Surah Al-A'raf, ayat ke-54, merupakan salah satu pondasi teologis dan kosmologis terpenting dalam Al-Qur'an. Ayat ini tidak hanya menyajikan deskripsi ringkas tentang proses penciptaan alam semesta, tetapi juga menetapkan hak prerogatif mutlak Allah dalam mengatur dan memelihara seluruh eksistensi. Dalam satu rangkaian kalimat yang padat makna, ayat ini merangkum tauhid (keesaan), rububiyah (ketuhanan), dan uluhiah (peribadahan), mengajak setiap manusia untuk merenungkan asal-usul keberadaannya dan tujuan akhirnya.
اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِي الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ ۙ اَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, segala penciptaan dan urusan adalah hak-Nya. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.
Untuk memahami kedalaman pesan ayat ini, kita harus membedah setiap frasa yang terkandung di dalamnya, menyadari bahwa setiap kata membawa implikasi filosofis, ilmiah, dan teologis yang tak terhingga. Ayat ini adalah kunci menuju pengakuan universal tentang kedaulatan Tuhan atas segala sesuatu, dari partikel terkecil hingga galaksi terbesar yang tak terhitung jumlahnya.
Ayat ini dimulai dengan penegasan identitas Sang Pencipta: "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa." Kalimat ini adalah deklarasi kedaulatan dan sumber segala asal-usul. Pemilihan kata 'Tuhan kamu' (Rabbukum) merujuk pada pemeliharaan, pengasuhan, dan pengawasan yang berkelanjutan, bukan sekadar penciptaan awal. Allah adalah Zat yang tidak hanya memulai eksistensi tetapi juga yang terus-menerus memeliharanya dari kehampaan.
Konsep 'enam masa' (Sittati Ayyam) telah menjadi titik perdebatan dan refleksi mendalam. Dalam konteks bahasa Arab Al-Qur'an, 'yaum' (hari) tidak selalu merujuk pada periode 24 jam bumi yang kita kenal. Ia merujuk pada suatu fase, periode, atau tahapan waktu yang ukurannya hanya diketahui oleh Sang Pencipta. Ini adalah periode yang mendahului konsep waktu linier kita yang terkait dengan pergerakan matahari. Jika alam semesta diciptakan sebelum matahari, maka waktu penciptaan itu harus diukur dengan standar yang berbeda, yang hanya bisa diukur oleh dimensi Ilahi.
Para mufassir telah lama menjelaskan bahwa penggunaan enam masa ini mengajarkan kita tentang keteraturan dan gradualitas. Meskipun Allah mampu menciptakan segalanya dalam sekejap (dengan kata 'Kun' – Jadilah), Dia memilih metode bertahap. Hal ini memberikan pelajaran kepada manusia tentang pentingnya proses, perencanaan, dan kesabaran, bahkan dalam penciptaan yang paling agung sekalipun. Penciptaan bukan tindakan instan yang tanpa makna, melainkan serangkaian tahapan yang terstruktur dan teratur.
Refleksi mendalam terhadap enam masa ini membawa kita pada pengakuan atas keagungan kekuatan Allah yang melampaui pemahaman fisik kita. Setiap masa adalah babak evolusi kosmik, sebuah transformasi besar yang membawa alam semesta dari keadaan yang belum terstruktur menuju sistem yang harmonis dan seimbang. Ini menegaskan bahwa hukum fisika, yang kita pelajari hari ini, adalah hasil dari perencanaan Ilahi yang telah ditetapkan sejak masa-masa awal tersebut. Kita hidup dalam bayang-bayang masa-masa tersebut, di mana energi, materi, dan waktu pertama kali didefinisikan.
Proses penciptaan yang bertahap ini juga merupakan manifestasi dari sifat Rabbul 'Alamin—Tuhan semesta alam—yang mengelola setiap detail dengan hikmah sempurna. Jika penciptaan terjadi seketika, manusia mungkin gagal melihat betapa terperincinya desain kosmik tersebut. Namun, dengan enam tahapan yang jelas, kita dipaksa untuk mengakui adanya kehendak dan tujuan yang mengarahkan setiap fase, dari munculnya materi primordial hingga pembentukan bintang dan akhirnya, planet yang layak huni. Ini adalah narasi universal tentang bagaimana kekacauan awal diubah menjadi tatanan yang mempesona.
Keterkaitan antara enam masa penciptaan dengan ilmu pengetahuan modern sering kali menjadi kajian menarik. Walaupun Al-Qur'an bukanlah buku sains, deskripsi ini menunjukkan kompatibilitas antara wahyu dan pengamatan empiris mengenai usia dan perkembangan alam semesta yang sangat panjang. Ketiadaan batasan waktu 24 jam membuka pintu bagi pemahaman bahwa periode tersebut bisa merujuk pada milyaran tahun evolusi kosmik, menegaskan kemahaluasan hikmah dan pengetahuan Sang Khalik. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa kebenaran wahyu adalah abadi dan melampaui keterbatasan pemahaman manusia pada era tertentu. Keberadaan tahapan-tahapan ini sekaligus menantang anggapan bahwa alam semesta muncul tanpa sebab atau tujuan; sebaliknya, ia adalah hasil dari perencanaan yang teliti dan bertahap.
