menekankan bahwa ini adalah proses pengumpulan seluruh entitas ruhani yang akan menghuni jasad manusia hingga akhir zaman.
Frasa ini menimbulkan perdebatan interpretasi. Secara harfiah, ia berarti 'dari punggung/sulbi mereka, keturunan mereka'. Sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka'ab, memahami bahwa Allah mengeluarkan seluruh ruh Bani Adam seperti semut kecil dari punggung Adam AS, lalu mengambil kesaksian dari mereka. Namun, penafsiran lain berpendapat bahwa ini merujuk pada proses di mana Allah terus-menerus mengeluarkan keturunan dari sulbi orang tua yang berurutan, hingga Hari Kiamat.
Pandangan yang paling diterima secara teologis adalah penafsiran pertama (dari Adam AS), karena konteks perjanjian ini harus bersifat menyeluruh dan terjadi secara serentak, mengikat semua manusia tanpa terkecuali, menjadikannya bukti yang tak terbantahkan di Hari Perhitungan.
Inilah inti dari perjanjian itu. Allah menjadikan setiap ruh sebagai saksi atas dirinya sendiri. Ini menghilangkan kemungkinan seseorang mengklaim ketidaktahuan atau keterpaksaan. Kesaksian ini adalah pengakuan yang tulus dan sadar, yang bersifat internal, mendalam, dan tak terlupakan oleh fitrah ruhani. Kata *syahida* (bersaksi) menunjukkan bahwa pengakuan itu bukan sekadar jawaban lisan, melainkan pengakuan spiritual yang mengikat.
Pertanyaan retoris yang sangat mendasar. Penggunaan *Alastu* (Bukankah Aku) dalam bahasa Arab menyiratkan bahwa jawabannya sudah diketahui secara pasti dan hanya membutuhkan konfirmasi. Ini menunjukkan bahwa meskipun ruh-ruh itu belum berjasad, mereka telah dianugerahi pengetahuan dan pemahaman yang memadai untuk mengenali hakikat ketuhanan Allah SWT.
Kata **Bala** (Betul/Ya, bahkan) adalah jawaban afirmatif yang digunakan khusus untuk menjawab pertanyaan negatif. Ini adalah penegasan yang kuat. Frasa *Syahidna* (Kami bersaksi) melengkapi pengakuan tersebut, menekankan bahwa pengakuan tersebut bukan sekadar penerimaan, tetapi sebuah sumpah kesaksian yang mengikat dan diucapkan di hadapan Sang Pencipta alam semesta. Pengakuan ini adalah benih dari ajaran Tauhid yang tertanam di setiap hati.
Bagian akhir ayat ini menjelaskan secara eksplisit mengapa perjanjian ini diadakan: **أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ** (*An taqūlū Yawma al-Qiyāmati innā kunnā ‘an hādhā ghāfilīn*). (Agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.")
Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk membangun **Hujjah (Bukti)** yang sempurna terhadap seluruh umat manusia. Allah telah menyediakan dasar pengetahuan tauhid secara internal sebelum pengutusan para nabi. Dengan adanya kesaksian di Alam Arwah, manusia tidak dapat menggunakan alasan-alasan berikut pada Hari Kiamat:
Manusia tidak bisa berdalih bahwa mereka ‘lengah’ (*ghāfilīn*) atau tidak tahu tentang keesaan Allah karena mereka tidak pernah diberitahu. Ayat ini membuktikan bahwa pengetahuan dasar tentang Tauhid bukanlah informasi baru yang dibawa oleh nabi, melainkan sebuah pengingat (*dzikr*) atas realitas yang telah diakui oleh ruh mereka sejak awal penciptaan. Kelenghan yang dimaksud adalah kelengahan di dunia, yang merupakan akibat dari pilihan bebas manusia untuk melupakan janji suci tersebut.
