Analisis Mendalam Ayat Al-Qur'an tentang Batasan Poligami (Ta’addud Az-Zawjat)
Pendahuluan: Status Hukum dan Konteks Awal Poligami
Praktik pernikahan jamak, atau yang sering dikenal sebagai poligami (ta’addud az-zawjat), merupakan salah satu topik dalam syariat Islam yang sering menjadi bahan perdebatan, baik di kalangan internal umat Muslim maupun di mata dunia. Bukan sekadar masalah sosial, ia adalah persoalan hukum yang memiliki landasan tekstual yang sangat spesifik dan ketat dalam Al-Qur'an. Islam tidaklah menciptakan praktik poligami; ia sudah ada jauh sebelum Islam datang di berbagai peradaban. Namun, peran fundamental Al-Qur’an adalah meregulasi praktik tak terbatas di masa Jahiliyah, membatasi jumlah istri, dan yang terpenting, mengikat izin tersebut dengan syarat keadilan yang sangat sulit dipenuhi.
Ayat kunci yang menjadi poros diskusi ini adalah Surah An-Nisa' (Wanita) ayat 3. Ayat ini diturunkan pada periode awal Madinah, di tengah kondisi sosial yang diwarnai oleh peperangan dan meningkatnya jumlah anak yatim dan janda. Tujuan utama ayat ini, menurut sebagian besar mufasir, bukanlah menganjurkan poligami sebagai gaya hidup, melainkan sebagai solusi sosial darurat yang terikat pada pencegahan ketidakadilan, khususnya terhadap anak yatim.
Sebelum membahas keadilan, penting untuk memahami batasan kuantitas. Jika di masa pra-Islam seorang laki-laki bisa menikahi puluhan wanita, Al-Qur'an secara tegas membatasi jumlah maksimum menjadi empat. Pembatasan ini adalah revolusi hukum yang monumental, mengubah praktik yang liar menjadi sebuah izin bersyarat yang terstruktur dan terikat etika ilahi. Seluruh pembahasan mengenai poligami harus selalu kembali pada teks sakral ini, memahami tidak hanya apa yang diizinkan, tetapi mengapa izin itu diberikan, dan yang paling krusial, apa konsekuensi dari kegagalan memenuhi syaratnya.
Inti Regulasi: Tafsir Surah An-Nisa Ayat 3
Ayat yang secara eksplisit membahas izin poligami sekaligus pembatasannya adalah Surah An-Nisa' ayat 3. Pemahaman yang mendalam tentang setiap frasa dalam ayat ini sangat menentukan interpretasi hukum Islam (Fiqh) dan penerapannya di masa modern.
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat zalim (atau tidak menanggung beban yang lebih besar).” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 3)
Konteks Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Menurut sebagian besar riwayat, termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, ayat ini turun sebagai respons terhadap perlakuan para wali yatim terhadap harta dan pernikahan perempuan yatim. Para wali sering menikahi perempuan yatim yang berada dalam perwalian mereka karena kecantikan atau harta mereka, namun mereka tidak memberikan mahar yang layak atau memperlakukan mereka dengan adil seperti layaknya perlakuan terhadap istri biasa. Mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim ini (allā tuqsiṭū fī al-yatāmā
). Ayat ini kemudian memberikan jalan keluar: jika mereka takut tidak bisa adil terhadap satu perempuan yatim yang mereka nikahi, mereka diizinkan untuk mencari wanita lain yang mereka senangi, hingga batas empat.
Tafsir klasik menekankan bahwa korelasi antara anak yatim dan izin poligami menunjukkan bahwa poligami bukanlah izin yang berdiri sendiri tanpa konteks sosial yang mendesak. Ia bermula dari kebutuhan untuk melindungi yang rentan. Meskipun konteks spesifik ini mungkin tidak berlaku universal saat ini, syarat keadilan yang ditekankan di akhir ayat menjadi prinsip hukum abadi yang membatasi praktik ini.
Syarat Keadilan Mutlak (Adl)
Pusat gravitasi ayat ini terletak pada dua frasa keadilan yang berbeda namun saling terkait: allā tuqsiṭū
(tidak adil/berlaku zalim) dan allā ta’dilū
(tidak mampu adil).
