Visualisasi konseptual Al-A'raf (Perbatasan Tinggi).
Surah Al-A'raf, surah ketujuh dalam Al-Qur'an, menempati posisi yang unik sebagai jembatan antara narasi awal penciptaan dan perincian kisah para nabi yang dihadirkan di surah-surah berikutnya. Surah Makkiyyah ini sarat dengan pelajaran historis, peringatan eskatologis, dan penekanan mendalam terhadap konsep Tauhid (Keesaan Allah). Dari kisah Adam dan Iblis, hingga narasi panjang perjuangan Musa melawan Firaun, Al-A'raf memberikan panorama luas mengenai sunnatullah (ketentuan Allah) dalam interaksi-Nya dengan umat manusia.
Di antara ratusan ayatnya yang kaya, ayat ke-180 memancarkan cahaya yang sangat penting, tidak hanya sebagai penutup serangkaian peringatan, tetapi sebagai fondasi teologi doa dan pengakuan terhadap Tuhan semesta alam. Ayat ini membahas secara eksplisit mengenai Asma’ul Husna—Nama-Nama Allah yang Terbaik—dan memberikan perintah yang tegas serta peringatan yang keras terkait penggunaannya.
Terjemah ringkasnya: "Hanya milik Allah asma’ul husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."
Ayat ini dapat dipecah menjadi tiga perintah atau pernyataan teologis utama, masing-masing membawa bobot spiritual dan hukum yang luar biasa dalam kehidupan seorang Mukmin:
Pernyataan pertama, "وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ" (Hanya milik Allah asma’ul husna), adalah deklarasi Tauhid Rububiyah dan Asma wa Sifat. Kata al-husna adalah bentuk superlative (paling baik/indah) dari hasan (baik). Ini menegaskan bahwa sifat-sifat keagungan dan nama-nama kemuliaan yang dimiliki Allah adalah sempurna tanpa cacat, tanpa batas, dan tidak dapat disamakan dengan makhluk ciptaan-Nya.
Nama-nama ini tidak hanya sekadar label; ia adalah refleksi dari sifat-sifat Allah yang hakiki, yang melingkupi seluruh aspek kekuasaan, keadilan, rahmat, pengetahuan, dan hikmah-Nya. Keindahan dan kesempurnaan nama-nama ini tidak hanya terlihat dalam maknanya, tetapi juga dalam aplikasinya terhadap penciptaan dan takdir. Kesempurnaan ini menuntut pengakuan mutlak dari manusia bahwa tidak ada entitas lain yang layak memiliki kemuliaan seperti itu secara hakiki.
Dalam konteks Al-A'raf yang sebelumnya menceritakan bagaimana nabi-nabi berjuang membuktikan Keesaan Allah di hadapan kaum musyrik yang menyekutukan, penegasan ini menjadi penutup yang kokoh: dasar utama dari penolakan terhadap ajaran para nabi adalah kegagalan mengakui hak eksklusif Allah atas sifat-sifat keilahian ini.
Perintah kedua, "فَادْعُوهُ بِهَا" (maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu), memberikan metode paling efektif dan paling disukai dalam mendekati Sang Pencipta. Doa (memohon/bermunajat) adalah inti ibadah, dan ayat ini mengarahkan agar doa dilakukan dengan memanggil Allah melalui nama-nama-Nya yang paling sesuai dengan kebutuhan atau permohonan yang diajukan.
Jika seseorang memohon rezeki, ia memanggil Ya Razzaq (Maha Pemberi Rezeki). Jika ia memohon ampunan, ia memanggil Ya Ghafur (Maha Pengampun) atau Ya Tawwab (Maha Penerima Taubat). Penggunaan Asmaul Husna dalam doa bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan pengakuan iman bahwa hanya Dia yang memiliki kemampuan untuk memenuhi permohonan tersebut sesuai dengan sifat-Nya.
Praktik ini menunjukkan adab tertinggi dalam beribadah. Ia mengajarkan kesadaran (ma’rifat) terhadap sifat-sifat Tuhan. Ketika seorang hamba berdoa, ia tidak hanya berbicara, tetapi juga merenungkan sifat kesempurnaan yang ia panggil. Ini memperkuat ikatan spiritual dan meningkatkan kualitas keimanan, karena doa menjadi jembatan antara kebutuhan hamba yang fana dan sifat kemuliaan Tuhan yang kekal.