Ayat selanjutnya (Al-Araf 173) memperkuat hal ini dengan menolak alasan yang menyalahkan nenek moyang yang sesat. Perjanjian Alast memastikan bahwa pertanggungjawaban adalah bersifat individual, dimulai dari kesaksian diri sendiri di hadapan Allah. Setiap individu bertanggung jawab atas pengakuan dirinya, meskipun ia terlahir dalam lingkungan penyembah berhala.
Perjanjian ini adalah manifestasi sempurna dari Keadilan Allah. Tidak ada jiwa yang akan diadili tanpa memiliki pengetahuan dasar tentang Rabb-nya. Allah telah menetapkan standar minimal pengakuan sebelum menempatkan manusia di dunia ujian. Oleh karena itu, semua sanksi atau pahala yang diberikan pada Hari Akhir didasarkan pada pengetahuan dan pengakuan yang disematkan secara intrinsik dalam diri mereka.
Hubungan antara Perjanjian Alast dan konsep **Fitrah** (naluri bawaan yang suci) sangat erat, bahkan bisa dikatakan keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama. Fitrah adalah sisa memori, atau cetak biru spiritual, dari pengakuan agung yang terjadi di Alam Arwah.
Rasulullah SAW bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa default state manusia adalah pengakuan terhadap Tauhid.
Perjanjian Alast adalah momen historis spiritual, sementara Fitrah adalah mekanisme psikologis dan spiritual yang mempertahankan hasil perjanjian tersebut dalam kehidupan duniawi. Fitrah membuat manusia, pada saat-saat krisis atau refleksi mendalam, secara spontan kembali mencari kekuatan Ilahi yang Esa.
Jika Perjanjian Alast telah disaksikan oleh semua ruh, mengapa banyak manusia di dunia yang mengingkari Tauhid? Jawabannya terletak pada gangguan eksternal dan internal yang menutupi Fitrah:
Agama, melalui risalah para nabi, datang bukan untuk menciptakan Tauhid, melainkan untuk **memulihkan** dan **membangkitkan kembali** Tauhid yang telah tersembunyi oleh debu dunia. Ajaran Islam adalah panggilan kembali menuju pengakuan awal: *Bala, Syahidna*.
Para ulama tafsir utama memiliki pandangan yang berbeda mengenai sifat pasti dari perjanjian ini, meskipun sepakat pada kesimpulan teologisnya (yakni, penegasan Tauhid).
Ulama seperti Ubay bin Ka'ab, Ibnu Abbas, dan Mujahid meyakini bahwa Perjanjian Alast benar-benar terjadi dalam bentuk fisik di alam spiritual. Allah secara harfiah mengeluarkan wujud-wujud kecil (ruh) keturunan Adam dan berbicara kepada mereka, lalu mereka menjawab secara verbal: *Bala, Syahidna*. Ini menekankan realitas historis dan metafisik yang tak terbantahkan dari peristiwa tersebut.
Sebagian mufassir modern dan beberapa ulama Mu’tazilah, kesulitan membayangkan triliunan ruh yang berbicara serentak. Mereka menafsirkan ayat ini sebagai perjanjian melalui **dalil dan indikasi (dalil al-khalq)**. Artinya, penciptaan manusia dengan akal dan kesempurnaan alam semesta yang menakjubkan sudah secara inheren merupakan 'pertanyaan' *Alastu bi Rabbikum?* yang dijawab oleh *Fitrah* manusia. Menurut pandangan ini, perjanjian itu terjadi secara simbolis, ditanamkan melalui akal dan naluri, bukan melalui dialog lisan di Alam Arwah.
Mayoritas ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah, termasuk yang mengikuti mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah, cenderung menerima interpretasi literal (Haqiqi), karena menafsirkan dialog tersebut secara majazi akan melemahkan kekuatan hujjah (bukti) yang ingin disampaikan oleh ayat tersebut. Mereka menekankan bahwa jika Allah SWT menceritakan suatu peristiwa, meskipun itu melampaui kemampuan akal manusia untuk membayangkannya, kita wajib memercayai kejadian tersebut sebagaimana adanya di Alam Ghaib. Realitas peristiwa itu menjamin universalitas kesaksian.