- Pembatasan Kuantitas: Frasa
matsnā wa tsulātsa wa rubā‘a
(dua, tiga, dan empat) menetapkan batas maksimal yang tidak boleh dilampaui. Pembatasan ini bersifat definitif (qaṭ’i). - Syarat Keadilan sebagai Penutup Izin: Frasa penutup,
fa-in khiftum allā ta’dilū fa-wāḥidah
(Kemudian jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja), berfungsi sebagai mekanisme kontrol. Ini berarti bahwa izin poligami sejak awal bersifat bersyarat, dan syaratnya adalah kemampuan subjektif individu untuk menjamin keadilan. Jika keraguan muncul, maka opsi poligami gugur dan wajib kembali kepada monogami.
Mufasir seperti Imam Ar-Razi dan Ibnu Katsir sepakat bahwa keadilan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah keadilan yang bersifat material (fisik dan lahiriah). Ini mencakup nafkah (sandang, pangan, papan), giliran (pembagian malam), dan perlakuan lahiriah lainnya. Keadilan material adalah sesuatu yang berada dalam batas kemampuan manusia untuk dicapai dan dievaluasi.
Peringatan Keras: Surah An-Nisa Ayat 129 dan Keadilan Emosional
Jika An-Nisa ayat 3 memberikan izin dengan syarat kemampuan berlaku adil lahiriah, maka Surah An-Nisa ayat 129 datang sebagai penjelas, bahkan sebagai peringatan yang nyaris menutup pintu poligami jika keadilan dipahami secara mutlak dan menyeluruh.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 129)
Paradoks Keadilan: Adl (Praktis) vs. Mail (Kecenderungan Hati)
Ayat 129 tampak bertentangan secara frontal dengan ayat 3. Ayat 3 mengizinkan poligami jika kamu mampu adil
, sementara ayat 129 menyatakan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
. Para ulama menafsirkan kontradiksi yang tampak ini melalui konsep **Tawfiq** (Harmonisasi):
- Keadilan yang Tidak Mampu Dicapai: Keadilan yang disebut dalam ayat 129 (
walay tanstaṭī’ū an ta’dilū
) merujuk pada keadilan emosional (cinta, kasih sayang, kecenderungan hati). Keadilan jenis ini berada di luar batas kendali manusia. Nabi Muhammad ﷺ sendiri bersabda setelah membagi adil nafkah dan giliran antar istri-istrinya,Ya Allah, ini adalah pembagianku pada hal yang aku mampu kuasai, maka jangan Engkau hukum aku pada hal yang Engkau kuasai dan aku tidak mampu menguasainya (yakni cinta di hati).
- Keadilan yang Wajib Dilaksanakan: Keadilan yang disyaratkan dalam ayat 3 (
allā ta’dilū
) merujuk pada keadilan lahiriah/material (nafkah, giliran, waktu). Ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi secara mutlak.
Dengan demikian, Al-Qur'an secara realistis mengakui keterbatasan emosi manusia, namun menuntut kontrol atas tindakan luar. Peringatan keras dalam ayat 129, falā tamīlū kulla al-mayli fa-tadharūhā ka-al-mu‘allaqah
(Janganlah kamu terlalu cenderung sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung), adalah larangan untuk membiarkan ketidakseimbangan emosi pribadi merembes ke dalam hak-hak lahiriah. Meninggalkan seorang istri dalam keadaan 'terkatung-katung' (seperti istri yang tidak dicerai namun tidak pula diperlakukan layaknya istri) adalah bentuk kezaliman yang dilarang keras dan identik dengan kegagalan keadilan yang disyaratkan oleh ayat 3.
Ayat 129 berfungsi sebagai pengunci etis: izin untuk berpoligami hanyalah pengecualian yang sangat ketat. Bagi mereka yang memilih pengecualian ini, mereka harus senantiasa berada dalam kondisi ‘taqwa’ (memelihara diri dari kecurangan) dan ‘iṣlāḥ’ (perbaikan), menyadari bahwa mereka sedang berjalan di tepi jurang kezaliman yang tidak akan diampuni kecuali dengan usaha perbaikan dan ketakwaan yang sungguh-sungguh.