Bagian paling tegas dari ayat ini adalah peringatan, "وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ" (dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan).
Kata kunci di sini adalah yulhidūna, yang berasal dari kata ilhad. Secara harfiah berarti "menyimpang" atau "berbelok dari kebenaran." Dalam konteks teologis, ilhad fi asma'illah (penyimpangan terhadap nama-nama Allah) adalah dosa besar yang merusak konsep Tauhid Asma wa Sifat.
Para ulama tafsir membagi bentuk-bentuk penyimpangan ini menjadi beberapa kategori yang mencakup praktik-praktik kekufuran dan bid'ah yang merusak kemurnian akidah. Bentuk-bentuk ilhad ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesucian nama-nama Allah dari interpretasi yang salah atau praktik yang sesat. Hal ini mencakup upaya untuk:
Perintah untuk "tinggalkanlah" (dzarū) bukan hanya berarti menjauhi fisik, tetapi juga menjauhi ajaran dan praktik mereka. Kalimat penutup ayat, "Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan," adalah janji keadilan ilahi; balasan atas penyimpangan teologis semacam ini adalah pasti dan setimpal.
Surah Al-A'raf adalah surah yang fokus pada konfrontasi antara kebenaran (Tauhid) dan kebatilan (syirik dan ingkar). Surah ini merinci hukuman yang menimpa kaum-kaum terdahulu—kaum Nuh, Hud, Saleh, Lut, dan Shu'aib—karena penolakan mereka terhadap utusan Allah. Lantas, mengapa ayat tentang Asmaul Husna diletakkan di tengah-tengah peringatan dan cerita historis yang panjang ini?
Kisah-kisah dalam Al-A'raf seluruhnya berfungsi sebagai bukti empiris dari Asmaul Husna. Ketika Allah membinasakan kaum Ad karena kesombongan mereka, itu adalah manifestasi dari nama-Nya Al-Qahhar (Maha Penakluk) dan Al-Hakim (Maha Bijaksana). Ketika Allah menyelamatkan Nuh dan pengikutnya, itu adalah manifestasi dari Ar-Rahman dan Al-Munjī (Maha Penyelamat).
Oleh karena itu, ayat 180 berfungsi sebagai rangkuman dan kesimpulan teologis: semua peristiwa historis yang disajikan dalam surah ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa Allah memiliki nama-nama yang sempurna, dan Dia bertindak sesuai dengan nama-nama tersebut. Kesalahan fundamental para penentang nabi adalah penyimpangan mereka dalam mengenal atau mengakui sifat-sifat Allah. Mereka gagal melihat rahmat dalam ujian dan keadilan dalam hukuman.
Ayat 180 mewajibkan setiap Mukmin untuk mempelajari dan memahami 99 Nama Allah (walaupun ulama sepakat jumlah nama Allah tidak terbatas hanya 99, 99 adalah nama yang paling sering disebutkan dan diketahui). Pemahaman yang benar terhadap Asmaul Husna adalah benteng terkuat melawan ilhad.
Ketika seorang hamba memahami bahwa Allah adalah Al-Ghafur (Maha Pengampun), ia akan senantiasa bertaubat tanpa putus asa. Ketika ia memahami Al-Jabbar (Maha Perkasa), ia tidak akan gentar terhadap kekuasaan manusia. Ini adalah buah dari pengamalan Asmaul Husna: mengubah akhlak dan pandangan hidup berdasarkan pengenalan terhadap Sang Khaliq.
Sebaliknya, ilhad adalah manifestasi dari kesesatan akal dan hati. Ia menodai konsep ketuhanan. Jika kaum musyrikin kuno melakukan ilhad dengan menyembah patung yang mereka beri nama dewa yang serupa dengan nama Allah, maka di era modern, ilhad bisa berbentuk sekularisme teologis, yaitu menafikan sifat-sifat Allah yang tidak sesuai dengan rasio atau keinginan manusia—seperti menolak sifat keadilan atau kekerasan Allah (Al-Qahhar) dalam menghukum dosa, semata-mata karena ingin meyakini bahwa Allah hanyalah Ar-Rahman semata.