Perjanjian Alast bukan sekadar kisah indah, tetapi memiliki dampak besar pada cara kita memahami kebebasan memilih (ikhtiyar) dan takdir (qadar).
Ayat 172 menempatkan dasar bagi kebebasan memilih manusia. Karena manusia telah secara sadar bersaksi dan mengakui, pilihan untuk beriman di dunia ini adalah pilihan yang didasarkan pada pengetahuan primordial, bukan kebodohan atau paksaan. Dengan demikian, tanggung jawab atas pilihan untuk menyimpang atau lurus sepenuhnya berada di tangan individu.
Jika kita semua telah mengakui Allah, lalu mengapa Nabi perlu diutus? Para Nabi dan Kitab Suci berfungsi sebagai **Peringatan (Dzikr)**. Mereka adalah pelita yang menerangi Fitrah yang telah tertutup oleh kegelapan duniawi. Risalah adalah *reminder* yang dibutuhkan untuk mengatasi lupa (*ghaflah*). Mereka menyediakan metodologi (syariat) untuk mewujudkan pengakuan Tauhid yang telah disepakati di Alam Arwah, dalam tindakan nyata di dunia.
Dalam debat teologis klasik mengenai predestinasi (Jabariyah) versus kebebasan mutlak (Qadariyah), Ayat 172 menawarkan jalan tengah yang harmonis. Allah mengetahui dan telah menetapkan peristiwa ini (Aspek Qadar), namun pelaksanaannya mensyaratkan persetujuan aktif (Bala, Syahidna) dari ruh manusia (Aspek Ikhtiyar). Ini menegaskan bahwa meski nasib akhir diketahui oleh Allah, upaya dan pilihan manusia tetap valid dan menjadi dasar perhitungan.
Mufassir besar seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi, dalam Mafatih al-Ghaib, membahas secara panjang lebar mengenai bagaimana ruh-ruh yang belum berjasad dapat memahami dan berbicara. Beliau menyimpulkan bahwa Allah memiliki kuasa untuk menganugerahkan kemampuan bicara dan pemahaman kepada ruh dalam kondisi apa pun yang Dia kehendaki. Argumentasi tentang ketidakmungkinan logis (seperti yang diajukan oleh beberapa filosof) tidak berlaku, karena kejadian ini berada dalam cakupan Kemahakuasaan Ilahi (Qudratullah).
Imam Al-Qurtubi menambahkan bahwa tujuan Allah mengikat perjanjian ini adalah untuk memperkuat ikatan antara hamba dengan Rabb-nya. Perjanjian ini merupakan landasan spiritual yang paling kuat, jauh melampaui perjanjian yang dibuat di dunia fisik. Ini adalah janji yang disaksikan oleh diri sendiri, menjadikannya bukti terdalam yang dapat digunakan Allah untuk menghukum orang-orang yang ingkar.
Bagi seorang Muslim, kesadaran akan Perjanjian Alast memiliki beberapa konsekuensi praktis yang mendalam:
Sebagian besar penafsiran berfokus pada pengambilan keturunan langsung dari Adam. Namun, frasa “مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ” (*min banī Ādama min dhuhūrihim dhurriyyatahum*) juga dapat diterjemahkan sebagai proses berantai. Ini berarti bahwa Allah tidak hanya mengeluarkan ruh dari sulbi Adam saja, melainkan juga dari sulbi keturunan Adam secara berkesinambungan, seperti yang dijelaskan oleh beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa ruh-ruh tersebut dikeluarkan hingga akhir zaman, menandakan universalitas dan kesinambungan proses ini.
Interpretasi berantai ini menguatkan pandangan bahwa janji ini selalu baru bagi setiap generasi, meskipun intinya tetap satu. Setiap ruh baru yang diciptakan, pada titik tertentu dalam dimensi metafisik, akan melalui proses kesaksian ini sebelum memasuki jasadnya di dunia. Proses ini memastikan bahwa setiap manusia, tanpa memandang ras, lokasi, atau waktu kelahirannya, memiliki dasar akuntabilitas yang sama.