Penciptaan langit dan bumi dalam enam masa adalah bukti terbesar atas Tauhid Rububiyah—keesaan Allah dalam tindakan-Nya. Siapakah yang memiliki kuasa selain Dia untuk menyusun mekanisme kosmik sedemikian rupa? Langit dan bumi, dengan segala isinya, adalah kesaksian bisu namun mutlak tentang Kemahaesaan Sang Pencipta. Setiap atom, setiap gugusan galaksi, beroperasi dalam batasan yang telah ditetapkan, tunduk pada hukum-hukum yang tidak dapat mereka langgar.
Pemahaman ini harus membawa manusia pada Tauhid Uluhiyah, yaitu pengesaan Allah dalam ibadah. Jika Dia adalah satu-satunya Pencipta dan Pengatur, maka hanya Dia yang layak disembah. Tidak ada daya atau kekuatan selain dari-Nya. Langit yang luas, bumi yang menopang kehidupan, semuanya berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa segala kebaikan dan kekuasaan berasal dari satu Sumber. Merenungkan penciptaan adalah tindakan ibadah itu sendiri, karena ia memurnikan pandangan kita tentang siapa yang sesungguhnya layak menerima penghormatan dan ketaatan tertinggi.
Keteraturan dan kompleksitas dalam penciptaan ini, yang diselesaikan dalam enam masa, menegaskan bahwa tidak ada kebetulan dalam tata surya. Setiap bintang, setiap orbit, setiap musim, adalah bagian dari desain yang maha cerdas. Langit, yang melambangkan kemahaluasan dan yang tidak terlihat, dan bumi, yang melambangkan kekokohan dan yang dapat disentuh, keduanya diciptakan sebagai pasangan yang saling melengkapi, menunjukkan keseimbangan sempurna dalam seni penciptaan Ilahi. Manusia yang mampu merenungkan interaksi kompleks ini akan mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi tentang hakikat keberadaan. Inilah tujuan utama dari pengungkapan detail penciptaan dalam ayat ini: untuk memicu kesadaran teologis yang mendalam dan abadi.
Pengulangan tema penciptaan dalam berbagai surah Al-Qur'an, termasuk detail enam masa, menunjukkan pentingnya narasi ini sebagai landasan iman. Ini adalah narasi yang mengikat seluruh umat manusia, terlepas dari latar belakang geografis atau budaya mereka, pada satu realitas universal: bahwa kita semua adalah bagian dari ciptaan yang lebih besar, yang dipimpin oleh Kehendak Yang Maha Agung. Enam masa adalah penanda historis bagi kosmos, sebuah garis waktu yang hanya dapat diakses oleh Sang Pencipta, namun implikasinya terasa hingga ke detik kehidupan manusia saat ini. Pengakuan ini adalah titik awal menuju pemuliaan total terhadap Allah, Sang Rabbul 'Alamin.
Setelah menyelesaikan proses penciptaan dalam enam masa, ayat tersebut melanjutkan dengan frasa monumental: "lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy (Istawa ‘ala Al-'Arsy)." Frasa ini adalah inti dari teologi kekuasaan dan kedaulatan Ilahi. 'Arsy (Singgasana) adalah makhluk terbesar yang diciptakan Allah, melampaui batas-batas langit dan bumi. Ini bukan lokasi fisik dalam pengertian manusia, melainkan simbol pusat kendali, otoritas, dan manifestasi kekuasaan tertinggi.
Para ulama sepakat bahwa 'Istawa' menunjukkan ketinggian, dominasi, dan penguasaan sempurna. Allah tidak membutuhkan 'Arsy; 'Arsy-lah yang membutuhkan Allah. Namun, Dia memilih untuk bersemayam di atasnya sebagai manifestasi dari penguasaan-Nya secara total atas alam semesta yang baru diciptakan. Ini adalah deklarasi bahwa meskipun proses penciptaan telah selesai, pengawasan dan manajemen (Tadbir) baru saja dimulai, dilakukan dari pusat kekuasaan tertinggi.
Dalam teologi Islam, khususnya mengenai sifat-sifat Allah, frasa ini ditangani dengan prinsip bila kaifin (tanpa menanyakan bagaimana). Kita menetapkan keberadaan 'Istawa' sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, tetapi kita menolak menyerupakannya dengan cara makhluk (tasybih) atau memberikan interpretasi yang menyimpang dari makna literal tanpa dasar yang kuat (ta’wil). Ini adalah ujian keimanan: mengakui kedaulatan mutlak yang melampaui imajinasi dan dimensi kita. 'Arsy mewakili batas terjauh dari segala yang dapat kita tangkap, tempat di mana kekuasaan Ilahi beroperasi tanpa batasan.