Implikasi Fiqh (Hukum Islam) dan Syarat-Syarat Tambahan
Berdasarkan harmonisasi kedua ayat An-Nisa' ini, mazhab-mazhab Fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) menyepakati bahwa status hukum poligami adalah Mubah (diperbolehkan), tetapi pelaksanaannya terikat pada syarat-syarat yang sangat ketat, menjadikannya 'mubah yang dibenci' (makruh) jika tidak ada hajat (kebutuhan mendesak) atau jika khawatir keadilan tidak terpenuhi.
Tiga Pilar Syarat Poligami dalam Fiqh Klasik:
- Syarat Kuantitas (Adad): Tidak boleh melebihi empat orang istri, berdasarkan nash Al-Qur'an (An-Nisa: 3) dan sunnah, termasuk kisah Ghaylān bin Salamah yang diperintahkan Nabi ﷺ untuk menceraikan istrinya hingga tersisa empat.
- Syarat Kemampuan Material (Qudrah): Wajib memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi semua istri dan anak-anak secara layak, tanpa membebani istri satu untuk menanggung beban istri yang lain. Kegagalan nafkah otomatis menggugurkan izin poligami.
- Syarat Keadilan Lahiriah (Al-'Adl Az-Zāhir): Keadilan dalam pembagian giliran (qism), tempat tinggal (maskan), dan perlakuan umum. Jika seorang suami cenderung tidak adil dalam pembagian giliran, istrinya berhak menuntut pembagian yang adil, dan jika kezaliman terjadi terus-menerus, ini bisa menjadi alasan gugatan cerai (fasakh).
Perluasan interpretasi terhadap syarat keadilan juga menyentuh aspek non-material, seperti perlakuan yang tidak merendahkan salah satu pihak, meskipun cinta di hati tidak dapat dibagi. Ulama besar Mazhab Maliki, misalnya, sangat menekankan hak istri untuk diperlakukan dengan baik (ma'ruf), yang mencakup tidak menampakkan preferensi secara berlebihan di depan istri lain. Kecenderungan yang berlebihan yang dilarang Al-Qur'an adalah ketika kecenderungan hati tersebut memengaruhi tindakan konkret.
Pendapat Minoritas dan Tafsir Restriktif
Beberapa ulama dan pemikir modern, khususnya dari kalangan reformis, menafsirkan ayat 3 dan 129 dengan lebih restriktif. Mereka berpendapat bahwa pernyataan Al-Qur'an dalam ayat 129 (sekali-kali kamu tidak akan dapat berlaku adil
) seharusnya dibaca sebagai pembatalan atau penangguhan izin yang diberikan dalam ayat 3. Karena keadilan yang mutlak (bukan hanya materi tetapi etika perlakuan secara menyeluruh) mustahil dicapai, maka praktik poligami secara inheren membawa risiko kezaliman, dan oleh karena itu, hukum dasarnya adalah **monogami**, sementara poligami adalah pengecualian yang hampir tidak mungkin dilakukan secara etis sempurna.
Pandangan ini menggeser fokus dari poligami sebagai hak menjadi poligami sebagai izin yang dibebani syarat yang bersifat nyaris ilahiah, dan hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat sosial yang spesifik, seperti konteks turunnya ayat (melindungi anak yatim dan janda perang).
Regulasi Kontemporer dan Peran Negara dalam Mengawasi Keadilan
Di banyak negara Muslim kontemporer, izin untuk melakukan poligami tidak lagi sepenuhnya diserahkan kepada keputusan individu semata, melainkan diatur ketat oleh undang-undang keluarga (Personal Status Laws). Regulasi ini merupakan bentuk implementasi modern dari prinsip khawatir tidak mampu berlaku adil
dalam An-Nisa ayat 3, dengan menjadikan pengadilan sebagai pihak yang menguji kemampuan suami.