Pengakuan *Bala* dapat dipandang sebagai *Dain* atau hutang janji spiritual yang harus dibayar lunas melalui kehidupan yang didedikasikan untuk Tauhid. Kehidupan dunia adalah waktu penunaian hutang tersebut. Setiap perbuatan baik, setiap shalat, setiap zikir adalah installment (cicilan) dari hutang suci tersebut. Sebaliknya, syirik atau pengingkaran adalah pembatalan janji yang konsekuensinya harus ditanggung pada Hari Perhitungan.
Kesadaran bahwa perjanjian telah dibuat menegaskan urgensi dakwah. Para juru dakwah bukan memperkenalkan hal baru, melainkan mengingatkan para pendengar mereka tentang siapa diri mereka sebenarnya di hadapan Sang Pencipta, dan apa yang telah mereka janjikan. Dakwah adalah restorasi memori spiritual yang terkubur.
Penggunaan kata *Syahidna* (Kami bersaksi) setelah *Bala* (Betul) sangat signifikan. Dalam konteks hukum, kesaksian adalah bentuk bukti tertinggi. Ini berarti bahwa pengakuan Tauhid di Alam Arwah tidak hanya sekadar penerimaan pasif, tetapi sebuah pernyataan aktif yang mengikat secara moral dan hukum spiritual.
Kesaksian ini bersifat mutlak, tidak dapat dibatalkan oleh kontrak duniawi atau pengaruh sosial. Ketika seorang individu mengucapkan Syahadat di dunia (*Asyhadu an la ilaha illallah*), ia sejatinya sedang mengulangi dan memperbarui kesaksian purbanya. Syahadat yang diucapkan di dunia adalah wujud konkret pemenuhan janji di Alam Arwah.
Para ulama juga menamakan pengakuan ini sebagai **Syahadah al-Fitrah**. Ini berarti kesaksian yang melekat pada penciptaan. Ketika ruh memasuki jasad, meskipun ingatan spesifik tentang peristiwa dialog itu hilang (sebagai bagian dari ujian dunia), inti dari kesaksian tersebut tetap ada dalam bentuk fitrah yang cenderung kepada kebaikan dan Tauhid.
Oleh karena itu, penyimpangan dari Tauhid, seperti syirik, dipandang sebagai penyakit ruhani yang parah, karena ia berusaha memotong akar spiritual dan perjanjian awal yang mengikat jiwa manusia kepada Tuhannya. Syirik adalah pengkhianatan terhadap kesaksian diri sendiri.
Ayat 172 juga harus dipahami dalam kaitannya dengan perlindungan keturunan. Allah mengambil kesaksian dari sulbi Bani Adam. Ini menekankan pentingnya menjaga kesucian garis keturunan. Dalam ajaran Islam, menjaga keturunan (*hifdz an-nasl*) adalah salah satu dari lima tujuan utama Syariah (Maqasid Syariah). Perjanjian ini menegaskan bahwa setiap individu yang lahir memiliki hak untuk memiliki kesempatan memenuhi janji primordialnya.
Tanggung jawab orang tua dan masyarakat bukan hanya memberikan kehidupan fisik, tetapi juga memastikan lingkungan yang mendukung pemenuhan janji spiritual ini. Pendidikan agama yang benar (*tarbiyah*) adalah proses membersihkan debu dunia dari fitrah agar cahaya Tauhid yang berasal dari Perjanjian Alast dapat bersinar kembali.
Jika orang tua gagal memberikan bimbingan, dan anak-anak menyimpang, anak-anak tersebut tetap memiliki landasan *hujjah* (bukti) yang mendasar, yaitu kesaksian mereka sendiri. Namun, orang tua akan dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian mereka dalam memelihara benih suci yang telah diakui sejak pra-penciptaan tersebut.