Implikasi teologis dari Istawa 'ala Al-'Arsy sangatlah besar. Ia menegaskan bahwa Allah terpisah dari ciptaan-Nya (transenden), namun pada saat yang sama, Dia mengendalikan setiap detail di dalamnya (immanen melalui ilmu dan kekuasaan-Nya). Dia tidak terbatas oleh ruang atau waktu, namun Dia memilih untuk menempatkan pusat kedaulatan-Nya di 'Arsy, di atas semua ciptaan. Ini memastikan bahwa meskipun kita merasakan kehadiran-Nya dalam hidup kita, hakikat Dzat-Nya tetaplah berbeda dan agung, melampaui batas-batas materi yang kita kenal.
Setelah Allah bersemayam di atas 'Arsy, dimulailah fase pengaturan kosmik secara rinci. 'Arsy adalah sumber dari semua hukum dan perintah yang mengalir ke alam semesta. Dari sana, kekuasaan Allah mengatur pergerakan benda-benda langit, siklus air, pergantian siang dan malam, dan setiap takdir yang menimpa makhluk hidup. Ini menunjukkan bahwa kedaulatan Allah tidak pasif; itu adalah kedaulatan yang aktif dan terus-menerus mengintervensi atau mempertahankan tatanan kosmik yang telah diciptakan dengan sempurna.
Pusat kekuasaan ini juga mengajarkan tentang hierarki dalam penciptaan. 'Arsy berada di puncak, dan di bawahnya terdapat kursi (Kursi), dan di bawahnya lagi terdapat langit dan bumi. Ini adalah struktur manajemen yang menunjukkan totalitas kontrol. Manusia, yang hidup di bumi yang tampaknya mandiri, harus selalu ingat bahwa mereka berada di bawah pengawasan langsung dari Pusat Komando Kosmik ini. Setiap doa, setiap permohonan, dan setiap tindakan manusia tercatat dan diatur oleh otoritas yang bersemayam di atas 'Arsy.
Rasa hormat dan takut kepada Allah harus diperdalam melalui pemahaman tentang 'Arsy ini. Jika kita memahami keagungan Singgasana tersebut, yang melampaui segala sesuatu yang bisa kita bayangkan, betapa agungnya Dzat yang bersemayam di atasnya? Ini memicu rasa kerendahan hati yang esensial bagi seorang hamba. Ketenangan dan kepastian dalam hidup datang dari kesadaran bahwa Alam Semesta tidak dikelola oleh kekuatan acak, tetapi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa yang duduk di Singgasana Kemuliaan dan Kedaulatan.
Analisis terhadap frasa 'Istawa 'ala Al-'Arsy' membawa kita pada pemisahan yang jelas antara sifat-sifat Allah (Sifatullah) dan sifat-sifat makhluk (Sifatu al-Khalq). Manusia cenderung mengukur segala sesuatu dengan pengalaman inderawi mereka. Namun, 'Istawa' menuntut kita untuk melepaskan batasan-batasan pemikiran materialistik. Bersemayamnya Allah adalah sesuai dengan keagungan-Nya, dan mustahil untuk dikuantifikasi atau digambarkan. Ini adalah dogma iman yang memperkaya dan meluaskan cakrawala spiritual, memaksa kita untuk mengakui adanya realitas yang benar-benar transenden dan independen dari materi.
Kesadaran akan 'Arsy sebagai pusat pengendalian adalah jaminan stabilitas kosmik. Bayangkan kekacauan yang akan terjadi jika tata surya diatur oleh banyak otoritas atau kehendak yang saling bertentangan. Keteraturan yang kita saksikan setiap hari—pergerakan bintang, pasang surut, musim yang berganti—adalah bukti visual bahwa hanya ada satu Penguasa tunggal yang mengatur dari 'Arsy. Stabilitas ini menjamin bahwa hukum alam berlaku universal, dan bahwa janji-janji ilahi, baik ancaman maupun pahala, akan ditepati tanpa kegagalan. Ini adalah aspek Rububiyah yang paling mendasar dan terus-menerus beroperasi.
Setelah menetapkan kedaulatan-Nya di 'Arsy, ayat tersebut langsung mengalihkan perhatian kita pada manifestasi kekuasaan Ilahi di alam yang terlihat: "Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya." Bagian ini berfokus pada dinamika kosmik dan keteraturan yang sempurna.
Deskripsi pergantian malam dan siang sangat puitis dan akurat. Kata yughsyi berarti 'menutupi' atau 'menyelubungi'. Malam digambarkan seolah-olah kain hitam yang disampirkan di atas cahaya siang. Yang lebih penting adalah frasa yatlubuhu hathithan, yang berarti 'mengikutinya dengan cepat' atau 'secara mendesak'. Hal ini menunjukkan adanya pengejaran yang konstan dan tak terhindarkan. Malam selalu mengejar siang, dan siang selalu mengejar malam, tanpa pernah ada jeda atau kegagalan.