Syarat Administratif Modern
Di Indonesia, misalnya, Undang-Undang Perkawinan dan kompilasi Hukum Islam menetapkan bahwa poligami hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari pengadilan agama. Syarat-syarat yang harus dipenuhi seringkali mencakup:
- Persetujuan Istri Pertama: Meskipun tidak disyaratkan eksplisit dalam nash Al-Qur'an, banyak negara mensyaratkan persetujuan istri pertama sebagai langkah pencegahan konflik dan penjaminan keadilan psikologis.
- Kepastian Nafkah: Suami wajib membuktikan secara finansial bahwa ia mampu menafkahi seluruh calon istri dan keluarga tanpa mengurangi kualitas hidup istri-istri yang sudah ada.
- Alasan Mendesak (Hajat Syar’iyyah): Pengadilan akan meminta alasan yang kuat (hajat syar'iyyah) untuk poligami, seperti istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri karena penyakit tak tersembuhkan, kemandulan, atau alasan syar'i lainnya.
Langkah regulasi ini mencerminkan pemahaman bahwa keadilan dalam konteks modern tidak hanya mencakup nafkah fisik, tetapi juga keadilan dalam stabilitas emosional dan hukum keluarga. Pengadilan berfungsi sebagai filter, mencegah praktik poligami yang didasarkan pada hawa nafsu atau ketidakmampuan finansial, yang secara inheren akan melanggar tuntutan keadilan Al-Qur'an.
Perbedaan Hukum di Dunia Muslim
Pendekatan terhadap ayat poligami sangat bervariasi:
- Regulasi Ketat (Indonesia, Malaysia, Mesir): Poligami diizinkan tetapi hanya setelah melalui verifikasi ketat oleh pengadilan.
- Pelarangan Total (Tunisia, Turki): Beberapa negara telah melarang praktik poligami berdasarkan interpretasi restriktif terhadap ayat 129, yang menekankan kemustahilan mencapai keadilan mutlak.
- Pengawasan Minimal (Beberapa Negara Teluk): Regulasi lebih longgar, namun tetap mengakui hak istri untuk menuntut keadilan (termasuk gugatan cerai) jika terjadi ketidakadilan yang melanggar hak-hak syar'i.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa meskipun nash mengenai pembatasan jumlah adalah qat'i (definitif), interpretasi dan implementasi syarat keadilan (adl) dalam konteks hukum modern bersifat ijtihadi (hasil pemikiran ulama kontemporer) dan disesuaikan dengan kemaslahatan umat.
Kedalaman Keadilan: Melampaui Batas Material dan Hukum
Untuk mencapai pemahaman 5000 kata yang mendalam mengenai ayat poligami, kita harus memperluas analisis keadilan beyond (melampaui) kerangka fiqh dan hukum positif, menyentuh dimensi moral dan spiritual. Keadilan (Al-'Adl) adalah salah satu nama dan sifat Allah. Ketika manusia diperintahkan untuk adil dalam pernikahan jamak, itu adalah panggilan untuk meniru sifat ilahi dalam batas kemampuan manusia.
Kezaliman sebagai Kebalikan Keadilan
Al-Qur'an sering kali mengaitkan ketidakadilan dalam pernikahan dengan kezaliman (zhulm). Ketika seorang suami gagal menunaikan hak istri-istrinya, ia melakukan zhulm, yang merupakan dosa besar. Ayat 3 secara implisit mengancam: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat zalim (allā ta’ūlū)
. Ibnu Abbas menafsirkan allā ta’ūlū
sebagai agar kamu tidak menyimpang dari keadilan
atau agar kamu tidak miskin
(karena menanggung beban yang melebihi batas). Kedua makna ini menegaskan bahwa poligami tanpa kemampuan atau niat adil akan menghasilkan kerugian, baik secara moral (zalim) maupun material (kemiskinan).
Konsep keadilan dalam Al-Qur’an menuntut husnul mu’asyarah
(pergaulan yang baik). Dalam konteks poligami, ini berarti menciptakan lingkungan di mana semua istri merasa dihormati dan tidak dikurangi haknya, meskipun suaminya memiliki preferensi emosional. Kegagalan melakukan husnul mu’asyarah
terhadap salah satu pihak, apalagi jika menyebabkan ia terkatung-katung, telah melanggar esensi dari pernikahan itu sendiri.
Poligami dan Tujuan Maqāṣid Syarī’ah
Ditinjau dari perspektif Maqāṣid Syarī’ah (Tujuan Hukum Islam), pernikahan dimaksudkan untuk memelihara agama (hifzh ad-din), keturunan (hifzh an-nasl), akal (hifzh al-'aql), harta (hifzh al-māl), dan jiwa (hifzh an-nafs). Poligami hanya dibenarkan jika ia berkontribusi pada salah satu Maqāṣid ini, misalnya melindungi anak yatim (sebagaimana konteks awal ayat) atau memelihara keturunan dalam kasus kemandulan istri pertama. Sebaliknya, jika poligami mengarah pada perpecahan keluarga, kemiskinan (gagal hifzh al-māl), atau kehancuran psikologis (gagal hifzh an-nafs) bagi salah satu pihak, maka ia bertentangan dengan Maqāṣid Syarī’ah dan harus dicegah.
Studi Komparatif: Tafsir Klasik dan Modern
Tafsir Klasik: Penekanan pada Izin dan Batasan Material
Para mufasir klasik, seperti Imam At-Tabari, Ibnu Katsir, dan Al-Qurtubi, cenderung menafsirkan An-Nisa 3 dalam kerangka hukum (fiqh) yang mengizinkan, dengan syarat keadilan material yang ketat. Fokus mereka adalah pada penentuan hak dan kewajiban secara terukur: pembagian giliran (qasm), nafkah, dan perlindungan. Bagi mereka, ayat 129 adalah pelengkap yang berfungsi mengingatkan bahwa kesempurnaan emosional adalah milik Tuhan, tetapi itu tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan hak-hak lahiriah.
At-Tabari, dalam Jāmi' al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, menekankan bahwa konteks yatim adalah pintu masuk ayat, tetapi hukumnya bersifat umum, mencakup izin poligami secara umum dengan pembatasan jumlah dan syarat keadilan. Menurutnya, kegagalan keadilan adalah dosa, namun izinnya tetap ada selama syarat material dipenuhi.
Tafsir Modern dan Progresif: Monogami sebagai Asal
Mufasir modern dan progresif, seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan Fazlur Rahman, cenderung membalikkan logika tafsir. Mereka berpendapat bahwa kondisi sosial dan ekonomi saat ini (khususnya setelah Perang Dunia dan munculnya hak-hak perempuan) telah mengubah konteks. Dalam konteks di mana keadilan material dan psikologis semakin sulit dipisahkan, dan di mana perlindungan terhadap perempuan telah dijamin oleh hukum sipil, maka monogami (satu istri) adalah al-aṣl
(hukum asal) yang dianjurkan oleh ayat 3 (fa-wāḥidah
- maka nikahilah seorang saja).
Mereka melihat izin poligami sebagai rukhṣah
(keringanan) yang sangat sempit dan hanya berlaku jika ada maslahat (kebaikan umum) yang tidak mungkin dicapai melalui monogami, dan jika suami benar-benar yakin dapat mencapai keadilan secara komprehensif. Keraguan sekecil apa pun (in khiftum
) harus mengarah pada penolakan poligami. Pandangan ini sering digunakan sebagai dasar untuk regulasi hukum negara yang ketat.
Dimensi Psikologis Keadilan
Analisis keadilan tidak lengkap tanpa menyentuh dimensi psikologis yang dihasilkan dari kepatuhan atau pelanggaran terhadap ayat poligami. Keadilan syar'i menuntut agar tidak ada istri yang merasa 'tergantung' atau 'terkatung-katung' (mu'allaqah). Status mu'allaqah ini adalah kondisi psikologis dan sosial yang paling buruk bagi seorang istri: ia tidak dicerai sehingga tidak bisa menikah lagi, tetapi ia juga tidak dinikahi secara substantif. Ini adalah bentuk penyiksaan psikologis yang secara eksplisit dilarang Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa tuntutan Al-Qur'an untuk keadilan melampaui perhitungan materi; ia menuntut pemeliharaan kehormatan dan martabat semua pihak yang terlibat.
Poligami yang dibenarkan adalah poligami yang mampu memelihara harga diri, menanggung beban biaya, dan memberikan waktu yang setara kepada semua istri. Kegagalan dalam salah satu aspek ini, yang sering terjadi dalam praktik sosial, menjadi bukti nyata mengapa Al-Qur'an menempatkan peringatan yang hampir mustahil di ayat 129.
Keterbatasan Manusia dan Wasiat Ketaqwaan
Pada akhirnya, pesan mendalam dari ayat-ayat poligami adalah pengakuan atas keterbatasan manusia dalam mengelola kompleksitas hubungan. Izin untuk berpoligami, yang diberikan dalam konteks sosial yang penuh tantangan, dibingkai sedemikian rupa sehingga ia hampir menunjuk kembali ke monogami sebagai pilihan yang paling aman dan paling sesuai dengan fitrah menjaga diri dari kezaliman.
Pilihan untuk berpoligami bukan hanya tentang hak, tetapi tentang tanggung jawab yang sangat besar di hadapan Allah. Suami yang memilih jalan ini memikul beban ganda: beban material duniawi dan beban keadilan spiritual di akhirat. Jika ia gagal dalam keadilan material, ia terancam hukuman syar'i di dunia dan hukuman ilahi di akhirat. Jika ia melalaikan tuntutan untuk tidak membiarkan salah satu istri terkatung-katung, ia telah melanggar prinsip etika dasar Al-Qur'an. Poligami, dalam intinya, adalah ujian moralitas tertinggi bagi seorang laki-laki.
Oleh karena itu, penekanan pada wa in tuṣliḥū wa tattaqū fa-inna Allāha kāna ghafūran raḥīman
(Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) pada akhir ayat 129 adalah sebuah wasiat abadi. Ayat tersebut menyiratkan bahwa kesalahan dan ketidaksempurnaan pasti terjadi (karena manusia terbatas), tetapi pintu ampunan terbuka bagi mereka yang selalu berusaha memperbaiki niat dan tindakan (iṣlāḥ) serta menjaga ketakwaan (taqwā) dalam bingkai keadilan yang disyaratkan oleh syariat.
Kesimpulan: Monogami sebagai Anjuran, Poligami sebagai Syarat Ketat
Analisis komprehensif terhadap Surah An-Nisa ayat 3 dan 129 menegaskan bahwa Islam merevolusi praktik poligami dari kebiasaan liar pra-Islam menjadi izin bersyarat yang sangat ketat dan terbatas. Izin ini dibatasi maksimal empat istri dan sepenuhnya tergantung pada kemampuan untuk menjamin keadilan lahiriah (nafkah, giliran, perlakuan setara), dengan peringatan keras bahwa keadilan emosional tidak akan pernah dapat dicapai secara sempurna.
Ketentuan Al-Qur’an mendorong umat Muslim untuk melihat monogami (fa-wāḥidah
) sebagai pilihan yang lebih utama dan lebih aman, karena ia adalah adna allā ta'ūlū
(lebih dekat kepada tidak berbuat zalim). Poligami diizinkan hanya sebagai opsi alternatif dalam keadaan tertentu, di bawah pengawasan syariat dan, dalam konteks modern, di bawah pengawasan hukum negara, demi memastikan bahwa prinsip fundamental Islam—yaitu keadilan dan penghapusan kezaliman—tetap ditegakkan di dalam institusi keluarga.
Prinsip keadilan, baik dalam dimensi hukum (adil dalam hak) maupun dimensi moral (tidak menzalimi perasaan dan status istri), adalah garis merah yang tidak boleh dilanggar. Kegagalan dalam menegakkan keadilan ini bukan hanya pembatalan izin poligami, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran etika dan kezaliman yang mengundang hukuman ilahi, menjadikannya praktik yang risikonya sangat tinggi bagi pelakunya.