Debat mengenai takdir dan kebebasan sering kali menemukan titik sentralnya pada interpretasi Al-Araf 172. Jika Allah telah menetapkan takdir bagi setiap jiwa, lantas bagaimana mungkin ada kebebasan memilih?
Perjanjian Alast menjawabnya dengan menegaskan bahwa Takdir Allah mencakup *kedua-duanya*: penetapan peristiwa *dan* kemampuan manusia untuk memilih. Allah menetapkan bahwa manusia akan bersaksi (Qadar), dan manusia bersaksi dengan kemauan yang diberikan oleh Allah (Ikhtiyar). Ketika mereka tiba di dunia, mereka harus memilih apakah akan tetap setia pada janji (Tauhid) atau mengingkarinya (Syirik).
Imam Ghazali menjelaskan bahwa pengetahuan Allah tentang pilihan manusia tidak menghilangkan kebebasan memilih itu sendiri. Allah tahu apa yang akan kita pilih, tetapi Dia tidak memaksa kita memilihnya. Perjanjian Alast adalah momen awal di mana Allah memberi tahu kita tentang tujuan utama penciptaan (Tauhid) dan kita menerimanya secara sukarela. Ini membuat tindakan kita di dunia, baik maupun buruk, sepenuhnya menjadi hasil dari pilihan yang konsisten atau inkonstiten dengan janji awal tersebut.
Jika Fitrah adalah ingatan samar, Akal (*Aql*) adalah alat yang digunakan manusia untuk menyingkap kembali kebenaran yang tersembunyi. Wahyu (*Nubuwwah*) adalah panduan eksternal yang mengarahkan Akal agar tidak tersesat dalam proses pencarian kebenaran Fitrah.
Ayat 172 menggarisbawahi pentingnya refleksi (tadabbur). Ketika manusia merenungkan penciptaan dirinya dan alam semesta, ia secara alami akan terdorong untuk kembali kepada janji purbanya. Kegagalan untuk beriman seringkali adalah kegagalan untuk merenung dan mendengarkan suara *Bala* yang masih bergema di lubuk hati.
Surah Al-Araf Ayat 172 melampaui deskripsi peristiwa masa lalu. Ia adalah peta jalan teologis yang menjelaskan hakikat keberadaan manusia, alasan di balik dorongan spiritual, dan fondasi moral dari pertanggungjawaban di akhirat. Perjanjian Alast memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang akan berdiri di hadapan Allah pada Hari Kiamat dan mengklaim ketidaktahuan tentang keesaan-Nya.
Setiap tarikan napas, setiap shalat, dan setiap tindakan kebaikan adalah penegasan ulang terhadap pengakuan: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." Kesadaran ini harus menjadi energi pendorong bagi setiap individu untuk hidup sesuai dengan janji suci tersebut, menjaga Fitrah, dan mewujudkan Tauhid dalam setiap aspek kehidupan.
Inti dari kehidupan beriman adalah menepati janji yang telah kita buat sebelum waktu dan ruang diciptakan. Perjanjian Alast adalah bukti nyata cinta dan keadilan Allah yang memastikan bahwa jalan menuju kebenaran selalu terbuka dan dapat diakses, karena ia telah tertulis di dalam diri kita sendiri.
Memahami Al-Araf 172 adalah menyadari bahwa iman bukanlah pilihan yang dipaksakan atau warisan buta, tetapi sebuah pengulangan yang sadar dari keputusan paling fundamental yang pernah dibuat oleh jiwa manusia di hadapan Tuhannya. Ini adalah jaminan bahwa meskipun kita menghadapi kesulitan dunia, kita memiliki jangkar spiritual yang tidak akan pernah hilang, yaitu janji *Bala, Syahidna*.
Salah satu pertanyaan teologis yang paling sering muncul dari ayat ini adalah: Jika kita semua bersaksi, mengapa kita tidak ingat peristiwa spesifik ini? Jawaban para ulama terletak pada sifat unik ruh dan hikmah ilahi di balik ujian dunia.
