Visualisasi Waktu yang Terus Berjalan Menuju Akhir
Ayat mulia Surah Ali Imran ayat 185 ini adalah salah satu fondasi utama dalam akidah Islam yang membahas hakikat eksistensi manusia, batas waktu dunia, dan kepastian kehidupan akhirat. Kalimat pembuka, "كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ" (Kullu nafsin dhaa'iqatul maut), bukanlah sekadar peringatan, melainkan deklarasi universal yang mencakup seluruh makhluk bernyawa.
Kata 'Kullu' (Setiap) menunjukkan inklusivitas total. Tidak ada pengecualian. Baik itu raja yang berkuasa, rakyat jelata yang miskin, nabi yang suci, musuh yang durhaka, orang saleh, atau pendosa; semuanya tunduk pada hukum ini. Hukum ini menembus batas ras, agama, status sosial, dan kekuatan fisik. Ini adalah egalitarianisme sejati yang ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Sementara itu, 'Nafsin' merujuk pada jiwa atau diri yang memiliki kesadaran. Ayat ini menegaskan bahwa kematian bukanlah hanya sekadar berhentinya fungsi organ fisik, tetapi adalah perpindahan status eksistensial bagi jiwa. Ketika fisik hancur, jiwa tetap eksis dan akan merasakan transisi besar yang disebut kematian.
Penggunaan kata "Dhaa'iqah" (merasai atau mencicipi) sangatlah mendalam. Allah SWT tidak menggunakan kata 'mati' (maata) atau 'terkena' (ushiba), melainkan 'merasai' atau 'mencicipi'. Ini menyiratkan bahwa kematian adalah sebuah pengalaman indrawi yang harus dilalui oleh jiwa. Kematian bukanlah pemusnahan total, melainkan gerbang menuju fase berikutnya. Ketika kita mencicipi sesuatu, kita tahu rasanya, dan pengalaman itu melekat pada memori kita. Demikian pula, jiwa akan mencicipi transisi kematian, betapapun sakit atau damainya pengalaman tersebut.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa 'mencicipi' ini juga mengandung makna bahwa kematian adalah ujian puncak. Ia adalah perpisahan dari segala kenikmatan duniawi dan permulaan pertanggungjawaban di alam barzakh. Penggunaan metafora rasa ini juga mengingatkan bahwa betapapun kuatnya seseorang menghindari kematian, ia tetap harus melalui pengalaman tersebut, sebagaimana seseorang harus membuka mulut untuk mencicipi makanan atau minuman.
Dalam pandangan Islam, kematian adalah jembatan (qantharah) yang menghubungkan dua alam: Darul Ghurur (Negeri Tipuan/Dunia) dan Darul Qarrar (Negeri Keabadian/Akhirat). Pemahaman ini fundamental untuk memahami bagian selanjutnya dari ayat tersebut. Jika kematian adalah akhir dari segalanya, maka semua amal dan perjuangan menjadi sia-sia. Namun, karena kematian hanyalah transisi, maka kehidupan dunia harus dipandang sebagai ladang amal yang hasilnya baru akan dipanen di Hari Kiamat.
Bagian kedua ayat ini mengalihkan fokus dari kepastian kematian menuju kepastian pertanggungjawaban: "وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ" (Dan sesungguhnya pada Hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu).
Kata Tuwaffawna berasal dari akar kata yang berarti 'menyempurnakan' atau 'memberi secara penuh'. Ini menjamin bahwa setiap amal, sekecil apa pun, tidak akan terlewatkan. Allah SWT adalah Al-'Adl (Yang Maha Adil) dan Al-Hasiib (Yang Maha Menghitung). Balasan yang disempurnakan ini memiliki dua dimensi:
Dunia adalah tempat ujian yang bercampur aduk antara kebaikan dan keburukan, keadilan dan kezaliman. Di dunia, seringkali orang baik teraniaya dan orang jahat berkuasa. Keadilan duniawi bersifat relatif dan terbatas. Oleh karena itu, Allah menangguhkan balasan sempurna hingga Hari Kiamat. Hari Kiamat adalah pengadilan agung, di mana segala topeng dibuka, segala persengketaan diselesaikan, dan keadilan mutlak ditegakkan tanpa ruang untuk manipulasi atau kesalahan sedikit pun. Ini menunjukkan keagungan dan kesempurnaan sistem perhitungan Ilahi.
Ayat ini kemudian memberikan definisi keberhasilan atau kemenangan (Fauz) yang sesungguhnya: "فَمَن زُحْزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدْخِلَ ٱلْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ" (Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia telah menang).
Kata Zuhziha mengandung makna 'didorong jauh secara perlahan' atau 'diselamatkan dari bahaya secara intensif'. Ini menyiratkan bahwa upaya untuk menjauhi api neraka bukanlah hal yang mudah, melainkan membutuhkan perjuangan keras sepanjang hidup. Kemenangan ini adalah hasil dari rahmat Allah yang diturunkan kepada hamba yang telah berusaha keras menjauhi maksiat dan menunaikan ketaatan.
Kemenangan di sini sangat kontras dengan konsep kemenangan duniawi. Di dunia, orang mungkin merasa menang jika mendapatkan jabatan, harta, atau kekuasaan. Namun, ayat ini mengajarkan bahwa semua itu fana. Kemenangan abadi dan mutlak hanyalah ketika seseorang berhasil lolos dari azab neraka (kesengsaraan abadi) dan meraih kenikmatan surga (kebahagiaan abadi).
Memasuki surga adalah realisasi dari kemenangan (Fauz). Surga bukanlah sekadar tempat peristirahatan, melainkan tempat di mana segala hasrat terpenuhi, tanpa batas waktu dan tanpa rasa lelah. Ia adalah tempat di mana pandangan terindah adalah melihat Wajah Allah SWT, kenikmatan tertinggi yang melampaui segala kenikmatan fisik. Surga juga berarti keabadian, menghilangkan ketakutan akan kehilangan dan kepastian kematian yang menghantui kehidupan dunia.
Derajat kemenangan ini berbeda-beda sesuai dengan amal perbuatan. Imam Al-Ghazali dan ulama tasawuf lainnya sering menjelaskan bahwa amal di dunia adalah harga yang dibayar untuk mendapatkan tiket masuk, namun derajat di surga ditentukan oleh kualitas keimanan, ketakwaan, dan keikhlasan. Seseorang mungkin "menang" dengan selamat dari Neraka dan masuk Surga paling bawah, sementara yang lain meraih Al-Fauz Al-Adzim (Kemenangan Agung) dengan mendapatkan Surga Firdaus tertinggi.
Ayat ini ditutup dengan kalimat yang paling tajam dan membumi, berfungsi sebagai peringatan keras bagi umat manusia yang terlena: "وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ" (Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu).
Kata Matā' berarti 'kesenangan', 'perbekalan', atau 'manfaat sementara'. Ini menunjukkan bahwa segala sesuatu di dunia memiliki batas waktu. Keindahan akan pudar, kekayaan akan habis, kesehatan akan menurun, dan kekuasaan akan runtuh.
Kata kuncinya adalah Al-Ghurūr (Tipuan/Deception). Dunia menipu dalam beberapa cara:
Peringatan ini tidak berarti kita harus meninggalkan dunia sepenuhnya. Islam mengajarkan keseimbangan. Kita diperbolehkan menikmati rezeki halal, tetapi hati dan fokus harus selalu tertuju pada akhirat. Dunia harus dilihat sebagai alat untuk mencapai Surga, bukan sebagai tujuan akhir.
Ayat ini secara efektif menciptakan kontras tajam:
Jika manusia menggunakan akalnya secara jernih, ia akan memilih yang abadi (akhirat) di atas yang fana (dunia). Pengabdian kepada dunia adalah kerugian, sedangkan investasi di akhirat adalah kemenangan yang tak terukur.
Keluasan makna ayat 185 Surah Ali Imran menjadikannya landasan bagi banyak ajaran moral dan hukum dalam Islam. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang kematian, tetapi merangkum seluruh perjalanan eksistensial manusia.
Pengakuan bahwa "Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian" adalah pengakuan mutlak terhadap Tauhid Rububiyah (keesaan Allah dalam penciptaan dan penguasaan). Hanya Allah yang kekal. Dengan menetapkan hukum kematian atas seluruh makhluk, Allah menegaskan bahwa Dialah satu-satunya Al-Hayy (Yang Maha Hidup) dan Al-Qayyum (Yang Maha Berdiri Sendiri). Kematian adalah bukti ketidakberdayaan makhluk di hadapan kehendak Sang Khaliq.
Dalam konteks teologis, ayat ini juga menolak klaim keilahian bagi siapapun di dunia. Semua yang diagungkan, disembah, atau ditakuti selain Allah, pada akhirnya akan musnah dan mencicipi maut. Ini mengembalikan fokus dan ketaatan hanya kepada Allah SWT, Dzat yang tidak akan pernah mati.
Ayat ini sering dibacakan dalam situasi duka. Fungsi utamanya adalah memberikan kesabaran (sabr) bagi yang ditinggalkan dan mengingatkan orang yang hidup. Jika kematian adalah kepastian, maka meratapi atau menyalahkan takdir adalah hal yang sia-sia. Justru, kematian harus memicu tawakkal—keyakinan penuh bahwa waktu dan batas hidup seseorang telah ditetapkan dengan sempurna oleh Allah SWT. Kematian adalah bagian dari Qada’ dan Qadar, dan menerimanya adalah puncak keimanan.
Jika kematian adalah kepastian, mengapa mayoritas manusia takut menghadapinya? Tafsir atas ayat ini memberikan jawaban: ketakutan itu bersumber dari dua hal:
Orang yang beriman sejati, yang telah beramal saleh dengan ikhlas, seharusnya tidak takut akan kematian. Bagi mereka, kematian adalah pelepasan dari belenggu dunia menuju janji abadi. Kematian adalah hadiah bagi mukmin, sebagai pintu gerbang menuju Surga yang telah diusahakannya.
Ayat 185 bukan sekadar teori filosofis; ia adalah panggilan praktis untuk reorganisasi kehidupan. Kesadaran akan Kullu Nafsin Dhaa'iqatul Maut harus diterjemahkan menjadi tindakan nyata.
Setelah kematian, hanya tiga hal yang terus mengalir pahalanya (Amal Jariyah): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya. Mengetahui bahwa waktu hidup terbatas dan balasan akan disempurnakan di Hari Kiamat, seorang mukmin harus menginvestasikan waktunya pada ketiga jenis amal ini. Misalnya, membangun sarana kebaikan, menulis buku bermanfaat, atau fokus pada pendidikan agama anak.
Muhasabah (introspeksi) adalah praktik mengevaluasi diri setiap hari sebelum tidur. Jika kematian bisa datang kapan saja, maka setiap hari harus diakhiri dalam keadaan terbaik. Praktik ini memastikan bahwa kerugian di Hari Kiamat dapat diminimalisir. Muhasabah mengingatkan bahwa setiap tarikan napas dan setiap tindakan sedang dicatat untuk "disempurnakan balasannya" kelak.
Kesadaran akan kematian dan Hari Kiamat meningkatkan kualitas ibadah. Ibadah tidak lagi menjadi rutinitas fisik tanpa makna, tetapi menjadi pertemuan serius dengan Allah SWT. Ihsan, yaitu beribadah seolah-olah melihat Allah, atau setidaknya yakin bahwa Allah melihat kita, adalah hasil langsung dari pemahaman mendalam tentang urgensi ayat ini. Ibadah yang dilakukan dengan ihsan adalah bekal terbaik untuk menjauhi neraka (zuhziha ‘anin-Nar).
Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah engkau berada di dunia seolah-olah engkau adalah orang asing atau musafir.” Sikap musafir ini adalah cerminan sempurna dari pemahaman bahwa dunia hanyalah Matā’ul Ghurūr; kita hanya singgah sebentar, dan bekal harus disiapkan untuk perjalanan yang lebih panjang.
Frasa Matā’ul Ghurūr memiliki relevansi yang sangat kuat di era modern. Tipuan dunia seringkali lebih halus dan lebih kuat daripada di masa lalu, karena didukung oleh teknologi dan hedonisme global.
Di masa kini, kesenangan yang menipu seringkali dimanifestasikan melalui obsesi terhadap kekayaan materi dan citra publik. Manusia bekerja keras untuk memperoleh harta yang tidak dibawa mati, dan mengejar popularitas yang akan lenyap begitu raga dikubur. Ayat 185 menelanjangi ilusi ini. Saat ajal tiba, semua rekening bank, gelar, dan pengikut di media sosial tidak bernilai apa-apa; yang tersisa hanyalah amal.
Salah satu tipuan terbesar dunia adalah menunda-nunda amal saleh. Setan membisikkan bahwa waktu masih panjang. Ayat ini menghancurkan ilusi penundaan tersebut. Karena setiap jiwa pasti merasakan kematian, dan waktu datangnya tidak diketahui, maka penundaan adalah bentuk kerugian yang paling parah. Setiap tugas agama yang ditangguhkan hari ini mungkin tidak akan sempat dikerjakan esok hari.
Pemahaman terhadap Matā’ul Ghurūr tidak mengarah pada asketisme yang menyalahi syariat, melainkan pada Zuhud yang sejati. Zuhud bukanlah meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi meletakkan dunia di tangan, bukan di hati. Zuhud adalah tidak membiarkan kenikmatan duniawi menghalangi ketaatan kepada Allah, dan senantiasa menggunakan harta benda sebagai kendaraan menuju keridhaan-Nya. Orang yang Zuhud sejati adalah orang yang paling mengerti nilai akhirat dan menggunakan dunia secara paling efektif.
Jika kematian adalah kepastian, maka tujuan tertinggi bagi setiap mukmin adalah meraih Husnul Khatimah (akhir yang baik), yang merupakan prasyarat utama untuk Fauz (kemenangan) yang disebutkan dalam ayat ini.
Husnul Khatimah adalah keadaan ketika seseorang wafat dalam keadaan beriman, mengucapkan syahadat, dan sedang melakukan amal saleh, atau setidaknya baru saja bertaubat dan berniat baik. Kematian ini adalah manifestasi langsung dari keberhasilan seseorang menjauhi neraka dan mengamalkan ketaatan di dunia yang menipu ini.
Imam Ahmad dan ulama lainnya menekankan bahwa Husnul Khatimah bukan sekadar peristiwa saat detik-detik terakhir, tetapi adalah hasil dari seluruh perjalanan hidup. Seseorang akan dimatikan sesuai dengan kebiasaan hidupnya (sebagaimana kaidah: man ‘āsha ‘alā syai’in māta ‘alaih — barangsiapa hidup dalam suatu kebiasaan, ia akan meninggal dalam kebiasaan itu).
Perjuangan terbesar untuk mencapai Husnul Khatimah adalah perjuangan melawan nafsu dan syahwat yang merupakan inti dari Matā’ul Ghurūr. Syahwat menarik jiwa kembali ke duniawi, sementara akal dan wahyu menarik jiwa menuju kemenangan abadi. Ayat ini berfungsi sebagai penyeimbang; setiap kali syahwat menarik kuat, ingatlah bahwa kenikmatan itu sementara dan balasan sempurna menanti di Hari Kiamat. Ini adalah cara praktis untuk meraih kemenangan (Fauz).
Kesabaran dalam menghadapi musibah dan ujian juga menjadi penentu Husnul Khatimah. Jika diuji dengan kehilangan harta atau orang tercinta, orang mukmin akan mengingat Tuwaffawna Ujūrakum (balasan akan disempurnakan) dan bersabar, sehingga menjadikan musibah itu sebagai penghapus dosa dan peningkat derajat.
Allah SWT mengulang pesan tentang kematian dan Hari Kiamat di banyak surah lain (misalnya Al-Anbiya: 35 dan Al-Qasas: 88). Pengulangan ini bukan redundansi, melainkan penekanan (tawkid) terhadap dua hakikat yang paling mudah dilupakan manusia: kematian itu pasti, dan pertanggungjawaban itu nyata.
Ali Imran ayat 185 datang setelah serangkaian ayat yang membahas ujian, kesabaran dalam jihad, dan pengorbanan di jalan Allah. Ayat ini diturunkan (atau setidaknya ditempatkan) untuk memberikan perspektif yang benar kepada kaum Muslimin yang mungkin merasa kecewa atau berduka atas kerugian dan kematian para sahabat dalam pertempuran. Pesannya adalah: jika kalian mati, itu adalah takdir universal. Fokuslah pada balasan di Hari Kiamat, karena di situlah letak kemenangan sejati, bukan pada hasil pertempuran duniawi.
Kesadaran bahwa semua orang akan mati juga harus memicu penguatan ukhuwah (persaudaraan). Mengapa saling mendendam atau bermusuhan atas hal-hal duniawi yang fana (Matā’ul Ghurūr)? Kebencian, iri hati, dan persaingan tidak sehat di dunia adalah sia-sia di hadapan kepastian kematian. Justru, seorang mukmin harus saling membantu dalam ketaatan, karena pada akhirnya, semua akan kembali sendirian untuk menerima balasan sempurna.
Bagi generasi muda, konsep kematian sering terasa jauh. Namun, ayat ini mengingatkan bahwa kematian adalah proses yang dimulai sejak kita dilahirkan. Setiap detik adalah langkah menuju kubur. Kesadaran ini memotivasi penggunaan waktu secara bijaksana. Jika seseorang menunda ibadah hingga masa tua, ia lupa bahwa kematian mungkin datang sebelum masa tua itu tiba. Kehidupan ini adalah aset tunggal yang harus diinvestasikan sebelum batas waktu, yakni kematian, tiba.
Ayat ini menyatukan antara hukum (syariat) dan spiritualitas (hakikat/tasawuf), menjadikannya poros bagi kehidupan beragama yang seimbang.
Aspek syariat dari ayat ini muncul dari frasa “dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.” Untuk mencapai ini, seseorang harus mematuhi perintah dan menjauhi larangan. Syariat adalah panduan praktis tentang bagaimana menghindari Neraka dan mengumpulkan bekal Surga. Ini mencakup pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, kejujuran dalam berdagang, dan keadilan dalam bermasyarakat. Ketaatan syariat adalah jalan menuju Fauz.
Aspek hakikat muncul dari frasa “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian” dan “dunia hanyalah kesenangan yang menipu.” Ini membutuhkan pemurnian hati dari keterikatan duniawi (tazkiyatun nafs). Hakikat mengajarkan bahwa kematian bukanlah musibah, melainkan ujian akhir yang hasilnya ditentukan oleh kemurnian hati seseorang. Kemenangan sejati adalah ketika hati telah terlepas dari tipuan (Ghurūr) dunia.
Seorang ulama berkata, "Jika engkau mengingat kematian di tengah ketaatanmu, ketaatanmu akan bertambah ikhlas. Jika engkau mengingat kematian di tengah maksiatmu, maksiatmu akan berkurang atau berhenti." Ayat 185 adalah pendorong keikhlasan tertinggi.
Bagi para pemimpin dan pemegang kekuasaan, ayat ini adalah peringatan keras. Kekuasaan adalah Matā’ul Ghurūr yang paling rentan menipu. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban penuh atas amanah yang diemban. Mereka akan "disempurnakan pahala" atas keadilan mereka, atau "disempurnakan hukuman" atas kezaliman mereka. Kesadaran ini harus menginspirasi mereka untuk melayani masyarakat, bukan melayani diri sendiri, karena masa jabatan dunia jauh lebih singkat daripada masa pertanggungjawaban di akhirat.
Surah Ali Imran ayat 185 adalah ringkasan sempurna dari esensi pesan Illahi: kepastian takdir, keadilan mutlak, dan ilusi dunia. Ayat ini mengajak kita untuk hidup dengan kesadaran penuh—kesadaran bahwa kita adalah musafir yang sedang menuju Rumah Sejati.
Marilah kita renungkan setiap frasa yang terkandung di dalamnya. Jika kita yakin bahwa setiap jiwa akan mencicipi maut, maka kita harus hidup tanpa menunda-nunda kebaikan. Jika kita yakin bahwa balasan akan disempurnakan di Hari Kiamat, maka kita harus memastikan setiap niat kita adalah murni. Jika kita tahu bahwa kemenangan sejati adalah Surga, maka kita harus menjauhi segala yang mendekatkan pada Neraka. Dan terakhir, jika dunia hanyalah tipuan, mengapa kita harus menjual kebahagiaan abadi demi kenikmatan fana yang sesaat?
Ayat ini adalah peta jalan menuju kesuksesan abadi, sebuah panggilan agar kita tidak tertipu oleh gemerlapnya Matā’ul Ghurūr, sehingga kita termasuk golongan yang mendapatkan Fauz—kemenangan sejati yang kekal dan abadi.