Fenomena ini, yang kita terima begitu saja, adalah bukti paling nyata dari manajemen waktu Ilahi. Jika pengejaran ini berhenti sejenak, atau jika salah satu siklus melampaui yang lain secara permanen, kehidupan di bumi akan terhenti. Keteraturan dalam pergantian waktu ini adalah fondasi bagi kehidupan biologis, penentu tidur dan bangun, dan penanda bagi ibadah. Ia mengajarkan kita bahwa waktu itu sendiri adalah makhluk yang tunduk pada Perintah Allah.
Ketepatan mekanika pergerakan ini, yang dijamin oleh perintah dari 'Arsy, adalah jaminan keadilan dan ketenangan. Manusia dapat merencanakan hidupnya karena ia tahu matahari akan terbit besok. Keteraturan kosmik ini mencerminkan keteraturan yang sama yang harus diupayakan dalam kehidupan spiritual dan sosial kita. Jika alam semesta begitu patuh, bagaimana mungkin manusia bisa membangkang?
Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa matahari (Ash-Shams), bulan (Al-Qamar), dan bintang-bintang (An-Nujum) semuanya "musakhkharatin bi-amrihi"—ditundukkan dan dikuasai oleh perintah-Nya. Kata musakhkharah sangat penting; ia berarti bahwa benda-benda langit ini dipaksa, dijinakkan, dan dipekerjakan untuk melayani tujuan tertentu, yaitu melayani makhluk-makhluk di bumi dan memenuhi takdir kosmik yang ditetapkan.
Matahari menyediakan energi dan cahaya, bulan mengatur pasang surut dan perhitungan waktu (kalender), dan bintang-bintang berfungsi sebagai penunjuk arah. Masing-masing memiliki peran yang sangat spesifik dan mereka melaksanakan tugas tersebut tanpa pernah melakukan kesalahan atau pemberontakan terhadap perintah Ilahi. Kepatuhan total mereka adalah kontras tajam dengan potensi pembangkangan yang dimiliki oleh manusia dan jin (makhluk yang diberi pilihan kehendak bebas).
Benda-benda langit ini tidak hanya diam di tempat, tetapi bergerak dalam orbit yang telah ditentukan dengan presisi matematis. Ilmu astronomi modern hanya mengkonfirmasi apa yang telah ditegaskan Al-Qur'an: bahwa alam semesta adalah mesin raksasa yang diatur secara sempurna, di mana setiap komponen bergerak sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh Sang Penguasa. Tidak ada satupun benda langit yang bergerak di luar orbitnya; ini adalah janji kosmik yang menopang seluruh eksistensi.
Jika matahari yang sedemikian besar, dengan kekuatan fusi nuklir yang luar biasa, tunduk sepenuhnya pada Perintah Allah, maka manusia seharusnya merasa lebih rendah hati dan lebih patuh. Benda-benda mati ini menjadi teladan kepatuhan (qunut). Mereka tidak memiliki kesadaran moral, namun mereka tidak pernah gagal dalam tugas mereka. Ini adalah salah satu bukti paling visual yang mendorong manusia untuk berpikir: jika seluruh kosmos tunduk, mengapa saya, sebagai makhluk yang dimuliakan, harus mempertanyakan atau melawan Perintah-Nya?
Pengejaran abadi antara malam dan siang, yang dilakukan dengan penuh urgensi, mencerminkan sifat dinamis dari alam semesta. Ini bukanlah alam semesta yang statis; melainkan sistem yang terus bergerak, berinteraksi, dan berevolusi di bawah pengawasan Ilahi. Pemikiran tentang pergerakan ini harus membangkitkan rasa kagum terhadap energi tak terbatas yang diperlukan untuk menjaga miliaran bintang dan galaksi tetap dalam orbit mereka. Energi ini, yang melampaui batas fisika kita, berasal dari Perintah tunggal (Al-Amr) yang dikeluarkan dari 'Arsy.
Keteraturan dan kepatuhan kosmik ini berfungsi sebagai sistem navigasi spiritual bagi manusia. Sebagaimana bintang-bintang menuntun pelaut di lautan gelap, hukum-hukum Allah menuntun jiwa manusia di tengah kegelapan keraguan. Allah menciptakan bintang, bulan, dan matahari tidak untuk disembah, tetapi sebagai penunjuk jalan menuju-Nya. Mereka adalah tanda (ayat) yang mengingatkan kita akan skala kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Kita harus selalu melihat ke langit bukan sebagai sekadar pemandangan, tetapi sebagai papan tulis besar yang menampilkan tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah yang tak terputus. Keseimbangan ini adalah cerminan dari kesempurnaan Allah dalam Rububiyah-Nya.
Puncak filosofis dan teologis dari Al-A'raf 54 diungkapkan dalam frasa sentral: "Ingatlah, segala penciptaan dan urusan adalah hak-Nya (Ala Lahu Al-Khalqu wal-Amr)." Ini adalah intisari dari Tauhid yang membedakan Allah dari segala makhluk. Frasa ini membagi kedaulatan Ilahi menjadi dua kategori yang mencakup totalitas eksistensi: Al-Khalq (Penciptaan) dan Al-Amr (Perintah/Urusan).
Al-Khalq adalah tindakan memulai eksistensi. Ini adalah hak eksklusif Allah untuk mengubah ketiadaan menjadi keberadaan, untuk merancang, membentuk, dan menyusun materi dan energi dari nol. Manusia dapat "membuat" (sana’a) atau "merakit," tetapi tidak pernah bisa "menciptakan" (khalaqa) dalam arti yang sebenarnya. Penciptaan adalah hak paten Ilahi.
Frasa ini menguatkan kembali bagian pertama ayat (menciptakan langit dan bumi), menekankan bahwa setiap materi yang ada, setiap hukum fisika yang mengatur materi tersebut, dan bahkan proses itu sendiri, semuanya berasal dari kehendak mutlak Sang Pencipta. Mengakui Al-Khalq berarti mengakui keterbatasan kita sebagai makhluk dan mengakui kemahakuasaan Sang Pencipta yang tidak terbatas.
Kepemilikan mutlak atas Al-Khalq juga menuntut pertanggungjawaban. Karena Dia yang menciptakan kita tanpa bantuan siapapun, Dia memiliki hak penuh untuk menetapkan tujuan hidup kita dan menetapkan standar moral bagi kita. Konsep penciptaan bukan hanya tentang awal, tetapi juga tentang tujuan, yaitu menuju ibadah kepada-Nya.
Jika Al-Khalq adalah tindakan memulai, Al-Amr adalah tindakan memelihara, mengatur, mengendalikan, dan mengarahkan. Al-Amr mencakup semua manajemen yang terjadi setelah penciptaan. Ini adalah kekuatan dinamis yang menjaga agar alam semesta tetap beroperasi, yang mengatur takdir individu, yang mengirimkan wahyu, dan yang menetapkan hukum syariat.
Al-Amr mencakup segala sesuatu, dari:
Inilah mengapa Tauhid Al-Amr sangat vital. Seseorang mungkin percaya bahwa Allah adalah Pencipta (Al-Khalq), tetapi jika ia percaya bahwa nasibnya diatur oleh kekuatan lain (bintang, nasib buruk, dewa lain), maka ia gagal dalam Tauhid Al-Amr. Ayat ini meniadakan adanya campur tangan otoritas lain dalam manajemen alam semesta. Hanya Allah yang memiliki hak mutlak atas semua Urusan.
Penggabungan Al-Khalq dan Al-Amr dalam satu frasa adalah pernyataan kedaulatan yang paling tegas. Tidak hanya Allah yang memulai segalanya, tetapi Dia juga yang memegang kendali penuh atas bagaimana segalanya berakhir. Tidak ada ruang hampa kekuasaan; tidak ada domain yang terlepas dari tangan Ilahi.
Ketika seseorang menghadapi kesulitan, ia harus kembali pada pemahaman bahwa Al-Amr ada di tangan Allah. Kesulitan adalah bagian dari rencana Ilahi (Amr), dan jalan keluar juga hanya bisa datang dari Perintah-Nya. Pengetahuan ini adalah sumber ketenangan terbesar: alam semesta tidak kacau; ia diatur oleh Dzat yang sama yang memiliki kekuatan untuk menciptakannya dari ketiadaan. Keyakinan ini menghilangkan kecemasan dan menetapkan kepasrahan (Islam) sebagai respons yang paling logis dan rasional terhadap realitas.
Kesatuan antara Khalq dan Amr adalah jaminan konsistensi ilahi. Penciptaan yang sempurna (Khalq) selalu diikuti dengan manajemen yang sempurna (Amr). Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan; mereka adalah dua sisi dari mata uang Rububiyah. Barang siapa yang mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Khalik, ia harus mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Amir (Pemilik Urusan). Menolak Amr-Nya dalam hal syariat, misalnya, sama saja dengan menolak kedaulatan-Nya yang menyeluruh.
Dalam konteks kosmologi, Khalq adalah struktur ruang-waktu, sedangkan Amr adalah kekuatan yang menggerakkan dan menentukan nasib di dalamnya. Ketika Allah berfirman, "Jadilah," itu adalah perpaduan Khalq dan Amr—ciptaan dan perintah terwujud secara simultan. Inilah yang membedakan Allah dari semua entitas lain: tidak ada entitas lain yang memiliki hak penciptaan dan hak pengelolaan secara bersamaan, total, dan absolut. Pemahaman ini adalah fondasi bagi etika dan moralitas; jika hukum dan urusan berasal dari Allah, maka hukum itu harus di atas hukum manusia.