Ruh, dalam pandangan Islam, adalah entitas yang abadi, namun ingatan spesifik tentang Alam Arwah ditangguhkan ketika ia memasuki jasad di dunia. Penangguhan ini adalah prasyarat bagi adanya ujian (*ibtila*). Jika manusia mengingat secara detail dialog dengan Allah, ujian keimanan akan menjadi tidak bermakna karena imannya akan menjadi kepastian indrawi, bukan pilihan bebas. Allah menyembunyikan ingatan kognitif, tetapi menyimpan esensi pengakuan itu dalam Fitrah. Kehilangan ingatan tentang Perjanjian Alast adalah bagian dari skenario ujian dunia.
Al-Qurtubi menekankan bahwa meskipun ingatan kognitif hilang, pengetahuan dasar tentang *Rabb* tetap ada dalam kesadaran spiritual, dan ini cukup untuk dijadikan *Hujjah*. Ketika seseorang menyaksikan keajaiban alam, ia tidak membutuhkan ingatan eksplisit tentang Alam Arwah untuk tahu bahwa ada Pencipta; Fitrahnya yang bergema sudah cukup untuk memberinya petunjuk.
Selain itu, konsep ruh yang berbicara dan menyaksikan ini menggarisbawahi kedudukan ruh sebagai entitas yang sudah lengkap dan berakal sebelum bergabung dengan tubuh. Ini adalah bantahan teologis terhadap pandangan yang menyatakan bahwa kesadaran (*consciousness*) hanya muncul dari materi. Ruh adalah asal muasal kesadaran, dan ia telah berdialog dengan Tuhan, jauh sebelum organ fisik tercipta.
Ayat 172 dari Surah Al-Araf tidak berdiri sendiri. Ia diperkuat oleh ayat-ayat lain yang membahas tentang persaksian, penciptaan, dan keadilan: misalnya:
1. **QS. Ar-Rum [30]: 30 (Tentang Fitrah):** Ayat ini memerintahkan untuk menghadapkan wajah kepada agama dengan lurus, berdasarkan fitrah yang telah diciptakan oleh Allah pada manusia. Ayat ini secara langsung mengaitkan agama yang benar dengan naluri bawaan, yang merupakan resonansi dari Perjanjian Alast.
2. **QS. Az-Zariyat [51]: 56 (Tujuan Penciptaan):** "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." Tujuan penciptaan ini (Ibadah/Tauhid) adalah realisasi praktis dari janji yang diucapkan: *Bala, Syahidna*.
Dengan demikian, Perjanjian Alast adalah peristiwa pondasi yang menjelaskan mengapa tujuan penciptaan adalah ibadah, dan mengapa setiap manusia memiliki fitrah yang cenderung kepada kebenaran. Ini adalah kerangka kerja yang menyatukan seluruh ajaran Islam.
Pemenuhan janji Tauhid di dunia ini diwujudkan melalui *Syukur*. Syukur adalah pengakuan aktif dan berkelanjutan atas nikmat Ketuhanan Allah, yang telah diakui sejak Alam Arwah. Ketika seorang hamba bersyukur, ia tidak hanya berterima kasih atas rezeki fisik, tetapi ia juga berterima kasih karena Allah telah menjadikannya seorang *Muahid* (yang bertauhid), sesuai dengan janji purbanya.
Kufur, sebaliknya, adalah pengkhianatan ganda: tidak hanya mengingkari nikmat fisik, tetapi juga mengingkari perjanjian suci di Alam Arwah. Oleh karena itu, konsekuensi kufur sangatlah berat, karena ia merusak fondasi spiritual keberadaan manusia.
Dalam tradisi Sufisme, Perjanjian Alast dipandang sebagai titik awal dari perjalanan spiritual (*suluk*). Cinta Illahi (*mahabbah*) yang murni berasal dari momen tersebut. Ketika ruh menjawab *Bala*, itu adalah momen pertama ruh mengenal dan mencintai Tuhannya. Kehidupan di dunia adalah perjalanan rindu (*isyq*) untuk kembali kepada Sang Kekasih Ilahi dan memenuhi janji cinta tersebut.