Visualisasi Asmaul Husna sebagai pusat doa dan permohonan.
Untuk memahami kedalaman perintah yang terkandung dalam Al-A'raf 180, kita harus menelaah lebih jauh beberapa Nama dan Sifat Allah yang paling mendasar dan bagaimana nama-nama ini berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam Surah Al-A'raf.
Nama-nama ini seringkali menjadi titik awal pemahaman tentang Allah. Dalam konteks Al-A'raf, rahmat Allah terlihat jelas dalam pengutusan para nabi secara berulang-ulang kepada kaum yang durhaka. Sebelum hukuman dijatuhkan (yang merupakan manifestasi Keadilan-Nya), peringatan dan kesempatan bertaubat selalu didahulukan. Inilah rahmat. Rahmat-Nya (Ar-Rahman) meliputi seluruh alam semesta—termasuk kesempatan hidup, bernapas, dan menerima petunjuk. Rahmat-Nya (Ar-Rahiim) lebih spesifik bagi orang-orang Mukmin di akhirat. Ilhad terhadap Ar-Rahman bisa berupa keputusasaan total dari rahmat-Nya, atau, sebaliknya, menyalahgunakan rahmat-Nya dengan berbuat dosa sambil yakin bahwa Allah pasti akan mengampuni tanpa perlu taubat yang tulus.
Seluruh narasi sejarah dalam Al-A'raf adalah bukti nyata hikmah Allah. Mengapa Allah membinasakan kaum tertentu dan membiarkan kaum lain? Mengapa proses penciptaan manusia melibatkan Iblis yang menggoda? Jawaban atas semua itu terkandung dalam Al-Hakiim. Hikmah-Nya adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang paling tepat, meskipun di mata manusia terlihat menyakitkan atau tidak adil. Bagi mereka yang menyimpang, mereka sering menuduh Allah tidak bijaksana (atau bodoh) ketika bencana menimpa mereka, gagal memahami bahwa bencana itu adalah konsekuensi logis dari tindakan mereka sendiri, dan juga merupakan ujian yang dirancang dengan sempurna oleh Sang Maha Bijaksana.
Pengenalan terhadap Al-Hakiim menuntun hamba untuk tunduk pada ketetapan syariat dan takdir, karena mereka tahu ada tujuan dan hikmah yang lebih tinggi di balik setiap kejadian, terlepas dari kemampuan akal manusia untuk memahaminya secara parsial.
Dalam kisah-kisah kaum terdahulu, kekuasaan Allah disajikan dalam bentuk mukjizat yang luar biasa: Bahtera Nuh, unta Nabi Saleh, tongkat Musa yang membelah lautan, hingga belalang, kutu, dan katak yang menimpa Firaun. Semua ini adalah manifestasi langsung dari Al-Qadir. Kekuasaan Allah tidak terbatas oleh hukum alam yang Dia ciptakan sendiri. Ilhad terhadap Al-Qadir adalah ketika manusia meragukan kemampuan Allah untuk melakukan sesuatu yang dianggap mustahil oleh logika duniawi, atau ketika mereka menyamakan kekuasaan Allah dengan kekuasaan makhluk yang terbatas dan fana.
Dalam konteks doa (sebagaimana diperintahkan di Al-A'raf 180), memanggil Ya Qadir berarti mengakui bahwa segala permohonan, betapa pun besarnya, berada dalam batas kemampuan Ilahi. Ini meniadakan rasa tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan hidup yang besar, karena kita memohon kepada Sumber Kekuasaan Mutlak.
Keadilan adalah tema sentral dalam Al-A'raf. Surah ini menjelaskan bahwa hukuman yang ditimpakan kepada kaum-kaum terdahulu bukanlah kezaliman, melainkan keadilan yang setimpal. Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya sedikit pun (QS 10:44). Keadilan Allah (Al-Adl) bersifat absolut dan mencakup segala dimensi, baik di dunia maupun di akhirat.
Penyimpangan terhadap Al-Adl sering terjadi ketika manusia memprotes takdir atau syariat. Misalnya, menolak hukum waris atau hukum pidana Islam dengan alasan ‘tidak sesuai dengan standar keadilan modern’ adalah bentuk ilhad, karena itu berarti menilai Keadilan Allah yang absolut dengan standar akal manusia yang relatif. Keadilan ilahi melampaui konsep balas dendam; ia adalah penempatan hak dan kewajiban pada tempatnya, memastikan bahwa setiap amal perbuatan—sekecil apapun—akan dipertanggungjawabkan di hadapan Al-Hakam.
Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Dalam Al-A'raf, hal ini terbukti dalam pengetahuan Allah mengenai kebohongan Iblis (ketika dia menolak sujud), dan pengetahuan-Nya mengenai niat jahat kaum Firaun. Tidak ada satu pun rahasia hati manusia, konspirasi, atau upaya penyembunyian yang luput dari pandangan Al-'Aleem.
Konsekuensi dari pemahaman ini adalah muraqabah (merasa diawasi). Jika kita tahu Allah Maha Mengetahui, kita akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan dan ucapan. Ilhad terhadap sifat ini terjadi ketika seseorang berpikir bahwa ia bisa menyembunyikan dosanya dari Allah, atau ketika ia mengklaim memiliki pengetahuan gaib (ilmu ladunni) yang setara dengan ilmu Allah, padahal ilmu gaib mutlak adalah hak eksklusif Al-'Aleem.
Perintah untuk meninggalkan orang-orang yang menyimpang dalam Asmaul Husna memiliki implikasi sosial yang besar. Ketika akidah umat terjaga, fondasi masyarakat akan kuat. Namun, ketika penyimpangan (ilhad) merajalela, ia akan membawa kerusakan total, sebagaimana yang terjadi pada kaum-kaum yang dibinasakan dalam Surah Al-A'raf.
Fokus ayat 180 pada doa ("maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu") secara implisit mengecam praktik syirik yang masih dilakukan oleh sebagian umat terdahulu dan musyrikin Mekah. Mereka berdoa kepada perantara (berhala, orang suci, jin) dengan keyakinan bahwa entitas-entitas tersebut memiliki sebagian dari sifat-sifat ketuhanan yang seharusnya hanya dimiliki Allah.
Ketika seorang Mukmin hanya memanggil Allah dengan Nama-Nama Terbaik-Nya, ia menegaskan Tauhid Uluhiyah (Keesaan dalam Ibadah). Ini adalah pembersihan total dari segala bentuk perantara atau penyekutuan, yang merupakan syarat utama diterimanya amal dan doa, dan kunci keselamatan dari nasib kaum-kaum terdahulu yang ditenggelamkan, dibakar, atau dihempaskan dalam Surah ini.
Ayat ini berfungsi sebagai filter akidah. Ia mendesak umat Islam untuk selalu merujuk pada teks wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) dalam menetapkan apa yang benar mengenai Allah. Kebanyakan penyimpangan teologis (seperti yang dilakukan oleh sekte-sekte yang menafikan sifat-sifat Allah atau men-tajsim/men-tasybih sifat Allah) berakar dari penggunaan akal semata tanpa dibimbing oleh wahyu.
Imam Malik bin Anas pernah ditanya tentang ayat yang menyebutkan Allah bersemayam (istiwa’) di atas 'Arsy. Beliau menjawab dengan kaidah yang masyhur, yang intinya: Istiwā’ itu diketahui maknanya, bagaimana caranya tidak diketahui, mengimaninya wajib, dan bertanya tentang caranya adalah bid’ah. Pendekatan ini adalah inti dari menjauhi ilhad; yaitu menerima sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa mencoba menyamakan atau mengubah maknanya.
Meskipun ilhad dalam bentuk penyembahan berhala sudah berkurang di sebagian besar dunia Islam, bentuk-bentuk penyimpangan terhadap Asmaul Husna terus bermunculan dalam bentuk yang lebih halus, seringkali bersembunyi di balik jargon filosofis atau spiritualitas baru.
Bentuk ilhad modern seringkali muncul dari keinginan untuk "memanusiawikan" Tuhan secara berlebihan (antropomorfisme). Kelompok ini hanya menerima nama-nama Allah yang mengandung rahmat (Ar-Rahman, Al-Ghafur, Al-Wadud) dan menolak nama-nama yang menunjukkan keadilan atau kekerasan-Nya dalam menghukum (Al-Jabbar, Al-Muntaqim, Al-Qahhar).
Akibatnya, mereka berpendapat bahwa hukuman di akhirat tidak mungkin sekejam yang digambarkan Al-Qur'an, karena itu ‘tidak sesuai dengan kasih sayang Tuhan’. Ini adalah penyimpangan karena menolak kesempurnaan dan keseimbangan sifat Allah. Keadilan sejati tidak dapat terwujud tanpa kemampuan untuk menghukum, dan Rahmat Allah tidak akan terasa agung tanpa adanya Kekuatan-Nya.
Dalam beberapa aliran spiritual yang menyimpang, muncul keyakinan bahwa makhluk dan Khaliq (Pencipta) adalah satu substansi. Jika segala sesuatu adalah Allah, maka Asmaul Husna tidak lagi eksklusif. Nama-nama seperti Al-Khaliq (Maha Pencipta) dan Al-Muzawwir (Maha Pemberi Bentuk) dapat diklaim dimiliki oleh manusia dalam kapasitas tertentu. Ini menghancurkan batas antara Pencipta dan ciptaan, dan merupakan bentuk ilhad yang paling parah karena merusak Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah secara total.
Upaya menyatukan Tuhan dalam berbagai agama tanpa mengakui nama-nama dan sifat-sifat khusus yang diwahyukan-Nya juga dapat dikategorikan sebagai ilhad. Meskipun Allah adalah Tuhan seluruh alam semesta, Dia memperkenalkan diri-Nya melalui nama-nama yang spesifik dan syarat-syarat ibadah yang spesifik. Mencampuradukkan konsep Ketuhanan tanpa memperhatikan batasan wahyu adalah wujud nyata dari "berbelok" dari jalan yang benar yang diperintahkan oleh ayat 180.
Surah Al-A'raf, khususnya di bagian akhir, berbicara mengenai tanda-tanda Kiamat dan pertanyaan kapan Hari Kebangkitan akan tiba. Ayat 187-188, yang berdekatan dengan ayat 180, menekankan bahwa pengetahuan tentang Hari Kiamat adalah eksklusif bagi Allah.
Ketika manusia dihadapkan pada ketidakpastian masa depan, termasuk Kiamat, atau ketika diuji dengan kesulitan yang tidak terduga (seperti yang dialami oleh kaum Musa saat diserang sihir Firaun), sandaran utama mereka adalah Asmaul Husna.
Jika Allah adalah Al-Awal dan Al-Akhir (Yang Awal dan Yang Akhir), maka hanya Dia yang mengetahui garis waktu penciptaan. Jika Allah adalah Al-Wakeel (Maha Mewakili), maka hamba menyerahkan urusan mereka kepada-Nya saat menghadapi ujian yang berat. Ayat 180 berfungsi sebagai petunjuk: dalam menghadapi misteri takdir dan ujian, kembalilah pada fondasi teologis yang paling murni, yaitu pengenalan terhadap Nama dan Sifat-Nya. Doa yang didasarkan pada Nama-Nama Ini adalah senjata terkuat melawan keputusasaan, ketakutan, dan keraguan yang sering kali menyerang iman saat terjadi bencana besar.
Oleh karena itu, penempatan ayat 180 di Surah Al-A'raf bukan hanya sebuah nasihat spiritual, melainkan sebuah instruksi teologis yang menyeluruh, memastikan bahwa setelah melewati lautan kisah-kisah kaum terdahulu, seorang Mukmin akan kembali berlabuh pada inti ajaran Islam: Tauhid yang murni, terwujud dalam pengakuan sempurna terhadap Nama dan Sifat Allah Yang Maha Tinggi, dan kewajiban untuk menjauhi segala bentuk penyimpangan.
Ketaatan pada ayat 180 adalah jaminan keselamatan di dunia dan akhirat, karena ia memastikan bahwa hubungan antara hamba dan Khaliq didasarkan pada pengetahuan yang benar, adab yang tinggi, dan pengakuan yang murni, menjauhkan diri dari jalan yang ditempuh oleh mereka yang binasa karena penyimpangan.