Lebih jauh lagi, kepemilikan mutlak atas Al-Amr membawa implikasi bagi konsep kebebasan kehendak (ikhtiyar). Meskipun manusia diberi kebebasan untuk memilih, pilihan itu tetap terjadi dalam kerangka yang ditetapkan oleh Amr Allah. Kita memilih tindakan, tetapi hasil dari tindakan tersebut diatur oleh Perintah Ilahi. Ini mengajarkan keseimbangan antara tanggung jawab pribadi dan ketergantungan total pada kehendak Allah. Ketika manusia mencoba mengambil Al-Amr (mengatur hidupnya sepenuhnya tanpa bimbingan Ilahi), dia pasti akan jatuh ke dalam kesesatan dan kesengsaraan, karena Urusan yang sejati adalah hak milik mutlak Allah.
Oleh karena itu, pengakuan terhadap Ala Lahu Al-Khalqu wal-Amr adalah jalan menuju kepasrahan yang sejati. Ini adalah pengakuan bahwa seluruh sistem kosmik, mulai dari penciptaan galaksi hingga detak jantung manusia, adalah bagian dari orkestra Ilahi yang disutradarai dari 'Arsy. Tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya, dan tidak ada yang bergerak tanpa izin-Nya. Kekuatan yang mengatur badai adalah kekuatan yang sama yang mengatur perdamaian; semua adalah manifestasi dari Amr yang tunggal dan maha luas.
Ayat Al-A'raf 54 ditutup dengan deklarasi pemuliaan: "Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam (Tabarakallahu Rabbul 'Alamin)." Kalimat ini berfungsi sebagai kesimpulan, pengakuan, dan pujian atas semua fakta teologis yang telah diungkapkan sebelumnya.
Kata Tabarak berasal dari akar kata yang merujuk pada keberkahan, keabadian, dan ketinggian yang tak terbatas. Itu bukan sekadar ucapan pujian, tetapi pengakuan bahwa Allah adalah sumber segala kebaikan, kemuliaan, dan kemurahan yang tidak pernah habis. Dia adalah Zat yang melampaui segala kekurangan dan keterbatasan. Ketika kita mengucapkan 'Tabarakallah', kita mengakui bahwa keberkahan sejati hanya datang dari-Nya.
Penutup ini menekankan bahwa Kedaulatan (Khalq dan Amr) yang baru saja dijelaskan bukanlah kedaulatan yang sewenang-wenang, melainkan kedaulatan yang penuh dengan rahmat, hikmah, dan keberkahan. Penciptaan dan pengaturan yang Dia lakukan selalu bertujuan baik, adil, dan mengarah pada pemeliharaan.
Penggunaan gelar Rabbul 'Alamin (Tuhan semesta alam) menutup lingkaran ayat ini, menghubungkannya kembali ke awal (Inna Rabbakum). Ia menegaskan kembali bahwa Allah adalah Tuhan yang memelihara dan mengasuh seluruh alam, bukan hanya manusia atau sebagian kecil dari dunia. 'Alamin (alam) mencakup segala sesuatu yang ada, yang kita ketahui dan yang tidak kita ketahui.
Jika Dia adalah Rabbul 'Alamin, maka setiap atom di setiap galaksi berada di bawah pemeliharaan dan hukum-Nya. Kedaulatan-Nya tidak mengenal batas geografis, biologis, atau bahkan temporal. Ini adalah ajakan untuk melihat realitas secara holistik: semua ciptaan adalah satu kesatuan yang terintegrasi, yang diatur oleh satu Tangan.
Penutup ini sekaligus berfungsi sebagai panggilan: setelah manusia melihat bukti-bukti agung dalam penciptaan, pengaturan siang dan malam, dan kedaulatan Khalq wal-Amr, respons yang paling tepat adalah pengakuan tulus atas kemuliaan Allah, yaitu dengan memuji dan memuliakan-Nya sebagai Tuhan seluruh alam.
Penyebutan Tabarakallahu Rabbul 'Alamin setelah deskripsi penciptaan yang terperinci berfungsi sebagai penegasan bahwa semua detail tersebut—enam masa, 'Arsy, siklus kosmik—adalah bagian dari Kemahabaikan Ilahi. Keberkahan Allah melingkupi setiap langkah penciptaan. Kualitas dan kuantitas dari ciptaan-Nya adalah manifestasi dari kemurahan yang melimpah (barakah). Jika Allah hanya menciptakan tanpa memelihara, keberkahan itu akan hilang. Namun, karena Dia adalah Rabbul 'Alamin, pemeliharaan-Nya adalah sumber keberlanjutan dan kebaikan abadi bagi seluruh makhluk. Ini mendorong manusia untuk menelusuri keberkahan dalam setiap aspek kehidupan mereka, menghubungkannya kembali kepada Sang Sumber Abadi.
Kesimpulan yang kuat ini mengajarkan bahwa tujuan dari semua pengetahuan tentang kosmos dan penciptaan adalah untuk memperdalam hubungan spiritual dan meningkatkan ibadah. Alam semesta adalah ayat, dan merenungkannya adalah ibadah (tafakkur). Ibadah yang sejati lahir dari pengakuan mendalam akan status Allah sebagai Pencipta dan Pengatur Mutlak. Hanya dengan pemahaman ini, manusia dapat mencapai ketenangan jiwa dan kepastian iman yang hakiki.
Ayat Al-A'raf 54 adalah lebih dari sekadar deskripsi kosmik; ia adalah peta jalan spiritual yang mendalam. Merenungkan ayat ini menuntut manusia untuk menata kembali prioritas dan pandangan mereka terhadap alam semesta dan peran mereka di dalamnya. Implikasi ayat ini menyentuh setiap aspek iman dan kehidupan sehari-hari, mulai dari cara kita berinteraksi dengan waktu hingga cara kita memahami penderitaan dan kebahagiaan.
Meskipun Allah memegang kendali penuh atas Al-Khalq wal-Amr, manusia diberi tugas sebagai khalifah di bumi. Tugas ini adalah anugerah dan ujian. Kedaulatan Allah tidak meniadakan tanggung jawab manusia, melainkan mendefinisikannya. Kita harus bertindak sesuai dengan Perintah (Amr) yang telah ditetapkan Allah, baik melalui hukum alam yang tidak dapat dihindari maupun melalui hukum syariat yang memerlukan pilihan moral. Kegagalan untuk menyeimbangkan antara pengakuan Kedaulatan Ilahi dan pelaksanaan tanggung jawab manusia adalah sumber dari dua ekstrem: fatalisme pasif (merasa tidak perlu berusaha) atau kesombongan aktif (merasa mampu mengatur segalanya tanpa Tuhan).
Keseimbangan yang diajarkan oleh ayat ini adalah: Manusia harus berusaha keras (bertanggung jawab atas Khalq-nya sendiri), tetapi hatinya harus berserah diri total pada hasil yang diatur oleh Amr Allah. Inilah esensi dari Tawakkal (ketergantungan penuh). Setiap keberhasilan harus dikaitkan kembali kepada Allah (Tabarakallah), dan setiap kegagalan harus dilihat dalam kerangka hikmah yang lebih besar dari Amr-Nya. Kesadaran akan totalitas Amr menghilangkan rasa putus asa, karena bahkan dalam kondisi terburuk, ia adalah bagian dari Perintah Yang Maha Bijaksana.
Konsep enam masa dan siklus malam-siang yang berkecepatan tinggi membawa kita pada filosofi waktu yang unik. Waktu dalam pandangan Ilahi adalah dimensi yang fleksibel dan terukur sesuai kehendak-Nya. Bagi manusia, waktu adalah sumber batasan—kita terikat pada masa lalu dan cemas tentang masa depan. Namun, ayat ini mengingatkan kita bahwa Sang Pencipta berdiri di luar batasan waktu yang Dia ciptakan. Waktu adalah salah satu benda yang ditundukkan (musakhkharah) bagi kita.
Refleksi pada pengejaran cepat antara malam dan siang mengajarkan nilai ketekunan dan ketidakmampuan untuk menghentikan aliran kehidupan. Setiap detik berharga, dan ketepatan kosmik menuntut ketepatan yang sama dalam penggunaan waktu manusia. Jika matahari dan bulan tidak pernah menyimpang, bagaimana mungkin manusia menyia-nyiakan waktu yang merupakan rezeki paling berharga dari Yang Maha Pengatur? Pemahaman ini memicu urgensi dalam melakukan amal kebaikan, menyadari bahwa setiap fase hidup adalah tahap dalam enam masa eksistensi individu yang ditakdirkan.
Al-A'raf 54 menyediakan kerangka harmonis antara wahyu dan penemuan kosmik. Ayat ini adalah anti-tesis terhadap konflik antara agama dan sains. Al-Qur'an berbicara tentang realitas penciptaan bertahap dan keteraturan kosmik jauh sebelum teleskop dan mekanika orbit ditemukan. Ketika ilmuwan modern menemukan presisi luar biasa dari rotasi planet dan evolusi kosmik dalam periode waktu yang sangat panjang, mereka secara tidak langsung mengkonfirmasi bagian dari apa yang diungkapkan dalam "enam masa" dan fakta bahwa benda-benda langit ditundukkan oleh suatu Perintah.
Teks suci ini memberikan kerangka kerja teologis: sains menjelaskan bagaimana (mekanisme) alam semesta beroperasi, sementara wahyu menjelaskan mengapa (tujuan) alam semesta diciptakan dan oleh siapa ia diatur. Keduanya adalah jalan menuju pengenalan yang lebih mendalam tentang Allah. Semakin manusia menemukan kompleksitas di tingkat sub-atomik atau di tingkat galaksi, semakin jelas kedaulatan Al-Khalq wal-Amr. Keagungan Sang Khalik tidak berkurang oleh pengetahuan, justru diperkuat olehnya.
Al-A'raf 54 adalah salah satu ayat paling komprehensif yang mengintegrasikan tiga jenis Tauhid:
Pengakuan mutlak atas Amr-Nya membawa kedamaian. Ketika musibah menimpa, seorang mukmin menyadari bahwa itu adalah bagian dari Amr yang berasal dari Sumber Kebijaksanaan tertinggi. Tidak ada kekecewaan yang bertahan lama bagi hati yang memahami bahwa pengatur alam semesta—yang menciptakan matahari, bulan, dan bintang dengan presisi yang tak tertandingi—sedang mengurus urusan pribadinya. Ini adalah janji ketenangan Ilahi yang terkandung dalam firman: Ala Lahu Al-Khalqu wal-Amr.
Sebagai kesimpulan, Surah Al-A'raf ayat 54 adalah seruan abadi menuju pengakuan akan keagungan yang tak terbatas. Ia mendidik kita tentang proses penciptaan, menempatkan kita di bawah otoritas kosmik tertinggi, dan memberikan prinsip teologis yang menjadi landasan bagi seluruh tatanan eksistensi. Setiap kata di dalamnya adalah undangan untuk meninggalkan kebingungan duniawi dan kembali kepada Sumber Kekuatan dan Kebenaran yang tunggal: Allah, Tuhan Semesta Alam, yang memiliki hak penuh atas segala penciptaan dan urusan.
Keteraturan abadi yang dipertontonkan oleh rotasi langit dan bumi, kepatuhan total benda-benda angkasa yang besar, dan penegasan bahwa semua ini berada di bawah penguasaan tunggal yang bersemayam di Arsy, harus mengubah cara kita memandang kekuasaan, waktu, dan takdir. Ayat ini adalah pengingat bahwa hidup kita bukanlah episode acak dalam kosmos yang tak berarti, melainkan bagian integral dari desain agung yang dikelola oleh Yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa. Maha Suci Allah, Tuhan yang memegang kendali atas Al-Khalq dan Al-Amr, kini dan selamanya.
Dinamika yang termuat dalam ayat ini, mulai dari penciptaan bertahap hingga pengawasan dari 'Arsy, menyediakan kerangka untuk memahami baik makrokosmos maupun mikrokosmos. Keteraturan yang mengatur rotasi galaksi adalah sama dengan keteraturan yang memungkinkan sel tunggal untuk berfungsi. Ini adalah kekuasaan yang homogen dan menyeluruh. Allah tidak mengelola sebagian dan mengabaikan sebagian lainnya; kedaulatan-Nya adalah total dan tanpa celah. Manusia, dengan segala kelemahannya, diminta untuk menyesuaikan diri dengan tatanan kosmik ini, menemukan tempatnya sebagai hamba yang tunduk dan bersyukur. Dengan memahami bahwa Dia adalah Rabbul 'Alamin, kita mengakui bahwa Dia adalah pemelihara kita, penyedia rezeki kita, dan satu-satunya yang berhak menetapkan garis akhir bagi perjalanan spiritual dan fisik kita.
Kesadaran ini membawa pada puncak ketenangan spiritual, yaitu ketika kita menyadari bahwa segala kegelisahan dan kekhawatiran pribadi kita, betapapun besarnya, berada di bawah pengawasan langsung dari Penguasa Matahari, Bulan, dan seluruh Alam. Keindahan dan kekuatan ayat Al-A'raf 54 terletak pada kemampuannya untuk mengambil pandangan kosmik yang luas dan menerapkannya langsung ke jantung dan jiwa manusia, memberikan bimbingan, kepastian, dan seruan yang tak terhindarkan untuk beribadah dan berserah diri sepenuhnya. Ini adalah janji Ilahi yang abadi: keberkahan (Tabarak) hanya datang dari Sumber yang menguasai seluruh penciptaan (Khalq) dan segala urusan (Amr).
Penting untuk mengakhiri dengan penekanan pada hakikat keberkahan. Ketika Allah memuliakan Diri-Nya dengan gelar Tabarakallahu Rabbul 'Alamin, Dia mengajarkan bahwa kedaulatan-Nya tidak hanya tentang kekuasaan semata, tetapi juga tentang rahmat dan manfaat yang melimpah. Penciptaan dan manajemen yang sempurna menghasilkan alam semesta yang menopang kehidupan, memungkinkan pertumbuhan, dan menyediakan segala kebutuhan makhluk. Keberkahan ini mengalir melalui hukum alam, melalui turunnya hujan, melalui cahaya matahari, dan melalui setiap rezeki yang kita nikmati. Oleh karena itu, respon yang paling jujur terhadap keagungan Al-A'raf 54 adalah pengakuan tulus dan upaya tanpa henti untuk hidup selaras dengan Perintah Ilahi yang telah menetapkan keteraturan kosmik dan moralitas manusia. Pengakuan ini adalah awal dari kebijaksanaan sejati.