Para sufi sering merujuk kepada ayat ini ketika berbicara tentang *ma'rifah* (pengenalan) diri dan Tuhan. Mereka berpendapat bahwa setiap upaya meditasi atau zikir adalah upaya untuk menembus lapisan kelupaan duniawi (*ghaflah*) dan mengakses kembali memori primordial, di mana ruh berada dalam kedekatan murni dengan *Rabb al-Alamin*. Pengalaman spiritual yang mendalam, seperti *fana* (peleburan diri), seringkali digambarkan sebagai pengalaman singkat kembali ke Alam Alast.
Jalaluddin Rumi, misalnya, sering menggunakan metafora seruling yang merindukan rumpun bambunya. Seruling (ruh manusia) merindukan tempat asalnya (Alam Arwah/Alam Alast), dan kerinduan inilah yang memunculkan melodi (ibadah dan cinta). Kerinduan ini adalah bukti abadi bahwa janji telah dibuat dan tak pernah sepenuhnya terlupakan.
Meskipun namanya "Perjanjian Primordial" (Alast), terdapat diskusi mengenai kapan tepatnya peristiwa ini terjadi. Mayoritas mufassir sepakat bahwa ini terjadi setelah penciptaan ruh Adam, tetapi sebelum ruh-ruh keturunannya dimasukkan ke dalam jasad. Ini adalah momen yang berada di luar batas waktu fisik (*Dahr*), terjadi di dimensi eksistensi ruhani.
Bagi teologi Islam, penting untuk memposisikan peristiwa ini di luar urutan sebab-akibat duniawi. Jika perjanjian ini terjadi di dunia, ia akan tunduk pada batasan waktu dan tempat, sehingga mengurangi universalitas dan keabadian hujjah-nya. Karena ia terjadi di Alam Arwah, ia mengikat semua entitas ruhani, terlepas dari di mana atau kapan mereka dilahirkan di bumi.
Pemahaman ini menegaskan bahwa setiap jiwa memiliki sejarah spiritual yang lebih tua dan lebih mendalam daripada sejarah fisik mereka di dunia ini. Kita adalah makhluk spiritual yang sedang menjalani pengalaman fisik, bukan sebaliknya.
Pada akhirnya, Surah Al-Araf Ayat 172 adalah puncak dari teologi keadilan dan universalitas. Allah adalah adil karena Dia tidak meminta pertanggungjawaban atas sesuatu yang tidak diketahui. Dengan adanya kesaksian purba, setiap manusia memasuki dunia dengan modal iman yang telah diakui dan ditegaskan secara sadar.
Ayat ini mengajarkan bahwa inti dari Islam adalah pengembalian kepada fitrah, penepatan janji, dan penegasan Tauhid. Tugas kita di dunia adalah membersihkan cermin hati agar memori *Bala, Syahidna* dapat terpantul jernih. Melalui ibadah, zikir, dan kepatuhan terhadap syariat, kita memastikan bahwa pada Hari Kiamat kelak, kita akan berdiri teguh sebagai saksi yang menepati janji, bukan sebagai orang-orang yang lengah.
Penghayatan mendalam terhadap Perjanjian Alast mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Dunia menjadi arena untuk mewujudkan kesaksian spiritual tersebut, dan setiap cobaan adalah ujian seberapa kuat kita mempertahankan komitmen Tauhid yang telah disumpahkan di hadapan Tuhan semesta alam.
Ini adalah seruan abadi kepada setiap insan: Kenalilah dirimu, kenalilah janji yang telah kau buat, dan hiduplah sesuai dengan cahaya Fitrah yang telah dianugerahkan padamu sejak awal keberadaanmu.
Rangkaian penjabaran ini, yang berpangkal pada satu ayat tunggal, mencakup dimensi teologis, filosofis, etika, dan spiritual yang tak terbatas. Setiap kata, setiap frasa, dalam Al-Araf 172 adalah gerbang menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan abadi antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan).